Attar tidak ingin malam ini berakhir terlalu cepat. Di depannya, berdiri seorang wanita cantik bak bidadari tengah bernyanyi dengan suara merdu. Heran, mengapa perempuan itu masih bertahan menjadi bukan Beyonce, dengan kualitas suara sebagus itu!
Ia melirik gelas wine yang masih terisi penuh. Ya ampun. Suara Ruby benar-benar mengalihkan dunianya. Attar tidak bisa membayangkan seperti apa kehidupannya setelah menikah dengan perempuan itu.
Perempuan cantik memang banyak, tapi tidak ada yang seperti Ruby. Cantik, pintar, dan berani. Attar menganggap kekasaran perempuan itu sebuah keberanian. Maklum, tidak ada yang pernah sekasar itu pada Attar Hardana.
Dibesarkan di keluarga yang memiliki kekayaan berlimpah, dianugrahi otak yang jenius, itu sudah cukup bagi Attar. Dari SD sampai SMA ia selalu meraih ranking satu. Ketika lulus dari Stanford, ia juga mendapat predikat maxima kum laude. Untuk seseorang sesantai dirinya, itu sudah lebih dari cukup. Dan sekarang… ia akan diberikan seorang istri yang sangat cantik. Bukan hanya cantik, di matanya Ruby adalah sosok yang sempurna.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bersyukur dengan apa yang diberikan Tuhan padanya.
“Kamu melamun?”
Sadar-sadar Ruby sudah duduk berhadapan dengannya. Attar tersenyum. “Kamu hanya dikontrak satu jam saja? O, please!”
“Ya, dan kurasa orang-orang di sini juga tidak terlalu menikmatinya.” Ruby memanggil pelayan dan memesan bir.
“Kamu terlalu rendah diri, Nia. Mengapa tidak mencoba international singer seperti Anggun?”
“Anggun C. Sasmi maksudmu? Hah, aku tidak memiliki kualitas seperti dirinya. Dia terlalu hebat. Dan aku tidak memiliki karakter yang khas.”
“Kamu tidak memiliki karakter yang khas?” Salah satu alis Attar terangkat. “Kasar, nakal, pemabuk, itu bukan karaktermu?”
“Maaf—kurasa?” Ruby tersenyum, bersalah. “Kasar, nakal, mungkin itu diriku. Tapi pemabuk? Aku sudah kebal dengan segala minuman keras, Attar. Ingin kubuktikan?”
Attar menyipitkan matanya. “Aku percaya kamu bersungguh-sungguh dengan ucapanmu, Nia.”
“Attar.”
“Ya, Ruby?”
“Aku ingin bertanya padamu. Ketika kita berada di Madison Avenue, aku sempat merenung. Apakah kamu sungguh-sungguh ingin menikah denganku? Kamu tidak usah menjawabnya sekarang.”
“Kamu tidak sedang melamarku, kan?”
“Hanya bertanya saja. Aku sudah melihat riwayat hidupmu di Wikipedia, dan..” Ruby menunjukkan dua jempolnya, dan mengedipkan salah satu matanya. “Kamu keren. Kamu membuat program beasiswa untuk anak-anak yatim-piatu yang berprestasi. Selain itu aku juga melihat artikel mengenai kegiatan sosialmu. Aku tidak menyangka..”
“Orang brengsek sepertiku bisa memiliki hati yang baik?” Attar melengkapi kalimat itu untuk Ruby. “Terus terang di balik kebaikanku ada alasan tertentu. Salah satunya, aku adalah pria lajang yang tidak tahu harus menghabiskan uang untuk apa selain berbagi untuk kaum yang tidak mampu. Daripada menghabiskan uang untuk membeli mobil mahal yang tak puguh, lebih baik kumanfaatkan untuk orang yang lebih membutuhkan.”
“Benarkah? Kalau kuingat, kamu yang memakai mobil Maybach pada saat ultahku yang ke tujuh belas, kan?”
Oh, kalau menyangkut barang mewah, kamu selalu tahu ya, Cantik? Attar teringat pada saat yang dimaksud Ruby. Saat itu ia berusia dua puluh satu tahun dan baru saja mendapat hadiah dari kakeknya karena berhasil lulus dari Stanford kurang dari empat tahun. Tidak heran ia memamerkan hadiah yang diperolehnya ke pesta-pesta sosialita, termasuk saat pesta ulang tahun adik Edo. Karena pada saat itulah orang-orang akan bertanya, “Kok bisa ya umur semuda dia bisa punya mobil semewah itu?” Dan yang lain akan menyahut, “Dia kan baru saja lulus dari Stanford!” Entahlah, mungkin terdengar takabur, tapi ada kepuasan tersendiri untuk Attar mendengarnya.
“Aku senang kamu masih mengingatku, di masa lalu,” sahut Attar.
“Tentu saja aku mengingatmu. Bagaimana tidak? Semua teman-temanku yang tadinya suka sama Edo jadi suka padamu, Attar. Bahkan tak kurang dari mereka mendesakku untuk mendekatkan mereka padamu. Tapi aku sih ogah. Kalau sudah cinta, nggak perlu deh pakai mak comblang segala!”
“Apakah kamu dulu juga menyukaiku?”
“Aku? Suka kamu?” Ruby menggeleng. “Saat itu hanya Adam yang aku idamkan. Maaf, sebenarnya pada malam di Delmonico’s aku sudah mengenalimu, tapi aku sedikit ragu karena Attar yang kukenal dulu beda dengan yang kulihat sekarang.”
“Sekarang aku bajingan, kan?”
Sekali lagi Ruby menggeleng. “Bukan maksudku menganggapmu bajingan. Dulu aku menganggapmu seperti Edo. Tapi sekarang…lain. Kamu berubah menjadi pria yang matang dan playboy, itulah yang kulihat sekarang. Apakah kamu sudah tahu, di F******k ada group yang namanya Attar Hardana’s Haters? Aku baru saja melihatnya dari G****e. Di sana banyak perempuan yang patah hati karena tweet mereka di Twitter tidak pernah dibalas olehmu.”
Kini giliran Attar yang tergelak. “Oh, benarkah? Hanya karena itu kamu menganggapku playboy?” Attar berdecak tak percaya. “Kalau aku memiliki lebih dari satu kekasih, bolehlah kamu menganggapku begitu, Ruby.”
Ruby mengangkat bahu, tak lama kemudian pelayan mengantarkan bir pesanannya. Ia membuka kaleng bir itu dan meneguknya perlahan. “Aku ragu kamu bisa membuatku lupa dengan Adam dalam waktu seminggu.”
“Kenapa?” tanya Attar penasaran. Ya ampun, apakah itu karena dirinya yang tidak bisa sehangat Adam, sehingga perempuan itu belum bisa melupakan pria workaholic itu?
“Kukira kamu bisa melakukannya kurang dari tujuh hari, Attar.”
Lega Attar mendengarnya. “Aku sudah menduganya. Perempuan strong sepertimu pasti bisa mengenyahkan pria macam itu dari pikiranmu.” “Aku sadar selama ini aku dan Adam tidak saling mencintai. Ngg, maksudku, cinta itu pasti ada di antara kita, tapi cinta Adam terhadapku tidak sebesar aku mencintainya. Dan untuk apa terlarut dalam kesedihan untuk orang yang tidak mencintai kita?” “Aku pernah merasakannya, Ruby. Sakit sekali.” “Kamu pernah mencintai seseorang sedalam itu?” “Tidak sampai cinta, hanya suka saja. Sayangnya saat aku menyukainya, gadis itu telah bersama lelaki lain. Bullshit memang kedengarannya, tapi aku bahagia dia bahagia bersama lelaki itu.” “Wow, bijak sekali. Adam..” “No, Attar’s here.” “Tidak, di belakangmu.” Ruby berdiri. Ia menghampiri Adam yang baru datang di The Living Room. Pria itu masih memakai setelan kerja, dengan keletihan di wajahnya. Attar menoleh ke bel
“Mengapa tidak kembali ke Indo? Tidak ada yang kamu cari kan di sini?”Selama ini hanya Adam alasannya. Sekarang? Attar benar. Tidak ada yang ia cari di sini, selain barang-barang branded. “Itu bukan ide yang buruk. Kembali ke Indonesia, bertemu dengan Edo yang playboy, Mami yang supersabar, tidak, itu sama sekali bukan ide yang buruk.”Dalam perjalanan pulang di taksi, Attar lebih banyak diam daripada bicara dengan Ruby. Ia merenung. Bagaimana jika sebenarnya ia cemburu pada Ruby, dan tadi bukanlah hanya sekadar guyonan? Ia memang kesal pada Ruby yang masih saja menghampiri Adam, padahal pri itu sudah meninggalkan perempuan itu.Attar memperhatikan Ruby yang tengah diam, menikmati alunan musik David Foster di taksi. Pria itu menggenggam salah satu tangan Ruby.Perempuan itu menoleh, sama sekali tidak berniat menepiskan genggaman Attar.“Kamu sakit, Attar?” tanya Ruby.Yang ditanya mengge
“Ya, mereka menganggapmu tidak waras, dan menjadikanmu bahan olok-olokan. Si cantik yang gila. Tapi aku tahu itu tidak benar. Kamu bersekolah SMA terbaik di Indonesia, dan kemudian kamu masuk ke NYU. Aku tidak bisa membayangkan, betapa malunya mereka sekarang.”Ruby tertawa. “Aku baru memperoleh kewarasanku saat SMA. Aku tidak mau diolok-olok lagi seperti sebelum itu.”“Kamu tidak pernah gila, Sayang.”Mendengar itu, Ruby hampir saja tersedak, padahal ia sedang tidak memakan apapun. “Ya, tapi sedikit autis. Karena itu aku tidak mengenalmu, Attar, karena aku takut berkenalan dengan pria manapun. Sampai akhirnya aku bertemu Adam.”“Ruby, boleh tidak aku minta sesuatu padamu?”“Kalau aku bisa memenuhinya, aku akan mencoba.”“Jangan sebut nama Adam di hadapanku lagi. Aku dapat mengerti kamu ingin membahas masa lalumu dan berbagi denganku, tapi jangan sebut namanya, bis
Berapa lama? Ruby tidak yakin akan membuat keputusan secepat itu. Bagaimana bisa ia memulai kehidupannya di Jakarta, ketika masih ada yang tertinggal di kota ini. Dan di dalam lubuk hatinya, Ruby masih yakin Adam sangat mencintainya. Pria itu hanya memerlukan waktu untuk percaya pada Ruby.Ruby membiarkan Attar meninggalkan gedung apartemennya. Dia tidak ingin memanggil pria itu, tidak sekarang, dan mungkin… tidak juga nanti. Sikap Ruby yang demikian membuat Attar kesal. Seumur hidupnya tidak ada wanita yang menggantungkannya seperti ini. Siapa kiranya dia itu? Anak Bapak Presiden? Atau anggota Mensa Internasional, sebuah organisasi untuk orang-orang yang IQ-nya di atas rata-rata? Huh. Kalau bukan iming-iming warisan dari Kakek Hasyim, Attar memutuskan untuk mundur.Mundur? Hah, itu bukan dirinya. Soal matematika tingkat SMA saja sudah bisa dikerjakannya saat ia duduk di bangku kelas dua SD. Menyerah mendekati perempuan? Matahari terbit di baratpun Attar tidak s
Ruby tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan. Setelah peristiwa kecupan ganas itu, ia tidak bisa tidur. Bau wine di bibir Attar, cambang kasar Attar yang menggesek pipinya, ya ampun, tidak pernah Ruby mengalami hal itu sebelumnya.Ia tidak menolak ciuman itu. Justru ia menikmatinya. Attar pasti marah padanya karena ia masih membiarkan pria itu menunggu, setelah yang baru saja terjadi di antara mereka. Tapi di sisi lain Ruby tidak bisa membohongi dirinya. Bukan, bukan karena Adam. Meski titik terkecil di hatinya masih mengharapkan pria itu, bukan hanya itu alasannya.Ruby tidak ingin mengingatnya. Sekonyong-konyong dirinya ditampar, mobil antik mewah itu menghampiri mereka, dan mengambil orang yang sangat berarti untuknya. Ruby tidak ingin kembali ke sana lagi, tidak ingin ke Jakarta lagi.Mungkin semua orang bisa tersenyum di depannya, menyambut kepulangannya, tapi di balik itu semua Ruby tahu, mereka membencinya. Tidak, Ruby tidak akan kembali ke san
Dari mana aku harus memulai. Ruby mulai merasakan keringat yang bergelenyar di tangannya yang kini di dalam tangan Attar. Bismillah….. “Tentang kematian ayahku. Apakah kamu tahu kronologinya?”Attar merasa sedakan kecil di tenggorokannya meski tak ada sesuatu yang ditelannya. Yah… Ruby tahu, sebentar lagi Attar akan melepaskan genggamannya. Pria itu tidak bodoh. Sama sekali tidak, dan Ruby kesal dengan kepintarannya. Attar pasti akan meninggalkannya.Tapi, tidak. Attar tidak melepaskan tangannya. “Maafkan aku, aku hanya mencoba untuk mengingat peristiwa itu. Ketika Oom Armand meninggal… Oh, geez, ia meninggal karena tertabrak mobil antiknya sendiri, kan?”Itu sama sekali tidak benar. Mengapa di antara segelintir orang, hanya Attar yang bisa berpikir seperti itu? Kenyataannya, almarhum Papi memarahinya di garasi karena Ruby telah mengemudi tanpa seizinnya, dan yang paling parah, Ruby lupa mematikan re
“What?”“Ada banyak hal yang harus kamu ketahui sebelum kamu memutuskan ke Jakarta. Tolong yang satu ini…” Telunjuk Adam menekan dada kirinya. “Percayalah padaku, hanya kali ini saja. Datanglah malam ini ke apartemenku.”Untuk sesaat Ruby hanya bisa menatap kedua mata yang pernah dikasihinya, berusaha meyakinkan dirinya, apapun yang akan dikatakan Adam tidak akan mempengaruhi tekadnya untuk menikah dengan Attar.Dan ia gagal meyakinkan dirinya.***“Keluargaku tidak pernah ingin diaku sebagai keluarga Hardana. Sebelum menikah dengan ibuku yang tak lain adik dari ayah Attar, ayahku adalah korban dari perusahaan asuransi keluarga itu. Perusahaan Hardana Life and Health telah menipu finansial pribadi ayahku, hingga ia tak bisa menanggung biaya penyakit kanker paru-parunya, Ruby, dan sekarang kamu tahu di mana ayahku, kan… Di sebuah pemakaman di Bandung.
Tapi toh selama ini Adam tidak pernah berdusta padanya. Ya, pria itu memang pernah menyakiti hatinya, tetapi tidak pernah berdusta. Sekalipun. Ruby bisa memastikan itu setelah delapan tahun bersama.Terlalu lama dalam lamunan, ia tak sadar wajah Adam terlalu dekat dengan wajahnya. Ia dapat merasakan napas yang menyapu poni kecilnya. “You’re confused, Darling. Pulanglah, pikirkanlah.”Adam bangkit dari duduknya dan meraih coat-nya dari gantungan dekat pintu depan. “I’ll take you home,” katanya pada Ruby.Malam itu mereka tidak langsung pulang. Entah siapa yang merujuk ke Franklin Bar duluan, mereka sudah duduk di bar, dengan wine di tangan masing-masing, gigi putih yang dipamerkan, mata yang menyipit, dan gelak tawa yang menyertai mereka. Teringat pada masa-masa lalu mereka.Ada kalanya Adam tertidur ketika mereka menonton film romantis yang penuh dengan air mata, dan ia mengelak fakta