Karena suaminya tiba-tiba mendapat telepon dari sekretarisnya, bahwa ada rapat penting dengan kliennya, mereka harus membatalkan niatnya untuk ke rumah sakit. Sebelum turun ke gedung apartemen Ruby menegaskan untuk menenangkan kekesalan suaminya. “Aku bisa membeli alat tes kehamilan. Kalau masih belum percaya, masih ada hari esok ke rumah sakit, kan?”
Attar mengangguk, tapi rasa kesalnya masih belum luruh dari hatinya. “Take care, ya, Sayang,” sebelum istrinya keluar mobil, diciumnya dahi istrinya.
Heran. Suaminya tak pernah bosan menciumnya di mana saja. Apakah itu reaksi dari pengantin baru? Selalu memberi perhatian yang berlebihan? Tak apalah, daripada ia dicueki oleh suaminya.
Ruby segera membeli alat tes itu di apotek. Begitu mendapatkan alat “penentu” hidupnya itu, ia langsung melakukan tes dengan urinnya. Ya Allah… semoga saja dua garis merah muncul di kertas kecil yang berada di tangannya.
POSITI
Tempat sanggarnya tidak terlalu modern. Cukup sederhana. Hanya ruangan besar yang berisi banyak kanvas dan cat. Setiap tiga bulan sekali, Attar mengadakan lomba lukis. Yang paling bagus akan diberikan kanvas, cat, dan kuas.Setiap tahun muridnya semakin banyak. Dari umur enam sampai dua puluh tahun lebih. Sampai akhirnya ia kewalahan dan merekrut orang-orang yang bisa melukis untuk mengajar di sanggarnya. Karena banyak dari muridnya yang tak mampu, ia membuat program belajar gratis. Sedikit tidak biasa memang. Di sana, anak-anak orang kaya maupun yang tidak mampu berbaur tanpa ada rasa keki atau sombong.Ada lagi poin positifnya. Sanggar lukis yang ia dirikan adalah sanggar gratis untuk anak-anak yang berbakat. Di dekat sanggar itu, ada sebuah rumah untuk anak-anak itu tinggal. Kebanyakan anak-anak yang tidak mampu itu sudah tidak memiliki orangtua.“Yeee!! Kak Attar datang!” Anak-anak menyambut kedatangannya. Dan kemudian mereka tertegun melihat sia
Mereka mengangguk-angguk. Attar melanjutkan, “Tapi kalau Kak Ruby sedang tidak sibuk, Kak Ruby pasti ke sini. Dan kalian harus janji…”“Janji apa, Kak?!”“Jangan dipotong kalau orang sedang bicara, Farrel,” kata Fariz.“Kalian harus janji, setiap Kak Ruby ke sini, atau siapapun yang datang ke sini, kalian harus menjaga perilaku kalian, bagaimana? Tidak sulit, kan?”Tanpa berpikir lama mereka semua berteriak, “SETUJU!”Lalu mereka pergi seperti debu, ketika Fariz mengajak mereka makan di ruang makan. “Aku bertanya-tanya, apa yang membuat istriku yang cantik ini bisa melukis ini,” katanya seraya menarik kursi untuk berdekatan dengan istrinya yang masih di depan kanvas. “Kalau kujual lukisan ini, mungkin nilainya bisa ratusan juta.”“Jadi, begitu? Kamu jadikan mereka ini lahan bisnis?”Tergelak Attar mendengar komentar istrinya. “
Lenny menyambut menantunya dengan baik, meski ekspresinya masih menunjukkan kekesalan karena ulah Ruby.Tapi ia tidak bisa marah. Sebagai seorang ibu, Lenny tahu Ruby adalah kebahagiaan putranya. Sama halnya dengan Malik. Siapapun yang menjadi menantunya, ia akan terima, selama menantunya itu tidak menjatuhkan anaknya lagi.Mereka berbaur dengan sangat cepat. Segala senyum tawa menghiasi ruang keluarga yang besar itu. Sama dengan Attar, mereka juga tidak tahu sampai kapan mereka bisa bersandiwara menutupi kesalahan anggota keluarga mereka di depan Ruby.***“Ruby muntah-muntah mulu pagi ini.” Lestari melapor dengan dahi mengerut. “Tubuhnya juga gemukan,” tambahnya dengan curiga. “Apa mungkin dia…?”“Mana mungkin!” sergah Kakek Gunawan. “Mereka kan baru menikah. Sekalipun sudah, seharusnya baru satu-dua minggu. Mungkin dia hanya gemukan saja.”Firasatnya sebagai ibu tidak mung
“Apakah aku harus pergi, agar anakku tidak dicemooh?” gumam Ruby sedih. “Atau justru aku bertahan, menerima semua penghinaan untuk menebus kesalahanku?”“Sebenarnya kamu tidak usah memikirkan perkataan mereka,” Kakek menyarankan. “Tapi Kakek ingin, kamu melahirkan anakmu di luar negeri, atau paling tidak di luar kota. Bagaimanapun kamu sudah mempermalukan Kakek dengan kabur dari pernikahanmu, dan nanti kamu…”Ruby mengangkat wajahnya untuk menatap kakeknya. Apa? Kakeknya yang selalu baik padanya, masih memikirkan nama baik? Ah, tentu saja. Kakeknya pasti kecewa. Kakek yang selalu memberikannya apapun ini ingin melakukan sistem timbal-balik darinya.Dan sebagai cucu yang tahu diri, Ruby mengangguk setuju. “Aku akan mengatakannya pada Attar.”“Kakek tidak marah padamu. Sama sekali tidak. Tapi kasihan ibumu, Nak, dia sudah letih kehilangan customer-nya karena pemberitaan kaburm
“Kalau ayahmu sampai tahu, kamu bisa digantung!” lanjut Lenny. “Digantung di tiang depanpun rasanya belum cukup! Salah apa Mama ini, bisa punya anak yang tidak punya kendali. Astaghfirullah…”Ketika dilihatnya ibunya sesak napas, Attar segera mendekati ibunya. Namun Lenny mengibaskan tangannya agar ia tidak mendekat.“Apakah kakek Ruby tahu mengenai hal ini?”Attar mengangguk.“Ya Allah! Sudah bagus kamu tidak dibunuh balik!” Terus terang ibunya tidak bermaksud mengatakan itu. Tapi pengakuan anaknya melecut kemarahannya. “Maafkan Mama,” ujarnya pelan. “Tapi seharusnya kamu tahu dong, Pak Gunawan itu memilihmu karena ia tahu kamu mencintai cucunya. Dan sekarang… Ah! Kamu bisa merusak hubungan persahabatan Kakek Gun dan Kakek Has!”“Ya, aku tahu, Ma.” Tapi aku harus bagaimana? Kakek Gun memiliki cucu yang sangat cantik. Mustahil aku membutakan mataku unt
Mungkin sudah saatnya aku mandiri, hibur Ruby pada dirinya sendiri. Sudah saatnya aku kehilangan perhatian keluargaku. Kehilangan perhatian Mami, Kakek, dan Mas Edo. Huh. Mengapa sulit sekali untuk dibayangkan saja? Mengapa rasanya aku ingin pulang ke rumah, meminta Mami untuk memanjakanku di saat seperti ini?Bukan karena Attar tidak memanjakannya. Tidak perhatian padanya. Setiap malam ia selalu membawakan pesanan istrinya, dari bika ambon, kue putu, sampai yang paling sulit didapat, kue bolu buatan Mami Lestari. Ruby tahu akan sangat sulit untuk Attar meyakinkan ibunya, apalagi setelah pengakuannya. Tapi toh suaminya tetap melaksanakan keinginannya, demi sang calon bayi.“ Aku sampai mengancam akan bersujud di kaki ibumu kalau ia tidak membuatkanmu kue bolu,” kata Attar letih. Ia baru saja sampai apartemen pukul tiga dini hari. Sebenarnya tidak bermaksud mengeluh, tapi rasanya dadanya terlalu pengap untuk dipendamnya sendiri. “Dan proses pembu
“Aku baru saja bangun. Seharian aku tidur. Justru kamu yang jarang tidur di kamar. Sibuk terus. Belum lahir saja ayahnya sudah sibuk, apalagi nanti.”“Kan untuk anak dan ibunya.”“Ingin kubuatkan susu? Besok pagi kan kamu harus ngantor. Kalau nanti bosnya kesiangan, bagaimana pegawainya?”“Aku sudah biasa insomnia begini, kok.” Memang sejak dulu aku susah tidur. Setiap tidur, ayahmu selalu datang, seolah mengajakku pergi bersamanya.“Dan sejauh ini kamu belum sakit.”“Yah, mau bagaimana lagi? Sejak kuliah aku tidak bisa tidur karena harus belajar nonstop.” Begitu alibinya yang tak sepenuhnya berbohong. Mana ada mahasiswa di uni ternama yang sempat tidur kalau tugas terus mengejar bagai hantu di siang bolong.“Cobalah tidur cepat dari sekarang. Nanti bisa kena kencing manis, lho.”“Mungkin dengan sedikit ciuman, bisa membuatku tidur?” Attar
“Masa sih?” Ruby memperhatikan lengannya yang rupanya hanya menebal dua milimeter. Padahal setiap hari kerjaannya hanya makan, nonton TV, menulis, ke kamar mandi, makan lagi. Makan terus. Heran.“Aduh, anak kita pasti kurus banget.” Attar berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kita memang harus berdamai dengan Mami. Mami kan jago masak. Kamu pasti subur deh kalau sama Mami!”“Jadi kita ke acara ulang tahun Mami?”“Iya, dong. Nggak ada yang bakal curiga, kok, kalau kamu masih cungkring begini.”Ruby membelai kening bagian samping suaminya. “Memang aku kurus banget, ya?” Kalau lagi tidak hamil, mungkin nadanya meninggi karena dibilang cungkring. Demi anak, demi anak, jangan tersulut emosi dengan gampang.Suaminya menggenggam tangannya yang berada di kepalanya. Dibawanya tangannya ke bibir pria itu. Persis seperti yang mereka lakukan di ruang makan waktu itu. “Tang