Ruby enggan tinggal di New York. Satu-satunya alasan mengapa ia di sana ia ingin mewujudkan impiannya. Sekarang, Adam telah pergi. Apa yang bisa ia lakukan di sini selain menghabiskan uang keluarganya?
Ia bisa pindah dari apartemennya yang berada di Brooklyn ke sebuah penthouse di Manhattan. Lalu menghabiskan uangnya dengan belanja pakaian, sepatu, dan keperluan wanita lainnya, tanpa merasa tidak enak hati karena Adam sudah tidak bersamanya lagi.
Ah, Adam.
Aneh sekali. Ruby memang merasa sedih, tetapi hanya sekadar itu. Ia tahu dirinya seharusnya sedih. Namun di sisi lain, ia merasa dirinya bebas. Ia bisa bebas berbelanja dan melakukan hal-hal yang menyenangkan.
Seperti siang ini. Ia menghabiskan waktunya di Manhattan Mall. Membeli beberapa pakaian dalam di Victoria’s Secret dan membeli beberapa sepatu di Nine West. Hari ini adalah surganya.
Di tengah-tengah ia mencari sepatu untuknya, ponselnya berbunyi. Telepon dari nomor tak dikenal. “Good afternoon, Beautiful Being.”
Tidak perlu waktu lama untuk mengenali suara itu. “How did you get my number?”
Pertanyaan bodoh. Pria itu bisa dengan gampang bertanya pada salah satu anggota keluarganya. Namun jawaban pria itu membuatnya terbelalak. “Dari pria yang kini menjadi mantan kekasihmu.”
“You.. what?!”
“Ya, pria bernama Adam yang memberitahuku. Can we meet up? Where are you now?”
“Keberatan jika kamu jelaskan bagaimana Adam memberikan nomor teleponku?”
“Meet me at the Central Park then. Now.”
Klik. Pria itu memutus sambungan begitu saja, tanpa peduli dengan jawaban Ruby. Huh. Dalam hati Ruby mengeluh sendiri, tidak adakah satupun pria yang bisa menghargainya? Atau ia memang bukan tipe perempuan yang pantas untuk dihargai?
Terus terang Ruby enggan menemui pria itu. Pria yang sama sekali tidak dikenalnya. Namun entah mengapa, Ruby ingin sekali membahas pernikahannya dengan pria itu. Setelah semalaman menangisi Adam, ia berpikir untuk menikah saja dengan pria yang tidak dikenalnya.
Terdengar gila memang. Kegilaan sendiri sudah menjadi bagian hidup Ruby. Dibesarkan di keluarga yang tidak diragukan lagi kekayaannya, memiliki ayah yang layaknya Don Juan meski sudah lama meninggal, serta kakak yang memiliki sifat seperti ayahnya.
Dan sekarang… keluarganya menjodohkannya dengan pria yang luar biasa tampan. Ya, sebenarnya, fisik bukanlah kriteria yang dicari Ruby. Entahlah. Ada sesuatu di dalam diri Attar, yang belum bisa dideskripsikan olehnya.
Attar adalah tipe pria yang diidamkannya tanpa sadar. Pria itu memiliki garis wajah yang tegas, dan di lain sisi, Ruby bisa melihat sifat humoris dalam diri pria itu.
Hah, mikir apa aku ini, desahnya. Kamu baru bertemu dengannya sekali, Ruby. Jangan bodoh. Pria yang telah bersamamu untuk waktu yang lama saja bsia meninggalkanmu!
Untuk alasan yang ia sendiri tidak tahu, Ruby melangkahkan kakinya untuk menemui Attar di taman.
***
Attar menatap pesan singkat dari kakak Ruby. Meskipun Edo pernah membatalkan pernikahannya dengan sepupunya, hubungannya dengan dirinya dan kakak Ruby yang sempat dekat itu tidak terputus. Bahkan, dengan adanya perjodohan itu, hubungan keduanya semakin dekat.
Kini Attar berdiri di tengah keramaian Central Park, sebuah taman yang berada di Manhattan, dengan dua gelas cappuccino yang ia beli di Stumpton Coffee Roasters/
Selama menunggu Ruby, ia tertawa sendiri. Hah. Sejak kapan dirinya melakukan hal ini untuk perempuan? Perempuan yang belum dikenalnya—dan sangat cantik. Attar sering bertemu perempuan cantik, tapi tidak ada yang seperti Ruby. Ia sudah mengenal Ruby sejak dulu, jauh sebelum mereka saling mengenal.
Terakhir mereka bertemu sebelum malam itu ketika pesta pertunangan Edo dengan sepupunya, empat tahun yang lalu. Saat itu Attar sudah memperhatikannya, namun enggan mendekati perempuan itu.
Entahlah. Ia merasa, perempuan seperti Ruby sulit ditaklukkan. Apalagi saat itu Ruby tidak sendiri. Ia bersama pria yang kini ia tahu adalah mantan kekasih Ruby. Dan Attar merasa itu adalah peluang yang besar untuknya mendekati Ruby.
Dari jauh Attar melihat sosok perempuan dengan banyak plastik belanjaan di kedua tangannya. Ia tersenyum. “You’re late.”
“Ya, aku tahu. Aku sudah berjalan dengan sangat cepat, sampai aku lupa menaruh semua barang ini di mobil,” jawab Ruby.
“Kamu terlihat sangat excited.”
“Oh, really? Cepat jelaskan padaku mengapa Adam bisa memberikan nomorku padamu, dan...”
“Dan kamu akan pergi?” sela Attar. “Jangan mengira aku mengejarmu, Ruby. Kakekmulah yang meminta kita menikah.“
Ruby tergelak. “Kakek? Meminta kita menikah?“ Ruby menggeleng dengan tegas. “No way. Just so you know, kakekku sangat menyayangiku. Jadi, tidak mungkin dia memintaku menikah dengan seseorang yang tidak kukenal, oke?”
“Aku kira kasih sayang kakekmu sudah berkurang,” jawab Attar. “Beliaulah yang membiayai kedatanganku kemari. Beliau hanya ingin aku melamarmu. Dan kamu kira aku ingin melakukannya?”
“Jadi, kenapa kamu di sini, kalau kamu tidak ingin melamarku?”
Sekali lagi Attar menahan kesabarannya. Ya ampun. Belum ada perempuan yang sesadis ini padanya. “Hanya ingin membuat kesepakatan padamu.”
“Aku tidak akan menikah denganmu, cucu dari Bapak Hasyim Hardana.”
Cucu dari Hasyim Hardana. Perempuan macam apa Rubinia ini? Attar harus membuat perempuan itu tahu, bahwa kekayaan keluarga Hardana jauh di atas keluarga perempuan itu, menurut majalah Forbes tahun ini. Atau… perempuan itu tidak peduli?Perempuan itu telah berpacaran dengan pria kelas menengah. Attar mengenalnya di kelompok alumni Stanford di Indonesia. Tidak dekat memang, tapi setidaknya, mereka saling mengenal. Dan mudah bagi Attar untuk meminta nomor ponsel Ruby, dengan dalih ia ingin menawarkan pekerjaan pada Ruby.Sebelum ke NYC, Attar sudah menyelidiki kehidupan Ruby; pekerjaannya, tempat tinggalnya, dan kekasihnya. Namun ia simpan itu semua dari keluarga perempuan itu. Mungkin, itu bisa menjadi senjatanya untuk mengancam perempuan itu agar mau menikah dengannya.“Apakah saya belum memberitahu nama saya, Rubinia?“ desis Attar menahan marah.Perempuan itu mengangkat bahu. “Mungkin?“Benarkah, benark
“Kamu kira aku tidak memperhatikanmu sejak di restoran kemarin malam? Kamu disiram minuman oleh si pirang itu. Kamu pasti pria yang sangat bajingan sampai seorang wanita melakukan hal itu.”“Bajingan. Tidak tahukah kamu, kalau itu kata yang kasar?”“Untuk orang sepertimu, tidak. Apakah dia kekasihmu? Kalau itu benar, dan kalian putus karena pernikahan yang tiba-tiba ini, sebaiknya kamu kembali padanya. Aku benar-benar tidak tertarik dengan segala jenis pernikahan setelah putusnya hubunganku dengan Adam.”“Ya, si pirang itu adalah kekasihku. She was. Dia sudah memiliki suami, dan kurasa kita bernasib sama. Sama-sama tidak bisa memiliki orang yang kita cintai.” Cintai? Attar tertawa dalam hati. Ia sama sekali tidak pernah mencintai siapapun!Ruby menyeruput kopinya. “Hm, ini cappuccino kesukaanku.”Attar tidak percaya dengan perempuan itu. Gila. Perempuan itu tidak
"Dulu sebelum aku mengenal Adam, aku berteman dengan orang-orang seperti mereka. Pernah sekali aku iseng bilang perusahaan keluargaku bangkrut, dan sehari kemudian mereka tidak menyapaku lagi. Lalu ketika mereka tahu apa yang aku katakan bohong, mereka memintaku untuk mentraktir mereka di Dragonfly, tempat clubbing. Sebenarnya, bukan uang atau tempat yang mereka pilih, tapi cara mereka berpikir yang membuatku kapok berteman dengan orang-orang seperti mereka.”“Jadi kamu trauma. Apakah itu alasanmu untuk tinggal di sini?”Ya, karena alasan itulah Ruby pergi dari rumah. Ia memiliki keluarga yang “berkewajiban” mengadakan pesta besar-besaran setiap tiga bulan sekali. Dan terkadang, sebulan sekali. Selain itu Ruby merasakan kesepian hingga tinggal di Jakarta maupun New York terasa sama saja. Ayahnya sudah beristirahat di San Diego Hills. Kakaknya yang sudah berkeluarga tidak memiliki waktu untuknya. Dan ibunya yang berprofesi sebagai
Attar tidak keberatan jika perempuan itu mengajaknya ke neraka sekalipun, selama perempuan itu tetap bersamanya.“Apakah kamu tahu ke mana tujuan kita?”Dengan santai Ruby menggeleng. “Entahlah, aku sedang kesal. Sepertinya sebentar lagi aku akan menstruasi, dan aku harus banyak berjalan-jalan. Itu membuat stresku berkurang.”Perempuan itu terlalu terang-terangan dalam bicara. Kalau bukan Ruby yang mengatakan “menstruasi”, mungkin Attar sudah risih. Pernah sekali adiknya, Asya, mengeluh kesakitan karena menstruasi yang dialaminya. Dan apa yang dilakukan Attar saat itu? Meninggalkan adiknya sejauh mungkin.“Pantas saja kamu sangat emosional.”“Aku biasa menjadi orang pemarah," kata Ruby datar.“Tidak heran Adam meninggalkanmu.”Ruby tidak menggubrisnya dan terus berjalan, seolah kata-kata Attar barusan adalah angin lalu. Dan sikap cuek yang dilakukan perempuan itu membua
Attar tidak ingin malam ini berakhir terlalu cepat. Di depannya, berdiri seorang wanita cantik bak bidadari tengah bernyanyi dengan suara merdu. Heran, mengapa perempuan itu masih bertahan menjadi bukan Beyonce, dengan kualitas suara sebagus itu!Ia melirik gelas wine yang masih terisi penuh. Ya ampun. Suara Ruby benar-benar mengalihkan dunianya. Attar tidak bisa membayangkan seperti apa kehidupannya setelah menikah dengan perempuan itu.Perempuan cantik memang banyak, tapi tidak ada yang seperti Ruby. Cantik, pintar, dan berani. Attar menganggap kekasaran perempuan itu sebuah keberanian. Maklum, tidak ada yang pernah sekasar itu pada Attar Hardana.Dibesarkan di keluarga yang memiliki kekayaan berlimpah, dianugrahi otak yang jenius, itu sudah cukup bagi Attar. Dari SD sampai SMA ia selalu meraih ranking satu. Ketika lulus dari Stanford, ia juga mendapat predikat maxima kum laude. Untuk seseorang sesantai dirinya, itu sudah lebih dari cukup. Da
Lega Attar mendengarnya. “Aku sudah menduganya. Perempuan strong sepertimu pasti bisa mengenyahkan pria macam itu dari pikiranmu.” “Aku sadar selama ini aku dan Adam tidak saling mencintai. Ngg, maksudku, cinta itu pasti ada di antara kita, tapi cinta Adam terhadapku tidak sebesar aku mencintainya. Dan untuk apa terlarut dalam kesedihan untuk orang yang tidak mencintai kita?” “Aku pernah merasakannya, Ruby. Sakit sekali.” “Kamu pernah mencintai seseorang sedalam itu?” “Tidak sampai cinta, hanya suka saja. Sayangnya saat aku menyukainya, gadis itu telah bersama lelaki lain. Bullshit memang kedengarannya, tapi aku bahagia dia bahagia bersama lelaki itu.” “Wow, bijak sekali. Adam..” “No, Attar’s here.” “Tidak, di belakangmu.” Ruby berdiri. Ia menghampiri Adam yang baru datang di The Living Room. Pria itu masih memakai setelan kerja, dengan keletihan di wajahnya. Attar menoleh ke bel
“Mengapa tidak kembali ke Indo? Tidak ada yang kamu cari kan di sini?”Selama ini hanya Adam alasannya. Sekarang? Attar benar. Tidak ada yang ia cari di sini, selain barang-barang branded. “Itu bukan ide yang buruk. Kembali ke Indonesia, bertemu dengan Edo yang playboy, Mami yang supersabar, tidak, itu sama sekali bukan ide yang buruk.”Dalam perjalanan pulang di taksi, Attar lebih banyak diam daripada bicara dengan Ruby. Ia merenung. Bagaimana jika sebenarnya ia cemburu pada Ruby, dan tadi bukanlah hanya sekadar guyonan? Ia memang kesal pada Ruby yang masih saja menghampiri Adam, padahal pri itu sudah meninggalkan perempuan itu.Attar memperhatikan Ruby yang tengah diam, menikmati alunan musik David Foster di taksi. Pria itu menggenggam salah satu tangan Ruby.Perempuan itu menoleh, sama sekali tidak berniat menepiskan genggaman Attar.“Kamu sakit, Attar?” tanya Ruby.Yang ditanya mengge
“Ya, mereka menganggapmu tidak waras, dan menjadikanmu bahan olok-olokan. Si cantik yang gila. Tapi aku tahu itu tidak benar. Kamu bersekolah SMA terbaik di Indonesia, dan kemudian kamu masuk ke NYU. Aku tidak bisa membayangkan, betapa malunya mereka sekarang.”Ruby tertawa. “Aku baru memperoleh kewarasanku saat SMA. Aku tidak mau diolok-olok lagi seperti sebelum itu.”“Kamu tidak pernah gila, Sayang.”Mendengar itu, Ruby hampir saja tersedak, padahal ia sedang tidak memakan apapun. “Ya, tapi sedikit autis. Karena itu aku tidak mengenalmu, Attar, karena aku takut berkenalan dengan pria manapun. Sampai akhirnya aku bertemu Adam.”“Ruby, boleh tidak aku minta sesuatu padamu?”“Kalau aku bisa memenuhinya, aku akan mencoba.”“Jangan sebut nama Adam di hadapanku lagi. Aku dapat mengerti kamu ingin membahas masa lalumu dan berbagi denganku, tapi jangan sebut namanya, bis