"Kamu harus memikirkan perasaannya juga, dong.”
Ruby menatap Adam tidak percaya. “Trims, tapi kurasa perkataanmu memang benar. Tapi apa yang membuatmu bicara seperti itu?”
“Entahlah, kalau aku tidak bisa menemukan bukti itu, mau tidak mau kamu menikah dengannya. Tapi aku berusaha semampuku, Ruby, aku sudah berjanji.”
“Apakah dengan mendekati Fariz, kamu mencari tahu semua informasi itu?”
Sekali lagi Adam tergelak. “Itu rahasia umum di keluarga Ha—keluarga itu. Semua orang juga tahu. Tapi Fariz masih membutuhkan kakeknya, jadi aku harus berusaha sendiri.”
“Kakeknya. Kamu tidak menganggap Kakek Has kakekmu?”
Adam menggeleng. “Karena dialah aku harus menjadi anak yatim, Ruby. Kalau ada seseorang yang menyebabkan kematian salah satu orangtuamu, apakah kamu akan memaafkannya?”
Tidak. “Apakah kamu tahu akibatnya kalau kamu melakukan i
"Tentu aku harus datang. Aku tidak bisa memikirkanmu. Mengapa kamu melarangku bertemu denganmu? Mengapa kamu tidak mengajakku ke makam ayahmu?”“Aku tidak mau mengganggumu.”“Tapi kenyataannya kamu malah menggangguku.” Attar tersenyum pahit. “Kamu tahu, setiap siang aku selalu ke sini, memikirkan keadaanmu. Apa yang terjadi padamu, Sayang?”Ruby menatap Attar sesaat, memastikan bahwa pria itu memang tulus ingin mendengar curahan isi hatinya.“Entahlah. Ayahku selalu datang ke dalam mimpiku, seperti ada yang ingin ia katakan. Karena itu aku selalu ke makamnya. Tapi di sanapun aku tidak mendapatkan apa-apa.”“Apa kamu tidak merasa takut ke sana sendirian?”“Takut?” Ruby terkekeh. “Setelah Papi meninggal, ketakutanku hanyalah kehilangan anggota keluargaku.”Mendengar itu, Attar menelan ludahnya. “Kamu sudah makan?” Ia mencoba mengalihkan
“Semuanya sudah siap,” kata Fariz, masuk lagi ke kamar Attar. “Kita harus segera berangkat kalau tidak mau terlambat.”Semuanya memang sudah siap. Tapi ketika seluruh keluarga Hardana sampai di tempat ijab-kabul, mereka hampir tidak bisa berkata apa-apa.Ruby tidak ada di rumah dan meninggalkan surat yang berisi permintamaafan. Attar langsung meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Ia bergegas mencari Ruby.Sayang, di saat ia hendak pergi, kakeknya jatuh pingsan.***“Aset-asetku dan villa di Aspen sedang menantimu, Tar.”“Tapi bagaimana dengan apa yang kulakukan pada ayahnya? Pada keluarganya?”“Saya pastikan Ruby dan keluarganya tidak tahu apa yang telah saya lakukan di masa lalu.”Itulah pesan suara yang diterimanya ketika ia sedang dirias. Adam yang mengirimkannya, entah dari mana. Jadi benar dialah penyebab kematian ayahku,
Attar tidak tahu di mana ia harus menaruh mukanya. Seluruh wartawan dari segala media menyantroni rumahnya, bertanya-tanya mengapa si pengantin wanita kabur. Sementara sang kakek berada di rumah sakit, koma hampir tak bernyawa.Ibunya ingin sekali menuntut keluarga Adiwangsa atas pencemaran nama baik dan penipuan. Sayang, meski dalam keadaan tak sadar, Kakek Hasyim tak berhenti melisankan nama Rubinia.Sialan kamu, Ruby, geram Attar ketika melihat kakeknya terbujur kaku menyebut nama perempuan itu. Hanya bibirnya yang bergerak. Attar tidak tahu lagi bagaimana mengekspresikan amarahnya.Semua keluarganya mencemooh Attar. Menghina bahwa Attar tidak bisa menaklukkan gadis macam Ruby. Hah. Baru kali ini, dalam sepanjang hidupnya ia merasa sangat malu. Malu sekali.Harga dirinya terluka. Wanita yang dikira mengasihinya hanya mempermainkannya. Dan karena perempuan itu pula kakek kesayangannya harus serangan jantung. Kurang ajar!Di mana otakku saat
“Lebih baik kamu hancurkan saja hidupnya daripada membawanya ke kehidupanmu,” kata Nina jengkel.Apa membawanya masuk ke kehidupanku tidak menghancurkan hidupnya?***Bukan New York, bukan Jakarta, bagi Ruby hanya Venesia yang memiliki keindahan yang luar biasa.Bukan karena kedua kota yang disebutkan tadi tidak memiliki keindahan. Tentu saja punya. Tapi Venesia memiliki kenangan tersendiri untuknya.Ayah dan ibunya berbulan madu di sini. Mereka sangat romantis saat itu, begitu Kakek menceritakan kisah cinta orangtuanya. Tentu saja saat itu Papi belum bertemu orang ketiga.Ini pertama kalinya Ruby menginjakkan kakinya di Venesia, kota yang terkenal dengan ‘kota kanal’ dan taksi airnya, bersama Adam di sebelahnya.Mungkin ini tidak seperti orangtuanya yang memadu kasih di kota yang romantis. Tapi Ruby dapat merasakan, hatinya sangat tenang sekali, berada di tempat yang indah bersama seseorang di sisinya.
Yah, bukan salah Ruby mengapa perempuan itu harus meninggalkannya. Attar insyaf, ia tidak pernah memperlakukan Ruby seperti semestinya. Pernikahan itu terlalu terburu-buru dan pantas membuat Ruby curiga. Bahkan, Attar tidak pernah melamarnya seperti di film-film. Ketika seorang pria berlutut dan menyodorkan cincin pada wanita yang dicintainya. Mungkin itu juga alasan mengapa Ruby tidak ingin menikah dengannya, selain ia sudah membunuh ayah perempuan itu.Bukan dia saja yang tersiksa. Setiap hari pula Tasia bertanya padanya, di mana Tante Ruby. Tante Ruby berjanji padanya akan mengajaknya ke toko mainan bersama Oom Attar.Tapi bagaimana caranya membawa Ruby kembali, kalau ia tidak tahu di mana perempuan itu berada?Percuma ia bertanya pada Edo. Kakak Ruby itu lebih asyik berselingkuh daripada mencemaskan adiknya.“Dia sudah besar,” jawab Edo, ketika ia meneleponnya. Bukan hanya suara Edo yang terdengar di speaker. Ada suara lenguhan se
“Apakah kamu mencintai dia?”Iya. Tapi bagaimana mungkin aku mengatakannya padamu? Karena sampai saat ini, Ruby masih merasa Adam berharap padanya. Tapi sekalipun itu benar, apa yang dilakukan Adam? Pria itu tidak akan menikahinya, selama misi dendamnya belum terlaksanakan.Mana yang lebih baik; menikahi seseorang yang ternyata membunuh ayahnya, atau memilih memiliki hubungan yang tak jelas p
“Tentu saja aku terlibat.”Alis Ruby terangkat satu.“Aku yang membantunya mencari pemakaman pada dini hari, ingat?” sahut Attar. “Mungkin tidak. Saat itu kamu masih kaget. Aku dan kakek kita yang kelimpungan mencari makam untuknya.”“Yah, aku tidak tahu mengenai hal itu, tapi bukan itu maksud pertanyaanku, Attar. Apakah kamu tahu…”“…penyebab kematian ayahmu?” Attar mengangguk. “Ia ditabrak mobil antiknya sendiri. Aku tahu, itu memang sangat tragis, tapi tak bisa dihindari, Sayang.”Duh, pria ini bodoh atau tidak peka sih, gerutu Ruby. Atau dia memang benar-benar tidak tahu apa yang kumaksud? Huh, kalau salah menuduh, bisa-bisa aku tidak punya muka lagi untuk menghadapi dia!“Aku penasaran, mengapa mobilnya bisa tiba-tiba menabraknya?” ujar Ruby, belum menyerah.Wajah Attar yang semula tenang berubah menjadi merah kegelapan. “Bukan
“Sudah bertemu yang baru, yang lama tidak diingat. Boro-boro diingat. Pernah diingatpun juga nggak. Sebaiknya aku pulang besok pagi,” sindir Adam yang berdiri di sebelahnya.Bukan kebetulan jam sarapan mereka sama. Bukan kebetulan pagi itu mereka sama-sama ingin menyantap salad. Bukan kebetulan juga mereka menghendaki susu untuk minum mereka.Yah, untungnya Attar yang baru kemarin tinggal di hotel itu belum bangun. Mungkin karena semalam mereka menonton opera di Fenice Theater, dan Attar masih perlu banyak waktu untuk istirahat lebih.Kalau Attar menemukannya sedang bersama Adam seperti sepasang kekasih begini, entah reaksi marah apa lagi yang akan diperlihatkannya.“Mau pulang saja pakai sinis segala,” sahut Ruby tak menampik serius. Ia pura-pura sibuk melihat-lihat makanan di buffet. Padahal sih makanan yang di piringnya sudah penuh. “Jangan-jangan kamu tidak bisa tidur karena sibuk memikirkannya.”&ld