“What?”
“Ada banyak hal yang harus kamu ketahui sebelum kamu memutuskan ke Jakarta. Tolong yang satu ini…” Telunjuk Adam menekan dada kirinya. “Percayalah padaku, hanya kali ini saja. Datanglah malam ini ke apartemenku.”
Untuk sesaat Ruby hanya bisa menatap kedua mata yang pernah dikasihinya, berusaha meyakinkan dirinya, apapun yang akan dikatakan Adam tidak akan mempengaruhi tekadnya untuk menikah dengan Attar.
Dan ia gagal meyakinkan dirinya.
***
“Keluargaku tidak pernah ingin diaku sebagai keluarga Hardana. Sebelum menikah dengan ibuku yang tak lain adik dari ayah Attar, ayahku adalah korban dari perusahaan asuransi keluarga itu. Perusahaan Hardana Life and Health telah menipu finansial pribadi ayahku, hingga ia tak bisa menanggung biaya penyakit kanker paru-parunya, Ruby, dan sekarang kamu tahu di mana ayahku, kan… Di sebuah pemakaman di Bandung.
Tapi toh selama ini Adam tidak pernah berdusta padanya. Ya, pria itu memang pernah menyakiti hatinya, tetapi tidak pernah berdusta. Sekalipun. Ruby bisa memastikan itu setelah delapan tahun bersama.Terlalu lama dalam lamunan, ia tak sadar wajah Adam terlalu dekat dengan wajahnya. Ia dapat merasakan napas yang menyapu poni kecilnya. “You’re confused, Darling. Pulanglah, pikirkanlah.”Adam bangkit dari duduknya dan meraih coat-nya dari gantungan dekat pintu depan. “I’ll take you home,” katanya pada Ruby.Malam itu mereka tidak langsung pulang. Entah siapa yang merujuk ke Franklin Bar duluan, mereka sudah duduk di bar, dengan wine di tangan masing-masing, gigi putih yang dipamerkan, mata yang menyipit, dan gelak tawa yang menyertai mereka. Teringat pada masa-masa lalu mereka.Ada kalanya Adam tertidur ketika mereka menonton film romantis yang penuh dengan air mata, dan ia mengelak fakta
I don’t like the taste of love, I just like the effect I get from it. Ruby menulis kalimat itu di buku kecilnya, ketika Attar sedang membelikannya kopi. Itu hanya dalih Ruby saja, agar tak berlama-lama dengan pria itu.Attar tidak bodoh, Ruby selalu mengingatkan dirinya dengan kata-kata itu. Attar pasti curiga mengapa Ruby terlihat pucat pagi ini dan mengapa pesan singkatnya tak dibalas. Ruby menghabiskan malamnya dengan mengepak barangnya, menulis di buku kecilnya, dan membaca artikel tentang sepak terjang keluarga Hardana di internet. Semuanya. Dari Hasyim Hardana yang mendapat penghargaan karena pandai berdagang, penerus generasi yang diduga akan menghancurkan perusahaan-perusahaan yang telah dibangun (baca: Attar Hardana), dugaan beberapa perusahaan Hardana yang terkait dengan kasus pajak, sampai akhirnya Ruby membaca mengenai Anna Hardana, anak kedua Hasyim Hardana yang tak lain ibu Adam, yang tidak tetarik dengan dunia bisnis ayahnya.Tidak dijelas
“Keponakanku, anak dari adikku. Usianya baru empat tahun. Kalau aku tidak bermain dengannya, ia akan menangis, karena tak ada satupun anggota keluargaku yang mau menemaninya bermain.”“Itu permainan yang menyenangkan. Tapi sejak aku pindah ke New York, aku lebih suka main The Sims, kamu tahu permainan itu?”“Ya, permainan tentang kehidupan rumah tangga. Kenapa? Apakah Adam tidak suka menemanimu bermain Barbie lagi?”Ruby terdiam. Ia teringat pertemuannya semalam dengan Adam. Mengingat itu, ia merasa berdosa. Apakah itu sudah bisa disebut selingkuh? Mungkin. Karena sebelum Ruby masuk ke apartemennya, mereka sempat berciuman, sebentar, bahkan kurang dari dua detik.“Maaf,” kata Attar menyesal. “Sebaiknya kita ke pesawat sekarang, Ruby. Jakarta telah menanti kita.”Pernikahan itu juga telah menanti kita. Ruby menghela napas panjang dan menarik kopornya.***Ruby merindukan kamar
Perjodohan yang tak ia inginkan? Ia sangat menginginkan pernikahan, dan menurutnya Attar sudah masuk ke dalam kriteria yang ia inginkan. Dia tampan, memiliki pekerjaan yang mapan, dan suka anak-anak.Setelah bosan bermain rumah-rumahan, Luna dan Tasia menghambur ke ruang keluarga menemui Attar. Ruby memperhatikan Attar yang mengajak mereka bermain tebak-tebakan. Tampaknya mereka sangat bahagia ketika Attar bertanya, “Hewan apa yang paling aneh?” Dan jawaban mereka, “Rusa!”, “Kucing!”, disertai gelak tawa Attar. Dengan lembut pria itu menjawab, “Kupu-kupu, karena siang makan nasi kalau malam minum susu.”, kemudian sejuta protes dari kedua anak itu terdengar di sekeliling ruang keluarga.Sementara di sudut ruangan itu, kakeknya serta kakek Attar sedang berdiskusi dengan event organizer pernikahannya yang tak lain adalah istri Edo, Mbak Shera. Oh, ya, bagaimana bisa, pikir Ruby. Attar dan aku ada di dalam ruan
Adam hendak bicara lagi, namun cepat-cepat Ruby mengklik tombol end di teleponnya. Masa bodoh amat dengan masa depan pernikahannya. Dan setiap Ruby pura-pura tidak peduli, ia membayangkan kenangannya bersama Adam. Betapa bebasnya ia dulu bersama pria itu.Dan sekarang…. Dia akan menikah. Kebebasannya terenggut. Hidupnya harus diabdikan pada pria tampan yang memiliki sejuta rahasia. Setelah sekian hari dekat dengan Attar, ia belum bisa membaca pikiran pria itu. Entah pria itu sengaja menyembunyikan sesuatu, atau memang tak terbaca. Yang jelas, Ruby ingin sekali menguak siapa Attar Hardana yang sebenarnya.Sentuhan di bagian belakang lengannya mengagetkannya. Ia segera membalikkan tubuhnya. “Attar.”“Telepon dari siapa sih?” sahut Attar menampilkan wajah polos. “Kamu pergi lama sekali.”“Dari teman lama. Sudah sampai mana?”“Teman lama?” Salah satu alis Attar terangkat. &ldqu
“Three..two…one.. shot!”Dan sore itu Ruby hampir tidak mengingat apa yang terjadi padanya. Ia, dengan kebaya putih panjang, bersanding dengan Attar di beberapa tempat di rumahnya yang besar dan mewah itu.Rumahnya yang berkonsep mediterenian ini memiliki tiga lantai, bercat cokelat, dan kebun yang sangat luas. Dan yang paling khas, adalah bau yasmin yang berada di rumah itu. Ah, Ruby tidak bisa membayangkan, akankah dia sering kemari setelah menikah? Ya, meskipun Ruby tidak menyukai rumah ini sepenuhnya, karena tragedi yang terjadi pada ayahnya, tetap saja ini akan menjadi rumah idaman baginya.Ruby dapat merasakan bau maskulin yang ada di tubuh Attar ketika pria itu memeluknya saat pemotretan terakhir di kebun. Ya ampun, untuk pertama kalinya ia mengalami sesak napas, ketika berdekatan dengan pria itu.Sepertinya Attar dapat merasakan ketegangan yang menyerangnya saat itu. Attar meregangkan pelukannya, dan membisikinya, &ldqu
Ruby tidak tahu harus mengatakan apa. Haruskah dia mengatakan, “Terima kasih, telah jujur padaku.” Atau, “Mengapa baru sekarang kamu mengakuinya?”. Ah, sepertinya Attar sama sekali tidak berdusta. Pria itu hanya malu mengatakan yang sebenarnya, yang menunjukkan pria itu tipikal pria matre. Padahal Ruby yakin, sepuluh sampai dua puluh tahun lagi, dengan kemampuan pria itu, Attar sudah bisa meraih semua tawaran kakeknya dengan keringat pria itu sendiri.Pria itu memang mengingikannya. Tetapi bagaimana dengan yang terjadi di masa lalu? Ketika keluarga besar Hardana menipu keluarga Adam? Yang kini di depannya adalah Attar, pria mapan lulusan Stanford dan kini sudah menjadi direktur perusahaan properti. Semua keberhasilan itu berasal dari uang asuransi orang lain, berdasarkan informasi yang ia dapatkan dari Adam.Untuk yang ini, Ruby tidak bisa bertanya pada Attar, karena mungkin Attar tidak mengetahuinya. Ruby mungkin bukan orang yang baik, tetapi i
“Bagaimana kalau seandainya ia menunggu waktu yang tepat untuk menjadi sukses, barulah ia melamarku?”“Seorang laki-laki bisa menunggu?” Kakek tergelak. Kebetulan saat itu datanglah Attar, duduk di sebelah Ruby. “Bagaimana menurutmu, Attar, ketika pria menunggu untuk menikah? Bukankah pria lebih banyak ingin menikah untuk menghindari zina?”Attar hanya tersenyum simpul. “Zina bukan alasan lelaki untuk menikah, Kek. Pria bisa saja melakukannya tanpa pernikahan. Itu tergantung pada hati. Kalau hati belum sreg, ya tidak akan ada pernikahan.”Tak lama kemudian ibu Ruby datang membawakan sebotol wine yang langsung diprotes oleh Gunawan. “Tari, sudah kubilang, hanya usia kita saja yang bisa minum wine. Tidak baik untuk calon suami-istri ini.”“Saya menemukannya di teras belakang,” jawab ibu Ruby sambil duduk di seberang Ruby. “Paling-paling dari Edo. Dia kan selalu m