Itu kebiasaan mereka. Setiap malam Sabtu, Ruby selalu menjemput Adam dan mengajak kekasihnya ke tempat yang ia mau, seperti bar, klub, atau menonton bioskop.
Setelah Adam dan dirinya memakai sabuk pengaman, Ruby meluncurkan mobilnya dari Wall St ke suatu tempat yang membuat Adam kesal karena penasaran. Ruby sama sekali tidak merasa bersalah mengenai hal itu. Semakin pria itu marah, pria itu semakin terlihat seksi. Dan Ruby senang melihatnya.
“Mengapa kamu senang sekali membuatku marah,” keluh Adam dengan nada pasrah. Marah pada kekasihnya hanya menghabiskan waktu. Adam tidak pernah bisa marah sekali pada Ruby, karena ia terlalu mencintai perempuan itu. “Ini sudah tengah malam, By. Apakah kamu tidak mau aku yang menyetir?”
“Terima kasih, tapi aku sama sekali belum mengantuk.” Ruby menyetel lagu Far East Movement. “Bankir sepertimu harus dihibur, Adam. Kamu terlihat sangat tertekan dengan setelan formal seperti itu.”
Adam melepaskan dasinya dan melepaskan dua kancing dari atas kemejanya. “Kamu tahu, aku selalu iri padamu. Lulus dari New York University, tapi ujung-ujungnya jadi penyanyi indie. Kamu memiliki keluarga yang menganut demokrasi.”
“Tidak juga. Karena itu aku tidak berani pulang ke Jakarta. Karena kalau mereka tahu apa yang aku lakukan di sini, aku bisa digantung. Tidak, tidak akan ada satupun anggota keluargaku yang berani melakukan itu.”
Kemudian, keduanya sama-sama diam. Menyadari bahwa Ruby adalah putri kesayangan dari keluarga Adiwangsa, yang selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Berbeda dengan Adam. Adam berasal dari keluarga menengah di Jakarta. Orangtuanya menyekolahkannya di Amerika untuk mengembangkan perekonomian keluarganya.
Meskipun mereka berasal dari kalangan yang berbeda, mereka saling melengkapi. Ruby yang bosan dengan kegiatan sosialita yang menurutnya sangat monoton, menemukan kebahagiaan lain dengan Adam. Adam yang tidak pernah menuntutnya untuk melakukan ini-itu, membuat Ruby sangat mencintai pria itu, begitupun sebaliknya. Bersama Adam, Ruby adalah dirinya sendiri, dan Adam sangat menyukai semangat yang ada di dalam diri perempuan itu.
Ruby menghentikan mobilnya di Beaver St. “Kukira kita sudah sampai.”
Adam menatap restoran yang ada di depannya. “Kita akan malam di Delmonico’s? Not such a bad idea.”
Mereka turun dari mobil. Ini pertama kalinya mereka makan malam di restoran mewah. Biasanya mereka makan bersama di restoran seperti Kenka, Shake Shack, dan segala jenis restoran yang harganya masih terjangkau.
Malam ini, Ruby menginginkan sesuatu yang berbeda. Selama ia berpacaran dengan Adam, mereka belum pernah merasakan hal-hal yang mewah. Sebenarnya, bukan mereka. Ruby sering diam-diam makan di restoran kelas atas. Sayangnya, ia hanya bisa melakukannya sendiri.
Pelayan mengantarkan mereka ke meja makan mereka. Belum sempat Adam membuka menu, Ruby segera memesan pada pelayan, “Dua Delmonico’s Lobster Tail dan dua red wine.”
Setelah pelayan mencatat pesanannya dan pergi, Adam bertanya dengan dahi mengernyit. “Kamu sering ke sini?”
Untuk sesaat Ruby terdiam. Ya, Adam pasti akan marah padanya. Adam tidak menyukai hal-hal yang berbau kesenangan dan mewah. Segala kesenangan terasa salah bagi pria itu, mengingat perjuangannya yang keras di kota metropolitan ini.
“Bagaimana kamu bisa mengatakan hal itu?” tanya Ruby berlagak bodoh. “Aku sudah melihat menunya di internet, dan kurasa itu sesuai dengan selera kita.”
“Selera kita?” Adam terdiam. “Kamu tahu aku jarang sekali makan di tempat seperti ini, Ruby. Terakhir kita makan di tempat seperti ini ketika kamu berulang tahun ke dua empat, setahun yang lalu, bukan? Di mana waktu itu… Aku lupa.”
“Di Butter, Sayang.” Ruby menggigit bibirnya. Ketidaktenangan dalam diri Adam terlihat jelas di mata pria itu, membuat Ruby merasa bersalah. “Kamu merasa tidak nyaman?”
“Apakah kamu perlu bertanya? Restoran seperti ini hanya menghabiskan uang saja, Ruby. Kita bisa menggunakan uang itu untuk hal yang berguna, seperti membeli mobil, keliling kota…”
“Menikah.”
“Apa?”
“Menikah. Kamu tidak ingin menikah, Adam?”
“Untuk saat ini, belum. Apakah kamu ingin menikah, Ruby?”
Tatapan Adam yang sama sekali tidak mengerti dirinya, membuat Ruby kesal. “Ya.” Dan aku tidak ingin memintamu untuk melamarku.
“Maafkan aku,” kata Adam menyesal. “Sungguh, aku tidak bermaksud mengatakan belum. Hanya saja pekerjaanku sangat menyita waktuku, dan kamu tahu, adikku yang bungsu, Arini, akan masuk kuliah. Aku memiliki tanggung jawab untuk membiayai kuliahnya, Sayang.”
Ya, ya, ya. Berhubungan dengan Adam berarti berhubungan dengan keluarganya. Awalnya, Ruby sangat mengagumi sifat family-oriented yang dimiliki pria itu. Namun lama-lama itu menjemukan untuk Ruby. Adam selalu mementingkan keluarganya di atas segalanya.
Tapi tidak sekarang. Setelah sekian tahun bersama, Ruby menginginkan lebih. Ia tidak ingin mengerti Adam lagi. Ia ingin Adam-lah yang mengerti dirinya, dengan mengesampingkan urusan keluarga pria itu, dan mengutamakan kekasihnya.
Ya, dan itu tidak akan terjadi. Adam yang pekerja keras tidak akan melamar Ruby. Atau mungkin, selama ini Adam hanya kasihan padanya, mengingat Ruby-lah yang pertama kali menyatakan cinta pada pria itu di SMA dulu.
Dan sekarang, Ruby yang menginginkan pria itu untuk melamarnya. Ya Allah. Memang hanya Adam, pria yang ada di muka bumi ini?
“Ya, aku mengerti,” kata Ruby lemas. “Kamu harus bekerja keras untuk keluargamu. Itu yang terbaik.”
Ketika pelayan datang mengantarkan pesanan mereka, Ruby sama sekali tidak bersemangat untuk memakan lobster-nya. Sementara Adam memakan makanannya dengan tenang, seolah Ruby memang mengerti pada situasi yang dihadapi Adam.Duh bodoh sekali sih diriku, keluh Ruby. Adam tidak akan melamarmu, Ruby. Sekalipun iya, itu akan membutuhkan waktu yang lama sekali. Ruby pernah membaca buku agenda pria itu, dan tertulis bahwa target pria itu menikah saat adiknya lulus kuliah. Sementara adiknya saja baru lulus SMA. Ya ampun. Berapa lama lagikah itu? Tiga tahun? Empat tahun? Ruby tidak yakin ia bisa menunggu Adam selama itu.Di tengah kerisauannya, Ruby tertawa melihat sepasang kekasih yang bertengkar di depannya. Bukan pertengkaran yang anarkis. Sang pria disiram segelas wine oleh kekasihnya, dan setelah kekasih pria itu pergi, pria itu hanya tersenyum saja.Tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan kelihatannya pria itu sangat senang
Ruby terpaku dengan jawaban Adam. Apa? Adam memutuskannya, di saat ia berharap penuh pada pria itu? Apa? Apa yang harus dilakukannya sekarang? Menangis, meminta Adam untuk bersamanya, dan mengatakan bahwa ia tidak keberatan untuk menjalankan hubungan mereka yang tidak berujung ini? Tidak, Ruby tidak akan melakukan itu. Sejak bertemu Adam, ia sudah memiliki mimpi dengan pria itu. Ia ingin menikah dengan seorang pekerja keras dan menjadi seorang ibu. Ya Allah. Apakah itu terlalu muluk? Kedua tangan Ruby digenggam oleh pria itu. “Aku tahu, Ruby, ini sangat berat untukmu. Tapi ini yang terbaik untuk kita, Sayang, karena aku tidak ingin kamu merasa lebih sakit daripada ini.” Mati-matian Ruby menahan air matanya agar Adam tidak melihatnya. “Aku akan pulang,” kata Ruby sambil melepaskan genggaman pria itu. Ia bangkit dari duduknya dan membuka dompetnya. Ditaruhnya seratus dolar di sana. “Terima kasih, Adam. Untuk segalanya.” Dan Ruby meninggalkan pria itu. M
Ruby enggan tinggal di New York. Satu-satunya alasan mengapa ia di sana ia ingin mewujudkan impiannya. Sekarang, Adam telah pergi. Apa yang bisa ia lakukan di sini selain menghabiskan uang keluarganya?Ia bisa pindah dari apartemennya yang berada di Brooklyn ke sebuah penthouse di Manhattan. Lalu menghabiskan uangnya dengan belanja pakaian, sepatu, dan keperluan wanita lainnya, tanpa merasa tidak enak hati karena Adam sudah tidak bersamanya lagi.Ah, Adam.Aneh sekali. Ruby memang merasa sedih, tetapi hanya sekadar itu. Ia tahu dirinya seharusnya sedih. Namun di sisi lain, ia merasa dirinya bebas. Ia bisa bebas berbelanja dan melakukan hal-hal yang menyenangkan.Seperti siang ini. Ia menghabiskan waktunya di Manhattan Mall. Membeli beberapa pakaian dalam di Victoria’s Secret dan membeli beberapa sepatu di Nine West. Hari ini adalah surganya.Di tengah-tengah ia mencari sepatu untuknya, ponselnya berbunyi. Tele
Cucu dari Hasyim Hardana. Perempuan macam apa Rubinia ini? Attar harus membuat perempuan itu tahu, bahwa kekayaan keluarga Hardana jauh di atas keluarga perempuan itu, menurut majalah Forbes tahun ini. Atau… perempuan itu tidak peduli?Perempuan itu telah berpacaran dengan pria kelas menengah. Attar mengenalnya di kelompok alumni Stanford di Indonesia. Tidak dekat memang, tapi setidaknya, mereka saling mengenal. Dan mudah bagi Attar untuk meminta nomor ponsel Ruby, dengan dalih ia ingin menawarkan pekerjaan pada Ruby.Sebelum ke NYC, Attar sudah menyelidiki kehidupan Ruby; pekerjaannya, tempat tinggalnya, dan kekasihnya. Namun ia simpan itu semua dari keluarga perempuan itu. Mungkin, itu bisa menjadi senjatanya untuk mengancam perempuan itu agar mau menikah dengannya.“Apakah saya belum memberitahu nama saya, Rubinia?“ desis Attar menahan marah.Perempuan itu mengangkat bahu. “Mungkin?“Benarkah, benark
“Kamu kira aku tidak memperhatikanmu sejak di restoran kemarin malam? Kamu disiram minuman oleh si pirang itu. Kamu pasti pria yang sangat bajingan sampai seorang wanita melakukan hal itu.”“Bajingan. Tidak tahukah kamu, kalau itu kata yang kasar?”“Untuk orang sepertimu, tidak. Apakah dia kekasihmu? Kalau itu benar, dan kalian putus karena pernikahan yang tiba-tiba ini, sebaiknya kamu kembali padanya. Aku benar-benar tidak tertarik dengan segala jenis pernikahan setelah putusnya hubunganku dengan Adam.”“Ya, si pirang itu adalah kekasihku. She was. Dia sudah memiliki suami, dan kurasa kita bernasib sama. Sama-sama tidak bisa memiliki orang yang kita cintai.” Cintai? Attar tertawa dalam hati. Ia sama sekali tidak pernah mencintai siapapun!Ruby menyeruput kopinya. “Hm, ini cappuccino kesukaanku.”Attar tidak percaya dengan perempuan itu. Gila. Perempuan itu tidak
"Dulu sebelum aku mengenal Adam, aku berteman dengan orang-orang seperti mereka. Pernah sekali aku iseng bilang perusahaan keluargaku bangkrut, dan sehari kemudian mereka tidak menyapaku lagi. Lalu ketika mereka tahu apa yang aku katakan bohong, mereka memintaku untuk mentraktir mereka di Dragonfly, tempat clubbing. Sebenarnya, bukan uang atau tempat yang mereka pilih, tapi cara mereka berpikir yang membuatku kapok berteman dengan orang-orang seperti mereka.”“Jadi kamu trauma. Apakah itu alasanmu untuk tinggal di sini?”Ya, karena alasan itulah Ruby pergi dari rumah. Ia memiliki keluarga yang “berkewajiban” mengadakan pesta besar-besaran setiap tiga bulan sekali. Dan terkadang, sebulan sekali. Selain itu Ruby merasakan kesepian hingga tinggal di Jakarta maupun New York terasa sama saja. Ayahnya sudah beristirahat di San Diego Hills. Kakaknya yang sudah berkeluarga tidak memiliki waktu untuknya. Dan ibunya yang berprofesi sebagai
Attar tidak keberatan jika perempuan itu mengajaknya ke neraka sekalipun, selama perempuan itu tetap bersamanya.“Apakah kamu tahu ke mana tujuan kita?”Dengan santai Ruby menggeleng. “Entahlah, aku sedang kesal. Sepertinya sebentar lagi aku akan menstruasi, dan aku harus banyak berjalan-jalan. Itu membuat stresku berkurang.”Perempuan itu terlalu terang-terangan dalam bicara. Kalau bukan Ruby yang mengatakan “menstruasi”, mungkin Attar sudah risih. Pernah sekali adiknya, Asya, mengeluh kesakitan karena menstruasi yang dialaminya. Dan apa yang dilakukan Attar saat itu? Meninggalkan adiknya sejauh mungkin.“Pantas saja kamu sangat emosional.”“Aku biasa menjadi orang pemarah," kata Ruby datar.“Tidak heran Adam meninggalkanmu.”Ruby tidak menggubrisnya dan terus berjalan, seolah kata-kata Attar barusan adalah angin lalu. Dan sikap cuek yang dilakukan perempuan itu membua
Attar tidak ingin malam ini berakhir terlalu cepat. Di depannya, berdiri seorang wanita cantik bak bidadari tengah bernyanyi dengan suara merdu. Heran, mengapa perempuan itu masih bertahan menjadi bukan Beyonce, dengan kualitas suara sebagus itu!Ia melirik gelas wine yang masih terisi penuh. Ya ampun. Suara Ruby benar-benar mengalihkan dunianya. Attar tidak bisa membayangkan seperti apa kehidupannya setelah menikah dengan perempuan itu.Perempuan cantik memang banyak, tapi tidak ada yang seperti Ruby. Cantik, pintar, dan berani. Attar menganggap kekasaran perempuan itu sebuah keberanian. Maklum, tidak ada yang pernah sekasar itu pada Attar Hardana.Dibesarkan di keluarga yang memiliki kekayaan berlimpah, dianugrahi otak yang jenius, itu sudah cukup bagi Attar. Dari SD sampai SMA ia selalu meraih ranking satu. Ketika lulus dari Stanford, ia juga mendapat predikat maxima kum laude. Untuk seseorang sesantai dirinya, itu sudah lebih dari cukup. Da