Ruby terpaku dengan jawaban Adam. Apa? Adam memutuskannya, di saat ia berharap penuh pada pria itu? Apa? Apa yang harus dilakukannya sekarang? Menangis, meminta Adam untuk bersamanya, dan mengatakan bahwa ia tidak keberatan untuk menjalankan hubungan mereka yang tidak berujung ini?
Tidak, Ruby tidak akan melakukan itu. Sejak bertemu Adam, ia sudah memiliki mimpi dengan pria itu. Ia ingin menikah dengan seorang pekerja keras dan menjadi seorang ibu. Ya Allah. Apakah itu terlalu muluk?
Kedua tangan Ruby digenggam oleh pria itu. “Aku tahu, Ruby, ini sangat berat untukmu. Tapi ini yang terbaik untuk kita, Sayang, karena aku tidak ingin kamu merasa lebih sakit daripada ini.”
Mati-matian Ruby menahan air matanya agar Adam tidak melihatnya. “Aku akan pulang,” kata Ruby sambil melepaskan genggaman pria itu. Ia bangkit dari duduknya dan membuka dompetnya. Ditaruhnya seratus dolar di sana. “Terima kasih, Adam. Untuk segalanya.”
Dan Ruby meninggalkan pria itu. Malam ini ia belajar satu hal: meninggalkan lebih baik daripada ditinggalkan.
**
Ruby merasa ia kehilangan keseimbangannya untuk berjalan ke tempat ia memarkir mobilnya. Padahal ia sama sekali tidak meminum wine di Delmonico’s. Dan sekalipun iya, ia terlalu kebal dengan minuman itu.
Ruby hendak membuka pintu mobilnya ketika seseorang menyentuh pundaknya secara tiba-tiba. Segera ia membalikkan tubuhnya dan matanya bertemu lagi dengan si pria bajingan.
Mata Ruby menyipit. “Maaf, saya sedang tidak ada waktu untuk bicara,” jawab Ruby sambil berusaha masuk ke mobilnya.
Dan sia-sia karena pria itu menariknya keluar dan menutup pintu mobilnya.
“Apa yang Anda inginkan?” tanya Ruby kesal. Ia sama sekali tidak takut pada pria yang tidak sopan ini. Jika pria itu berani melakukan tindakan kriminal padanya, ia bisa berteriak sekeras mungkin.
“Kalau ada yang marah, orang itu adalah saya.” Pria itu melepaskan cengkramannya di lengannya dengan lembut.
“Maksud Anda?”
“Kakek saya ingin kita menikah.”
“Kita…Apa?!” belalak Ruby. Sudah gilakah pria ini? Mereka bahkan belum saling mengenal, tapi pria ini mengajaknya menikah? Sebuah permainankah ini? Kalau benar begitu, pria ini tidak tahu berhadapan dengan siapa.
Pria itu mengulurkan tangannya. “Nama saya Attar Hardana, cucu dari Hasyim Hardana. Kukira keluarga kita sudah saling mengenal.”
Memerlukan waktu lama untuk Ruby mengingat nama yang disebutkan pria itu. Ya, sepertinya ia tahu mengenai keluarga Hardana, yang sempat menjadi kerabat keluarganya. Namun sejak beberapa tahun yang lalu, hubungan keduanya sempat terputus, karena kakak Ruby, Edoardo, menolak untuk menikah dengan salah satu cucu Hasyim Hardana.
Dan sekarang… Ruby dijodohkan dengan keluarga Hardana? Mengapa kakeknya senang sekali menjodohkan cucunya?
Ruby menyambut uluran tangan pria itu. “Saya Rubinia, dan sepertinya kedatangan Anda kemari hanya menghabiskan uang dan waktu. Saya sudah memiliki kekasih.”
“Pria yang tadi makan bersamamu adalah kekasihmu?”
“Ya.”
Bukannya tersinggung, pria itu justru tertawa. “Pria itu tidak pantas untukmu, Ruby,” tegas Attar.
Hanya orang terdekat saja yang bisa memanggilnya Ruby. Dan aneh sekali, karena Ruby sudah menganggap pria ini dekat dengannya, seolah ia sudah mengenal pria ini sejak lama.
“Bagaimana Anda bisa mengatakan hal itu? Mengapa Anda tidak mengatakan, saya yang tidak pantas untuk dia?”
“Dia tidak menatap mata kamu selama kamu berbicara, Ruby, dan itu sudah menunjukkan dia tidak terlalu mengharapkanmu.”
“Posisi duduknya membelakangi Anda. Bagaimana Anda bisa mengatakan hal itu?”
“Jadi, kamu sudah memperhatikanku sejak di restoran tadi?” goda Attar. Pria itu tersenyum manis. Ya, sangat manis sampai Ruby sulit bernapas.
“Hanya melirik sekilas,” kata Ruby. “Sungguh, saya sedang tidak ada waktu sekarang. Selamat malam.”
“Tunggu.”
“Ya?”
“Kita harus bertemu lagi, untuk membicarakan pernikahan itu. Bagaimana aku bisa menemuimu?”
“Anda tidak mengerti, ya? Saya sudah memiliki kekasih. Apakah menurut Anda saya tetap ingin menikah?”
Dan aku tidak mau menikah dengan pria bajingan macam dirimu. Pria yang terlihat baik saja sudah mencampakkanku. Apalagi yang sudah terlihat tidak baik.
“Dia bukan kekasihmu, kan?”
Kini Ruby menatap pria itu. Ya Allah. Pria itu memang sangat tampan. Bahkan untuk Ruby, yang tidak terlalu tertarik pada pria kecuali Adam, bisa terpikat oleh pesona pria itu.
“Bisa Anda jelaskan maksud perkataan Anda?”
“Dugaanku benar, kan? Wanita secantik kamu, yang memiliki kulit selembut satin, dan berwarna seperti es krim, belum menikah. Kalau pria itu adalah kekasihmu, ia pasti sudah melamarmu. Tapi sekarang justru keluargamu khawatir dengan hubungan tanpa statusmu dengan pria itu.”
Dalam hati Ruby ingin tertawa. Menertawakan dirinya sendiri. Kalau ia secantik itu, ia akan dilamar kekasihnya. Kenyataannya, ia yang mengemis pada Adam agar pria itu menikah dengannya.
Adam tidak pernah mengerti dirinya. Berbeda sekali dengan pria bernama Attar ini. Pria ini mungkin baru saja mengetahui namanya, tapi sikap dan tatapan pria itu menunjukkan sebaliknya.
“Temui aku di The Living Room, Senin malam,” kata Ruby memberi keputusan. “Selamat malam.” Kemudian perempuan itu masuk ke mobilnya.
Begitu mobil perempuan itu meninggalkannya, Attar tersenyum senang. Lebih senang daripada ketika Lucy meninggalkan. Hari ini memang hari keberuntungannya. Ia dapat membuat Lucy meninggalkannya di Delmonico’s, dan bertemu dengan perempuan yang akan menolongnya di restoran yang sama.
Ruby enggan tinggal di New York. Satu-satunya alasan mengapa ia di sana ia ingin mewujudkan impiannya. Sekarang, Adam telah pergi. Apa yang bisa ia lakukan di sini selain menghabiskan uang keluarganya?Ia bisa pindah dari apartemennya yang berada di Brooklyn ke sebuah penthouse di Manhattan. Lalu menghabiskan uangnya dengan belanja pakaian, sepatu, dan keperluan wanita lainnya, tanpa merasa tidak enak hati karena Adam sudah tidak bersamanya lagi.Ah, Adam.Aneh sekali. Ruby memang merasa sedih, tetapi hanya sekadar itu. Ia tahu dirinya seharusnya sedih. Namun di sisi lain, ia merasa dirinya bebas. Ia bisa bebas berbelanja dan melakukan hal-hal yang menyenangkan.Seperti siang ini. Ia menghabiskan waktunya di Manhattan Mall. Membeli beberapa pakaian dalam di Victoria’s Secret dan membeli beberapa sepatu di Nine West. Hari ini adalah surganya.Di tengah-tengah ia mencari sepatu untuknya, ponselnya berbunyi. Tele
Cucu dari Hasyim Hardana. Perempuan macam apa Rubinia ini? Attar harus membuat perempuan itu tahu, bahwa kekayaan keluarga Hardana jauh di atas keluarga perempuan itu, menurut majalah Forbes tahun ini. Atau… perempuan itu tidak peduli?Perempuan itu telah berpacaran dengan pria kelas menengah. Attar mengenalnya di kelompok alumni Stanford di Indonesia. Tidak dekat memang, tapi setidaknya, mereka saling mengenal. Dan mudah bagi Attar untuk meminta nomor ponsel Ruby, dengan dalih ia ingin menawarkan pekerjaan pada Ruby.Sebelum ke NYC, Attar sudah menyelidiki kehidupan Ruby; pekerjaannya, tempat tinggalnya, dan kekasihnya. Namun ia simpan itu semua dari keluarga perempuan itu. Mungkin, itu bisa menjadi senjatanya untuk mengancam perempuan itu agar mau menikah dengannya.“Apakah saya belum memberitahu nama saya, Rubinia?“ desis Attar menahan marah.Perempuan itu mengangkat bahu. “Mungkin?“Benarkah, benark
“Kamu kira aku tidak memperhatikanmu sejak di restoran kemarin malam? Kamu disiram minuman oleh si pirang itu. Kamu pasti pria yang sangat bajingan sampai seorang wanita melakukan hal itu.”“Bajingan. Tidak tahukah kamu, kalau itu kata yang kasar?”“Untuk orang sepertimu, tidak. Apakah dia kekasihmu? Kalau itu benar, dan kalian putus karena pernikahan yang tiba-tiba ini, sebaiknya kamu kembali padanya. Aku benar-benar tidak tertarik dengan segala jenis pernikahan setelah putusnya hubunganku dengan Adam.”“Ya, si pirang itu adalah kekasihku. She was. Dia sudah memiliki suami, dan kurasa kita bernasib sama. Sama-sama tidak bisa memiliki orang yang kita cintai.” Cintai? Attar tertawa dalam hati. Ia sama sekali tidak pernah mencintai siapapun!Ruby menyeruput kopinya. “Hm, ini cappuccino kesukaanku.”Attar tidak percaya dengan perempuan itu. Gila. Perempuan itu tidak
"Dulu sebelum aku mengenal Adam, aku berteman dengan orang-orang seperti mereka. Pernah sekali aku iseng bilang perusahaan keluargaku bangkrut, dan sehari kemudian mereka tidak menyapaku lagi. Lalu ketika mereka tahu apa yang aku katakan bohong, mereka memintaku untuk mentraktir mereka di Dragonfly, tempat clubbing. Sebenarnya, bukan uang atau tempat yang mereka pilih, tapi cara mereka berpikir yang membuatku kapok berteman dengan orang-orang seperti mereka.”“Jadi kamu trauma. Apakah itu alasanmu untuk tinggal di sini?”Ya, karena alasan itulah Ruby pergi dari rumah. Ia memiliki keluarga yang “berkewajiban” mengadakan pesta besar-besaran setiap tiga bulan sekali. Dan terkadang, sebulan sekali. Selain itu Ruby merasakan kesepian hingga tinggal di Jakarta maupun New York terasa sama saja. Ayahnya sudah beristirahat di San Diego Hills. Kakaknya yang sudah berkeluarga tidak memiliki waktu untuknya. Dan ibunya yang berprofesi sebagai
Attar tidak keberatan jika perempuan itu mengajaknya ke neraka sekalipun, selama perempuan itu tetap bersamanya.“Apakah kamu tahu ke mana tujuan kita?”Dengan santai Ruby menggeleng. “Entahlah, aku sedang kesal. Sepertinya sebentar lagi aku akan menstruasi, dan aku harus banyak berjalan-jalan. Itu membuat stresku berkurang.”Perempuan itu terlalu terang-terangan dalam bicara. Kalau bukan Ruby yang mengatakan “menstruasi”, mungkin Attar sudah risih. Pernah sekali adiknya, Asya, mengeluh kesakitan karena menstruasi yang dialaminya. Dan apa yang dilakukan Attar saat itu? Meninggalkan adiknya sejauh mungkin.“Pantas saja kamu sangat emosional.”“Aku biasa menjadi orang pemarah," kata Ruby datar.“Tidak heran Adam meninggalkanmu.”Ruby tidak menggubrisnya dan terus berjalan, seolah kata-kata Attar barusan adalah angin lalu. Dan sikap cuek yang dilakukan perempuan itu membua
Attar tidak ingin malam ini berakhir terlalu cepat. Di depannya, berdiri seorang wanita cantik bak bidadari tengah bernyanyi dengan suara merdu. Heran, mengapa perempuan itu masih bertahan menjadi bukan Beyonce, dengan kualitas suara sebagus itu!Ia melirik gelas wine yang masih terisi penuh. Ya ampun. Suara Ruby benar-benar mengalihkan dunianya. Attar tidak bisa membayangkan seperti apa kehidupannya setelah menikah dengan perempuan itu.Perempuan cantik memang banyak, tapi tidak ada yang seperti Ruby. Cantik, pintar, dan berani. Attar menganggap kekasaran perempuan itu sebuah keberanian. Maklum, tidak ada yang pernah sekasar itu pada Attar Hardana.Dibesarkan di keluarga yang memiliki kekayaan berlimpah, dianugrahi otak yang jenius, itu sudah cukup bagi Attar. Dari SD sampai SMA ia selalu meraih ranking satu. Ketika lulus dari Stanford, ia juga mendapat predikat maxima kum laude. Untuk seseorang sesantai dirinya, itu sudah lebih dari cukup. Da
Lega Attar mendengarnya. “Aku sudah menduganya. Perempuan strong sepertimu pasti bisa mengenyahkan pria macam itu dari pikiranmu.” “Aku sadar selama ini aku dan Adam tidak saling mencintai. Ngg, maksudku, cinta itu pasti ada di antara kita, tapi cinta Adam terhadapku tidak sebesar aku mencintainya. Dan untuk apa terlarut dalam kesedihan untuk orang yang tidak mencintai kita?” “Aku pernah merasakannya, Ruby. Sakit sekali.” “Kamu pernah mencintai seseorang sedalam itu?” “Tidak sampai cinta, hanya suka saja. Sayangnya saat aku menyukainya, gadis itu telah bersama lelaki lain. Bullshit memang kedengarannya, tapi aku bahagia dia bahagia bersama lelaki itu.” “Wow, bijak sekali. Adam..” “No, Attar’s here.” “Tidak, di belakangmu.” Ruby berdiri. Ia menghampiri Adam yang baru datang di The Living Room. Pria itu masih memakai setelan kerja, dengan keletihan di wajahnya. Attar menoleh ke bel
“Mengapa tidak kembali ke Indo? Tidak ada yang kamu cari kan di sini?”Selama ini hanya Adam alasannya. Sekarang? Attar benar. Tidak ada yang ia cari di sini, selain barang-barang branded. “Itu bukan ide yang buruk. Kembali ke Indonesia, bertemu dengan Edo yang playboy, Mami yang supersabar, tidak, itu sama sekali bukan ide yang buruk.”Dalam perjalanan pulang di taksi, Attar lebih banyak diam daripada bicara dengan Ruby. Ia merenung. Bagaimana jika sebenarnya ia cemburu pada Ruby, dan tadi bukanlah hanya sekadar guyonan? Ia memang kesal pada Ruby yang masih saja menghampiri Adam, padahal pri itu sudah meninggalkan perempuan itu.Attar memperhatikan Ruby yang tengah diam, menikmati alunan musik David Foster di taksi. Pria itu menggenggam salah satu tangan Ruby.Perempuan itu menoleh, sama sekali tidak berniat menepiskan genggaman Attar.“Kamu sakit, Attar?” tanya Ruby.Yang ditanya mengge