Share

TIGA

Ketika pelayan datang mengantarkan pesanan mereka, Ruby sama sekali tidak bersemangat untuk memakan lobster-nya. Sementara Adam memakan makanannya dengan tenang, seolah Ruby memang mengerti pada situasi yang dihadapi Adam.

Duh bodoh sekali sih diriku, keluh Ruby. Adam tidak akan melamarmu, Ruby. Sekalipun iya, itu akan membutuhkan waktu yang lama sekali. Ruby pernah membaca buku agenda pria itu, dan tertulis bahwa target pria itu menikah saat adiknya lulus kuliah. Sementara adiknya saja baru lulus SMA. Ya ampun. Berapa lama lagikah itu? Tiga tahun? Empat tahun? Ruby tidak yakin ia bisa menunggu Adam selama itu.

Di tengah kerisauannya, Ruby tertawa melihat sepasang kekasih yang bertengkar di depannya. Bukan pertengkaran yang anarkis. Sang pria disiram segelas wine oleh kekasihnya, dan setelah kekasih pria itu pergi, pria itu hanya tersenyum saja.

Tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan kelihatannya pria itu sangat senang dipermalukan seperti itu. Ya, Ruby dapat melihat senyum yang tersungging di bibir pria itu. Karena pria itu tengah tersenyum…padanya.

Mata mereka saling bertemu. Sekali lihat saja Ruby dapat menarik kesimpulan tentang pria itu; bajingan. Ya, pria itu terlihat seperti seorang bajingan. Bagaimana bisa pria itu memberikan senyum menggoda seperti itu, di saat baru ditinggal kekasihnya? Atau mungkin, bukan kekasihnya? Simpanannya, mungkin?

Mengingat ada Adam di depannya, Ruby langsung mengalihkan pandangannya pada kekasihnya.

“Apakah Senin malam kamu sibuk, Sayang?” tanya Adam.

Ruby mengangguk. “Aku akan tampil di The Living Room,” katanya. “Apakah kamu berniat untuk mengajakku ke suatu tempat pada Senin malam?”

“Ya, bosku ulang tahun, dan aku tidak tahu siapa yang akan kuajak.” Adam mengangkat bahu. “Mungkin aku akan berangkat ke pesta itu sendiri.”

“Maafkan aku, tapi aku sudah terikat kontrak untuk Senin ini.”

“Benarkah?” Adam terdiam. “Kukira kamu tidak membutuhkan penghasilan lagi untuk saat ini.”

“Maksudmu?” Sepasang mata Ruby menyipit.

“Entahlah, aku merasa kamu seperti dulu lagi. Seperti saat SMA. Kamu sangat populer dengan sifat hedonismemu itu. Mungkin kamu bisa menyembunyikan semua itu dariku, By, tapi aku bisa melihatnya. Kamu terlihat senang dengan kemewahan ini.”

“Siapa yang tidak suka dengan kemewahan ini? Aku sudah bekerja keras di sini, apakah aku tidak layak untuk makan di sini?”

Adam menggeleng. “Bukan restoran ini yang kumaksud. Apakah kamu masih sering belanja barang-barang mahal, Ruby? Tolong jujur padaku.”

Kata orang, tidak ada salahnya jika berbohong untuk kebaikan. Tapi Adam tahu sekali bagaimana menekan Ruby untuk berkata jujur. “Ya. Tapi kamu harus mendengarkan penjelasanku.” Ruby mulai memakan lobster-nya, seolah memberikan tenaga untuk dirinya menjelaskan pada Adam.

“Aku tetap di sini, Ruby.”

“Sebentar lagi anak pertama Mas Edo akan berulang tahun, dan aku menghadiahkannya beberapa pakaian Louis Vuitton.”

“Dan…”

Oke, baiklah, Ruby harus mengatakan terus terang. “Aku juga membeli beberapa potong pakaian untukku sendiri.”

“Dan….”

I bought some clothes and assesories at Dolce & Gabbana.” Ruby tersenyum, bersalah, seperti anak kecil yang mengaku telah mencuri permen. “Aku sudah lama tidak belanja, aku harap kamu mengerti dengan semua itu, Adam.”

“Bukan hanya kamu yang harus mengaku.” Adam menghela napas panjang. “Aku harus katakan ini padamu.”

“Mengenai hal apa?”

“Apakah kamu keberatan kalau kita tidak menikah untuk…selamanya?”

“Maksudmu, kamu ingin kumpul kebo? Kukira kamu tahu itu dosa, Dam,” tanggap Ruby santai. Ah, cepat atau lambat Adam akan mengatakan hal ini, dan Ruby sudah mempersiapkan dirinya untuk berpisah dari pria ini.

“Tidak, kita tidak perlu melakukannya, tapi kita masih bisa seperti ini. Aku tidak akan marah dengan pengakuanmu barusan. Karena sekarang kusadar, aku sangat takut berkomitmen.”

“Aku dapat melihatnya.”

“Dan kamu merasa tidak keberatan?”

Ruby menggeleng. “Aku hanya memberikan sebuah tawaran untukmu. Kita berpisah sekarang, atau kita menikah satu atau dua tahun lagi. Well, kukira itu waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan dirimu untuk menikah, dan aku akan menunggu, Adam.”

“Kamu tidak mengerti, Ruby. Pernikahan bukanlah suatu permainan. Apakah kamu siap terikat denganku? Apakah aku sudah mengatakan padamu bahwa aku tidak ingin memiliki istri yang bekerja?”

“Ya, dan itu tidak masalah bagiku.”

“Istri yang lebih suka di rumah. Memasak, menyiapkan baju untukku, dan mengurusi segala keperluan di rumah.”

Does it sound like a butler? “Aku tahu.”

“Dan semua itu belum cukup, Ruby.” Adam merasa dadanya sesak. “Aku ingin istri yang benar-benar menurut padaku.”

AKU BISA MELAKUKANNYA! Ruby ingin sekali meneriakkan kalimat itu di depan Adam. Mengapa Adam masih belum percaya padanya? Untuk Adam, Ruby bisa melakukan apapun. Dan seharusnya Adam tahu itu.

“Dan kukira sebaiknya kita berpisah,” kata Adam akhirnya. “Aku tidak akan menjadi suami yang baik untukmu, Ruby. Aku akan menjadi suami yang sangat sibuk, dan sebelum malam ini, aku tidak pernah berpikir untuk menikah denganmu. Maafkan aku.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status