Lenny menyambut menantunya dengan baik, meski ekspresinya masih menunjukkan kekesalan karena ulah Ruby.
Tapi ia tidak bisa marah. Sebagai seorang ibu, Lenny tahu Ruby adalah kebahagiaan putranya. Sama halnya dengan Malik. Siapapun yang menjadi menantunya, ia akan terima, selama menantunya itu tidak menjatuhkan anaknya lagi.
Mereka berbaur dengan sangat cepat. Segala senyum tawa menghiasi ruang keluarga yang besar itu. Sama dengan Attar, mereka juga tidak tahu sampai kapan mereka bisa bersandiwara menutupi kesalahan anggota keluarga mereka di depan Ruby.
***
“Ruby muntah-muntah mulu pagi ini.” Lestari melapor dengan dahi mengerut. “Tubuhnya juga gemukan,” tambahnya dengan curiga. “Apa mungkin dia…?”
“Mana mungkin!” sergah Kakek Gunawan. “Mereka kan baru menikah. Sekalipun sudah, seharusnya baru satu-dua minggu. Mungkin dia hanya gemukan saja.”
Firasatnya sebagai ibu tidak mung
“Apakah aku harus pergi, agar anakku tidak dicemooh?” gumam Ruby sedih. “Atau justru aku bertahan, menerima semua penghinaan untuk menebus kesalahanku?”“Sebenarnya kamu tidak usah memikirkan perkataan mereka,” Kakek menyarankan. “Tapi Kakek ingin, kamu melahirkan anakmu di luar negeri, atau paling tidak di luar kota. Bagaimanapun kamu sudah mempermalukan Kakek dengan kabur dari pernikahanmu, dan nanti kamu…”Ruby mengangkat wajahnya untuk menatap kakeknya. Apa? Kakeknya yang selalu baik padanya, masih memikirkan nama baik? Ah, tentu saja. Kakeknya pasti kecewa. Kakek yang selalu memberikannya apapun ini ingin melakukan sistem timbal-balik darinya.Dan sebagai cucu yang tahu diri, Ruby mengangguk setuju. “Aku akan mengatakannya pada Attar.”“Kakek tidak marah padamu. Sama sekali tidak. Tapi kasihan ibumu, Nak, dia sudah letih kehilangan customer-nya karena pemberitaan kaburm
“Kalau ayahmu sampai tahu, kamu bisa digantung!” lanjut Lenny. “Digantung di tiang depanpun rasanya belum cukup! Salah apa Mama ini, bisa punya anak yang tidak punya kendali. Astaghfirullah…”Ketika dilihatnya ibunya sesak napas, Attar segera mendekati ibunya. Namun Lenny mengibaskan tangannya agar ia tidak mendekat.“Apakah kakek Ruby tahu mengenai hal ini?”Attar mengangguk.“Ya Allah! Sudah bagus kamu tidak dibunuh balik!” Terus terang ibunya tidak bermaksud mengatakan itu. Tapi pengakuan anaknya melecut kemarahannya. “Maafkan Mama,” ujarnya pelan. “Tapi seharusnya kamu tahu dong, Pak Gunawan itu memilihmu karena ia tahu kamu mencintai cucunya. Dan sekarang… Ah! Kamu bisa merusak hubungan persahabatan Kakek Gun dan Kakek Has!”“Ya, aku tahu, Ma.” Tapi aku harus bagaimana? Kakek Gun memiliki cucu yang sangat cantik. Mustahil aku membutakan mataku unt
Mungkin sudah saatnya aku mandiri, hibur Ruby pada dirinya sendiri. Sudah saatnya aku kehilangan perhatian keluargaku. Kehilangan perhatian Mami, Kakek, dan Mas Edo. Huh. Mengapa sulit sekali untuk dibayangkan saja? Mengapa rasanya aku ingin pulang ke rumah, meminta Mami untuk memanjakanku di saat seperti ini?Bukan karena Attar tidak memanjakannya. Tidak perhatian padanya. Setiap malam ia selalu membawakan pesanan istrinya, dari bika ambon, kue putu, sampai yang paling sulit didapat, kue bolu buatan Mami Lestari. Ruby tahu akan sangat sulit untuk Attar meyakinkan ibunya, apalagi setelah pengakuannya. Tapi toh suaminya tetap melaksanakan keinginannya, demi sang calon bayi.“ Aku sampai mengancam akan bersujud di kaki ibumu kalau ia tidak membuatkanmu kue bolu,” kata Attar letih. Ia baru saja sampai apartemen pukul tiga dini hari. Sebenarnya tidak bermaksud mengeluh, tapi rasanya dadanya terlalu pengap untuk dipendamnya sendiri. “Dan proses pembu
“Aku baru saja bangun. Seharian aku tidur. Justru kamu yang jarang tidur di kamar. Sibuk terus. Belum lahir saja ayahnya sudah sibuk, apalagi nanti.”“Kan untuk anak dan ibunya.”“Ingin kubuatkan susu? Besok pagi kan kamu harus ngantor. Kalau nanti bosnya kesiangan, bagaimana pegawainya?”“Aku sudah biasa insomnia begini, kok.” Memang sejak dulu aku susah tidur. Setiap tidur, ayahmu selalu datang, seolah mengajakku pergi bersamanya.“Dan sejauh ini kamu belum sakit.”“Yah, mau bagaimana lagi? Sejak kuliah aku tidak bisa tidur karena harus belajar nonstop.” Begitu alibinya yang tak sepenuhnya berbohong. Mana ada mahasiswa di uni ternama yang sempat tidur kalau tugas terus mengejar bagai hantu di siang bolong.“Cobalah tidur cepat dari sekarang. Nanti bisa kena kencing manis, lho.”“Mungkin dengan sedikit ciuman, bisa membuatku tidur?” Attar
“Masa sih?” Ruby memperhatikan lengannya yang rupanya hanya menebal dua milimeter. Padahal setiap hari kerjaannya hanya makan, nonton TV, menulis, ke kamar mandi, makan lagi. Makan terus. Heran.“Aduh, anak kita pasti kurus banget.” Attar berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kita memang harus berdamai dengan Mami. Mami kan jago masak. Kamu pasti subur deh kalau sama Mami!”“Jadi kita ke acara ulang tahun Mami?”“Iya, dong. Nggak ada yang bakal curiga, kok, kalau kamu masih cungkring begini.”Ruby membelai kening bagian samping suaminya. “Memang aku kurus banget, ya?” Kalau lagi tidak hamil, mungkin nadanya meninggi karena dibilang cungkring. Demi anak, demi anak, jangan tersulut emosi dengan gampang.Suaminya menggenggam tangannya yang berada di kepalanya. Dibawanya tangannya ke bibir pria itu. Persis seperti yang mereka lakukan di ruang makan waktu itu. “Tang
Untuk menghibur hati istrinya, Attar mengajaknya ke rumah keluarga Hardana. Saat itu tidak ada orang di sana. Pada ke acara ultah mertua Pak Attar, begitu kata pembantunya. Bah. Lucu sekali. Hubungan kedua keluarga itu masih baik-baik saja, di saat ia dan Ruby dimusuhi oleh kedua keluarga itu. Oh, yang benar saja. Pernikahannya dengan Ruby seperti tak ada artinya di mata mereka.Kebetulan. Saat itu ia memang tidak mau diganggu oleh siapapun. Digandengnya Ruby ke efek rumah kaca ibunya yang berada di lantai paling atas. Ibunya sendiri yang membuat efek rumah kaca itu, ibunya juga yang menanam semua bunga yang menghiasi rumah kaca itu.“Waktu aku remedial biologi, aku selalu merenung di sini,” kata Attar dengan tatapan menerawang. “Tempat ini sangat wangi dan menenangkan.”Ya, di sana terdapat banyak bunga. Bunga tulip, mawar, bougenvil, dan segala jenis bunga yang mengeluarkan bau yang semerbak. Bau yang menusuk hidungnya namun menyegarkan
“Kamu sendirian ke sini?”“Iya,” jawab Ruby tenang. “Kamu sendiri?”“Dengan ibuku, tapi dia sedang makan di resto dekat sini. Tidak bersama…suamimu?”“Oh, Attar sedang bekerja.”Mereka diam sejenak. Lalu Adam mulai bicara lagi, “Sudah berapa bulan?” tanyanya sambil melirik ke perutnya.“Mau enam bulan.” Ruby tersenyum. “Kamu kapan nyusul?”“Aku?” Kedua alis Adam terangkat, kemudian ia tertawa. “Punya pacar saja belum, gimana mau nikah! Hahaha... Kamu ada kenalan?”Ruby ikut tertawa, meski hatinya teriris dan berharap bukan karena dirinya pria ini belum menikah sampai sekarang. Ah, bukankah pria ini tidak akan menikah, sebelum dendamnya terpenuhi?“Wah, kepintaranmu tidak bisa menarik hati wanita?” gurau Ruby. Dia jadi teringat pada masa lalu, ketika ia memilih Adam karena cowok itu pin
Ah, andai saja aku tidak hamil, aku tidak akan menyusahkannya! Bukan, mungkin lebih baik aku kabur saja dari pernikahan itu, dan membesarkan bayiku sendiri.Ini semua salahku!Cepat-cepat ia membersihkan mangkoknya dan mengambil mangkok yang baru. Ia mulai fokus memasak. Ia tidak boleh sedih. Tidak boleh menambahi beban suaminya.Menjelang malam, ia menghidangkan chicken cordon blue di meja makan. Ia tidak yakin rasanya akan enak. Tapi toh selama ini Attar selalu menerima makanannya dengan ikhlas.Tapi sampai pukul sebelas Attar belum pulang juga. Ia mencoba menelepon suaminya, tapi tak sekalipun diangkat. Di mana kamu, Attar? Apakah kamu memilih untuk menyimpan ini sendiri, tak ingin berbagi dengan istrimu?Ruby menyimpan makanannya di kulkas. Biarlah nanti dihangatkan lagi di oven. Hatinya tak berhenti mengkhawatirkan suaminya.Sesuatu dalam perutnya bergerak-gerak. Ah, kamu memikirkan ayahmu juga, ya? Tenang, Sayang, Pap
“Bagaimana dengan kontrak itu? Ketika kamu bilang mengenai lamaran itu, aku teringat pada kontrak itu.” “Curse the contract. Kamu tidak akan meninggalkan suamimu yang satu ini, kan?” Attar terus mencium, menggigit, leher serta bahu istrinya. “I will never give up on you, Rubiniaku. You’re the light of my life, I love you so much. Way too much.” “Attar, katakan dulu apa yang terjadi dengan kontrak itu.” Ruby membalikkan tubuhnya dan menatap suaminya dengan penuh tuntutan. “Apa yang kamu lakukan dengan perjanjian itu?” “Well, aku tidak peduli dengan perjanjian itu. Kakekmu juga sudah tidak ada, bukan? Bahkan notaris yang menyaksikan perjanjian itu sudah pergi juga. Dan aku.” Attar terdiam sejenak. “Aku tidak perlu kontrak atau jaminan apa pun untuk memilikimu dan anak-anak.” “Benarkah?” “Mau taruhan? Sebelumnya, aku ingin tahu apakah aku masih kuat menggendongmu atau tidak.” Dengan tubuhnya yang kekar Attar ma
ItaliaPemuda dengan memakai kemeja kotak-kotak menggandeng gadis kecil berambut panjang. “Papa!” teriak gadis kecil itu.“Miriam!” Attar menghampiri putri kecilnya dan menggendongnya. “Bagaimana jalan-jalannya dengan Kak Eda?”Tujuh tahun berlalu begitu cepat. Attar bersyukur, dengan kesehatannya yang semakin membaik, dan di usianya yang menginjak empat puluh, ia mendapat semuanya—anak-anak yang cantik dan tampan yang pintar—istri yang begitu sabar menghadapinya. Kehidupannya sangat sempurna tujuh tahun terakhir, setelah puluhan tahun sebelumnya ia habiskan dengan kebohongan dan kemarahan yang tak terkendali.Attar menamakan anak keduanya Miriam. Sebagai tanda hormatnya pada sang nenek yang sudah lama pergi. Nenek yang dicintai kakeknya, yang akan selamanya Attar kenang akan kebaikan sang kakek semasa hidupnya.Sebelum meninggalkan Hardana Land dan tinggal di Singapura, Attar melakuk
“Kata Tante Nina, Oom Attar tidak bisa bawa yang berat-berat dulu sejak serangan kayak Kakek.”Anak kecil tidak mungkin berbohong. Agar tidak membahas lebih lanjut, Attar bangkit dan mengajak istrinya untuk ke kamarnya yang berada di lantai yang sama. Sebelumnya ia menitip pesan pada Eda untuk menemani Kakek Malik dan Nenek Lenny di sana.Ketika Attar mendorong kursi roda istrinya ke kamar, sosok Kakek Gun dan keluarga Adiwangsa lainnya muncul. Mereka menjelaskan bahwa di luar macet sekali hingga Kakek Gun harus naik helikopter dari Menara Adiwangsa yang lokasinya tak jauh dari rumah.Kakek Gun meminta Ruby untuk beristirahat dulu sementara keluarga Adiwangsa menjenguk Hasyim. Ruby menolak, namun tak punya pilihan karena Edo dan Shera ikut mengkhawatirkan keadaannya.Begitu sampai kamar Attar membantu istrinya untuk bangun dan berbaring di tempat tidur. Dipastikannya kepala istrinya sudah nyaman dengan bantalnya. Kemudian ia duduk di tepi temp
“Kakek saya tidak pernah terlihat sakit.”“Anda pun juga begitu. Tapi Anda pernah serangan juga, bukan?” Dokter Prapto, dokter yang sama yang menangani Attar ketika ia dirawat. “Sekarang temuilah anggota keluarga yang lain di lorong, Pak Attar.”Dengan lemas Attar keluar dari kamar kakeknya. Di lorong sudah ada semua anggota keluarga Hardana, termasuk dari keluarga menantu. Adam, Fariz, dan sepupu yang lain memeluknya, memberi semangat padanya.Attar menghampiri istrinya yang duduk di atas kursi roda di pojok sebelah ibunya. Sebelumnya Attar memeluk mama-papanya, dan meminta Eda untuk mendoakan kakek buyutnya agar cepat sembuh.Ia duduk di kursi yang paling dekat dengan istrinya. “Bagaimana ceritanya? Kata Pak Mahdi dia serangan di kamarmu.”Ruby mengangguk. “Kakek mengakui semuanya di depanku.”“Apakah kamu menyakitinya?”Mata Ruby menyipit. Apakah suaminya berni
“Kakek Hasyim,” kata Ruby. “Ada perlu apa kemari?” Tidak perlu bertanya sebenarnya. Ia tahu apa yang ingin dikatakan kakek. Mengenai hubungan mereka yang sebenarnya. Tapi Ruby tidak tertarik. Yang diinginkannya adalah menemui Attar, membahas jenis kelamin bayinya.“Apakah Attar belum memberitahu bahwa aku…”“Kakekku? Sudah.”Ketenangan yang ditunjukkan Ruby membuat Hasyim terbelalak. “Kamu tidak marah atau benci padaku, Rubinia…”“Saya tidak punya pilihan, bukan,” jawab Ruby sinis. “Anda sudah mendapatkan apa yang Anda inginkan. Attar tidak dipenjara, dan saya telah menikah atas kehendak Anda.”“Ruby, saya tidak menyangka kamu berpikir seperti itu mengenai saya…” Hasyim mengira dirinya sudah baik pada cucunya yang satu ini. Ia telah lama berdiam diri dengan fakta yang ditelannya puluhan tahun. Dan reaksi Ruby adalah beban besar untuk
Armand memiliki temper yang sulit diduga. Ketika Edo masuk usia remaja, sikap Armand berubah pada putranya. Kasih sayang yang dulu disalurkannya pada anak-anaknya sirna begitu saja. Berganti dengan kemarahan karena anak-anaknya tidak ada yang menghargainya sebagai kepala rumah tangga, kebenciannya pada Gunawan yang tak pernah bersikap tegas padanya, bahkan seakan menunjukkan sikap tidak sayang pada anaknya dengan mendukung hubungan Armand dengan Hasyim.Hingga suatu hari Hasyim melakukan kesalahan.Dia tidak bisa mengekang dirinya untuk mengakui Armand. Pada acara open house Lebaran yang diadakan keluarga Adiwangsa, ia memanggil Ruby dengan sebutan yang tak biasa. “Hai, gadis kecil. Tidak salam pada kakekmu?”Ruby menoleh padanya dengan heran. Saat itu ia sudah remaja dan dia bukan cucu Hasyim. “Saya bukan Nina,” kata Ruby kikuk.“Tentu saja. Kamu Rubinia. Cucuku.”Percakapan mereka tidak berlanjut tatka
“Mustahil untuk membuka pintu maafmu,” bisik Attar di lehernya. “Aku insyaf, lelaki yang kini menjadi suamimu lelaki yang serakah, meraup apa yang diinginkannya, dan sekarang kamu menyadarkan aku bahwa malaikat pun tak sanggup memaafkan aku.”“Aku bukan malaikat,” jawab Ruby, masih memunggungi suaminya. “Aku hanya wanita tolol yang mencintaimu.”“Aku tetap suamimu, Nia. It’s my duty to ease your ache, and…” “Berhentilah mengesankan kamu melakukan ini karena statusmu,” bentak Ruby. Ia berbalik menatap suaminya. “Bisakah sekali saja kamu katakan padaku, kamu merawatku, menolongku, karena kamu seorang manusia yang memiliki hati nurani? Seorang suami yang mencintai istrinya?”“Kalau pun aku mengatakannya, kamu tidak akan percaya lagi padaku,” jawab Attar kaku. “Aku tidak perlu membusakan mulutku dengan janji-janji lagi. Aku akan buktika
“Mengapa kamu di sini?”“Mengapa aku di sini?” Suara Attar meninggi mendengar pertanyaan istrinya. “Well, kenapa aku harus di tempat lain di saat istriku sedang dirawat?”“Kamu terbiasa di kantor setiap akhir tahun atau bersama Nina dan yang lainnya berpesta menyambut tahun baru.”“Aku tidak begitu semangat di Hardana Land untuk saat ini. Bagaimana menurutmu jika aku pindah ke perusahaan Stephen? Hm, Stephen ini teman Fariz yang waktu itu kuceritakan. Dia yang menawarkan aku jadi CEO di Osvaldo Property.”Ruby mengernyit tanda tidak setuju. “Itu artinya kita akan tinggal di Singapura?”“Kita bisa berpisah dan aku bisa pulang setiap akhir minggu. Yah, mungkin juga tidak, karena uangku tidak akan sebanyak saat di Hardana Land dan aku tidak bisa memesan pesawat pribadiku sesukaku di sana.”“Aku tidak setuju jika kita harus berpisah. Maksudku, kita
“Mengapa tidak kamu saja yang melakukan proyek ini? Aku yakin kamu bisa menggantikan aku di sini. Kamu lebih berhak.”“Oh, Tara, bahkan aku tidak merasa ada bedanya kamu cucu Kakek atau bukan,” dengus Fariz. “You’re always my leader, cousin. Aku menyesal telah mengantarkan pesan Stephen mengenai tawaran itu. Mereka selalu welcome kapan pun kamu menerima mereka.”“Tidak ada ketegasan sekali. Mengapa tidak mencari CEO lain saja?”“Memang banyak pengusaha properti yang sukses, tapi mereka memilih untuk menjaga perusahaan mereka sendiri. Stephen berpikir dengan anggota keluarga Hardana yang banyak, melepasmu bukanlah masalah besar untuk kita. Tapi nyatanya, itu masalah juga.”“Aku percaya padamu.”“Tidak, Attar,” jawab Fariz tegas. “Aku akan sangat membencimu jika kamu meninggalkan perusahaan ini. Aku tahu passion-ku bukan di sini.