Attar beringsut dari posisi tidurnya dan meregangkan otot-ototnya. Pinggangnya terasa sakit. Itu pasti dikarenakan semalam ia hanya tidur selama satu jam saja. Setelah bertengkar dengan istrinya, dia membaca buku dengan posisi duduk, dan ketiduran dalam posisi yang sama.
Ia masuk ke rumah dan mencuci piring bekasnya tadi. Hidup tanpa Mbok dan Bibi benar-benar melelahkan. Attar heran, mengapa banyak orang yang bercita-cita tinggal di luar negeri, terutama tinggal di negara yang sudah maju, di mana gaji pembantu mahal sekali. Kalau Ruby harus mengerjakan pekerjaan rumah setiap hari, dia bisa sakit. Attar tidak mau hal itu terjadi. Cukup dirinya saja yang tersiksa dengan jantung sialannya ini.
Sambil mencuci piring, ia menoleh pada anaknya yang sudah siap dengan seragam barunya. Attar pangling melihatnya. Anaknya memakai kaos dengan lambang sekolahnya di bagian kiri atas, dan celana olahraga pendek berwarna hitam. Dilihat dari perspektif ini, anaknya terlihat sangat kurus
Eda terpaku di tempatnya. Dia tidak mau terlihat riang melihat Oom Bhisma walau ia ingin menyalami oom itu. Tapi melihat Papa menatapnya seolah menunggu reaksinya, Eda memilih sampai ayahnya mengatakan sesuatu.Ayahnya mengulurkan tangan untuk menggandengnya, sementara tangan yang lain menjinjing tas putranya. Mereka berjalan ke ruang depan di mana Ruby sedang bersama Bhisma di sana.“Aku akan mengantarkan Eda ke sekolahnya,” katanya dengan intonasi ketegasan dalam suaranya. Sama sekali tak mau dibantah. “Di Paterson Rd, bukan? Aku bisa lewat Kampong Bahru Rd.”“Kusarankan lewat Lower Delta saja,” sahut Bhisma. “Lebih cepat.”“Whatever, hanya beda satu-dua menit saja,” jawab Attar datar. Dalam hati Attar sebal. Bagaimana pun dia tidak buta di negara yang kecil ini. “Let’s go, Eda. Jangan sampai kamu terlambat dan mengganggu acara mamamu dan oommu, oke?”
“Aku sudah lama tidak bertemu Fariz,” sahut Ruby terus terang. “Masalahnya, dia menghilang sejak keluar dari rumah sakit.” “Mungkinkah dia kabur dengan Sandra? Karena Yongki mengeluh Sandra pergi dari rumah.” Ruby mengangkat bahu. Ya, mungkin saja mereka kabur. Fariz kabur ke Italy, Sandra ke rumahku yang dulu. Mana kutahu. Huh, orang hamil bawaannya sensi. “Aku tidak tahu,” jawab Ruby. “Jangan libatkan rasa bencimu pada suamimu. Lagipula, ini kan belum selesai. Attar belum terbukti bersalah. Katamu, dia suka memendam. Hm. Kita bisa menjadikan itu sebuah harapan?” “Kukira untuk saat ini kita tak perlu membahasnya,” Ruby memberi saran. “Sebaiknya kamu kembali ke Jakarta. Attar sudah kembali. Dia masih suamiku, dan tidak pantas menyambutmu seorang diri seperti ini.” “Ya, aku mengerti. Aku ke sini juga untuk mengucapkan salam perpisahan. Kuharap, kita tidak bertemu lagi di pengadilan.” Bhisma tersenyum sopan. “Kamu seperti adik perempuan yang tak
Itu pertama kalinya Attar menolak makanan yang dibuat olehnya. Suaminya tidak menoleh padanya dan langsung berjalan ke tangga, ke atas. Barangkali dia mau mengganti bajunya dulu, Ruby berusaha meyakinkan dirinya. Sejak tadi pagi suaminya sudah penuh dengan keringat, dan mungkin ia ingin mandi dan turun untuk makan.Namun harapannya hanya sekadar harapan saja. Attar turun dengan kaos dan celana jeans. Dia tidak melirik sedikit pun ke arah meja makan, seakan-akan istrinya tidak pernah menawarinya makan.“Aku pergi dulu,” katanya sambil berjalan ke pintu depan.“Ke mana?”“Ke mana lagi? Tentu saja menjemput Eda.”“Tapi kamu belum makan,” Ruby menegurnya dengan kesal. “Makanlah barang semenit dulu. Cuaca juga tak semendung tadi. Eda sudah bisa pulang sendiri, kok.”Dahi Attar mengernyit. Ia menyadari kekeliruannya dalam bersikap. “Maafkan aku, aku sudah berjanji pada Eda
Ruby duduk di tepi tempat tidur. Menyesali perbuatannya semalam. Attar pasti tersinggung, istrinya mengutamakan nama baik orang lain. Orang yang telah menolongnya di saat Attar tak ada di sisinya. Tapi salahkah Ruby melakukannya? Jika dibiarkan terus, suaminya takkan berhenti mencerca siapa saja—terutama pria—yang membantu istrinya. Padahal Bhisma sama sekali bukan pria barbar seperti suaminya.Mengapa kita harus menikah jika kita tak bisa saling mengerti, pikirnya dengan air mata yang mulai menghujani wajahnya. Cinta ini begitu indah pada awalnya, ketika kamu meraihku dalam dekapanmu dari bayang-bayang mantan kekasihku. Namun sekarang, cintamu padaku seakan mengembang di udara, tersesat mencari jalan untuk kembali. Kembali ke hatiku, atau singgah di hati yang lain.Ruby membuka laci nakas dan mengambil kotak cincin. Nama Attar terukir di cincin emas kuning dengan bandulan kecil di tengahnya. Kenangan indah itu—tatkala Attar berlutut di depannya di te
Tak urung Ruby tersenyum membaca tulisan itu. Diliriknya jam di dinding. Sudah jam empat sore? Tak disangka tidurnya begitu pulas sampai ia tidak mendapatkan mimpi apa-apa.Pintu kamar mandi dibuka. Suaminya dengan memakai handuk kimono mengeringkan rambutnya dengan handuk. Kumis dan cambangnya sudah dicukur rapi.Ruby berusaha menunjukkan sikap biasa saja dan menaruh lagi bunga mawar itu di atas meja.“Bagaimana makan siangmu dengan Eda?” tanyanya, mencoba untuk bersikap tenang di depan suaminya. Jika tidak ada dinding besar yang membentang di antara mereka, ia pasti sudah meliuk, menggoda suaminya yang tampak segar itu untuk menyentuhnya.“Hanya makan dim sum sebentar,” sahut Attar sambil menyisir di depan meja rias. Dari pantulan kaca ia dapat melihat istrinya yang tengah memandangnya. “Lalu Eda memintaku untuk membelikanmu bunga.” Ia membalikkan tubuhnya, menghadap istrinya. “Apakah kamu suka dengan m
“Aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk menebus kesalahanku.” Attar terdiam dan menjelaskan, “Menikah denganmu, tidak masuk hitungan. Itu kulakukan karena aku mencintaimu, kamu tahu itu. Aku menunjang kehidupan ibumu sejak aku bekerja, walau uangku hanya recehan saat itu. Aku melakukan segalanya yang kubisa, tapi sepertinya itu tidak pernah cukup.”Biarlah saat ini Attar tidak menjelaskan praduganya mengenai masa lalu kakeknya. Jika ada seseorang yang harus mengakui kebenarannya, seseorang itu adalah kakeknya. Attar tidak ikut campur mengenai itu.“Well, aku tidak membiarkan ayahku untuk merenggut kebahagiaanku lagi.” Ruby tersenyum pada suaminya setelah perang dingin di antara keduanya. “Kita akan melalui ini sama-sama, Attar.”Walau ia tahu kepercayaan istrinya masih jauh dari setengah daripada yang ia harapkan, Attar mengangguk. Keadaan ini lebih baik ketimbang marah-marah tak puguh pada istrinya hanya
Ruby duduk di meja makan dan mulai menyantap makanannya. Attar duduk di sebelahnya dengan secangkir susu panas. Ia jadi teringat ketika suaminya menolak untuk makan masakannya. “Attar. Apakah sekarang makanan buatanku tidak seenak dulu?” tanyanya.Alis Attar terangkat satu, tak lama kemudian ia menyadari perlakuannya hari ini memang menyebalkan. “Tidak, Sayang, bukan begitu. Aku harus mengurangi makanan yang berkolestrol.”“Kamu diet lagi?” Istrinya tidak menutupi rasa bingungnya. “Kamu kurus sekali, maafkan aku.”“No problem. Diet kan bukan untuk kurus. Aku hanya ingin hidup sehat.” Attar memaksakan senyum. “Makanan enak membuat tubuhmu berisi dan terlihat sehat, tapi belum tentu di dalam kamu juga sehat, kan.”Soal itu Ruby setuju. Ia teringat pada ayahnya yang sungguh tampan, dengan postur tubuh yang tinggi dan otot-otot yang bersembul di tubuhnya yang bidang. Siapa yang m
“Mereka tidak bekerja?” “Tidak,” jawab Attar. “Menjelang akhir tahun memang begitu. Mereka mengambil cuti, dan bersantai dengan uang yang mereka kumpulkan. Baru tahun ini aku ikut bergabung setelah beberapa tahun terakhir fokus dengan proyek Hardana Land. Tahun ini keluarga Hardana berkumpul di Singapura mengingat Aspen begitu jauh dan mereka sebenarnya masih punya urusan di Jakarta.” “Oh, begitu. Kalau aku tidak salah dengar, Fariz ada di sini?” “Ya.” “Aku heran.” “Kenapa begitu?” “Kamu tidak mencekiknya setelah masalah yang ditimbulkannya,” jawab Ruby blak-blakan. Ia tahu suaminya takkan tersinggung. “Sekarang kamu harus bersentuhan dengan hukum karena dia, kan?” “Kalau ditelaah lagi, ini semua salahku,” sahut suaminya muram. “Aku begitu bersikeras melakukan sesuatu yang tidak puguh hingga akhirnya mencelakakan diriku sendiri.” Terdiam Attar sejenak, kemudian melanjutkan, “Aku minta maaf telah mengorbankan kamu demi perasaan