“Sudah bertemu yang baru, yang lama tidak diingat. Boro-boro diingat. Pernah diingatpun juga nggak. Sebaiknya aku pulang besok pagi,” sindir Adam yang berdiri di sebelahnya.
Bukan kebetulan jam sarapan mereka sama. Bukan kebetulan pagi itu mereka sama-sama ingin menyantap salad. Bukan kebetulan juga mereka menghendaki susu untuk minum mereka.
Yah, untungnya Attar yang baru kemarin tinggal di hotel itu belum bangun. Mungkin karena semalam mereka menonton opera di Fenice Theater, dan Attar masih perlu banyak waktu untuk istirahat lebih.
Kalau Attar menemukannya sedang bersama Adam seperti sepasang kekasih begini, entah reaksi marah apa lagi yang akan diperlihatkannya.
“Mau pulang saja pakai sinis segala,” sahut Ruby tak menampik serius. Ia pura-pura sibuk melihat-lihat makanan di buffet. Padahal sih makanan yang di piringnya sudah penuh. “Jangan-jangan kamu tidak bisa tidur karena sibuk memikirkannya.”
&ld
“Ah!” Ruby yakin sekali wajahnya memerah. Pria kurang ajar. Belum jadi suami, sudah mengomentari bentuk tubuhnya. Tapi yang dikatakannya memang benar. Ia menjadi gemukan dan…, semoga saja tidak. “Mungkin karena stres, aku lebih banyak makan.”“Aneh. Kebanyakan orang stres itu susah makan.” Attar menegakkan posisinya. Kini mereka duduk berdampingan dan bersandar di penyangga tempat tidur. “Kamu stres karena dugaan itu?”Ya dan tidak. Bagaimana menjelaskannya? Sebenarnya, ia belum mengecek ke rumah sakit, mengapa hampir dua bulan ini ia belum menyambut tamu bulanannya. Apakah mungkin… Yang mereka lakukan di apartemen Attar membuahkan hasil? Rasanya mustahil. Kejadiannya terlalu cepat, tapi… bisa saja…Kata orang, kalau ada janin di dalam rahimnya, akan mengalami morning sickness, mual-mual di pagi hari. Tapi ia tidak mengalaminya, walaupun perasaan resah itu selalu datang entah me
Sudahlah, jangan berlagak naif! Kamu juga pada awalnya menikah denganku karena warisan. Membohongiku habis-habisan. Reaksimu begitu tahu aku hamil juga tidak sesuai dengan keinginanku. Sekarang, malah sok suci dengan menceramahiku, sok menjadi ayah yang baik!“Aku tahu itu salah, tapi bayangkan kalau kamu berada di posisiku,” ujar Ruby mencoba membela diri. “Apa yang akan kamu lakukan?”“Aku akan langsung menelepon kekasihku dan menuntutnya untuk segera menikahiku.”Aku juga ingin melakukannya! Tapi saat itu tampaknya kamu merasa tidak ada apa-apa di antara kita. Kamu seperti kejadian itu hanyalah angin lalu, yang hanya lewat, tak berarti apa-apa, tok! Bahkan menyesalpun kamu tidak karena telah melakukannya, sementara itu sangat berarti bagiku, karena itulah kali pertamaku melakukannya! Apa pria ini, yang akan menjadi ayah anakku kelak? Ya Allah, aku tahu aku tidak pantas menyebut nama-Mu setelah apa yang kulakukan, tapi ke ma
“Ingin kupanggilkan tukang urut? Mami punya langganan tukang urut yang bisa dibawa ke rumah.”“Tidak, tidak usah.” Attar bangkit dari posisi tidurnya dan membawa piring serta cangkirnya ke meja bar, diikuti Ruby. “Paling karena sudah lama tidak kugerakan. Hari ini kamu ada acara?”“Aku ingin mengunjungi Luna di rumah Mbak Shera. Katanya, dia sudah bisa baca. Mbak Shera juga ingin aku mengajarinya menghitung. Ah, aku jadi tak sabar bertemu dengan ponakanku yang satu itu,” ujar Ruby penuh semangat.“Keponakan kita,” ralat Attar lembut. Ia menyantap sarapan paginya dengan lahap. “Tidak asin, tidak hambar,” Ia memuji istrinya, itu juga rutinitas sehari-hari. Tidak peduli makanannya tak ada rasanya sekalipun, ia akan tetap menghujani istrinya dengan pujian-pujian sampai istrinya merasa bosan. “Kamu akan sarapan di sana?”“Aku sudah makan sebelum kamu bangun.”
Jam sembilan setelah istrinya mandi dan sarapan (Attar yang memasak dan dia juga yang memaksa istrinya untuk makan), ia mengantarkan istrinya ke rumah kakak ipar mereka. Di sana tampak Edo dan istrinya yang sudah berpakaian formal, sementara Luna masih dalam setelan piyama.Rupanya Edo dan istrinya akan menghadiri sebuah pesta. Tidak jelas pesta apa. Tapi Attar bisa membayangkan, pesta itu pasti bagian dari kehedonan kakak Ruby. Dulu ia pernah menjadi bagian dari kehedonan sendiri. Dan tak ada keinginan untuk ke sana lagi, berhubung istrinya yang introvert ini enggan bergaul dengan orang-orang yang doyan pamer kekayaan mereka.Jadi babysitter deh, pikirnya. Tak apalah. Yang penting Ruby senang, aku juga ikut senang. Berhubung saat itu adalah hari libur, Attar juga tak memiliki alasan untuk mengelak, dan selain itu ia juga tidak punya pekerjaan apa-apa. Jadi ditemaninya istrinya mengurus Luna.Mereka bertiga duduk di kamar bermain Luna yang bak istana Ba
Karena suaminya tiba-tiba mendapat telepon dari sekretarisnya, bahwa ada rapat penting dengan kliennya, mereka harus membatalkan niatnya untuk ke rumah sakit. Sebelum turun ke gedung apartemen Ruby menegaskan untuk menenangkan kekesalan suaminya. “Aku bisa membeli alat tes kehamilan. Kalau masih belum percaya, masih ada hari esok ke rumah sakit, kan?”Attar mengangguk, tapi rasa kesalnya masih belum luruh dari hatinya. “Take care, ya, Sayang,” sebelum istrinya keluar mobil, diciumnya dahi istrinya.Heran. Suaminya tak pernah bosan menciumnya di mana saja. Apakah itu reaksi dari pengantin baru? Selalu memberi perhatian yang berlebihan? Tak apalah, daripada ia dicueki oleh suaminya.Ruby segera membeli alat tes itu di apotek. Begitu mendapatkan alat “penentu” hidupnya itu, ia langsung melakukan tes dengan urinnya. Ya Allah… semoga saja dua garis merah muncul di kertas kecil yang berada di tangannya.POSITI
Tempat sanggarnya tidak terlalu modern. Cukup sederhana. Hanya ruangan besar yang berisi banyak kanvas dan cat. Setiap tiga bulan sekali, Attar mengadakan lomba lukis. Yang paling bagus akan diberikan kanvas, cat, dan kuas.Setiap tahun muridnya semakin banyak. Dari umur enam sampai dua puluh tahun lebih. Sampai akhirnya ia kewalahan dan merekrut orang-orang yang bisa melukis untuk mengajar di sanggarnya. Karena banyak dari muridnya yang tak mampu, ia membuat program belajar gratis. Sedikit tidak biasa memang. Di sana, anak-anak orang kaya maupun yang tidak mampu berbaur tanpa ada rasa keki atau sombong.Ada lagi poin positifnya. Sanggar lukis yang ia dirikan adalah sanggar gratis untuk anak-anak yang berbakat. Di dekat sanggar itu, ada sebuah rumah untuk anak-anak itu tinggal. Kebanyakan anak-anak yang tidak mampu itu sudah tidak memiliki orangtua.“Yeee!! Kak Attar datang!” Anak-anak menyambut kedatangannya. Dan kemudian mereka tertegun melihat sia
Mereka mengangguk-angguk. Attar melanjutkan, “Tapi kalau Kak Ruby sedang tidak sibuk, Kak Ruby pasti ke sini. Dan kalian harus janji…”“Janji apa, Kak?!”“Jangan dipotong kalau orang sedang bicara, Farrel,” kata Fariz.“Kalian harus janji, setiap Kak Ruby ke sini, atau siapapun yang datang ke sini, kalian harus menjaga perilaku kalian, bagaimana? Tidak sulit, kan?”Tanpa berpikir lama mereka semua berteriak, “SETUJU!”Lalu mereka pergi seperti debu, ketika Fariz mengajak mereka makan di ruang makan. “Aku bertanya-tanya, apa yang membuat istriku yang cantik ini bisa melukis ini,” katanya seraya menarik kursi untuk berdekatan dengan istrinya yang masih di depan kanvas. “Kalau kujual lukisan ini, mungkin nilainya bisa ratusan juta.”“Jadi, begitu? Kamu jadikan mereka ini lahan bisnis?”Tergelak Attar mendengar komentar istrinya. “
Lenny menyambut menantunya dengan baik, meski ekspresinya masih menunjukkan kekesalan karena ulah Ruby.Tapi ia tidak bisa marah. Sebagai seorang ibu, Lenny tahu Ruby adalah kebahagiaan putranya. Sama halnya dengan Malik. Siapapun yang menjadi menantunya, ia akan terima, selama menantunya itu tidak menjatuhkan anaknya lagi.Mereka berbaur dengan sangat cepat. Segala senyum tawa menghiasi ruang keluarga yang besar itu. Sama dengan Attar, mereka juga tidak tahu sampai kapan mereka bisa bersandiwara menutupi kesalahan anggota keluarga mereka di depan Ruby.***“Ruby muntah-muntah mulu pagi ini.” Lestari melapor dengan dahi mengerut. “Tubuhnya juga gemukan,” tambahnya dengan curiga. “Apa mungkin dia…?”“Mana mungkin!” sergah Kakek Gunawan. “Mereka kan baru menikah. Sekalipun sudah, seharusnya baru satu-dua minggu. Mungkin dia hanya gemukan saja.”Firasatnya sebagai ibu tidak mung
“Bagaimana dengan kontrak itu? Ketika kamu bilang mengenai lamaran itu, aku teringat pada kontrak itu.” “Curse the contract. Kamu tidak akan meninggalkan suamimu yang satu ini, kan?” Attar terus mencium, menggigit, leher serta bahu istrinya. “I will never give up on you, Rubiniaku. You’re the light of my life, I love you so much. Way too much.” “Attar, katakan dulu apa yang terjadi dengan kontrak itu.” Ruby membalikkan tubuhnya dan menatap suaminya dengan penuh tuntutan. “Apa yang kamu lakukan dengan perjanjian itu?” “Well, aku tidak peduli dengan perjanjian itu. Kakekmu juga sudah tidak ada, bukan? Bahkan notaris yang menyaksikan perjanjian itu sudah pergi juga. Dan aku.” Attar terdiam sejenak. “Aku tidak perlu kontrak atau jaminan apa pun untuk memilikimu dan anak-anak.” “Benarkah?” “Mau taruhan? Sebelumnya, aku ingin tahu apakah aku masih kuat menggendongmu atau tidak.” Dengan tubuhnya yang kekar Attar ma
ItaliaPemuda dengan memakai kemeja kotak-kotak menggandeng gadis kecil berambut panjang. “Papa!” teriak gadis kecil itu.“Miriam!” Attar menghampiri putri kecilnya dan menggendongnya. “Bagaimana jalan-jalannya dengan Kak Eda?”Tujuh tahun berlalu begitu cepat. Attar bersyukur, dengan kesehatannya yang semakin membaik, dan di usianya yang menginjak empat puluh, ia mendapat semuanya—anak-anak yang cantik dan tampan yang pintar—istri yang begitu sabar menghadapinya. Kehidupannya sangat sempurna tujuh tahun terakhir, setelah puluhan tahun sebelumnya ia habiskan dengan kebohongan dan kemarahan yang tak terkendali.Attar menamakan anak keduanya Miriam. Sebagai tanda hormatnya pada sang nenek yang sudah lama pergi. Nenek yang dicintai kakeknya, yang akan selamanya Attar kenang akan kebaikan sang kakek semasa hidupnya.Sebelum meninggalkan Hardana Land dan tinggal di Singapura, Attar melakuk
“Kata Tante Nina, Oom Attar tidak bisa bawa yang berat-berat dulu sejak serangan kayak Kakek.”Anak kecil tidak mungkin berbohong. Agar tidak membahas lebih lanjut, Attar bangkit dan mengajak istrinya untuk ke kamarnya yang berada di lantai yang sama. Sebelumnya ia menitip pesan pada Eda untuk menemani Kakek Malik dan Nenek Lenny di sana.Ketika Attar mendorong kursi roda istrinya ke kamar, sosok Kakek Gun dan keluarga Adiwangsa lainnya muncul. Mereka menjelaskan bahwa di luar macet sekali hingga Kakek Gun harus naik helikopter dari Menara Adiwangsa yang lokasinya tak jauh dari rumah.Kakek Gun meminta Ruby untuk beristirahat dulu sementara keluarga Adiwangsa menjenguk Hasyim. Ruby menolak, namun tak punya pilihan karena Edo dan Shera ikut mengkhawatirkan keadaannya.Begitu sampai kamar Attar membantu istrinya untuk bangun dan berbaring di tempat tidur. Dipastikannya kepala istrinya sudah nyaman dengan bantalnya. Kemudian ia duduk di tepi temp
“Kakek saya tidak pernah terlihat sakit.”“Anda pun juga begitu. Tapi Anda pernah serangan juga, bukan?” Dokter Prapto, dokter yang sama yang menangani Attar ketika ia dirawat. “Sekarang temuilah anggota keluarga yang lain di lorong, Pak Attar.”Dengan lemas Attar keluar dari kamar kakeknya. Di lorong sudah ada semua anggota keluarga Hardana, termasuk dari keluarga menantu. Adam, Fariz, dan sepupu yang lain memeluknya, memberi semangat padanya.Attar menghampiri istrinya yang duduk di atas kursi roda di pojok sebelah ibunya. Sebelumnya Attar memeluk mama-papanya, dan meminta Eda untuk mendoakan kakek buyutnya agar cepat sembuh.Ia duduk di kursi yang paling dekat dengan istrinya. “Bagaimana ceritanya? Kata Pak Mahdi dia serangan di kamarmu.”Ruby mengangguk. “Kakek mengakui semuanya di depanku.”“Apakah kamu menyakitinya?”Mata Ruby menyipit. Apakah suaminya berni
“Kakek Hasyim,” kata Ruby. “Ada perlu apa kemari?” Tidak perlu bertanya sebenarnya. Ia tahu apa yang ingin dikatakan kakek. Mengenai hubungan mereka yang sebenarnya. Tapi Ruby tidak tertarik. Yang diinginkannya adalah menemui Attar, membahas jenis kelamin bayinya.“Apakah Attar belum memberitahu bahwa aku…”“Kakekku? Sudah.”Ketenangan yang ditunjukkan Ruby membuat Hasyim terbelalak. “Kamu tidak marah atau benci padaku, Rubinia…”“Saya tidak punya pilihan, bukan,” jawab Ruby sinis. “Anda sudah mendapatkan apa yang Anda inginkan. Attar tidak dipenjara, dan saya telah menikah atas kehendak Anda.”“Ruby, saya tidak menyangka kamu berpikir seperti itu mengenai saya…” Hasyim mengira dirinya sudah baik pada cucunya yang satu ini. Ia telah lama berdiam diri dengan fakta yang ditelannya puluhan tahun. Dan reaksi Ruby adalah beban besar untuk
Armand memiliki temper yang sulit diduga. Ketika Edo masuk usia remaja, sikap Armand berubah pada putranya. Kasih sayang yang dulu disalurkannya pada anak-anaknya sirna begitu saja. Berganti dengan kemarahan karena anak-anaknya tidak ada yang menghargainya sebagai kepala rumah tangga, kebenciannya pada Gunawan yang tak pernah bersikap tegas padanya, bahkan seakan menunjukkan sikap tidak sayang pada anaknya dengan mendukung hubungan Armand dengan Hasyim.Hingga suatu hari Hasyim melakukan kesalahan.Dia tidak bisa mengekang dirinya untuk mengakui Armand. Pada acara open house Lebaran yang diadakan keluarga Adiwangsa, ia memanggil Ruby dengan sebutan yang tak biasa. “Hai, gadis kecil. Tidak salam pada kakekmu?”Ruby menoleh padanya dengan heran. Saat itu ia sudah remaja dan dia bukan cucu Hasyim. “Saya bukan Nina,” kata Ruby kikuk.“Tentu saja. Kamu Rubinia. Cucuku.”Percakapan mereka tidak berlanjut tatka
“Mustahil untuk membuka pintu maafmu,” bisik Attar di lehernya. “Aku insyaf, lelaki yang kini menjadi suamimu lelaki yang serakah, meraup apa yang diinginkannya, dan sekarang kamu menyadarkan aku bahwa malaikat pun tak sanggup memaafkan aku.”“Aku bukan malaikat,” jawab Ruby, masih memunggungi suaminya. “Aku hanya wanita tolol yang mencintaimu.”“Aku tetap suamimu, Nia. It’s my duty to ease your ache, and…” “Berhentilah mengesankan kamu melakukan ini karena statusmu,” bentak Ruby. Ia berbalik menatap suaminya. “Bisakah sekali saja kamu katakan padaku, kamu merawatku, menolongku, karena kamu seorang manusia yang memiliki hati nurani? Seorang suami yang mencintai istrinya?”“Kalau pun aku mengatakannya, kamu tidak akan percaya lagi padaku,” jawab Attar kaku. “Aku tidak perlu membusakan mulutku dengan janji-janji lagi. Aku akan buktika
“Mengapa kamu di sini?”“Mengapa aku di sini?” Suara Attar meninggi mendengar pertanyaan istrinya. “Well, kenapa aku harus di tempat lain di saat istriku sedang dirawat?”“Kamu terbiasa di kantor setiap akhir tahun atau bersama Nina dan yang lainnya berpesta menyambut tahun baru.”“Aku tidak begitu semangat di Hardana Land untuk saat ini. Bagaimana menurutmu jika aku pindah ke perusahaan Stephen? Hm, Stephen ini teman Fariz yang waktu itu kuceritakan. Dia yang menawarkan aku jadi CEO di Osvaldo Property.”Ruby mengernyit tanda tidak setuju. “Itu artinya kita akan tinggal di Singapura?”“Kita bisa berpisah dan aku bisa pulang setiap akhir minggu. Yah, mungkin juga tidak, karena uangku tidak akan sebanyak saat di Hardana Land dan aku tidak bisa memesan pesawat pribadiku sesukaku di sana.”“Aku tidak setuju jika kita harus berpisah. Maksudku, kita
“Mengapa tidak kamu saja yang melakukan proyek ini? Aku yakin kamu bisa menggantikan aku di sini. Kamu lebih berhak.”“Oh, Tara, bahkan aku tidak merasa ada bedanya kamu cucu Kakek atau bukan,” dengus Fariz. “You’re always my leader, cousin. Aku menyesal telah mengantarkan pesan Stephen mengenai tawaran itu. Mereka selalu welcome kapan pun kamu menerima mereka.”“Tidak ada ketegasan sekali. Mengapa tidak mencari CEO lain saja?”“Memang banyak pengusaha properti yang sukses, tapi mereka memilih untuk menjaga perusahaan mereka sendiri. Stephen berpikir dengan anggota keluarga Hardana yang banyak, melepasmu bukanlah masalah besar untuk kita. Tapi nyatanya, itu masalah juga.”“Aku percaya padamu.”“Tidak, Attar,” jawab Fariz tegas. “Aku akan sangat membencimu jika kamu meninggalkan perusahaan ini. Aku tahu passion-ku bukan di sini.