New York.
Di balik gelas wine itu terlihat sepasang mata yang menatap seorang wanita cantik dengan tajam. Dengan perlahan, seorang pria yang memiliki rambut cepak, kulit yang terlalu putih untuk seorang pria dan dan wajah yang terlihat penuh keyakinan, menenggak wine-nya.
“Ini mengherankan,” kata Lucy. “Kamu mengajakku ke Delmonico’s. Bukankah kamu selalu enggan mengajakku ke tempat seperti ini?”
Attar menggeleng. “Kita sudah lama tidak bertemu. Lagipula, apakah aku salah mengajakmu makan malam? Atau kamu takut suamimu akan melihat kita di tempat seperti ini?”
Perempuan yang memiliki rambut pirang itu tersenyum tenang. Dari awal ia bertemu dengan Attar, sekitar dua tahun lalu, ia tahu Attar memiliki sifat sarkasme yang tidak bisa dikendalikan.
“Suamiku sedang di Pound Ridge, entah apa yang sedang dilakukannya. Ya, aku tahu, kamu tidak akan peduli dengan hal itu. Hanya saja ini sangat mengherankan, Sayangku, kamu mengajakku makan malam di restoran seperti ini. Semua ini terlihat…bukan dirimu.”
Ya, Attar sadar akan hal itu. Mengajak seorang wanita ke sebuah restoran kelas atas, dan terkesan romantis memang bukan dirinya. Dirinya adalah tipe pria yang senang menghabiskan waktu di lapangan golf, klub, bar, dan tempat sejenisnya. Dan wanita adalah hiburan baginya. Seperti Lucy.
Kehidupannya di Jakarta yang penuh dengan segala aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan membuatnya lelah. Sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, Attar memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengurus perusahaan keluarganya yang bergerak di berbagai bidang.
Sebagai generasi ketiga dari keluarga Hardana, Attar ingin membuktikan bahwa pernyataan generasi ketiga yang menghancurkan usaha yang telah dibangun oleh dua generasi sebelumnya adalah salah. Karena itu ia selalu bekerja keras, dan baru malam ini ia menyadari, pria macam dirinya tidak memiliki cinta.
Selama ini ia mengira hubungannya dengan Lucy akan berjalan dengan serius. Namun rupanya Lucy enggan bercerai dari suaminya yang hidung belang. Dan anehnya, Attar sama sekali tidak merasa marah ataupun cemburu. Ia menjalankan hubungan gelapnya tanpa merasa berdosa.
“Aku akan segera menikah, Luce.”
“Kamu?” Lucy tergelak. Perempuan itu menggeleng.
“Well, aku tidak sedang bercanda.”
Lucy menatap dirinya, tidak percaya. “Dengan siapa?”
“Seorang wanita Indonesia yang belum mengenalku.”
“Jangan bilang kamu dijodohkan, Attar." Lucy menatap Attar dengan tatapan mengancam. Namun Attar menepisnya dengan senyum santainya.
“Mengapa kamu terlihat takut, Luce? Kukira hubungan kita memang hanya sebatas ini saja. Kamu, istri yang kesepian membutuhkan pria yang selalu melindungumu."
Attar kini hanya perlu meninggalkan Lucy, menikahi cucu dari teman kakeknya, dan dia akan mendapatkan setengah warisan kakeknya. Attar bukan tipe orang yang matre, hanya saja tawaran itu tidak salah untuk tidak ditolak untuknya.
“Kamu tidak akan ke New York lagi, begitu maksudmu?” tanya Lucy dengan bibir gemetar menahan kesal.
“Tidak juga. Wanita yang dijodohkan padaku ini tinggal di sini. Aku akan berada di sini sampai aku mendapatkannya.”
“Jadi wanita itu tidak tahu bahwa ia dijodohkan denganmu?” Lucy tertawa, meremehkan. “Kasihan sekali wanita itu.”
“Aku tidak seburuk itu, kan?”
“Tidak, kamu hanya memiliki wajah seperti Narkissos, namun hatimu seperti Satyr. Tampan tapi tidak memiliki perasaan.”
"Aku pewaris keluargaku, dan kurasa ia bukan wanita yang didambakan semua pria. Kalau iya, kakeknya tidak akan menawarkannya pada kakekku.”
“Menawarkannya. Hati-hati dengan kalimatmu, Attar.”
“Tapi aku tahu satu hal. Ia lebih baik darimu, Sayang. Setidaknya, ia tidak menawarkan dirinya padaku.”
Kurang dari dua detik wajahnya sudah tersiram wine. Begitu ia membuka matanya, Lucy tak lagi duduk di depannya.
Attar sama sekali tidak tersinggung. Ia justru tersenyum. Dengan begini, ia tidak akan terbelenggu dalam hubungan tak jelasnya dengan wanita bersuami itu.
***
Rubinia Adiwangsa menyalakan rokoknya di depan gedung Citibank. Sudah lama ia menunggu seseorang di sana, dan udara dingin New York tak bisa ia tahan lagi. Ia harus menghangatkan dirinya.
Seseorang memeluknya dari belakang.
Tanpa menolehpun Ruby tahu siapa seseorang itu. Ia dapat merasakan bau maskulin dari seseorang itu.
Seseorang itu adalah Adam.
Adam membalikkan tubuhnya dengan kedua tangannya yang masih melingkari pinggangnya. “Sudah berapa kali kubilang untuk berhenti merokok, anak nakal?” Adam menarik rokok dari mulutnya dan menginjaknya. Lalu pria itu mengecup bibirnya. “Kamu hanya bisa merokok kalau mulutku sudah busuk, Sayang.”
“Kamu tahu aku paling kesal menunggu.” Ruby melepaskan pelukan kekasihnya. “Apakah meeting-nya berjalan lancar?”
Adam mengangguk. “Awalnya aku sangat nervous. Kamu tahu kan, sejak SMA aku tidak bisa presentasi. Tapi syukurlah, hari ini semua orang yang mengikuti rapat itu mengerti apa yang aku sampaikan.”
“Jangan dipikirkan, kan sudah berlalu."
Pria itu tersenyum. Ruby memang paling tahu tentang kekasihnya. Mereka berpacaran sejak mereka duduk di bangku SMA di Indonesia. Sejak itu pulalah mereka bercita-cita untuk tinggal di New York. Dan kini, mereka telah mewujudkannya. Sebenarnya, belum. Ada satu lagi yang Ruby inginkan: menikah dengan Adam.
“Bagaimana kalau kita pergi makan? Aku yang pilih restorannya."
Alis Adam terangkat satu, memberi kesan ia tidak percaya dengan selera Ruby. Ruby mencoba meyakinkan, “Ayolah. Seleraku tidak terlalu buruk, kan?” Sebelum Adam menjawab Ruby telah menarik pria itu ke mobil sedan BMW-nya yang terparkir di pinggir jalan.
Itu kebiasaan mereka. Setiap malam Sabtu, Ruby selalu menjemput Adam dan mengajak kekasihnya ke tempat yang ia mau, seperti bar, klub, atau menonton bioskop.Setelah Adam dan dirinya memakai sabuk pengaman, Ruby meluncurkan mobilnya dari Wall St ke suatu tempat yang membuat Adam kesal karena penasaran. Ruby sama sekali tidak merasa bersalah mengenai hal itu. Semakin pria itu marah, pria itu semakin terlihat seksi. Dan Ruby senang melihatnya.“Mengapa kamu senang sekali membuatku marah,” keluh Adam dengan nada pasrah. Marah pada kekasihnya hanya menghabiskan waktu. Adam tidak pernah bisa marah sekali pada Ruby, karena ia terlalu mencintai perempuan itu. “Ini sudah tengah malam, By. Apakah kamu tidak mau aku yang menyetir?”“Terima kasih, tapi aku sama sekali belum mengantuk.” Ruby menyetel lagu Far East Movement. “Bankir sepertimu harus dihibur, Adam. Kamu terlihat sangat tertekan dengan setelan formal seperti it
Ketika pelayan datang mengantarkan pesanan mereka, Ruby sama sekali tidak bersemangat untuk memakan lobster-nya. Sementara Adam memakan makanannya dengan tenang, seolah Ruby memang mengerti pada situasi yang dihadapi Adam.Duh bodoh sekali sih diriku, keluh Ruby. Adam tidak akan melamarmu, Ruby. Sekalipun iya, itu akan membutuhkan waktu yang lama sekali. Ruby pernah membaca buku agenda pria itu, dan tertulis bahwa target pria itu menikah saat adiknya lulus kuliah. Sementara adiknya saja baru lulus SMA. Ya ampun. Berapa lama lagikah itu? Tiga tahun? Empat tahun? Ruby tidak yakin ia bisa menunggu Adam selama itu.Di tengah kerisauannya, Ruby tertawa melihat sepasang kekasih yang bertengkar di depannya. Bukan pertengkaran yang anarkis. Sang pria disiram segelas wine oleh kekasihnya, dan setelah kekasih pria itu pergi, pria itu hanya tersenyum saja.Tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan kelihatannya pria itu sangat senang
Ruby terpaku dengan jawaban Adam. Apa? Adam memutuskannya, di saat ia berharap penuh pada pria itu? Apa? Apa yang harus dilakukannya sekarang? Menangis, meminta Adam untuk bersamanya, dan mengatakan bahwa ia tidak keberatan untuk menjalankan hubungan mereka yang tidak berujung ini? Tidak, Ruby tidak akan melakukan itu. Sejak bertemu Adam, ia sudah memiliki mimpi dengan pria itu. Ia ingin menikah dengan seorang pekerja keras dan menjadi seorang ibu. Ya Allah. Apakah itu terlalu muluk? Kedua tangan Ruby digenggam oleh pria itu. “Aku tahu, Ruby, ini sangat berat untukmu. Tapi ini yang terbaik untuk kita, Sayang, karena aku tidak ingin kamu merasa lebih sakit daripada ini.” Mati-matian Ruby menahan air matanya agar Adam tidak melihatnya. “Aku akan pulang,” kata Ruby sambil melepaskan genggaman pria itu. Ia bangkit dari duduknya dan membuka dompetnya. Ditaruhnya seratus dolar di sana. “Terima kasih, Adam. Untuk segalanya.” Dan Ruby meninggalkan pria itu. M
Ruby enggan tinggal di New York. Satu-satunya alasan mengapa ia di sana ia ingin mewujudkan impiannya. Sekarang, Adam telah pergi. Apa yang bisa ia lakukan di sini selain menghabiskan uang keluarganya?Ia bisa pindah dari apartemennya yang berada di Brooklyn ke sebuah penthouse di Manhattan. Lalu menghabiskan uangnya dengan belanja pakaian, sepatu, dan keperluan wanita lainnya, tanpa merasa tidak enak hati karena Adam sudah tidak bersamanya lagi.Ah, Adam.Aneh sekali. Ruby memang merasa sedih, tetapi hanya sekadar itu. Ia tahu dirinya seharusnya sedih. Namun di sisi lain, ia merasa dirinya bebas. Ia bisa bebas berbelanja dan melakukan hal-hal yang menyenangkan.Seperti siang ini. Ia menghabiskan waktunya di Manhattan Mall. Membeli beberapa pakaian dalam di Victoria’s Secret dan membeli beberapa sepatu di Nine West. Hari ini adalah surganya.Di tengah-tengah ia mencari sepatu untuknya, ponselnya berbunyi. Tele
Cucu dari Hasyim Hardana. Perempuan macam apa Rubinia ini? Attar harus membuat perempuan itu tahu, bahwa kekayaan keluarga Hardana jauh di atas keluarga perempuan itu, menurut majalah Forbes tahun ini. Atau… perempuan itu tidak peduli?Perempuan itu telah berpacaran dengan pria kelas menengah. Attar mengenalnya di kelompok alumni Stanford di Indonesia. Tidak dekat memang, tapi setidaknya, mereka saling mengenal. Dan mudah bagi Attar untuk meminta nomor ponsel Ruby, dengan dalih ia ingin menawarkan pekerjaan pada Ruby.Sebelum ke NYC, Attar sudah menyelidiki kehidupan Ruby; pekerjaannya, tempat tinggalnya, dan kekasihnya. Namun ia simpan itu semua dari keluarga perempuan itu. Mungkin, itu bisa menjadi senjatanya untuk mengancam perempuan itu agar mau menikah dengannya.“Apakah saya belum memberitahu nama saya, Rubinia?“ desis Attar menahan marah.Perempuan itu mengangkat bahu. “Mungkin?“Benarkah, benark
“Kamu kira aku tidak memperhatikanmu sejak di restoran kemarin malam? Kamu disiram minuman oleh si pirang itu. Kamu pasti pria yang sangat bajingan sampai seorang wanita melakukan hal itu.”“Bajingan. Tidak tahukah kamu, kalau itu kata yang kasar?”“Untuk orang sepertimu, tidak. Apakah dia kekasihmu? Kalau itu benar, dan kalian putus karena pernikahan yang tiba-tiba ini, sebaiknya kamu kembali padanya. Aku benar-benar tidak tertarik dengan segala jenis pernikahan setelah putusnya hubunganku dengan Adam.”“Ya, si pirang itu adalah kekasihku. She was. Dia sudah memiliki suami, dan kurasa kita bernasib sama. Sama-sama tidak bisa memiliki orang yang kita cintai.” Cintai? Attar tertawa dalam hati. Ia sama sekali tidak pernah mencintai siapapun!Ruby menyeruput kopinya. “Hm, ini cappuccino kesukaanku.”Attar tidak percaya dengan perempuan itu. Gila. Perempuan itu tidak
"Dulu sebelum aku mengenal Adam, aku berteman dengan orang-orang seperti mereka. Pernah sekali aku iseng bilang perusahaan keluargaku bangkrut, dan sehari kemudian mereka tidak menyapaku lagi. Lalu ketika mereka tahu apa yang aku katakan bohong, mereka memintaku untuk mentraktir mereka di Dragonfly, tempat clubbing. Sebenarnya, bukan uang atau tempat yang mereka pilih, tapi cara mereka berpikir yang membuatku kapok berteman dengan orang-orang seperti mereka.”“Jadi kamu trauma. Apakah itu alasanmu untuk tinggal di sini?”Ya, karena alasan itulah Ruby pergi dari rumah. Ia memiliki keluarga yang “berkewajiban” mengadakan pesta besar-besaran setiap tiga bulan sekali. Dan terkadang, sebulan sekali. Selain itu Ruby merasakan kesepian hingga tinggal di Jakarta maupun New York terasa sama saja. Ayahnya sudah beristirahat di San Diego Hills. Kakaknya yang sudah berkeluarga tidak memiliki waktu untuknya. Dan ibunya yang berprofesi sebagai
Attar tidak keberatan jika perempuan itu mengajaknya ke neraka sekalipun, selama perempuan itu tetap bersamanya.“Apakah kamu tahu ke mana tujuan kita?”Dengan santai Ruby menggeleng. “Entahlah, aku sedang kesal. Sepertinya sebentar lagi aku akan menstruasi, dan aku harus banyak berjalan-jalan. Itu membuat stresku berkurang.”Perempuan itu terlalu terang-terangan dalam bicara. Kalau bukan Ruby yang mengatakan “menstruasi”, mungkin Attar sudah risih. Pernah sekali adiknya, Asya, mengeluh kesakitan karena menstruasi yang dialaminya. Dan apa yang dilakukan Attar saat itu? Meninggalkan adiknya sejauh mungkin.“Pantas saja kamu sangat emosional.”“Aku biasa menjadi orang pemarah," kata Ruby datar.“Tidak heran Adam meninggalkanmu.”Ruby tidak menggubrisnya dan terus berjalan, seolah kata-kata Attar barusan adalah angin lalu. Dan sikap cuek yang dilakukan perempuan itu membua