Merasa bersalah, Ruby mengulurkan tangannya untuk menyentuhnya, tetapi justru tangannya diraih oleh pria itu dan berakhir di mulut pria itu.
Attar mengecup telapak tangannya, dengan cara yang tidak biasa.
“Mencium aroma tubuhmu, kurasa sudah membuatku kenyang, Ruby,” bisik pria itu parau.
Bisikan yang menggoda itu sekonyong-konyong menyadarkan Ruby. Ia segera menarik tangannya dari bibir pria itu. Sedikit tak enak ketika Attar cemberut melihat respons dirinya.
“Tidak boleh.” Begitu alasan Ruby. “Bagaimana kalau dilihat Kakek? Kita akan dihukum, seperti…”
“Kakekmu suka menghukum?” potong Attar ragu. “Ia memiliki wajah yang wise. Sepertinya hukuman bukan caranya untuk menyadarkan kita dari kesalahan. Lagipula, kita kan bukan anak remaja lagi.”
“Siapa yang bilang?” Ya, siapa yang bilang? Attar kan tidak pernah tinggal dengan kakeknya! “Waktu pertama ka
Attar menganguk. Tanpa berpikir panjang Ruby menghambur keluar, memanggil sopirnya, dan membawa Attar ke rumah sakit terdekat.Di sepanjang perjalanan Attar protes keras pada Ruby. Ia tidak ingin ke rumah sakit. Alerginya pasti sembuh dalam satu hari saja, begitu katanya pada calon istrinya.Terakhir kali Attar ke rumah sakit saat adiknya melahirkan, empat tahun lalu. Setelah itu ia tidak ingin ke rumah sakit ataupun klinik. Bau obat dan perlengkapan dokter sangat menakutkan baginya. Itulah salah satu alasan ia tidak ingin masuk kedokteran. Ia tidak tahan dengan hal-hal yang berbau rumah sakit. Kalau tidak dalam keadaan mendesak, ia enggan berada di rumah sakit lagi.Trauma masa lalu membuatnya tidak ingin ke rumah sakit. Waktu ia kecil, ia pernah disuntik oleh seorang koasisten dokter. Ia merasakan sakit yang luar biasa di tulang jempol tangannya. Rupanya, tak lama kemudian koasisten itu terpaksa dikeluarkan karena gagal praktek. Sejak saat itu ia tidak ada keb
Selama sejenak Ruby terdiam. Ia teringat pada kalimat terakhir eksnya, kalau ia tidak menikah dengan Attar, Adam masih menunggu untuknya. Tetapi sekarang, ia merasa ia tidak membutuhkan Adam lagi.Bersama Attar, ia merasa lebih berarti. Ia merasa menjadi manusia yang lebih berguna, lebih dari seorang perempuan yang bermanja-manja dengan uang orangtua. Bersama Attar, ia bisa menjadi istri yang mengurus suami dalam keadaan susah seperti ini.Hatinya sudah mantap. Ia ingin bersama Attar. Kalaupun Attar dan keluarga pria itu memiliki masalah dengan Adam di masa lalu, biarlah. Ruby tidak akan memusingkan itu lagi. Yang ingin ia lakukan adalah melakukan apa yang diinginkan kakeknya.***“Selamat malam, Ruby.”Jantung Ruby berdegup dengan cepat begitu mendengar suara itu. Ya ampun, ya ampun, ya ampun. Mengapa dari sekian saudara ayahnya, Tante Meiske bermulut pedas datang ke rumah keluarga besar?Sebelum ayah
“Ike sedang ada masalah dengan keluarganya,” kata Gunawan. “Sepertinya pernikahanmu harus ditunda, Ruby.”“Masalah apa yang mendera Tante Meiske, Kek?” tanya Edo datar. Seolah masalah Tante Meiske hanya angin lalu yang tak perlu dikhawatirkan.“Anaknya, Mara, harus dibawa ke luar negeri.”“Mara tidak apa-apa?” ujar Ruby khawatir. Tentu ia masih ingat Amara yang lebih muda setahun darinya. Berbeda dengan ibunya, Amara memiliki hati yang lembut.Gunawan menggeleng. “Dokter baru saja menemukan kanker di paru-paru sebelah kanannya.”“Masya Allah,” gumam Lestari. “Mara anak yang baik. Kapan ia akan dibawa ke luar negeri untuk diobati?”“Besok sore insya Allah saya dan Meiske akan ke Singapura,” jawab Gunawan. “Kakek harap ketika Kakek pulang, segalanya sudah siap.”“Berapa lama Kakek di sana?” ujar Shera.
"Apakah kamu ingin Kakek buatkan susu?”“Kakek juga tidak pernah ke dapur.” Ruby mengulum senyum. “Hidup Kakek hanya di ruangan ini dan di Jawa.”“Ya, kamu benar, hidup Kakek hanya di ruang kerja ini dan pabrik gula yang Kakek dirikan lima puluh tahun silam.” Kakek sependapat dengan pahit. “Apalagi sejak nenekmu meninggal. Rasanya kalau tidak punya anak dan cucu yang pintar-pintar Kakek ingin menyusul Nenek Marty.”“Hush! Sebentar lagi aku kan akan menikah. Mana bisa Kakek pergi sebelum aku punya anak, sebelum aku menikahkan anakku?”“Jadi, kamu serius dengan Attar?”Ruby mengangguk. “Meskipun aku masih heran mengapa seisi rumah ini ingin sekali aku menikah dengannya.”“Kakek hanya khawatir kamu belum menikah sebelum Kakek menyusul nenekmu, Ruby. Hubungan kamu dengan Adam tak bisa kamu lanjutkan. Dari awal Kakek tahu kalian berdua tinggal di kota
Yang dipanggil menoleh dan tersenyum. “Ruby.”“Apa yang kamu lakukan di sini? Apakah kamu tidak bekerja?” tanya Ruby heran. Ia menyilakan pria itu duduk di sofa ruang tamu. “Apakah kamu ingin minum?”“Aku harus datang sebelum kamu melakukan kesalahan, Ruby,” sahut Adam, tidak mengacuhkan tawaran eksnya.“Aku tidak akan melakukan kesalahan,” jawab Ruby dengan tenang. Jauh-jauh dari Amerika hanya untuk mengatakan ini? Bukankah Adam-lah kesalahan-nya? Sudah delapan tahun bersama, tapi justru pria itu mematahkan keinginannya!“Attar bukan pria yang terbaik untukmu.”“Lalu siapa yang terbaik untukku?”“Seorang pria yang pasti bukan dia.”“Mengapa bukan kamu saja?”“Kamu tahu aku tidak mampu."Secara tak langsung Adam memberitahunya bahwa ia tidak seberarti itu untuk pria itu. Ruby berusaha untuk
“Apakah pernikahan ini dibatalkan saja?”“Jangan!” kata Ruby keras. Bagaimana perasaan kakeknya kalau pernikahan ini batal? Bisa-bisa hubungan kakeknya dengan kakek pria itu merenggang hanya karena dirinya. “Aku janji, kejadian seperti ini tidak akan terjadi.”“Aku sudah tidak percaya lagi padamu, Rubinia.”“Apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu percaya, Attar?” tanya Ruby melas. Ya, untuk saat ini ia tak punya pilihan selain berdamai.“Hm…” Attar berpikir sejenak. “Ikutlah bersamaku ke kediaman Hardana. Aku jamin, kamu tidak merasa gugup begitu bertemu dengan orangtuaku.”“Apakah hari ini kamu tidak bekerja?”“Ini hari Sabtu, Sayang.” Pria itu tersenyum. Kemarahan telah memudar dari wajahnya. “Berpakaianlah dengan rapi. Kutunggu kamu di sini.”***Awalnya ia takut bertemu dengan keluarga besar
“Tidak.” Ruby menggeleng. “Aku hanya bertanya.”“Jangan menanyakan hal yang aku takuti, Ruby. Aku mohon.” Pria itu menatapnya dengan sungguh-sungguh.“Ya, aku takkan melakukannya. Omong-omong…”“Omong-omong apa?”“Di mana kamar mandi? Sepertinya susu yang diberikan ibumu terlalu banyak, Tar.”Attar tertawa. Ia mengantarkan Ruby ke kamar mandi. “Kamu susul aku ke bawah saja ya. Aku ingin bermain dengan Tasia,” katanya sebelum Ruby masuk ke kamar mandi. Ruby keluar dari sana beberapa menit kemudian, dan ia mendengar suara yang samar-samar di lorong.Ia mendekati suara itu, tepat di sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Di dekat pintu, ia mendengar perbincangan yang aneh.“Bagaimana kalau dia tahu bahwa anak kitalah penyebab kematian ayahnya?”“Dia tidak mungkin tahu kalau tidak ada yang membocorkannya!”
“Ya aku mengerti.” Fariz tersenyum, tidak tersinggung sama sekali. “Kamu lupa untuk menghadiri perlombaan lukis hari ini?” tanyanya pada Attar.“Oh, iya!” kata Attar sambil menepuk dahinya. “Tapi aku yakin, anak-anak dari sanggar kita yang memenanginya.”“Sanggar?” ulang Ruby.“Sanggar lukis yang kudirikan beberapa tahun silam,” jawab Attar bangga.“Iya, itu nazarnya ketika lulus dari Stanford,” sambung Fariz. “Saya pernah lihat kamu, Ruby. Tapi di mana ya? Bukan..bukan di pesta pertunangan Mbak Nina. Kamu seperti wanita di foto sepupu kami di Instagram.”“Maksudmu Adam?&