“Lebih baik kamu hancurkan saja hidupnya daripada membawanya ke kehidupanmu,” kata Nina jengkel.
Apa membawanya masuk ke kehidupanku tidak menghancurkan hidupnya?
***
Bukan New York, bukan Jakarta, bagi Ruby hanya Venesia yang memiliki keindahan yang luar biasa.
Bukan karena kedua kota yang disebutkan tadi tidak memiliki keindahan. Tentu saja punya. Tapi Venesia memiliki kenangan tersendiri untuknya.
Ayah dan ibunya berbulan madu di sini. Mereka sangat romantis saat itu, begitu Kakek menceritakan kisah cinta orangtuanya. Tentu saja saat itu Papi belum bertemu orang ketiga.
Ini pertama kalinya Ruby menginjakkan kakinya di Venesia, kota yang terkenal dengan ‘kota kanal’ dan taksi airnya, bersama Adam di sebelahnya.
Mungkin ini tidak seperti orangtuanya yang memadu kasih di kota yang romantis. Tapi Ruby dapat merasakan, hatinya sangat tenang sekali, berada di tempat yang indah bersama seseorang di sisinya.
Yah, bukan salah Ruby mengapa perempuan itu harus meninggalkannya. Attar insyaf, ia tidak pernah memperlakukan Ruby seperti semestinya. Pernikahan itu terlalu terburu-buru dan pantas membuat Ruby curiga. Bahkan, Attar tidak pernah melamarnya seperti di film-film. Ketika seorang pria berlutut dan menyodorkan cincin pada wanita yang dicintainya. Mungkin itu juga alasan mengapa Ruby tidak ingin menikah dengannya, selain ia sudah membunuh ayah perempuan itu.Bukan dia saja yang tersiksa. Setiap hari pula Tasia bertanya padanya, di mana Tante Ruby. Tante Ruby berjanji padanya akan mengajaknya ke toko mainan bersama Oom Attar.Tapi bagaimana caranya membawa Ruby kembali, kalau ia tidak tahu di mana perempuan itu berada?Percuma ia bertanya pada Edo. Kakak Ruby itu lebih asyik berselingkuh daripada mencemaskan adiknya.“Dia sudah besar,” jawab Edo, ketika ia meneleponnya. Bukan hanya suara Edo yang terdengar di speaker. Ada suara lenguhan se
“Apakah kamu mencintai dia?”Iya. Tapi bagaimana mungkin aku mengatakannya padamu? Karena sampai saat ini, Ruby masih merasa Adam berharap padanya. Tapi sekalipun itu benar, apa yang dilakukan Adam? Pria itu tidak akan menikahinya, selama misi dendamnya belum terlaksanakan.Mana yang lebih baik; menikahi seseorang yang ternyata membunuh ayahnya, atau memilih memiliki hubungan yang tak jelas p
“Tentu saja aku terlibat.”Alis Ruby terangkat satu.“Aku yang membantunya mencari pemakaman pada dini hari, ingat?” sahut Attar. “Mungkin tidak. Saat itu kamu masih kaget. Aku dan kakek kita yang kelimpungan mencari makam untuknya.”“Yah, aku tidak tahu mengenai hal itu, tapi bukan itu maksud pertanyaanku, Attar. Apakah kamu tahu…”“…penyebab kematian ayahmu?” Attar mengangguk. “Ia ditabrak mobil antiknya sendiri. Aku tahu, itu memang sangat tragis, tapi tak bisa dihindari, Sayang.”Duh, pria ini bodoh atau tidak peka sih, gerutu Ruby. Atau dia memang benar-benar tidak tahu apa yang kumaksud? Huh, kalau salah menuduh, bisa-bisa aku tidak punya muka lagi untuk menghadapi dia!“Aku penasaran, mengapa mobilnya bisa tiba-tiba menabraknya?” ujar Ruby, belum menyerah.Wajah Attar yang semula tenang berubah menjadi merah kegelapan. “Bukan
“Sudah bertemu yang baru, yang lama tidak diingat. Boro-boro diingat. Pernah diingatpun juga nggak. Sebaiknya aku pulang besok pagi,” sindir Adam yang berdiri di sebelahnya.Bukan kebetulan jam sarapan mereka sama. Bukan kebetulan pagi itu mereka sama-sama ingin menyantap salad. Bukan kebetulan juga mereka menghendaki susu untuk minum mereka.Yah, untungnya Attar yang baru kemarin tinggal di hotel itu belum bangun. Mungkin karena semalam mereka menonton opera di Fenice Theater, dan Attar masih perlu banyak waktu untuk istirahat lebih.Kalau Attar menemukannya sedang bersama Adam seperti sepasang kekasih begini, entah reaksi marah apa lagi yang akan diperlihatkannya.“Mau pulang saja pakai sinis segala,” sahut Ruby tak menampik serius. Ia pura-pura sibuk melihat-lihat makanan di buffet. Padahal sih makanan yang di piringnya sudah penuh. “Jangan-jangan kamu tidak bisa tidur karena sibuk memikirkannya.”&ld
“Ah!” Ruby yakin sekali wajahnya memerah. Pria kurang ajar. Belum jadi suami, sudah mengomentari bentuk tubuhnya. Tapi yang dikatakannya memang benar. Ia menjadi gemukan dan…, semoga saja tidak. “Mungkin karena stres, aku lebih banyak makan.”“Aneh. Kebanyakan orang stres itu susah makan.” Attar menegakkan posisinya. Kini mereka duduk berdampingan dan bersandar di penyangga tempat tidur. “Kamu stres karena dugaan itu?”Ya dan tidak. Bagaimana menjelaskannya? Sebenarnya, ia belum mengecek ke rumah sakit, mengapa hampir dua bulan ini ia belum menyambut tamu bulanannya. Apakah mungkin… Yang mereka lakukan di apartemen Attar membuahkan hasil? Rasanya mustahil. Kejadiannya terlalu cepat, tapi… bisa saja…Kata orang, kalau ada janin di dalam rahimnya, akan mengalami morning sickness, mual-mual di pagi hari. Tapi ia tidak mengalaminya, walaupun perasaan resah itu selalu datang entah me
Sudahlah, jangan berlagak naif! Kamu juga pada awalnya menikah denganku karena warisan. Membohongiku habis-habisan. Reaksimu begitu tahu aku hamil juga tidak sesuai dengan keinginanku. Sekarang, malah sok suci dengan menceramahiku, sok menjadi ayah yang baik!“Aku tahu itu salah, tapi bayangkan kalau kamu berada di posisiku,” ujar Ruby mencoba membela diri. “Apa yang akan kamu lakukan?”“Aku akan langsung menelepon kekasihku dan menuntutnya untuk segera menikahiku.”Aku juga ingin melakukannya! Tapi saat itu tampaknya kamu merasa tidak ada apa-apa di antara kita. Kamu seperti kejadian itu hanyalah angin lalu, yang hanya lewat, tak berarti apa-apa, tok! Bahkan menyesalpun kamu tidak karena telah melakukannya, sementara itu sangat berarti bagiku, karena itulah kali pertamaku melakukannya! Apa pria ini, yang akan menjadi ayah anakku kelak? Ya Allah, aku tahu aku tidak pantas menyebut nama-Mu setelah apa yang kulakukan, tapi ke ma
“Ingin kupanggilkan tukang urut? Mami punya langganan tukang urut yang bisa dibawa ke rumah.”“Tidak, tidak usah.” Attar bangkit dari posisi tidurnya dan membawa piring serta cangkirnya ke meja bar, diikuti Ruby. “Paling karena sudah lama tidak kugerakan. Hari ini kamu ada acara?”“Aku ingin mengunjungi Luna di rumah Mbak Shera. Katanya, dia sudah bisa baca. Mbak Shera juga ingin aku mengajarinya menghitung. Ah, aku jadi tak sabar bertemu dengan ponakanku yang satu itu,” ujar Ruby penuh semangat.“Keponakan kita,” ralat Attar lembut. Ia menyantap sarapan paginya dengan lahap. “Tidak asin, tidak hambar,” Ia memuji istrinya, itu juga rutinitas sehari-hari. Tidak peduli makanannya tak ada rasanya sekalipun, ia akan tetap menghujani istrinya dengan pujian-pujian sampai istrinya merasa bosan. “Kamu akan sarapan di sana?”“Aku sudah makan sebelum kamu bangun.”
Jam sembilan setelah istrinya mandi dan sarapan (Attar yang memasak dan dia juga yang memaksa istrinya untuk makan), ia mengantarkan istrinya ke rumah kakak ipar mereka. Di sana tampak Edo dan istrinya yang sudah berpakaian formal, sementara Luna masih dalam setelan piyama.Rupanya Edo dan istrinya akan menghadiri sebuah pesta. Tidak jelas pesta apa. Tapi Attar bisa membayangkan, pesta itu pasti bagian dari kehedonan kakak Ruby. Dulu ia pernah menjadi bagian dari kehedonan sendiri. Dan tak ada keinginan untuk ke sana lagi, berhubung istrinya yang introvert ini enggan bergaul dengan orang-orang yang doyan pamer kekayaan mereka.Jadi babysitter deh, pikirnya. Tak apalah. Yang penting Ruby senang, aku juga ikut senang. Berhubung saat itu adalah hari libur, Attar juga tak memiliki alasan untuk mengelak, dan selain itu ia juga tidak punya pekerjaan apa-apa. Jadi ditemaninya istrinya mengurus Luna.Mereka bertiga duduk di kamar bermain Luna yang bak istana Ba