“Kamu kira aku tidak memperhatikanmu sejak di restoran kemarin malam? Kamu disiram minuman oleh si pirang itu. Kamu pasti pria yang sangat bajingan sampai seorang wanita melakukan hal itu.”
“Bajingan. Tidak tahukah kamu, kalau itu kata yang kasar?”
“Untuk orang sepertimu, tidak. Apakah dia kekasihmu? Kalau itu benar, dan kalian putus karena pernikahan yang tiba-tiba ini, sebaiknya kamu kembali padanya. Aku benar-benar tidak tertarik dengan segala jenis pernikahan setelah putusnya hubunganku dengan Adam.”
“Ya, si pirang itu adalah kekasihku. She was. Dia sudah memiliki suami, dan kurasa kita bernasib sama. Sama-sama tidak bisa memiliki orang yang kita cintai.” Cintai? Attar tertawa dalam hati. Ia sama sekali tidak pernah mencintai siapapun!
Ruby menyeruput kopinya. “Hm, ini cappuccino kesukaanku.”
Attar tidak percaya dengan perempuan itu. Gila. Perempuan itu tidak peduli dengan kehidupannya, meski itu adalah kebohongan. Atau perempuan itu tahu bahwa Attar berbohong? Atau… Ruby hanya tidak ingin membahasnya, mengingat rasa sakit yang masih dirasakan perempuan itu? “Apakah ini kebetulan?” Attar memaksakan dirinya untuk tertawa. “Aku juga menyukai cappuccino di Ace Hotel.”
“It’s so highly recommended. Adam tidak pernah kuajak ke sana. Kebetulan, dia tidak menyukai kopi. Apakah kamu suka kopi?”
Tidak. “Ya, tentu saja. Siapa yang tidak menyukai kopi?”
Ruby tersenyum. Yeah, dia tersenyum! Ada kebanggaan tersendiri bagi Attar untuk membuat perempuan itu tersenyum.
“Ada kafe yang enak selain di Stumpton. Di Brooklyn, namanya…”
“Gorilla Coffee, huh?”
Senyum Ruby melebar. “Kamu penggemar kopi, ya?”
Tidak, ia bukan penggemar kopi. Namun saat ia berpacaran dengan Lucy, ia sering diajak ke sana oleh wanita pirang itu. Brooklyn adalah tempat yang pas untuk pasangan yang memiliki hubungan gelap seperti mereka.
“Kamu ingin ke sana? Sekarang?”
“Tidak,” jawab Ruby. “Hari ini aku harus latihan bernyanyi di apartemenku. Aku akan tampil di The Living Room.”
“Kamu seorang penyanyi? Like Beyonce?”
“Hanya penyanyi indie, and not as famous as her.”
“Kenapa harus menjadi penyanyi indie?”
Ruby mengangkat bahunya. “Aku hanya senang melakukannya. Apa pekerjaanmu? Penerus usaha keluarga?”
“Sekarang aku menjadi direktur di perusahaan kakekku.”
“Oh, ya, I know. Itu seperti garis takdir, ya? Anakmu kelak akan meneruskan usahamu, dan begitulah seterusnya. Aku hanya wondering, kenapa harus seperti itu. Di keluargakupun juga menganut kebiasaan itu. Itulah sebabnya aku tidak mau kembali ke Jakarta.”
“Kamu tidak ingin menjadi penerus usaha keluargamu? Atau setidaknya, menjadi sosialita seperti ibumu?”
“Tidak.”
“Kenapa?” tanya Attar penasaran. “Bukankah itu adalah kebanggaan seorang wanita? Memamerkan hartanya di acara arisan? Atau menunjukkan kecantikannya di pesta?”
Tergelak Ruby mendengarnya. “Itu sangat membosankan, Hardana.” Ruby bangkit dari duduknya. “Meet on Monday at The Living Room, okay?”
“What time?”
“Seven pm. Have a nice day.”
Lengan Ruby ditahan oleh Attar. “Hey, kamu tidak sesibuk itu, kan? Hari ini aku tidak memiliki kegiatan, mungkin aku bisa mendengarkan ceritamu mengenai kegiatan sosialita yang membosankan. Mungkin dengan begitu kamu bisa memanggil nama kecilku saja.”
Sesaat Ruby mempertimbangkan atas tawaran Attar. “Well, just promise me one thing.”
Ruby duduk kembali di sebelah pria itu. “Jangan tidur saat aku bicara. Karena sekian banyak orang yang mendengarkanku bicara, mereka jatuh tertidur. Yah, hanya Adam yang bisa bertahan. Apakah kamu bisa melakukannya?”
Tidak ada yang bisa dilakukan Attar selain menerima syarat itu. Dan ia tidak menyesal sempat membeli kopi untuk dirinya. Ya, dan belum sampai setengah jam bicara, perempuan itu merasakan kebosanan yang dirasakan Attar. “Ok, I’m sorry. Aku terlalu banyak bicara, ya.”
“Just keep talking. Ini caraku untuk fokus mendengarkan orang.” Attar menguap, lalu memaksakan untuk tersenyum manis.
“Kamu tidak perlu menggodaku, Har—Attar. Kamu lebih baik jujur daripada talking some shit. Itu membuatku muak, oke?”
Untuk sesaat Attar cemberut karena Ruby sempat memanggilnya dengan Hardana, namun ia mencoba untuk bersikap tenang dan rasional. “I’m serious, Nia. Lanjutkan ceritamu.”
“Nia?”
“Rubinia?”
“Ya, tapi tidak ada yang memanggilku itu sebelumnya.” Ruby merasa aneh dengan panggilan itu, apalagi Attar-lah yang pertama kali memanggilnya Nia. Dan cara pria itu melisankannya seolah… entahlah, seperti seseorang yang telah lama mengenalnya.
“Apakah kamu keberatan?”
“Tidak sama sekali.”
“Kalau begitu tolong jelaskan padaku mengapa kamu kesal sekali dengan kehidupan socialite. Karena pendapatku sangat bersebrangan denganmu. Memiliki banyak teman adalah hal yang menyenangkan, Ruby, apalagi teman yang berasal dari kalangan yang sama.”
“Oh, benarkah? Dulu sebelum aku mengenal Adam, aku berteman dengan orang-orang seperti mereka. Pernah sekali aku iseng bilang perusahaan keluargaku bangkrut, dan sehari kemudian mereka tidak menyapaku lagi. Lalu ketika mereka tahu apa yang aku katakan bohong, mereka memintaku untuk mentraktir mereka di Dragonfly, tempat clubbing. Sebenarnya, bukan uang atau tempat yang mereka pilih, tapi cara mereka berpikir yang membuatku kapok berteman dengan orang-orang seperti mereka.”
“Jadi kamu trauma. Apakah itu alasanmu untuk tinggal di sini?”
Ruby memandang Attar sesaat, seolah memastikan apakah laki-laki ini bisa dipercaya atau tidak.
"Dulu sebelum aku mengenal Adam, aku berteman dengan orang-orang seperti mereka. Pernah sekali aku iseng bilang perusahaan keluargaku bangkrut, dan sehari kemudian mereka tidak menyapaku lagi. Lalu ketika mereka tahu apa yang aku katakan bohong, mereka memintaku untuk mentraktir mereka di Dragonfly, tempat clubbing. Sebenarnya, bukan uang atau tempat yang mereka pilih, tapi cara mereka berpikir yang membuatku kapok berteman dengan orang-orang seperti mereka.”“Jadi kamu trauma. Apakah itu alasanmu untuk tinggal di sini?”Ya, karena alasan itulah Ruby pergi dari rumah. Ia memiliki keluarga yang “berkewajiban” mengadakan pesta besar-besaran setiap tiga bulan sekali. Dan terkadang, sebulan sekali. Selain itu Ruby merasakan kesepian hingga tinggal di Jakarta maupun New York terasa sama saja. Ayahnya sudah beristirahat di San Diego Hills. Kakaknya yang sudah berkeluarga tidak memiliki waktu untuknya. Dan ibunya yang berprofesi sebagai
Attar tidak keberatan jika perempuan itu mengajaknya ke neraka sekalipun, selama perempuan itu tetap bersamanya.“Apakah kamu tahu ke mana tujuan kita?”Dengan santai Ruby menggeleng. “Entahlah, aku sedang kesal. Sepertinya sebentar lagi aku akan menstruasi, dan aku harus banyak berjalan-jalan. Itu membuat stresku berkurang.”Perempuan itu terlalu terang-terangan dalam bicara. Kalau bukan Ruby yang mengatakan “menstruasi”, mungkin Attar sudah risih. Pernah sekali adiknya, Asya, mengeluh kesakitan karena menstruasi yang dialaminya. Dan apa yang dilakukan Attar saat itu? Meninggalkan adiknya sejauh mungkin.“Pantas saja kamu sangat emosional.”“Aku biasa menjadi orang pemarah," kata Ruby datar.“Tidak heran Adam meninggalkanmu.”Ruby tidak menggubrisnya dan terus berjalan, seolah kata-kata Attar barusan adalah angin lalu. Dan sikap cuek yang dilakukan perempuan itu membua
Attar tidak ingin malam ini berakhir terlalu cepat. Di depannya, berdiri seorang wanita cantik bak bidadari tengah bernyanyi dengan suara merdu. Heran, mengapa perempuan itu masih bertahan menjadi bukan Beyonce, dengan kualitas suara sebagus itu!Ia melirik gelas wine yang masih terisi penuh. Ya ampun. Suara Ruby benar-benar mengalihkan dunianya. Attar tidak bisa membayangkan seperti apa kehidupannya setelah menikah dengan perempuan itu.Perempuan cantik memang banyak, tapi tidak ada yang seperti Ruby. Cantik, pintar, dan berani. Attar menganggap kekasaran perempuan itu sebuah keberanian. Maklum, tidak ada yang pernah sekasar itu pada Attar Hardana.Dibesarkan di keluarga yang memiliki kekayaan berlimpah, dianugrahi otak yang jenius, itu sudah cukup bagi Attar. Dari SD sampai SMA ia selalu meraih ranking satu. Ketika lulus dari Stanford, ia juga mendapat predikat maxima kum laude. Untuk seseorang sesantai dirinya, itu sudah lebih dari cukup. Da
Lega Attar mendengarnya. “Aku sudah menduganya. Perempuan strong sepertimu pasti bisa mengenyahkan pria macam itu dari pikiranmu.” “Aku sadar selama ini aku dan Adam tidak saling mencintai. Ngg, maksudku, cinta itu pasti ada di antara kita, tapi cinta Adam terhadapku tidak sebesar aku mencintainya. Dan untuk apa terlarut dalam kesedihan untuk orang yang tidak mencintai kita?” “Aku pernah merasakannya, Ruby. Sakit sekali.” “Kamu pernah mencintai seseorang sedalam itu?” “Tidak sampai cinta, hanya suka saja. Sayangnya saat aku menyukainya, gadis itu telah bersama lelaki lain. Bullshit memang kedengarannya, tapi aku bahagia dia bahagia bersama lelaki itu.” “Wow, bijak sekali. Adam..” “No, Attar’s here.” “Tidak, di belakangmu.” Ruby berdiri. Ia menghampiri Adam yang baru datang di The Living Room. Pria itu masih memakai setelan kerja, dengan keletihan di wajahnya. Attar menoleh ke bel
“Mengapa tidak kembali ke Indo? Tidak ada yang kamu cari kan di sini?”Selama ini hanya Adam alasannya. Sekarang? Attar benar. Tidak ada yang ia cari di sini, selain barang-barang branded. “Itu bukan ide yang buruk. Kembali ke Indonesia, bertemu dengan Edo yang playboy, Mami yang supersabar, tidak, itu sama sekali bukan ide yang buruk.”Dalam perjalanan pulang di taksi, Attar lebih banyak diam daripada bicara dengan Ruby. Ia merenung. Bagaimana jika sebenarnya ia cemburu pada Ruby, dan tadi bukanlah hanya sekadar guyonan? Ia memang kesal pada Ruby yang masih saja menghampiri Adam, padahal pri itu sudah meninggalkan perempuan itu.Attar memperhatikan Ruby yang tengah diam, menikmati alunan musik David Foster di taksi. Pria itu menggenggam salah satu tangan Ruby.Perempuan itu menoleh, sama sekali tidak berniat menepiskan genggaman Attar.“Kamu sakit, Attar?” tanya Ruby.Yang ditanya mengge
“Ya, mereka menganggapmu tidak waras, dan menjadikanmu bahan olok-olokan. Si cantik yang gila. Tapi aku tahu itu tidak benar. Kamu bersekolah SMA terbaik di Indonesia, dan kemudian kamu masuk ke NYU. Aku tidak bisa membayangkan, betapa malunya mereka sekarang.”Ruby tertawa. “Aku baru memperoleh kewarasanku saat SMA. Aku tidak mau diolok-olok lagi seperti sebelum itu.”“Kamu tidak pernah gila, Sayang.”Mendengar itu, Ruby hampir saja tersedak, padahal ia sedang tidak memakan apapun. “Ya, tapi sedikit autis. Karena itu aku tidak mengenalmu, Attar, karena aku takut berkenalan dengan pria manapun. Sampai akhirnya aku bertemu Adam.”“Ruby, boleh tidak aku minta sesuatu padamu?”“Kalau aku bisa memenuhinya, aku akan mencoba.”“Jangan sebut nama Adam di hadapanku lagi. Aku dapat mengerti kamu ingin membahas masa lalumu dan berbagi denganku, tapi jangan sebut namanya, bis
Berapa lama? Ruby tidak yakin akan membuat keputusan secepat itu. Bagaimana bisa ia memulai kehidupannya di Jakarta, ketika masih ada yang tertinggal di kota ini. Dan di dalam lubuk hatinya, Ruby masih yakin Adam sangat mencintainya. Pria itu hanya memerlukan waktu untuk percaya pada Ruby.Ruby membiarkan Attar meninggalkan gedung apartemennya. Dia tidak ingin memanggil pria itu, tidak sekarang, dan mungkin… tidak juga nanti. Sikap Ruby yang demikian membuat Attar kesal. Seumur hidupnya tidak ada wanita yang menggantungkannya seperti ini. Siapa kiranya dia itu? Anak Bapak Presiden? Atau anggota Mensa Internasional, sebuah organisasi untuk orang-orang yang IQ-nya di atas rata-rata? Huh. Kalau bukan iming-iming warisan dari Kakek Hasyim, Attar memutuskan untuk mundur.Mundur? Hah, itu bukan dirinya. Soal matematika tingkat SMA saja sudah bisa dikerjakannya saat ia duduk di bangku kelas dua SD. Menyerah mendekati perempuan? Matahari terbit di baratpun Attar tidak s
Ruby tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan. Setelah peristiwa kecupan ganas itu, ia tidak bisa tidur. Bau wine di bibir Attar, cambang kasar Attar yang menggesek pipinya, ya ampun, tidak pernah Ruby mengalami hal itu sebelumnya.Ia tidak menolak ciuman itu. Justru ia menikmatinya. Attar pasti marah padanya karena ia masih membiarkan pria itu menunggu, setelah yang baru saja terjadi di antara mereka. Tapi di sisi lain Ruby tidak bisa membohongi dirinya. Bukan, bukan karena Adam. Meski titik terkecil di hatinya masih mengharapkan pria itu, bukan hanya itu alasannya.Ruby tidak ingin mengingatnya. Sekonyong-konyong dirinya ditampar, mobil antik mewah itu menghampiri mereka, dan mengambil orang yang sangat berarti untuknya. Ruby tidak ingin kembali ke sana lagi, tidak ingin ke Jakarta lagi.Mungkin semua orang bisa tersenyum di depannya, menyambut kepulangannya, tapi di balik itu semua Ruby tahu, mereka membencinya. Tidak, Ruby tidak akan kembali ke san