“Ike sedang ada masalah dengan keluarganya,” kata Gunawan. “Sepertinya pernikahanmu harus ditunda, Ruby.”
“Masalah apa yang mendera Tante Meiske, Kek?” tanya Edo datar. Seolah masalah Tante Meiske hanya angin lalu yang tak perlu dikhawatirkan.
“Anaknya, Mara, harus dibawa ke luar negeri.”
“Mara tidak apa-apa?” ujar Ruby khawatir. Tentu ia masih ingat Amara yang lebih muda setahun darinya. Berbeda dengan ibunya, Amara memiliki hati yang lembut.
Gunawan menggeleng. “Dokter baru saja menemukan kanker di paru-paru sebelah kanannya.”
“Masya Allah,” gumam Lestari. “Mara anak yang baik. Kapan ia akan dibawa ke luar negeri untuk diobati?”
“Besok sore insya Allah saya dan Meiske akan ke Singapura,” jawab Gunawan. “Kakek harap ketika Kakek pulang, segalanya sudah siap.”
“Berapa lama Kakek di sana?” ujar Shera.
"Apakah kamu ingin Kakek buatkan susu?”“Kakek juga tidak pernah ke dapur.” Ruby mengulum senyum. “Hidup Kakek hanya di ruangan ini dan di Jawa.”“Ya, kamu benar, hidup Kakek hanya di ruang kerja ini dan pabrik gula yang Kakek dirikan lima puluh tahun silam.” Kakek sependapat dengan pahit. “Apalagi sejak nenekmu meninggal. Rasanya kalau tidak punya anak dan cucu yang pintar-pintar Kakek ingin menyusul Nenek Marty.”“Hush! Sebentar lagi aku kan akan menikah. Mana bisa Kakek pergi sebelum aku punya anak, sebelum aku menikahkan anakku?”“Jadi, kamu serius dengan Attar?”Ruby mengangguk. “Meskipun aku masih heran mengapa seisi rumah ini ingin sekali aku menikah dengannya.”“Kakek hanya khawatir kamu belum menikah sebelum Kakek menyusul nenekmu, Ruby. Hubungan kamu dengan Adam tak bisa kamu lanjutkan. Dari awal Kakek tahu kalian berdua tinggal di kota
Yang dipanggil menoleh dan tersenyum. “Ruby.”“Apa yang kamu lakukan di sini? Apakah kamu tidak bekerja?” tanya Ruby heran. Ia menyilakan pria itu duduk di sofa ruang tamu. “Apakah kamu ingin minum?”“Aku harus datang sebelum kamu melakukan kesalahan, Ruby,” sahut Adam, tidak mengacuhkan tawaran eksnya.“Aku tidak akan melakukan kesalahan,” jawab Ruby dengan tenang. Jauh-jauh dari Amerika hanya untuk mengatakan ini? Bukankah Adam-lah kesalahan-nya? Sudah delapan tahun bersama, tapi justru pria itu mematahkan keinginannya!“Attar bukan pria yang terbaik untukmu.”“Lalu siapa yang terbaik untukku?”“Seorang pria yang pasti bukan dia.”“Mengapa bukan kamu saja?”“Kamu tahu aku tidak mampu."Secara tak langsung Adam memberitahunya bahwa ia tidak seberarti itu untuk pria itu. Ruby berusaha untuk
“Apakah pernikahan ini dibatalkan saja?”“Jangan!” kata Ruby keras. Bagaimana perasaan kakeknya kalau pernikahan ini batal? Bisa-bisa hubungan kakeknya dengan kakek pria itu merenggang hanya karena dirinya. “Aku janji, kejadian seperti ini tidak akan terjadi.”“Aku sudah tidak percaya lagi padamu, Rubinia.”“Apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu percaya, Attar?” tanya Ruby melas. Ya, untuk saat ini ia tak punya pilihan selain berdamai.“Hm…” Attar berpikir sejenak. “Ikutlah bersamaku ke kediaman Hardana. Aku jamin, kamu tidak merasa gugup begitu bertemu dengan orangtuaku.”“Apakah hari ini kamu tidak bekerja?”“Ini hari Sabtu, Sayang.” Pria itu tersenyum. Kemarahan telah memudar dari wajahnya. “Berpakaianlah dengan rapi. Kutunggu kamu di sini.”***Awalnya ia takut bertemu dengan keluarga besar
“Tidak.” Ruby menggeleng. “Aku hanya bertanya.”“Jangan menanyakan hal yang aku takuti, Ruby. Aku mohon.” Pria itu menatapnya dengan sungguh-sungguh.“Ya, aku takkan melakukannya. Omong-omong…”“Omong-omong apa?”“Di mana kamar mandi? Sepertinya susu yang diberikan ibumu terlalu banyak, Tar.”Attar tertawa. Ia mengantarkan Ruby ke kamar mandi. “Kamu susul aku ke bawah saja ya. Aku ingin bermain dengan Tasia,” katanya sebelum Ruby masuk ke kamar mandi. Ruby keluar dari sana beberapa menit kemudian, dan ia mendengar suara yang samar-samar di lorong.Ia mendekati suara itu, tepat di sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Di dekat pintu, ia mendengar perbincangan yang aneh.“Bagaimana kalau dia tahu bahwa anak kitalah penyebab kematian ayahnya?”“Dia tidak mungkin tahu kalau tidak ada yang membocorkannya!”
“Ya aku mengerti.” Fariz tersenyum, tidak tersinggung sama sekali. “Kamu lupa untuk menghadiri perlombaan lukis hari ini?” tanyanya pada Attar.“Oh, iya!” kata Attar sambil menepuk dahinya. “Tapi aku yakin, anak-anak dari sanggar kita yang memenanginya.”“Sanggar?” ulang Ruby.“Sanggar lukis yang kudirikan beberapa tahun silam,” jawab Attar bangga.“Iya, itu nazarnya ketika lulus dari Stanford,” sambung Fariz. “Saya pernah lihat kamu, Ruby. Tapi di mana ya? Bukan..bukan di pesta pertunangan Mbak Nina. Kamu seperti wanita di foto sepupu kami di Instagram.”“Maksudmu Adam?&
Attar menghela napas berat. Sangat berat sampai Ruby merasakan berat masalah yang dialami pria itu.“Aku tidak tahu Fariz berhubungan baik dengan eksmu,” jawab Attar kesal. “Ini benar-benar di luar dugaan. Kukira dia…”“Tunggu. Mengapa keluargamu tidak boleh berhubungan baik dengan Adam?” Nah, barangkali pertanyaan yang tampak tak disengaja ini mungkin bisa memberi jawabannya. Sudah bosan Ruby semalam suntuk memikirkan ini. Pada dasarnya, ia tipe orang yang ingin tahu. Hal-hal seperti ini sangat menarik perhatiannya.Helaan napas lagi. Sepertinya Attar tidak tertarik untuk membahas hal ini. Tapi, Ruby tidak heran kan kalau bertanya mengapa keluarga Hardana memusuhi keluarga Adam?“Yang jelas, Kakek Has tidak suka dengan ibu Adam. Dan kami semua percaya, yang dilakukan Kakek adalah untuk kebaikan kami.”“Oh, benarkah?” Ruby mendengus kesal. Ia tidak bermaksud untuk meremehka
Seharusnya Attar mengerti. Tapi kelihatannya, pria itu ingin sekali ia memberi jawaban yang lebih baik. Apa misalnya? Karena Ruby mencintai pria itu?Cinta.Benarkah perasaan ini bernama cinta? Ya, aku memang ingin menikah dengannya, dan sama sekali bukan materi, bukan juga karena Kakek Gun. Aku ingin melakukannya karena aku percaya padanya. Aku percaya ia bisa menjadi suami yang setia, ayah yang baik untuk anak-anakku (kecuali di saat-saat ia marah), dan lelaki yang bertanggung jawab.Tapi apa benar cinta bisa tumbuh secepat ini? Rasanya baru kemarin aku berkenalan dengannya, dan aku tidak bisa membayangkan jika aku tidak menikah dengannya, hidup terpisah darinya.Dengannya, aku tidak mengingat Adam. Aku tidak mengingat siapapun. “Aku membutuhkanmu,” sahut Ruby terus terang.“Hanya itu?”“Aku memang buruk mencari kata-kata yang tepat.” Ruby menatap Attar dengan sendu. “Tapi itu yang
Ruby memanggil Bik Minah untuk membawakan kopi. “Aku tahu kamu tidak menyukai kopi, tapi hanya itu minuman yang ada di rumahku, selain anggur dan air putih,” begitu alasan Ruby pada mantan kekasihnya.“Siapa yang bilang aku tidak menyukai kopi?” Salah satu alis Adam terangkat.Oh, Ruby baru saja melakukan kesalahan. Yang dimaksudnya tidak menyukai kopi adalah Attar. Pernah pria itu menyodorkannya sebuah kopi dan saat Ruby menanyakan apakah ia menyukai kopi, saat itu Ruby tahu pria itu berbohong ketika menjawab “ya”.Huh. Bagaimana bisa aku keliru begini, gumam Ruby.“Tidak, kukira selama ini kukira kamu tidak menyukai kopi. Kita jarang ngopi bareng kan,” kilah Ruby.“Ya, benar juga,” gumam Adam. “Sayang sekali kita tidak bisa memutar waktu…”“Adam, sudah.” Ruby mengingatkan sebelum mereka terhanyut pada sebuah momen yang tak akan pernah terjadi.