Share

DELAPAN

"Dulu sebelum aku mengenal Adam, aku berteman dengan orang-orang seperti mereka. Pernah sekali aku iseng bilang perusahaan keluargaku bangkrut, dan sehari kemudian mereka tidak menyapaku lagi. Lalu ketika mereka tahu apa yang aku katakan bohong, mereka memintaku untuk mentraktir mereka di Dragonfly, tempat clubbing. Sebenarnya, bukan uang atau tempat yang mereka pilih, tapi cara mereka berpikir yang membuatku kapok berteman dengan orang-orang seperti mereka.”

“Jadi kamu trauma. Apakah itu alasanmu untuk tinggal di sini?”

Ya, karena alasan itulah Ruby pergi dari rumah. Ia memiliki keluarga yang “berkewajiban” mengadakan pesta besar-besaran setiap tiga bulan sekali. Dan terkadang, sebulan sekali. Selain itu Ruby merasakan kesepian hingga tinggal di Jakarta maupun New York terasa sama saja. Ayahnya sudah beristirahat di San Diego Hills. Kakaknya yang sudah berkeluarga tidak memiliki waktu untuknya. Dan ibunya yang berprofesi sebagai desainer, sering mengadakan fashion show di mall-mall besar di Jakarta dan bahkan di luar negeri.

“Sebenarnya, ada satu alasan lagi selain teman-temanku yang menyebalkan itu. Kakakku, Mas Edo, adalah seorang gila pesta. Kamu pasti tahu itu. Dan tak sedikit teman-teman prianya yang menggodaku, dan aku merasa itu perilaku yang kampungan. Dan banyak teman-teman perempuannya yang kesal padaku karena merasa gebetan mereka direbut olehku. Aku bukan merasa sok laku, tapi itu sangat menggangguku. Aku benci mereka.”

“Aku tahu, Ruby. Aku juga dulu di sana.”

“Tapi kamu tidak pernah menggodaku.”

Oh, benarkah? Attar adalah salah satu dari sekian pria yang ditolak mentah-mentah oleh Ruby. Dan perempuan itu bilang ia tidak pernah menggodanya? Oh, perempuan itu benar-benar sombong, tidak pernah ingat pada setiap pria yang ingin berkenalan dengannya.

Tapi itulah daya tariknya. Semakin jual mahal, bukankah setiap pria semakin tertantang untuk menaklukkannya? Attar membuat tekad dalam hati, ia akan mendapatkan perempuan itu, dengan cara apapun.

“Lalu bagaimana jika kita menikah, Ruby? Bukankah seharusnya kamu berteman dengan teman-temanku juga, yang tak lain teman-teman Edo ?”

Apakah kita akan menikah?”

“Ya, itu harus dilaksanakan. Karena…. Karena…. Karena aku…” Dan Attar tidak tahu harus menjawab apa.

“Karena apa? Karena ide kakek kita yang gila?” Ruby tertawa. “Demi kita, aku akan meminta kakekku agar kita tidak menikah.”

“Mengapa kamu selalu beranggapan aku tidak mau menikah denganmu?”

“Adakah pria yang ingin menikah dengan perempuan yang baru mereka kenal? Aku tidak ingin kita terjerumus dalam sebuah pernikahan yang tidak kita hendaki, Attar.”

“Aku atau dirimu yang tidak menghendaki pernikahan ini? Karena aku sama sekali tidak keberatan untuk menunggu, bukankah sudah kukatakan hal itu padamu?”

Ruby terdiam cukup lama. Ia tahu dirinyalah yang tidak ingin menikah dengan siapapun untuk saat ini. Berpisah dengan orang yang dicintainya sudah membuat luka yang cukup dalam, dan ia tidak ingin jika ia menikah, ia menghadapi masa-masa sulit yang ia rasa ia tidak bisa mengatasinya.

Aku sama sekali tidak keberatan untuk menunggu. Attar pasti berdusta untuk menunggunya. Attar tidak mencintainya. Karena jika pria itu mencintainya, ia tidak akan bisa menunggu. Walau sedetik saja.

Cinta.

Cinta?

Attar tidak mungkin mencintainya. Mereka baru saja bertemu. Tidak, teknisnya mereka sudah bertemu, entah di pesta Edo yang mana. Tapi Ruby tidak mengenalinya, karena memang menurutnya Attar tidak menarik, sebelum malam di Delmonico’s.

“Apakah kamu ingin menikah denganku?”

Pria itu menatapnya untuk waktu yang lama. Kalau Ruby sempat menghitung, lebih dari dua menit. Pria itu menatapnya bukan karena bingung dengan pertanyaannya. Pria itu menatapnya untuk meyakinkan Ruby, bahwa pria itu benar-benar ingin menikah dengannya.

“Berikan satu alasan untuk tidak menikah denganmu, Ruby.”

“Aku bisa memberikannya lebih dari satu. Aku jelek, ketergantungan pada uang ayahku, suka belanja gila-gilaan..”

“Kamu berbeda.”

“Maksudmu?”

“Ya, kamu berbeda. Di luar kekuranganmu yang jelek, shopaholic, dan blablabla, kamu memiliki sisi yang membuatku kagum. Kamu setia pada kekasihmu,  kamu tidak menyukai kehidupan sosialita di saat semua keluargamu bisa dibilang bagian dari mereka.”

“Itu bukanlah kelebihan.” Ruby menggeleng. Warna wajahnya berubah muram. “Aku mungkin tidak menyukai kehidupan sosialita, dan terkadang aku merasa sombong karena hanya aku yang di keluargaku yang bisa melakukannya. Dan terkadang, karena aku merasa aku tidak pernah jadi bagian mereka, aku selalu meminta kakekku untuk mengirimku uang lebih. Jadi, kamu salah menilaiku.”

Attar harus memutar otaknya dua kali untuk mencari kelebihan perempuan itu. Ya ampun. Apa sih kelebihan perempuan itu? Ya, Ruby memiliki bentuk tubuh yang ideal, rambut hitam yang indah, dan wajah yang luar biasa manis. Lalu… apa selain itu? Ada sesuatu yang tidak diketahui Attar tentang perempuan itu.

“Kamu tidak menyukaiku.”

“Lalu? Memangnya semua orang menyukaimu?”

“Tidak juga sih, tapi hampir semua perempuan menyukaiku. Mungkin itu adalah salah satu alasanku ingin menikah denganmu.”

“Untuk menaklukkan hatiku?”

“Ya.”

Ruby tersenyum. Lagi. “Mengapa kamu bisa melakukan hal-hal yang belum dilakukan orang lain padaku?”

“Entahlah, hanya terbawa arus, mungkin.”

“Bolehkah aku memberikan satu alasan mengapa aku tidak ingin menikah?”

Attar mengangguk.

“Aku membutuhkan waktu. Semuanya terasa terlalu cepat. Kamu. Aku. Bertemu di saat aku putus dari kekasih yang kucintai selama delapan tahun, atau mungkin sampai sekarang. Maafkan aku, Attar.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status