Attar tidak keberatan jika perempuan itu mengajaknya ke neraka sekalipun, selama perempuan itu tetap bersamanya.
“Apakah kamu tahu ke mana tujuan kita?”
Dengan santai Ruby menggeleng. “Entahlah, aku sedang kesal. Sepertinya sebentar lagi aku akan menstruasi, dan aku harus banyak berjalan-jalan. Itu membuat stresku berkurang.”
Perempuan itu terlalu terang-terangan dalam bicara. Kalau bukan Ruby yang mengatakan “menstruasi”, mungkin Attar sudah risih. Pernah sekali adiknya, Asya, mengeluh kesakitan karena menstruasi yang dialaminya. Dan apa yang dilakukan Attar saat itu? Meninggalkan adiknya sejauh mungkin.
“Pantas saja kamu sangat emosional.”
“Aku biasa menjadi orang pemarah," kata Ruby datar.
“Tidak heran Adam meninggalkanmu.”
Ruby tidak menggubrisnya dan terus berjalan, seolah kata-kata Attar barusan adalah angin lalu. Dan sikap cuek yang dilakukan perempuan itu membuat Attar merasa bersalah. Bodoh sekali dirinya. Mengapa ia bisa mengatakan hal yang sangat sensitif pada perempuan itu?
“Maaf.”
“Untuk apa?” tanya Ruby. “Kamu memang benar.”
“Bodoh sekali dia,” desis Attar.
Ruby berhenti berjalan, menatap pria itu dengan tidak percaya. “Maksudmu?”
“Tidak. Ingin kubawakan belanjaanmu?” Tanpa jawaban perempuan itu Attar meraih semua plastik belanjaan yang berada di lengan Ruby.
“Well, aku baru tahu kamu suka mengalihkan pembicaraan.” Mereka melanjutkan perjalanan mereka.
“Tidak, aku tidak suka melakukannya. Hanya saja, kamu tidak sadar, ya? Adam itu tipe pria yang bodoh. Ia menolak anugrah yang diberikan Tuhan padanya, yaitu dirimu, Nia. Dia memilih pekerjaannya daripada seorang perempuan yang sangat mencintainya. Apakah itu tidak terdengar bodoh?”
“Untuk orang yang workaholic, mungkin saja tidak.”
“Lelaki juga memiliki hati, Nia. Aku yakin, kurang dari setahun ini ia akan menghubungimu karena ia hampir mati kesepian. Dan aku jamin, pada saat itu kamu tidak membutuhkan dirinya lagi.”
“Karena kita akan menikah?”
“Tidak, Sayangku, tapi karena kamu sudah tidak mencintainya lagi. Percayalah padaku, pria seperti Adam sangat mudah untuk dilupakan.”
“Aku harap begitu.”
“Jadi, di mana kita sekarang?”
“Di Rector St, kurasa.”
Di mana hubungan kita? Kalau bukan demi kakeknya serta warisannya yang menggiurkan, terus terang Attar ingin menyerah. Ia sama sekali tidak memiliki perasaan apapun terhadap Rubinia. Yang ada hanya perasaan tertantang. Tertantang untuk mendapatkan perempuan keras kepala itu.
Langkah mereka berhenti di Broadway. Attar mengerutkan dahinya, menatap bingung pada Ruby.
“Maafkan aku, tidak seharusnya aku mengajakmu ke sini.”
“Memangnya, kita berada di mana?” tanya Attar.
“Itu adalah kantor Adam.” Ruby menunjuk salah satu gedung. “Aku biasa ke sana setiap hari, dan aku tidak bisa melakukan itu lagi. Aku hanya bisa melakukannya setiap akhir pekan, ketika ia libur.”
“Kenapa kamu tidak telepon dia? Barangkali dia sedang di kantornya. Katamu dia workaholic, kan?”
“Lalu dia akan marah karena aku mengganggu jam kerjanya. Terima kasih atas sarannya.”
Ruby kembali berjalan, entah ke mana. “Oh, please!” geram Attar di belakangnya. “Don’t tell me you are such a coward person. Kamu tidak ingin dilepeh, begitu maksudmu, kan?”
Yang mendengar menoleh dengan pupil mata yang lebar. “Aku bukanlah orang yang penakut, asshole.” Kemudian perempuan itu meraih ponselnya dari tas Gucci-nya.
Asshole? Kasar sekali perempuan ini. Ah, bukankah Attar yang cari mati, lantaran membuat perempuan itu kesal di saat haidnya akan datang? Tapi tetap saja. Tidak ada yang pernah memanggilnya dengan sebutan sekasar itu. Dan Attar memastikan, hanya perempuan inilah yang pertama dan terakhir yang memanggilnya dengan sebutan asshole.
Huh. Percuma juga kesal. Attar tidak bisa menyalahkan orang yang sedang patah hati, terlebih lagi ia ingin memanfaatkan Ruby sebagai sarana mendapatkan warisan kakeknya.
Perempuan itu tengah mendengar sesuatu dari ponselnya. Attar dapat menebak, mantan kekasih perempuan itu pasti enggan mengangkat teleponnya. Mungkin juga pria itu lega berpisah dengan perempuan yang memiliki hati batu itu.
Klik. Ruby menutup sambungan.
“So…..?” tanya Attar penasaran.
Ruby mengangkat bahu. Jawaban perempuan itu sesuai dugaan Attar. “Dia nggak ingin bicara padaku, sepertinya.”
O, kasihan sekali nasib si cantik ini. Mungkin aku bisa membantunya untuk kembali dengan pria pujaanmu, Sayang, pikir Attar sinis. Tapi buat apa? Tidak ada keuntungannya untukku, kan?
Lagipula sayang kalau Ruby harus kembali pada pria bajingan itu (hah, memangnya dia bukan bajingan?). Meski luarnya terlihat kasar dan sombong, Attar tahu, di balik semua itu ada kesakitan yang tak terperi, yang hanya Ruby merasakannya.
Sedih karena diputusi setelah bertahun-tahun pacaran? Bah! Anak kecil sekali. Tanyalah pada Attar, sudah berapa kali ia mematahan hati wanita, dan tidak ada yang dendam padanya (setidaknya, itulah yang ia tahu), dan Attar tidak pernah sedih setelah berpisah dengan siapapun.
Ruby tidak seharusnya patah hati karena pria yang tidak memiliki hati itu. Atau, Attar-lah yang tidak memiliki hati? Karena ia sama sekali tidak merasakan kesedihan Ruby, atau perempuan itu tidak merasa sedih?
“Dia mungkin sibuk dengan pekerjaannya,” hibur Attar.
“Bahkan untuk mengangkat telepon saja?” Ruby menggeleng. “Sebaiknya kuantarkan kamu pulang.”
Mengantarku pulang? Kamu kira aku pria apaan? “Tidak usah, justru seharusnya aku yang mengantarmu pulang.”
Tanpa menunggu jawaban perempuan itu, Attar menarik tangan Ruby dan mengajaknya berjalan-jalan mengitari kota New York.
Attar tidak ingin malam ini berakhir terlalu cepat. Di depannya, berdiri seorang wanita cantik bak bidadari tengah bernyanyi dengan suara merdu. Heran, mengapa perempuan itu masih bertahan menjadi bukan Beyonce, dengan kualitas suara sebagus itu!Ia melirik gelas wine yang masih terisi penuh. Ya ampun. Suara Ruby benar-benar mengalihkan dunianya. Attar tidak bisa membayangkan seperti apa kehidupannya setelah menikah dengan perempuan itu.Perempuan cantik memang banyak, tapi tidak ada yang seperti Ruby. Cantik, pintar, dan berani. Attar menganggap kekasaran perempuan itu sebuah keberanian. Maklum, tidak ada yang pernah sekasar itu pada Attar Hardana.Dibesarkan di keluarga yang memiliki kekayaan berlimpah, dianugrahi otak yang jenius, itu sudah cukup bagi Attar. Dari SD sampai SMA ia selalu meraih ranking satu. Ketika lulus dari Stanford, ia juga mendapat predikat maxima kum laude. Untuk seseorang sesantai dirinya, itu sudah lebih dari cukup. Da
Lega Attar mendengarnya. “Aku sudah menduganya. Perempuan strong sepertimu pasti bisa mengenyahkan pria macam itu dari pikiranmu.” “Aku sadar selama ini aku dan Adam tidak saling mencintai. Ngg, maksudku, cinta itu pasti ada di antara kita, tapi cinta Adam terhadapku tidak sebesar aku mencintainya. Dan untuk apa terlarut dalam kesedihan untuk orang yang tidak mencintai kita?” “Aku pernah merasakannya, Ruby. Sakit sekali.” “Kamu pernah mencintai seseorang sedalam itu?” “Tidak sampai cinta, hanya suka saja. Sayangnya saat aku menyukainya, gadis itu telah bersama lelaki lain. Bullshit memang kedengarannya, tapi aku bahagia dia bahagia bersama lelaki itu.” “Wow, bijak sekali. Adam..” “No, Attar’s here.” “Tidak, di belakangmu.” Ruby berdiri. Ia menghampiri Adam yang baru datang di The Living Room. Pria itu masih memakai setelan kerja, dengan keletihan di wajahnya. Attar menoleh ke bel
“Mengapa tidak kembali ke Indo? Tidak ada yang kamu cari kan di sini?”Selama ini hanya Adam alasannya. Sekarang? Attar benar. Tidak ada yang ia cari di sini, selain barang-barang branded. “Itu bukan ide yang buruk. Kembali ke Indonesia, bertemu dengan Edo yang playboy, Mami yang supersabar, tidak, itu sama sekali bukan ide yang buruk.”Dalam perjalanan pulang di taksi, Attar lebih banyak diam daripada bicara dengan Ruby. Ia merenung. Bagaimana jika sebenarnya ia cemburu pada Ruby, dan tadi bukanlah hanya sekadar guyonan? Ia memang kesal pada Ruby yang masih saja menghampiri Adam, padahal pri itu sudah meninggalkan perempuan itu.Attar memperhatikan Ruby yang tengah diam, menikmati alunan musik David Foster di taksi. Pria itu menggenggam salah satu tangan Ruby.Perempuan itu menoleh, sama sekali tidak berniat menepiskan genggaman Attar.“Kamu sakit, Attar?” tanya Ruby.Yang ditanya mengge
“Ya, mereka menganggapmu tidak waras, dan menjadikanmu bahan olok-olokan. Si cantik yang gila. Tapi aku tahu itu tidak benar. Kamu bersekolah SMA terbaik di Indonesia, dan kemudian kamu masuk ke NYU. Aku tidak bisa membayangkan, betapa malunya mereka sekarang.”Ruby tertawa. “Aku baru memperoleh kewarasanku saat SMA. Aku tidak mau diolok-olok lagi seperti sebelum itu.”“Kamu tidak pernah gila, Sayang.”Mendengar itu, Ruby hampir saja tersedak, padahal ia sedang tidak memakan apapun. “Ya, tapi sedikit autis. Karena itu aku tidak mengenalmu, Attar, karena aku takut berkenalan dengan pria manapun. Sampai akhirnya aku bertemu Adam.”“Ruby, boleh tidak aku minta sesuatu padamu?”“Kalau aku bisa memenuhinya, aku akan mencoba.”“Jangan sebut nama Adam di hadapanku lagi. Aku dapat mengerti kamu ingin membahas masa lalumu dan berbagi denganku, tapi jangan sebut namanya, bis
Berapa lama? Ruby tidak yakin akan membuat keputusan secepat itu. Bagaimana bisa ia memulai kehidupannya di Jakarta, ketika masih ada yang tertinggal di kota ini. Dan di dalam lubuk hatinya, Ruby masih yakin Adam sangat mencintainya. Pria itu hanya memerlukan waktu untuk percaya pada Ruby.Ruby membiarkan Attar meninggalkan gedung apartemennya. Dia tidak ingin memanggil pria itu, tidak sekarang, dan mungkin… tidak juga nanti. Sikap Ruby yang demikian membuat Attar kesal. Seumur hidupnya tidak ada wanita yang menggantungkannya seperti ini. Siapa kiranya dia itu? Anak Bapak Presiden? Atau anggota Mensa Internasional, sebuah organisasi untuk orang-orang yang IQ-nya di atas rata-rata? Huh. Kalau bukan iming-iming warisan dari Kakek Hasyim, Attar memutuskan untuk mundur.Mundur? Hah, itu bukan dirinya. Soal matematika tingkat SMA saja sudah bisa dikerjakannya saat ia duduk di bangku kelas dua SD. Menyerah mendekati perempuan? Matahari terbit di baratpun Attar tidak s
Ruby tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan. Setelah peristiwa kecupan ganas itu, ia tidak bisa tidur. Bau wine di bibir Attar, cambang kasar Attar yang menggesek pipinya, ya ampun, tidak pernah Ruby mengalami hal itu sebelumnya.Ia tidak menolak ciuman itu. Justru ia menikmatinya. Attar pasti marah padanya karena ia masih membiarkan pria itu menunggu, setelah yang baru saja terjadi di antara mereka. Tapi di sisi lain Ruby tidak bisa membohongi dirinya. Bukan, bukan karena Adam. Meski titik terkecil di hatinya masih mengharapkan pria itu, bukan hanya itu alasannya.Ruby tidak ingin mengingatnya. Sekonyong-konyong dirinya ditampar, mobil antik mewah itu menghampiri mereka, dan mengambil orang yang sangat berarti untuknya. Ruby tidak ingin kembali ke sana lagi, tidak ingin ke Jakarta lagi.Mungkin semua orang bisa tersenyum di depannya, menyambut kepulangannya, tapi di balik itu semua Ruby tahu, mereka membencinya. Tidak, Ruby tidak akan kembali ke san
Dari mana aku harus memulai. Ruby mulai merasakan keringat yang bergelenyar di tangannya yang kini di dalam tangan Attar. Bismillah….. “Tentang kematian ayahku. Apakah kamu tahu kronologinya?”Attar merasa sedakan kecil di tenggorokannya meski tak ada sesuatu yang ditelannya. Yah… Ruby tahu, sebentar lagi Attar akan melepaskan genggamannya. Pria itu tidak bodoh. Sama sekali tidak, dan Ruby kesal dengan kepintarannya. Attar pasti akan meninggalkannya.Tapi, tidak. Attar tidak melepaskan tangannya. “Maafkan aku, aku hanya mencoba untuk mengingat peristiwa itu. Ketika Oom Armand meninggal… Oh, geez, ia meninggal karena tertabrak mobil antiknya sendiri, kan?”Itu sama sekali tidak benar. Mengapa di antara segelintir orang, hanya Attar yang bisa berpikir seperti itu? Kenyataannya, almarhum Papi memarahinya di garasi karena Ruby telah mengemudi tanpa seizinnya, dan yang paling parah, Ruby lupa mematikan re
“What?”“Ada banyak hal yang harus kamu ketahui sebelum kamu memutuskan ke Jakarta. Tolong yang satu ini…” Telunjuk Adam menekan dada kirinya. “Percayalah padaku, hanya kali ini saja. Datanglah malam ini ke apartemenku.”Untuk sesaat Ruby hanya bisa menatap kedua mata yang pernah dikasihinya, berusaha meyakinkan dirinya, apapun yang akan dikatakan Adam tidak akan mempengaruhi tekadnya untuk menikah dengan Attar.Dan ia gagal meyakinkan dirinya.***“Keluargaku tidak pernah ingin diaku sebagai keluarga Hardana. Sebelum menikah dengan ibuku yang tak lain adik dari ayah Attar, ayahku adalah korban dari perusahaan asuransi keluarga itu. Perusahaan Hardana Life and Health telah menipu finansial pribadi ayahku, hingga ia tak bisa menanggung biaya penyakit kanker paru-parunya, Ruby, dan sekarang kamu tahu di mana ayahku, kan… Di sebuah pemakaman di Bandung.