"Dulu sebelum aku mengenal Adam, aku berteman dengan orang-orang seperti mereka. Pernah sekali aku iseng bilang perusahaan keluargaku bangkrut, dan sehari kemudian mereka tidak menyapaku lagi. Lalu ketika mereka tahu apa yang aku katakan bohong, mereka memintaku untuk mentraktir mereka di Dragonfly, tempat clubbing. Sebenarnya, bukan uang atau tempat yang mereka pilih, tapi cara mereka berpikir yang membuatku kapok berteman dengan orang-orang seperti mereka.”
“Jadi kamu trauma. Apakah itu alasanmu untuk tinggal di sini?”
Ya, karena alasan itulah Ruby pergi dari rumah. Ia memiliki keluarga yang “berkewajiban” mengadakan pesta besar-besaran setiap tiga bulan sekali. Dan terkadang, sebulan sekali. Selain itu Ruby merasakan kesepian hingga tinggal di Jakarta maupun New York terasa sama saja. Ayahnya sudah beristirahat di San Diego Hills. Kakaknya yang sudah berkeluarga tidak memiliki waktu untuknya. Dan ibunya yang berprofesi sebagai desainer, sering mengadakan fashion show di mall-mall besar di Jakarta dan bahkan di luar negeri.
“Sebenarnya, ada satu alasan lagi selain teman-temanku yang menyebalkan itu. Kakakku, Mas Edo, adalah seorang gila pesta. Kamu pasti tahu itu. Dan tak sedikit teman-teman prianya yang menggodaku, dan aku merasa itu perilaku yang kampungan. Dan banyak teman-teman perempuannya yang kesal padaku karena merasa gebetan mereka direbut olehku. Aku bukan merasa sok laku, tapi itu sangat menggangguku. Aku benci mereka.”
“Aku tahu, Ruby. Aku juga dulu di sana.”
“Tapi kamu tidak pernah menggodaku.”
Oh, benarkah? Attar adalah salah satu dari sekian pria yang ditolak mentah-mentah oleh Ruby. Dan perempuan itu bilang ia tidak pernah menggodanya? Oh, perempuan itu benar-benar sombong, tidak pernah ingat pada setiap pria yang ingin berkenalan dengannya.
Tapi itulah daya tariknya. Semakin jual mahal, bukankah setiap pria semakin tertantang untuk menaklukkannya? Attar membuat tekad dalam hati, ia akan mendapatkan perempuan itu, dengan cara apapun.
“Lalu bagaimana jika kita menikah, Ruby? Bukankah seharusnya kamu berteman dengan teman-temanku juga, yang tak lain teman-teman Edo ?”
“Apakah kita akan menikah?”
“Ya, itu harus dilaksanakan. Karena…. Karena…. Karena aku…” Dan Attar tidak tahu harus menjawab apa.
“Karena apa? Karena ide kakek kita yang gila?” Ruby tertawa. “Demi kita, aku akan meminta kakekku agar kita tidak menikah.”
“Mengapa kamu selalu beranggapan aku tidak mau menikah denganmu?”
“Adakah pria yang ingin menikah dengan perempuan yang baru mereka kenal? Aku tidak ingin kita terjerumus dalam sebuah pernikahan yang tidak kita hendaki, Attar.”
“Aku atau dirimu yang tidak menghendaki pernikahan ini? Karena aku sama sekali tidak keberatan untuk menunggu, bukankah sudah kukatakan hal itu padamu?”
Ruby terdiam cukup lama. Ia tahu dirinyalah yang tidak ingin menikah dengan siapapun untuk saat ini. Berpisah dengan orang yang dicintainya sudah membuat luka yang cukup dalam, dan ia tidak ingin jika ia menikah, ia menghadapi masa-masa sulit yang ia rasa ia tidak bisa mengatasinya.
Aku sama sekali tidak keberatan untuk menunggu. Attar pasti berdusta untuk menunggunya. Attar tidak mencintainya. Karena jika pria itu mencintainya, ia tidak akan bisa menunggu. Walau sedetik saja.
Cinta.
Cinta?
Attar tidak mungkin mencintainya. Mereka baru saja bertemu. Tidak, teknisnya mereka sudah bertemu, entah di pesta Edo yang mana. Tapi Ruby tidak mengenalinya, karena memang menurutnya Attar tidak menarik, sebelum malam di Delmonico’s.
“Apakah kamu ingin menikah denganku?”
Pria itu menatapnya untuk waktu yang lama. Kalau Ruby sempat menghitung, lebih dari dua menit. Pria itu menatapnya bukan karena bingung dengan pertanyaannya. Pria itu menatapnya untuk meyakinkan Ruby, bahwa pria itu benar-benar ingin menikah dengannya.
“Berikan satu alasan untuk tidak menikah denganmu, Ruby.”
“Aku bisa memberikannya lebih dari satu. Aku jelek, ketergantungan pada uang ayahku, suka belanja gila-gilaan..”
“Kamu berbeda.”
“Maksudmu?”
“Ya, kamu berbeda. Di luar kekuranganmu yang jelek, shopaholic, dan blablabla, kamu memiliki sisi yang membuatku kagum. Kamu setia pada kekasihmu, kamu tidak menyukai kehidupan sosialita di saat semua keluargamu bisa dibilang bagian dari mereka.”
“Itu bukanlah kelebihan.” Ruby menggeleng. Warna wajahnya berubah muram. “Aku mungkin tidak menyukai kehidupan sosialita, dan terkadang aku merasa sombong karena hanya aku yang di keluargaku yang bisa melakukannya. Dan terkadang, karena aku merasa aku tidak pernah jadi bagian mereka, aku selalu meminta kakekku untuk mengirimku uang lebih. Jadi, kamu salah menilaiku.”
Attar harus memutar otaknya dua kali untuk mencari kelebihan perempuan itu. Ya ampun. Apa sih kelebihan perempuan itu? Ya, Ruby memiliki bentuk tubuh yang ideal, rambut hitam yang indah, dan wajah yang luar biasa manis. Lalu… apa selain itu? Ada sesuatu yang tidak diketahui Attar tentang perempuan itu.
“Kamu tidak menyukaiku.”
“Lalu? Memangnya semua orang menyukaimu?”
“Tidak juga sih, tapi hampir semua perempuan menyukaiku. Mungkin itu adalah salah satu alasanku ingin menikah denganmu.”
“Untuk menaklukkan hatiku?”
“Ya.”
Ruby tersenyum. Lagi. “Mengapa kamu bisa melakukan hal-hal yang belum dilakukan orang lain padaku?”
“Entahlah, hanya terbawa arus, mungkin.”
“Bolehkah aku memberikan satu alasan mengapa aku tidak ingin menikah?”
Attar mengangguk.
“Aku membutuhkan waktu. Semuanya terasa terlalu cepat. Kamu. Aku. Bertemu di saat aku putus dari kekasih yang kucintai selama delapan tahun, atau mungkin sampai sekarang. Maafkan aku, Attar.”
Attar tidak keberatan jika perempuan itu mengajaknya ke neraka sekalipun, selama perempuan itu tetap bersamanya.“Apakah kamu tahu ke mana tujuan kita?”Dengan santai Ruby menggeleng. “Entahlah, aku sedang kesal. Sepertinya sebentar lagi aku akan menstruasi, dan aku harus banyak berjalan-jalan. Itu membuat stresku berkurang.”Perempuan itu terlalu terang-terangan dalam bicara. Kalau bukan Ruby yang mengatakan “menstruasi”, mungkin Attar sudah risih. Pernah sekali adiknya, Asya, mengeluh kesakitan karena menstruasi yang dialaminya. Dan apa yang dilakukan Attar saat itu? Meninggalkan adiknya sejauh mungkin.“Pantas saja kamu sangat emosional.”“Aku biasa menjadi orang pemarah," kata Ruby datar.“Tidak heran Adam meninggalkanmu.”Ruby tidak menggubrisnya dan terus berjalan, seolah kata-kata Attar barusan adalah angin lalu. Dan sikap cuek yang dilakukan perempuan itu membua
Attar tidak ingin malam ini berakhir terlalu cepat. Di depannya, berdiri seorang wanita cantik bak bidadari tengah bernyanyi dengan suara merdu. Heran, mengapa perempuan itu masih bertahan menjadi bukan Beyonce, dengan kualitas suara sebagus itu!Ia melirik gelas wine yang masih terisi penuh. Ya ampun. Suara Ruby benar-benar mengalihkan dunianya. Attar tidak bisa membayangkan seperti apa kehidupannya setelah menikah dengan perempuan itu.Perempuan cantik memang banyak, tapi tidak ada yang seperti Ruby. Cantik, pintar, dan berani. Attar menganggap kekasaran perempuan itu sebuah keberanian. Maklum, tidak ada yang pernah sekasar itu pada Attar Hardana.Dibesarkan di keluarga yang memiliki kekayaan berlimpah, dianugrahi otak yang jenius, itu sudah cukup bagi Attar. Dari SD sampai SMA ia selalu meraih ranking satu. Ketika lulus dari Stanford, ia juga mendapat predikat maxima kum laude. Untuk seseorang sesantai dirinya, itu sudah lebih dari cukup. Da
Lega Attar mendengarnya. “Aku sudah menduganya. Perempuan strong sepertimu pasti bisa mengenyahkan pria macam itu dari pikiranmu.” “Aku sadar selama ini aku dan Adam tidak saling mencintai. Ngg, maksudku, cinta itu pasti ada di antara kita, tapi cinta Adam terhadapku tidak sebesar aku mencintainya. Dan untuk apa terlarut dalam kesedihan untuk orang yang tidak mencintai kita?” “Aku pernah merasakannya, Ruby. Sakit sekali.” “Kamu pernah mencintai seseorang sedalam itu?” “Tidak sampai cinta, hanya suka saja. Sayangnya saat aku menyukainya, gadis itu telah bersama lelaki lain. Bullshit memang kedengarannya, tapi aku bahagia dia bahagia bersama lelaki itu.” “Wow, bijak sekali. Adam..” “No, Attar’s here.” “Tidak, di belakangmu.” Ruby berdiri. Ia menghampiri Adam yang baru datang di The Living Room. Pria itu masih memakai setelan kerja, dengan keletihan di wajahnya. Attar menoleh ke bel
“Mengapa tidak kembali ke Indo? Tidak ada yang kamu cari kan di sini?”Selama ini hanya Adam alasannya. Sekarang? Attar benar. Tidak ada yang ia cari di sini, selain barang-barang branded. “Itu bukan ide yang buruk. Kembali ke Indonesia, bertemu dengan Edo yang playboy, Mami yang supersabar, tidak, itu sama sekali bukan ide yang buruk.”Dalam perjalanan pulang di taksi, Attar lebih banyak diam daripada bicara dengan Ruby. Ia merenung. Bagaimana jika sebenarnya ia cemburu pada Ruby, dan tadi bukanlah hanya sekadar guyonan? Ia memang kesal pada Ruby yang masih saja menghampiri Adam, padahal pri itu sudah meninggalkan perempuan itu.Attar memperhatikan Ruby yang tengah diam, menikmati alunan musik David Foster di taksi. Pria itu menggenggam salah satu tangan Ruby.Perempuan itu menoleh, sama sekali tidak berniat menepiskan genggaman Attar.“Kamu sakit, Attar?” tanya Ruby.Yang ditanya mengge
“Ya, mereka menganggapmu tidak waras, dan menjadikanmu bahan olok-olokan. Si cantik yang gila. Tapi aku tahu itu tidak benar. Kamu bersekolah SMA terbaik di Indonesia, dan kemudian kamu masuk ke NYU. Aku tidak bisa membayangkan, betapa malunya mereka sekarang.”Ruby tertawa. “Aku baru memperoleh kewarasanku saat SMA. Aku tidak mau diolok-olok lagi seperti sebelum itu.”“Kamu tidak pernah gila, Sayang.”Mendengar itu, Ruby hampir saja tersedak, padahal ia sedang tidak memakan apapun. “Ya, tapi sedikit autis. Karena itu aku tidak mengenalmu, Attar, karena aku takut berkenalan dengan pria manapun. Sampai akhirnya aku bertemu Adam.”“Ruby, boleh tidak aku minta sesuatu padamu?”“Kalau aku bisa memenuhinya, aku akan mencoba.”“Jangan sebut nama Adam di hadapanku lagi. Aku dapat mengerti kamu ingin membahas masa lalumu dan berbagi denganku, tapi jangan sebut namanya, bis
Berapa lama? Ruby tidak yakin akan membuat keputusan secepat itu. Bagaimana bisa ia memulai kehidupannya di Jakarta, ketika masih ada yang tertinggal di kota ini. Dan di dalam lubuk hatinya, Ruby masih yakin Adam sangat mencintainya. Pria itu hanya memerlukan waktu untuk percaya pada Ruby.Ruby membiarkan Attar meninggalkan gedung apartemennya. Dia tidak ingin memanggil pria itu, tidak sekarang, dan mungkin… tidak juga nanti. Sikap Ruby yang demikian membuat Attar kesal. Seumur hidupnya tidak ada wanita yang menggantungkannya seperti ini. Siapa kiranya dia itu? Anak Bapak Presiden? Atau anggota Mensa Internasional, sebuah organisasi untuk orang-orang yang IQ-nya di atas rata-rata? Huh. Kalau bukan iming-iming warisan dari Kakek Hasyim, Attar memutuskan untuk mundur.Mundur? Hah, itu bukan dirinya. Soal matematika tingkat SMA saja sudah bisa dikerjakannya saat ia duduk di bangku kelas dua SD. Menyerah mendekati perempuan? Matahari terbit di baratpun Attar tidak s
Ruby tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan. Setelah peristiwa kecupan ganas itu, ia tidak bisa tidur. Bau wine di bibir Attar, cambang kasar Attar yang menggesek pipinya, ya ampun, tidak pernah Ruby mengalami hal itu sebelumnya.Ia tidak menolak ciuman itu. Justru ia menikmatinya. Attar pasti marah padanya karena ia masih membiarkan pria itu menunggu, setelah yang baru saja terjadi di antara mereka. Tapi di sisi lain Ruby tidak bisa membohongi dirinya. Bukan, bukan karena Adam. Meski titik terkecil di hatinya masih mengharapkan pria itu, bukan hanya itu alasannya.Ruby tidak ingin mengingatnya. Sekonyong-konyong dirinya ditampar, mobil antik mewah itu menghampiri mereka, dan mengambil orang yang sangat berarti untuknya. Ruby tidak ingin kembali ke sana lagi, tidak ingin ke Jakarta lagi.Mungkin semua orang bisa tersenyum di depannya, menyambut kepulangannya, tapi di balik itu semua Ruby tahu, mereka membencinya. Tidak, Ruby tidak akan kembali ke san
Dari mana aku harus memulai. Ruby mulai merasakan keringat yang bergelenyar di tangannya yang kini di dalam tangan Attar. Bismillah….. “Tentang kematian ayahku. Apakah kamu tahu kronologinya?”Attar merasa sedakan kecil di tenggorokannya meski tak ada sesuatu yang ditelannya. Yah… Ruby tahu, sebentar lagi Attar akan melepaskan genggamannya. Pria itu tidak bodoh. Sama sekali tidak, dan Ruby kesal dengan kepintarannya. Attar pasti akan meninggalkannya.Tapi, tidak. Attar tidak melepaskan tangannya. “Maafkan aku, aku hanya mencoba untuk mengingat peristiwa itu. Ketika Oom Armand meninggal… Oh, geez, ia meninggal karena tertabrak mobil antiknya sendiri, kan?”Itu sama sekali tidak benar. Mengapa di antara segelintir orang, hanya Attar yang bisa berpikir seperti itu? Kenyataannya, almarhum Papi memarahinya di garasi karena Ruby telah mengemudi tanpa seizinnya, dan yang paling parah, Ruby lupa mematikan re