“Tentu saja aku terlibat.”
Alis Ruby terangkat satu.
“Aku yang membantunya mencari pemakaman pada dini hari, ingat?” sahut Attar. “Mungkin tidak. Saat itu kamu masih kaget. Aku dan kakek kita yang kelimpungan mencari makam untuknya.”
“Yah, aku tidak tahu mengenai hal itu, tapi bukan itu maksud pertanyaanku, Attar. Apakah kamu tahu…”
“…penyebab kematian ayahmu?” Attar mengangguk. “Ia ditabrak mobil antiknya sendiri. Aku tahu, itu memang sangat tragis, tapi tak bisa dihindari, Sayang.”
Duh, pria ini bodoh atau tidak peka sih, gerutu Ruby. Atau dia memang benar-benar tidak tahu apa yang kumaksud? Huh, kalau salah menuduh, bisa-bisa aku tidak punya muka lagi untuk menghadapi dia!
“Aku penasaran, mengapa mobilnya bisa tiba-tiba menabraknya?” ujar Ruby, belum menyerah.
Wajah Attar yang semula tenang berubah menjadi merah kegelapan. “Bukan
“Sudah bertemu yang baru, yang lama tidak diingat. Boro-boro diingat. Pernah diingatpun juga nggak. Sebaiknya aku pulang besok pagi,” sindir Adam yang berdiri di sebelahnya.Bukan kebetulan jam sarapan mereka sama. Bukan kebetulan pagi itu mereka sama-sama ingin menyantap salad. Bukan kebetulan juga mereka menghendaki susu untuk minum mereka.Yah, untungnya Attar yang baru kemarin tinggal di hotel itu belum bangun. Mungkin karena semalam mereka menonton opera di Fenice Theater, dan Attar masih perlu banyak waktu untuk istirahat lebih.Kalau Attar menemukannya sedang bersama Adam seperti sepasang kekasih begini, entah reaksi marah apa lagi yang akan diperlihatkannya.“Mau pulang saja pakai sinis segala,” sahut Ruby tak menampik serius. Ia pura-pura sibuk melihat-lihat makanan di buffet. Padahal sih makanan yang di piringnya sudah penuh. “Jangan-jangan kamu tidak bisa tidur karena sibuk memikirkannya.”&ld
“Ah!” Ruby yakin sekali wajahnya memerah. Pria kurang ajar. Belum jadi suami, sudah mengomentari bentuk tubuhnya. Tapi yang dikatakannya memang benar. Ia menjadi gemukan dan…, semoga saja tidak. “Mungkin karena stres, aku lebih banyak makan.”“Aneh. Kebanyakan orang stres itu susah makan.” Attar menegakkan posisinya. Kini mereka duduk berdampingan dan bersandar di penyangga tempat tidur. “Kamu stres karena dugaan itu?”Ya dan tidak. Bagaimana menjelaskannya? Sebenarnya, ia belum mengecek ke rumah sakit, mengapa hampir dua bulan ini ia belum menyambut tamu bulanannya. Apakah mungkin… Yang mereka lakukan di apartemen Attar membuahkan hasil? Rasanya mustahil. Kejadiannya terlalu cepat, tapi… bisa saja…Kata orang, kalau ada janin di dalam rahimnya, akan mengalami morning sickness, mual-mual di pagi hari. Tapi ia tidak mengalaminya, walaupun perasaan resah itu selalu datang entah me
Sudahlah, jangan berlagak naif! Kamu juga pada awalnya menikah denganku karena warisan. Membohongiku habis-habisan. Reaksimu begitu tahu aku hamil juga tidak sesuai dengan keinginanku. Sekarang, malah sok suci dengan menceramahiku, sok menjadi ayah yang baik!“Aku tahu itu salah, tapi bayangkan kalau kamu berada di posisiku,” ujar Ruby mencoba membela diri. “Apa yang akan kamu lakukan?”“Aku akan langsung menelepon kekasihku dan menuntutnya untuk segera menikahiku.”Aku juga ingin melakukannya! Tapi saat itu tampaknya kamu merasa tidak ada apa-apa di antara kita. Kamu seperti kejadian itu hanyalah angin lalu, yang hanya lewat, tak berarti apa-apa, tok! Bahkan menyesalpun kamu tidak karena telah melakukannya, sementara itu sangat berarti bagiku, karena itulah kali pertamaku melakukannya! Apa pria ini, yang akan menjadi ayah anakku kelak? Ya Allah, aku tahu aku tidak pantas menyebut nama-Mu setelah apa yang kulakukan, tapi ke ma
“Ingin kupanggilkan tukang urut? Mami punya langganan tukang urut yang bisa dibawa ke rumah.”“Tidak, tidak usah.” Attar bangkit dari posisi tidurnya dan membawa piring serta cangkirnya ke meja bar, diikuti Ruby. “Paling karena sudah lama tidak kugerakan. Hari ini kamu ada acara?”“Aku ingin mengunjungi Luna di rumah Mbak Shera. Katanya, dia sudah bisa baca. Mbak Shera juga ingin aku mengajarinya menghitung. Ah, aku jadi tak sabar bertemu dengan ponakanku yang satu itu,” ujar Ruby penuh semangat.“Keponakan kita,” ralat Attar lembut. Ia menyantap sarapan paginya dengan lahap. “Tidak asin, tidak hambar,” Ia memuji istrinya, itu juga rutinitas sehari-hari. Tidak peduli makanannya tak ada rasanya sekalipun, ia akan tetap menghujani istrinya dengan pujian-pujian sampai istrinya merasa bosan. “Kamu akan sarapan di sana?”“Aku sudah makan sebelum kamu bangun.”
Jam sembilan setelah istrinya mandi dan sarapan (Attar yang memasak dan dia juga yang memaksa istrinya untuk makan), ia mengantarkan istrinya ke rumah kakak ipar mereka. Di sana tampak Edo dan istrinya yang sudah berpakaian formal, sementara Luna masih dalam setelan piyama.Rupanya Edo dan istrinya akan menghadiri sebuah pesta. Tidak jelas pesta apa. Tapi Attar bisa membayangkan, pesta itu pasti bagian dari kehedonan kakak Ruby. Dulu ia pernah menjadi bagian dari kehedonan sendiri. Dan tak ada keinginan untuk ke sana lagi, berhubung istrinya yang introvert ini enggan bergaul dengan orang-orang yang doyan pamer kekayaan mereka.Jadi babysitter deh, pikirnya. Tak apalah. Yang penting Ruby senang, aku juga ikut senang. Berhubung saat itu adalah hari libur, Attar juga tak memiliki alasan untuk mengelak, dan selain itu ia juga tidak punya pekerjaan apa-apa. Jadi ditemaninya istrinya mengurus Luna.Mereka bertiga duduk di kamar bermain Luna yang bak istana Ba
Karena suaminya tiba-tiba mendapat telepon dari sekretarisnya, bahwa ada rapat penting dengan kliennya, mereka harus membatalkan niatnya untuk ke rumah sakit. Sebelum turun ke gedung apartemen Ruby menegaskan untuk menenangkan kekesalan suaminya. “Aku bisa membeli alat tes kehamilan. Kalau masih belum percaya, masih ada hari esok ke rumah sakit, kan?”Attar mengangguk, tapi rasa kesalnya masih belum luruh dari hatinya. “Take care, ya, Sayang,” sebelum istrinya keluar mobil, diciumnya dahi istrinya.Heran. Suaminya tak pernah bosan menciumnya di mana saja. Apakah itu reaksi dari pengantin baru? Selalu memberi perhatian yang berlebihan? Tak apalah, daripada ia dicueki oleh suaminya.Ruby segera membeli alat tes itu di apotek. Begitu mendapatkan alat “penentu” hidupnya itu, ia langsung melakukan tes dengan urinnya. Ya Allah… semoga saja dua garis merah muncul di kertas kecil yang berada di tangannya.POSITI
Tempat sanggarnya tidak terlalu modern. Cukup sederhana. Hanya ruangan besar yang berisi banyak kanvas dan cat. Setiap tiga bulan sekali, Attar mengadakan lomba lukis. Yang paling bagus akan diberikan kanvas, cat, dan kuas.Setiap tahun muridnya semakin banyak. Dari umur enam sampai dua puluh tahun lebih. Sampai akhirnya ia kewalahan dan merekrut orang-orang yang bisa melukis untuk mengajar di sanggarnya. Karena banyak dari muridnya yang tak mampu, ia membuat program belajar gratis. Sedikit tidak biasa memang. Di sana, anak-anak orang kaya maupun yang tidak mampu berbaur tanpa ada rasa keki atau sombong.Ada lagi poin positifnya. Sanggar lukis yang ia dirikan adalah sanggar gratis untuk anak-anak yang berbakat. Di dekat sanggar itu, ada sebuah rumah untuk anak-anak itu tinggal. Kebanyakan anak-anak yang tidak mampu itu sudah tidak memiliki orangtua.“Yeee!! Kak Attar datang!” Anak-anak menyambut kedatangannya. Dan kemudian mereka tertegun melihat sia
Mereka mengangguk-angguk. Attar melanjutkan, “Tapi kalau Kak Ruby sedang tidak sibuk, Kak Ruby pasti ke sini. Dan kalian harus janji…”“Janji apa, Kak?!”“Jangan dipotong kalau orang sedang bicara, Farrel,” kata Fariz.“Kalian harus janji, setiap Kak Ruby ke sini, atau siapapun yang datang ke sini, kalian harus menjaga perilaku kalian, bagaimana? Tidak sulit, kan?”Tanpa berpikir lama mereka semua berteriak, “SETUJU!”Lalu mereka pergi seperti debu, ketika Fariz mengajak mereka makan di ruang makan. “Aku bertanya-tanya, apa yang membuat istriku yang cantik ini bisa melukis ini,” katanya seraya menarik kursi untuk berdekatan dengan istrinya yang masih di depan kanvas. “Kalau kujual lukisan ini, mungkin nilainya bisa ratusan juta.”“Jadi, begitu? Kamu jadikan mereka ini lahan bisnis?”Tergelak Attar mendengar komentar istrinya. “