Ruby memanggil Bik Minah untuk membawakan kopi. “Aku tahu kamu tidak menyukai kopi, tapi hanya itu minuman yang ada di rumahku, selain anggur dan air putih,” begitu alasan Ruby pada mantan kekasihnya.
“Siapa yang bilang aku tidak menyukai kopi?” Salah satu alis Adam terangkat.
Oh, Ruby baru saja melakukan kesalahan. Yang dimaksudnya tidak menyukai kopi adalah Attar. Pernah pria itu menyodorkannya sebuah kopi dan saat Ruby menanyakan apakah ia menyukai kopi, saat itu Ruby tahu pria itu berbohong ketika menjawab “ya”.
Huh. Bagaimana bisa aku keliru begini, gumam Ruby.
“Tidak, kukira selama ini kukira kamu tidak menyukai kopi. Kita jarang ngopi bareng kan,” kilah Ruby.
“Ya, benar juga,” gumam Adam. “Sayang sekali kita tidak bisa memutar waktu…”
“Adam, sudah.” Ruby mengingatkan sebelum mereka terhanyut pada sebuah momen yang tak akan pernah terjadi.
Adam mengajaknya ke rumah makan Sunda yang terletak di Jalan Setiabudi Raya. Ia sama sekali tidak risih diajak oleh pria itu. Sebaliknya, ia sangat bersemangat untuk bertemu dengan ibu Adam, Tante Anna.Terakhir mereka bertemu saat ia dan Adam hendak meninggalkan Indonesia. Saat itu Tante Anna meminta Ruby untuk menjaga Adam, karena penyakit maag yang diderita pria itu. Meski saat itu usianya masih belia, Tante Anna sudah percaya padanya, dan itu salah satu alasan mengapa dulu Ruby masih ingin menikah dengan pria itu.Dan entah mengapa, hari ini Ruby tidak merasa kesal lagi pada Adam. Ia sadar, meskipun eksnya yang satu ini tidak mau menikah dengannya, setidaknya Adam selalu tulus melakukan apapun untuknya. Seperti sekarang. Ketika Adam mengantarkannya langsung ke rumah makan itu.“Kamu tidak izin dengan calon suamimu?” tanya Adam sambil mengemudi. Nadanya datar saja, tapi penuh maksud.“Mengapa kamu selalu ingin tahu?” balas Ruby
"Kamu harus memikirkan perasaannya juga, dong.”Ruby menatap Adam tidak percaya. “Trims, tapi kurasa perkataanmu memang benar. Tapi apa yang membuatmu bicara seperti itu?”“Entahlah, kalau aku tidak bisa menemukan bukti itu, mau tidak mau kamu menikah dengannya. Tapi aku berusaha semampuku, Ruby, aku sudah berjanji.”“Apakah dengan mendekati Fariz, kamu mencari tahu semua informasi itu?”Sekali lagi Adam tergelak. “Itu rahasia umum di keluarga Ha—keluarga itu. Semua orang juga tahu. Tapi Fariz masih membutuhkan kakeknya, jadi aku harus berusaha sendiri.”“Kakeknya. Kamu tidak menganggap Kakek Has kakekmu?”Adam menggeleng. “Karena dialah aku harus menjadi anak yatim, Ruby. Kalau ada seseorang yang menyebabkan kematian salah satu orangtuamu, apakah kamu akan memaafkannya?”Tidak. “Apakah kamu tahu akibatnya kalau kamu melakukan i
"Tentu aku harus datang. Aku tidak bisa memikirkanmu. Mengapa kamu melarangku bertemu denganmu? Mengapa kamu tidak mengajakku ke makam ayahmu?”“Aku tidak mau mengganggumu.”“Tapi kenyataannya kamu malah menggangguku.” Attar tersenyum pahit. “Kamu tahu, setiap siang aku selalu ke sini, memikirkan keadaanmu. Apa yang terjadi padamu, Sayang?”Ruby menatap Attar sesaat, memastikan bahwa pria itu memang tulus ingin mendengar curahan isi hatinya.“Entahlah. Ayahku selalu datang ke dalam mimpiku, seperti ada yang ingin ia katakan. Karena itu aku selalu ke makamnya. Tapi di sanapun aku tidak mendapatkan apa-apa.”“Apa kamu tidak merasa takut ke sana sendirian?”“Takut?” Ruby terkekeh. “Setelah Papi meninggal, ketakutanku hanyalah kehilangan anggota keluargaku.”Mendengar itu, Attar menelan ludahnya. “Kamu sudah makan?” Ia mencoba mengalihkan
“Semuanya sudah siap,” kata Fariz, masuk lagi ke kamar Attar. “Kita harus segera berangkat kalau tidak mau terlambat.”Semuanya memang sudah siap. Tapi ketika seluruh keluarga Hardana sampai di tempat ijab-kabul, mereka hampir tidak bisa berkata apa-apa.Ruby tidak ada di rumah dan meninggalkan surat yang berisi permintamaafan. Attar langsung meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Ia bergegas mencari Ruby.Sayang, di saat ia hendak pergi, kakeknya jatuh pingsan.***“Aset-asetku dan villa di Aspen sedang menantimu, Tar.”“Tapi bagaimana dengan apa yang kulakukan pada ayahnya? Pada keluarganya?”“Saya pastikan Ruby dan keluarganya tidak tahu apa yang telah saya lakukan di masa lalu.”Itulah pesan suara yang diterimanya ketika ia sedang dirias. Adam yang mengirimkannya, entah dari mana. Jadi benar dialah penyebab kematian ayahku,
Attar tidak tahu di mana ia harus menaruh mukanya. Seluruh wartawan dari segala media menyantroni rumahnya, bertanya-tanya mengapa si pengantin wanita kabur. Sementara sang kakek berada di rumah sakit, koma hampir tak bernyawa.Ibunya ingin sekali menuntut keluarga Adiwangsa atas pencemaran nama baik dan penipuan. Sayang, meski dalam keadaan tak sadar, Kakek Hasyim tak berhenti melisankan nama Rubinia.Sialan kamu, Ruby, geram Attar ketika melihat kakeknya terbujur kaku menyebut nama perempuan itu. Hanya bibirnya yang bergerak. Attar tidak tahu lagi bagaimana mengekspresikan amarahnya.Semua keluarganya mencemooh Attar. Menghina bahwa Attar tidak bisa menaklukkan gadis macam Ruby. Hah. Baru kali ini, dalam sepanjang hidupnya ia merasa sangat malu. Malu sekali.Harga dirinya terluka. Wanita yang dikira mengasihinya hanya mempermainkannya. Dan karena perempuan itu pula kakek kesayangannya harus serangan jantung. Kurang ajar!Di mana otakku saat
“Lebih baik kamu hancurkan saja hidupnya daripada membawanya ke kehidupanmu,” kata Nina jengkel.Apa membawanya masuk ke kehidupanku tidak menghancurkan hidupnya?***Bukan New York, bukan Jakarta, bagi Ruby hanya Venesia yang memiliki keindahan yang luar biasa.Bukan karena kedua kota yang disebutkan tadi tidak memiliki keindahan. Tentu saja punya. Tapi Venesia memiliki kenangan tersendiri untuknya.Ayah dan ibunya berbulan madu di sini. Mereka sangat romantis saat itu, begitu Kakek menceritakan kisah cinta orangtuanya. Tentu saja saat itu Papi belum bertemu orang ketiga.Ini pertama kalinya Ruby menginjakkan kakinya di Venesia, kota yang terkenal dengan ‘kota kanal’ dan taksi airnya, bersama Adam di sebelahnya.Mungkin ini tidak seperti orangtuanya yang memadu kasih di kota yang romantis. Tapi Ruby dapat merasakan, hatinya sangat tenang sekali, berada di tempat yang indah bersama seseorang di sisinya.
Yah, bukan salah Ruby mengapa perempuan itu harus meninggalkannya. Attar insyaf, ia tidak pernah memperlakukan Ruby seperti semestinya. Pernikahan itu terlalu terburu-buru dan pantas membuat Ruby curiga. Bahkan, Attar tidak pernah melamarnya seperti di film-film. Ketika seorang pria berlutut dan menyodorkan cincin pada wanita yang dicintainya. Mungkin itu juga alasan mengapa Ruby tidak ingin menikah dengannya, selain ia sudah membunuh ayah perempuan itu.Bukan dia saja yang tersiksa. Setiap hari pula Tasia bertanya padanya, di mana Tante Ruby. Tante Ruby berjanji padanya akan mengajaknya ke toko mainan bersama Oom Attar.Tapi bagaimana caranya membawa Ruby kembali, kalau ia tidak tahu di mana perempuan itu berada?Percuma ia bertanya pada Edo. Kakak Ruby itu lebih asyik berselingkuh daripada mencemaskan adiknya.“Dia sudah besar,” jawab Edo, ketika ia meneleponnya. Bukan hanya suara Edo yang terdengar di speaker. Ada suara lenguhan se
“Apakah kamu mencintai dia?”Iya. Tapi bagaimana mungkin aku mengatakannya padamu? Karena sampai saat ini, Ruby masih merasa Adam berharap padanya. Tapi sekalipun itu benar, apa yang dilakukan Adam? Pria itu tidak akan menikahinya, selama misi dendamnya belum terlaksanakan.Mana yang lebih baik; menikahi seseorang yang ternyata membunuh ayahnya, atau memilih memiliki hubungan yang tak jelas p
“Bagaimana dengan kontrak itu? Ketika kamu bilang mengenai lamaran itu, aku teringat pada kontrak itu.” “Curse the contract. Kamu tidak akan meninggalkan suamimu yang satu ini, kan?” Attar terus mencium, menggigit, leher serta bahu istrinya. “I will never give up on you, Rubiniaku. You’re the light of my life, I love you so much. Way too much.” “Attar, katakan dulu apa yang terjadi dengan kontrak itu.” Ruby membalikkan tubuhnya dan menatap suaminya dengan penuh tuntutan. “Apa yang kamu lakukan dengan perjanjian itu?” “Well, aku tidak peduli dengan perjanjian itu. Kakekmu juga sudah tidak ada, bukan? Bahkan notaris yang menyaksikan perjanjian itu sudah pergi juga. Dan aku.” Attar terdiam sejenak. “Aku tidak perlu kontrak atau jaminan apa pun untuk memilikimu dan anak-anak.” “Benarkah?” “Mau taruhan? Sebelumnya, aku ingin tahu apakah aku masih kuat menggendongmu atau tidak.” Dengan tubuhnya yang kekar Attar ma
ItaliaPemuda dengan memakai kemeja kotak-kotak menggandeng gadis kecil berambut panjang. “Papa!” teriak gadis kecil itu.“Miriam!” Attar menghampiri putri kecilnya dan menggendongnya. “Bagaimana jalan-jalannya dengan Kak Eda?”Tujuh tahun berlalu begitu cepat. Attar bersyukur, dengan kesehatannya yang semakin membaik, dan di usianya yang menginjak empat puluh, ia mendapat semuanya—anak-anak yang cantik dan tampan yang pintar—istri yang begitu sabar menghadapinya. Kehidupannya sangat sempurna tujuh tahun terakhir, setelah puluhan tahun sebelumnya ia habiskan dengan kebohongan dan kemarahan yang tak terkendali.Attar menamakan anak keduanya Miriam. Sebagai tanda hormatnya pada sang nenek yang sudah lama pergi. Nenek yang dicintai kakeknya, yang akan selamanya Attar kenang akan kebaikan sang kakek semasa hidupnya.Sebelum meninggalkan Hardana Land dan tinggal di Singapura, Attar melakuk
“Kata Tante Nina, Oom Attar tidak bisa bawa yang berat-berat dulu sejak serangan kayak Kakek.”Anak kecil tidak mungkin berbohong. Agar tidak membahas lebih lanjut, Attar bangkit dan mengajak istrinya untuk ke kamarnya yang berada di lantai yang sama. Sebelumnya ia menitip pesan pada Eda untuk menemani Kakek Malik dan Nenek Lenny di sana.Ketika Attar mendorong kursi roda istrinya ke kamar, sosok Kakek Gun dan keluarga Adiwangsa lainnya muncul. Mereka menjelaskan bahwa di luar macet sekali hingga Kakek Gun harus naik helikopter dari Menara Adiwangsa yang lokasinya tak jauh dari rumah.Kakek Gun meminta Ruby untuk beristirahat dulu sementara keluarga Adiwangsa menjenguk Hasyim. Ruby menolak, namun tak punya pilihan karena Edo dan Shera ikut mengkhawatirkan keadaannya.Begitu sampai kamar Attar membantu istrinya untuk bangun dan berbaring di tempat tidur. Dipastikannya kepala istrinya sudah nyaman dengan bantalnya. Kemudian ia duduk di tepi temp
“Kakek saya tidak pernah terlihat sakit.”“Anda pun juga begitu. Tapi Anda pernah serangan juga, bukan?” Dokter Prapto, dokter yang sama yang menangani Attar ketika ia dirawat. “Sekarang temuilah anggota keluarga yang lain di lorong, Pak Attar.”Dengan lemas Attar keluar dari kamar kakeknya. Di lorong sudah ada semua anggota keluarga Hardana, termasuk dari keluarga menantu. Adam, Fariz, dan sepupu yang lain memeluknya, memberi semangat padanya.Attar menghampiri istrinya yang duduk di atas kursi roda di pojok sebelah ibunya. Sebelumnya Attar memeluk mama-papanya, dan meminta Eda untuk mendoakan kakek buyutnya agar cepat sembuh.Ia duduk di kursi yang paling dekat dengan istrinya. “Bagaimana ceritanya? Kata Pak Mahdi dia serangan di kamarmu.”Ruby mengangguk. “Kakek mengakui semuanya di depanku.”“Apakah kamu menyakitinya?”Mata Ruby menyipit. Apakah suaminya berni
“Kakek Hasyim,” kata Ruby. “Ada perlu apa kemari?” Tidak perlu bertanya sebenarnya. Ia tahu apa yang ingin dikatakan kakek. Mengenai hubungan mereka yang sebenarnya. Tapi Ruby tidak tertarik. Yang diinginkannya adalah menemui Attar, membahas jenis kelamin bayinya.“Apakah Attar belum memberitahu bahwa aku…”“Kakekku? Sudah.”Ketenangan yang ditunjukkan Ruby membuat Hasyim terbelalak. “Kamu tidak marah atau benci padaku, Rubinia…”“Saya tidak punya pilihan, bukan,” jawab Ruby sinis. “Anda sudah mendapatkan apa yang Anda inginkan. Attar tidak dipenjara, dan saya telah menikah atas kehendak Anda.”“Ruby, saya tidak menyangka kamu berpikir seperti itu mengenai saya…” Hasyim mengira dirinya sudah baik pada cucunya yang satu ini. Ia telah lama berdiam diri dengan fakta yang ditelannya puluhan tahun. Dan reaksi Ruby adalah beban besar untuk
Armand memiliki temper yang sulit diduga. Ketika Edo masuk usia remaja, sikap Armand berubah pada putranya. Kasih sayang yang dulu disalurkannya pada anak-anaknya sirna begitu saja. Berganti dengan kemarahan karena anak-anaknya tidak ada yang menghargainya sebagai kepala rumah tangga, kebenciannya pada Gunawan yang tak pernah bersikap tegas padanya, bahkan seakan menunjukkan sikap tidak sayang pada anaknya dengan mendukung hubungan Armand dengan Hasyim.Hingga suatu hari Hasyim melakukan kesalahan.Dia tidak bisa mengekang dirinya untuk mengakui Armand. Pada acara open house Lebaran yang diadakan keluarga Adiwangsa, ia memanggil Ruby dengan sebutan yang tak biasa. “Hai, gadis kecil. Tidak salam pada kakekmu?”Ruby menoleh padanya dengan heran. Saat itu ia sudah remaja dan dia bukan cucu Hasyim. “Saya bukan Nina,” kata Ruby kikuk.“Tentu saja. Kamu Rubinia. Cucuku.”Percakapan mereka tidak berlanjut tatka
“Mustahil untuk membuka pintu maafmu,” bisik Attar di lehernya. “Aku insyaf, lelaki yang kini menjadi suamimu lelaki yang serakah, meraup apa yang diinginkannya, dan sekarang kamu menyadarkan aku bahwa malaikat pun tak sanggup memaafkan aku.”“Aku bukan malaikat,” jawab Ruby, masih memunggungi suaminya. “Aku hanya wanita tolol yang mencintaimu.”“Aku tetap suamimu, Nia. It’s my duty to ease your ache, and…” “Berhentilah mengesankan kamu melakukan ini karena statusmu,” bentak Ruby. Ia berbalik menatap suaminya. “Bisakah sekali saja kamu katakan padaku, kamu merawatku, menolongku, karena kamu seorang manusia yang memiliki hati nurani? Seorang suami yang mencintai istrinya?”“Kalau pun aku mengatakannya, kamu tidak akan percaya lagi padaku,” jawab Attar kaku. “Aku tidak perlu membusakan mulutku dengan janji-janji lagi. Aku akan buktika
“Mengapa kamu di sini?”“Mengapa aku di sini?” Suara Attar meninggi mendengar pertanyaan istrinya. “Well, kenapa aku harus di tempat lain di saat istriku sedang dirawat?”“Kamu terbiasa di kantor setiap akhir tahun atau bersama Nina dan yang lainnya berpesta menyambut tahun baru.”“Aku tidak begitu semangat di Hardana Land untuk saat ini. Bagaimana menurutmu jika aku pindah ke perusahaan Stephen? Hm, Stephen ini teman Fariz yang waktu itu kuceritakan. Dia yang menawarkan aku jadi CEO di Osvaldo Property.”Ruby mengernyit tanda tidak setuju. “Itu artinya kita akan tinggal di Singapura?”“Kita bisa berpisah dan aku bisa pulang setiap akhir minggu. Yah, mungkin juga tidak, karena uangku tidak akan sebanyak saat di Hardana Land dan aku tidak bisa memesan pesawat pribadiku sesukaku di sana.”“Aku tidak setuju jika kita harus berpisah. Maksudku, kita
“Mengapa tidak kamu saja yang melakukan proyek ini? Aku yakin kamu bisa menggantikan aku di sini. Kamu lebih berhak.”“Oh, Tara, bahkan aku tidak merasa ada bedanya kamu cucu Kakek atau bukan,” dengus Fariz. “You’re always my leader, cousin. Aku menyesal telah mengantarkan pesan Stephen mengenai tawaran itu. Mereka selalu welcome kapan pun kamu menerima mereka.”“Tidak ada ketegasan sekali. Mengapa tidak mencari CEO lain saja?”“Memang banyak pengusaha properti yang sukses, tapi mereka memilih untuk menjaga perusahaan mereka sendiri. Stephen berpikir dengan anggota keluarga Hardana yang banyak, melepasmu bukanlah masalah besar untuk kita. Tapi nyatanya, itu masalah juga.”“Aku percaya padamu.”“Tidak, Attar,” jawab Fariz tegas. “Aku akan sangat membencimu jika kamu meninggalkan perusahaan ini. Aku tahu passion-ku bukan di sini.