Itu pertama kalinya Attar menolak makanan yang dibuat olehnya. Suaminya tidak menoleh padanya dan langsung berjalan ke tangga, ke atas. Barangkali dia mau mengganti bajunya dulu, Ruby berusaha meyakinkan dirinya. Sejak tadi pagi suaminya sudah penuh dengan keringat, dan mungkin ia ingin mandi dan turun untuk makan.
Namun harapannya hanya sekadar harapan saja. Attar turun dengan kaos dan celana jeans. Dia tidak melirik sedikit pun ke arah meja makan, seakan-akan istrinya tidak pernah menawarinya makan.
“Aku pergi dulu,” katanya sambil berjalan ke pintu depan.
“Ke mana?”
“Ke mana lagi? Tentu saja menjemput Eda.”
“Tapi kamu belum makan,” Ruby menegurnya dengan kesal. “Makanlah barang semenit dulu. Cuaca juga tak semendung tadi. Eda sudah bisa pulang sendiri, kok.”
Dahi Attar mengernyit. Ia menyadari kekeliruannya dalam bersikap. “Maafkan aku, aku sudah berjanji pada Eda
Ruby duduk di tepi tempat tidur. Menyesali perbuatannya semalam. Attar pasti tersinggung, istrinya mengutamakan nama baik orang lain. Orang yang telah menolongnya di saat Attar tak ada di sisinya. Tapi salahkah Ruby melakukannya? Jika dibiarkan terus, suaminya takkan berhenti mencerca siapa saja—terutama pria—yang membantu istrinya. Padahal Bhisma sama sekali bukan pria barbar seperti suaminya.Mengapa kita harus menikah jika kita tak bisa saling mengerti, pikirnya dengan air mata yang mulai menghujani wajahnya. Cinta ini begitu indah pada awalnya, ketika kamu meraihku dalam dekapanmu dari bayang-bayang mantan kekasihku. Namun sekarang, cintamu padaku seakan mengembang di udara, tersesat mencari jalan untuk kembali. Kembali ke hatiku, atau singgah di hati yang lain.Ruby membuka laci nakas dan mengambil kotak cincin. Nama Attar terukir di cincin emas kuning dengan bandulan kecil di tengahnya. Kenangan indah itu—tatkala Attar berlutut di depannya di te
Tak urung Ruby tersenyum membaca tulisan itu. Diliriknya jam di dinding. Sudah jam empat sore? Tak disangka tidurnya begitu pulas sampai ia tidak mendapatkan mimpi apa-apa.Pintu kamar mandi dibuka. Suaminya dengan memakai handuk kimono mengeringkan rambutnya dengan handuk. Kumis dan cambangnya sudah dicukur rapi.Ruby berusaha menunjukkan sikap biasa saja dan menaruh lagi bunga mawar itu di atas meja.“Bagaimana makan siangmu dengan Eda?” tanyanya, mencoba untuk bersikap tenang di depan suaminya. Jika tidak ada dinding besar yang membentang di antara mereka, ia pasti sudah meliuk, menggoda suaminya yang tampak segar itu untuk menyentuhnya.“Hanya makan dim sum sebentar,” sahut Attar sambil menyisir di depan meja rias. Dari pantulan kaca ia dapat melihat istrinya yang tengah memandangnya. “Lalu Eda memintaku untuk membelikanmu bunga.” Ia membalikkan tubuhnya, menghadap istrinya. “Apakah kamu suka dengan m
“Aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk menebus kesalahanku.” Attar terdiam dan menjelaskan, “Menikah denganmu, tidak masuk hitungan. Itu kulakukan karena aku mencintaimu, kamu tahu itu. Aku menunjang kehidupan ibumu sejak aku bekerja, walau uangku hanya recehan saat itu. Aku melakukan segalanya yang kubisa, tapi sepertinya itu tidak pernah cukup.”Biarlah saat ini Attar tidak menjelaskan praduganya mengenai masa lalu kakeknya. Jika ada seseorang yang harus mengakui kebenarannya, seseorang itu adalah kakeknya. Attar tidak ikut campur mengenai itu.“Well, aku tidak membiarkan ayahku untuk merenggut kebahagiaanku lagi.” Ruby tersenyum pada suaminya setelah perang dingin di antara keduanya. “Kita akan melalui ini sama-sama, Attar.”Walau ia tahu kepercayaan istrinya masih jauh dari setengah daripada yang ia harapkan, Attar mengangguk. Keadaan ini lebih baik ketimbang marah-marah tak puguh pada istrinya hanya
Ruby duduk di meja makan dan mulai menyantap makanannya. Attar duduk di sebelahnya dengan secangkir susu panas. Ia jadi teringat ketika suaminya menolak untuk makan masakannya. “Attar. Apakah sekarang makanan buatanku tidak seenak dulu?” tanyanya.Alis Attar terangkat satu, tak lama kemudian ia menyadari perlakuannya hari ini memang menyebalkan. “Tidak, Sayang, bukan begitu. Aku harus mengurangi makanan yang berkolestrol.”“Kamu diet lagi?” Istrinya tidak menutupi rasa bingungnya. “Kamu kurus sekali, maafkan aku.”“No problem. Diet kan bukan untuk kurus. Aku hanya ingin hidup sehat.” Attar memaksakan senyum. “Makanan enak membuat tubuhmu berisi dan terlihat sehat, tapi belum tentu di dalam kamu juga sehat, kan.”Soal itu Ruby setuju. Ia teringat pada ayahnya yang sungguh tampan, dengan postur tubuh yang tinggi dan otot-otot yang bersembul di tubuhnya yang bidang. Siapa yang m
“Mereka tidak bekerja?” “Tidak,” jawab Attar. “Menjelang akhir tahun memang begitu. Mereka mengambil cuti, dan bersantai dengan uang yang mereka kumpulkan. Baru tahun ini aku ikut bergabung setelah beberapa tahun terakhir fokus dengan proyek Hardana Land. Tahun ini keluarga Hardana berkumpul di Singapura mengingat Aspen begitu jauh dan mereka sebenarnya masih punya urusan di Jakarta.” “Oh, begitu. Kalau aku tidak salah dengar, Fariz ada di sini?” “Ya.” “Aku heran.” “Kenapa begitu?” “Kamu tidak mencekiknya setelah masalah yang ditimbulkannya,” jawab Ruby blak-blakan. Ia tahu suaminya takkan tersinggung. “Sekarang kamu harus bersentuhan dengan hukum karena dia, kan?” “Kalau ditelaah lagi, ini semua salahku,” sahut suaminya muram. “Aku begitu bersikeras melakukan sesuatu yang tidak puguh hingga akhirnya mencelakakan diriku sendiri.” Terdiam Attar sejenak, kemudian melanjutkan, “Aku minta maaf telah mengorbankan kamu demi perasaan
Ruby cemberut mendengar ejekan itu. Kalau dia bisa, ingin dia patahkan saja kedua paha suaminya. Ia menurut, duduk di pangkuan suaminya dengan posisi menyamping.Suaminya merapikan rambutnya yang berantakan di bagian dahi. Mata Ruby tak terpaku memandang suaminya yang begitu fokus dengan bagian atas kepalanya. Tak urung Ruby membelai bagian belakang kepala suaminya.“Eda sudah tidur,” desis Attar, dengan bibir yang ditenggelamkannya di balik rambut yang menutupi leher istrinya. “Mungkin kita bisa bercinta dengan liar di rumah ini.”Dari jarak yang sedekat itu, Ruby dapat memandang suaminya yang tampan bak Narkissos. Percintaan mereka tadi memang luar biasa. Lebih dari luar biasa, tepatnya. Tapi tidak bisa seindah dulu.Fakta bahwa suaminya tetap menceraikannya walau mengetahui kehamilannya tidak bisa begitu saja dienyahkannya.“Attar.”“Hmmmm.”“Do you love me?”
“Sedang apa kamu di sini?” tanya Attar. Nina memang salah satu pemilik klub ini, tapi tidak pernah ikut campur sampai datang ke sini. Dari dulu Nina dikenal kolot karena gaya hidupnya yang sehat dan tidak pernah mencicipi anggur.“This place is good,” sahut Nina. “Kukira akan menjadi tempat orang-orang biadab. Tapi kulihat di sini aman-aman saja.”“Yang membuat night club ini tidak selaku yang lain,” komentar Attar.“Kami tidak mau masa lalumu dan Fariz terulang lagi,” jawab Nina, terkekeh dan tak bermaksud menghina. “Kalau kita menawarkan jasa pelacuran, akan banyak orang yang menemukan jalan penderitaan.”“Goodness, mungkin ini salah satu alasan kakak iparku tak mau menikahimu,” balas Attar yang langsung menerima pukulan ringan di lengannya.“Aku tidak butuh pria yang tak bisa menerima kekuranganku,” Nina membela dirinya. &ld
Sandra bergegas meninggalkan mereka. Attar duduk di depan meja kerja sepupunya dengan kaki yang disilangkan di atas pahanya yang lain. “Jadi, ini alasanmu keluar dari proyek Hardana World?”“Proyekmu,” Fariz mengoreksi. “Aku memilih pergi daripada bekerjasama dengan Edo, direktur sementara itu.”“Apa yang salah dengannya?”“Apa yang salah dengannya?” ulang Fariz. Ia terdiam sesaat. “Mulutnya begitu pedas menyindirku. Istrimu pasti sudah menceritakan mengenai Sandra.”“Sedikit mengejutkan mengapa bukan kamu yang diutus untuk jadi penggantiku.”“Para komisaris yang memutuskannya,” jawab Fariz. “Bahkan ayahku sendiri memintaku untuk tetap sabar menghadapi keputusan itu.”“Oom Demetrio setuju?” Alis Attar terangkat satu. “Seharusnya aku menyiapkan semacam surat wasiat in case aku koma lagi. Kamu yang seharusnya a