“Aku ingin kamu tidak cemburui aku lagi. Aku bukan perempuan binal yang kamu temui di jalan, kan? Jadi jangan cemburu padaku, karena aku hanya mencintai kamu, Sayang.”
Baiklah.
“Aku tidak yakin kamu bisa melakukannya.”
Dengan berat hati Attar mengangguk. “Ada lagi?”
“Aku ingin mulai sekarang kamu belajar memasak, menyetrika, dan melayani dirimu sendiri. Karena aku tidak ingin pulang.”
“Loh, kenapa?”
“Katakan saja ya, kalau tidak aku akan..”
“Oke, oke. Lalu apa lagi?”
“Aku ingin kita berpisah sementara waktu.”
“Apa?” Suara Attar meninggi bagaikan decitan suara mobil. “Aku tidak mau!”
“Kalau begitu aku akan meminta Mas Edo untuk mencarikanku pengacara.”
“Mengapa sekejam ini padaku, Nia? Aku tidak bisa berpisah darimu. Bahkan selama kita pisah begini, aku tidak bisa berhenti
“Kamu itu bagaikan rongsokan dari sejuta rongsokan lainnya. Sementara istrimu, dia itu satu berlian dari sekian berlian langka lainnya!” Suara makian ibunya terdengar di speaker ponselnya. Tentu saja ibunya tahu mengenai pisah ranjangnya dengan istrinya. Dari siapa lagi kalau bukan manusia serba tahu, kakeknya.“Sudahlah, Ma, biarkan ini menjadi urusanku dengan Ruby,” sahut Attar jemu. Anak sendiri kok dibilang rongsokan!“Mama sudah tahu semuanya, Attar. Kamu kira, ada perempuan yang bisa berkorban sebesar istrimu? Bahkan Mama yakin, Lucy-mu itu memilih kabur daripada…”“Ma! Lucy itu sudah jadi artefak!” tegas Attar jengkel. “Bukannya bantuin anaknya, malah ngomel!”“Kamu bilang biarkan urusan ini jadi urusanmu dengan Ruby, kan?”Attar langsung menekan tombol end di ponselnya. Menyebalkan! Mengapa tidak ada yang bisa membantu dirinya untuk menyel
“Tidak.” Perceraian memang menyakitkan Attar. Tapi aku ingin menyiksanya lebih dari itu. Kalau kami bercerai, ia takkan lama menemukan penggantiku. Aku akan membuatnya merasa terhukum dengan mempertahankan pernikahan ini. “Aku memiliki rencana yang lebih baik.”Ia menemui Attar yang tengah asyik menggoda anaknya. Belum sempat ia membuka mulut untuk menyapa, suaminya sudah menyela, “Anak ini. Adem sekali, tidak rewel, tahunya sudah basah!”Ruby hanya melihat sekilas kemeja Attar yang basah. Oh, mengapa kamu seperti memiliki banyak keperibadian? Di satu sisi aku tahu kamu pria yang sangat baik, tapi di sisi lain kamu seperti kakekmu, bisa melakukan apa saja. Dan kata penyesalan hanyalah omong kosong bagimu.Seolah merenggut nyawa sudah bukan hal yang tabu bagi keluarga suaminya. Ia jadi teringat pada pengakuan Kakek Has mengenai istri Fariz yang dibunuh. Itu sedikit membuatnya menggigil. Meski ia berasal dari keluarga yang baik,
Jadi karena itu kamu menikahiku? Karena kamu mengira, aku akan pasrah saja ketika suamiku membunuh ayahku, begitu maksudmu? Nein, nein, nein! Tapi aku toh tak bisa terus-terusan begini. Bagaimanapun, dia seorang lelaki yang memiliki kebutuhan. “Aku tidak membalas dendam. Tapi aku rasa ini yang terbaik untuk kita. Apakah kamu merasa nyaman, kalau aku tidak nyaman dengan sentuhanmu?”“Kamu tidak nyaman?” Dahi suaminya berkerut. “Kamu tidak pernah memberikan kesempatan padaku untuk menyentuhmu, bagaimana kamu tahu kamu tidak akan nyaman?”“Ngg… mana kutahu? Melihatmu saja sudah membuatku sakit.”&n
Cih, cih, cih! Lagaknya, sudah kayak pengantin baru saja! Kamu kira pintu maafku akan terbuka dengan makan malam di teras belakang? Uh, jangan harap. Dasar lelaki!Karena dari awalnya sudah tak niat dengan makan malam itu, Ruby dandan seadanya saja. Mengapa dia bersemangat sekali mengundangku makan, pikirnya heran. Ingin memperbaiki hubungan kami yang sudah mendingin? Mungkin aku akan memaafkannya jika ia bersimpuh di depan makam ayahku. Barulah itu impas.Hari ini bukan hari ulang tahun suaminya maupun dirinya, tapi… Ya ampun! Baru disadarinya mengapa Attar begitu ngotot mengundangnya. Hari ini hari jadi mereka yang ketiga! Mengapa dirinya bodoh sekali, lupa dengan hari jadi mereka!Setahun yang lalu Ruby sengaja melupakannya karena perasaan marah dan kecewa itu masih ada di hatinya. Tapi sekarang, begitu melihat perhatian yang diberikan suaminya, ia tidak tega untuk mengecewakan suaminya lagi.Sudah bukan saatnya ngambek seperti ini. Ia sudah men
Ia segera menyambut suaminya di pintu depan.Begitu melihat dengan siapa suaminya pulang, nyeri di dadanya datang lagi.“Saya bisa mengurus suami saya sendiri!” Dengan gemas Ruby menarik suaminya dari rangkulan Lucy. Suaminya sempoyongan menyangga pada dirinya, dan Ruby langsung tahu, suaminya mabuk! “Kenapa sih kamu!?”Daripada disembur umpatannya, Lucy pamit. “Saya yang mengajaknya minum wine di bar langganan kami. Saya tidak tahu kalau kalian sudah menikah. Ia tidak memberitahu saya. Permisi.”Ruby memanggil Bik Minah untuk membantunya membopong suaminya ke kamar. Dilentangkannya suaminya di tempat tidur. Barangkali putranya tahu ayahnya sedang mabuk. Eda seketika menangis.Ruby merasa kepalanya pusing sekali. Masalah yang satu belum selesai, masalah yang lain datang. Segera digendongnya Eda dan ditepuk-tepuknya bagian belakang bayinya. Begitu anaknya anteng, dibaringkannya di boks bayi.
"...Dan aku mohon, jangan pernah meragukan cintaku padamu.”Bibir Ruby mulai bergetar mendengarnya. Ya ampun, seumur hidupnya, tidak pernah ada yang menatapnya seperti ini. Bibir mungkin bisa saja berdusta, tapi mata yang tengah memandanginya ini… Tiba-tiba keyakinan itu datang dengan sendirinya.Attar tidak berbohong.Dia mencintaiku, sama seperti aku mencintainya.Ia tak kuasa menahan air matanya. “Aku ingin sekali percaya padamu…” Ia menyandarkan dahinya di dada suaminya yang keras. “Tapi rasanya sulit sekali. Aku takut kamu tidak bisa mempertahankan kepercayaan dariku lagi…”“Aku tahu kesalahanku akan selalu membekas dan tidak akan hilang dari memorimu, Nia. Segebung dusta kuberikan padamu, tapi tak pernah kudustai perasaanku padamu.” Attar menyentuhkan bibirnya di kening istrinya. “Aku memang egois dan bodoh dalam tindakanku. Tidak maukah kamu memberi kesempatan pada orang bo
“Eda, watch out!! Eh, syukurlah, dia tidak terjungkal ke kolam renang!”“Jangan terlalu mengkhawatirkannya, Sayang. Banyak yang menjaganya. Kamu tidak lihat Kakek Hasyim dan Kakek Gunawan yang dari tadi harap-harap cemas di tempat duduknya agar Eda tidak celaka?” Ia menyodorkan mug-nya pada suaminya. “Mau?”“Boleh.” Setelah meminumnya, Attar menatapnya dengan heran. “Tumben. Biasanya kamu menyukai kopi.”“Seperti dirimu yang awalnya tidak menyukai kopi, kemudian kamu jadi gila kopi.”“Kamu tahu aku tidak menyukai kopi?”“Satu hal yang tidak bisa kamu bohongi.”Attar mengecup bibir istrinya dengan lembut. Untunglah saat itu tamu-tamu sedang pesta barbeque di halaman belakang. Kalau tidak, muka istrinya pasti memerah. “Aku tidak akan berbohong padamu lagi.”“Aku percaya.”“Tapi a
Setelah menggendong putranya dan melentangkannya di tempat tidur, ia menggamit istrinya ke halaman belakang. Tamu-tamu sudah pulang, tinggal Bik Minah yang sibuk membersihkan rumah.“Biar besok saja, Bik,” kata Ruby iba. “Saya sudah meminta Mami untuk mengirimkan orang untuk membantu Bik Minah besok pagi.”Pembantunya manggut, lalu meninggalkan kedua majikannya di sana. Attar menekan saklar dan kerlap-kerlip di setiap bunga menerangi taman. Kemudian, diajaknya istrinya untuk duduk bersebelahan di sebuah bangku.“Eda aktif sekali hari ini,” katanya.Ruby bersandar di dada suaminya. “Aku senang, anakku tidak seperti diriku,” sahutnya dengan letih. Hari ini ia terlalu banyak mengeluarkan tenaga. “Dia tidak pemalu.”“Anak kita,” terdengar koreksi dari suaminya. “Apapun bentuknya, dia adalah anak kita. Dan aku janji, aku tidak akan membiarkan anak kita mengikuti tabiat buruk k