Yang dipanggil menoleh dan tersenyum. “Ruby.”
“Apa yang kamu lakukan di sini? Apakah kamu tidak bekerja?” tanya Ruby heran. Ia menyilakan pria itu duduk di sofa ruang tamu. “Apakah kamu ingin minum?”
“Aku harus datang sebelum kamu melakukan kesalahan, Ruby,” sahut Adam, tidak mengacuhkan tawaran eksnya.
“Aku tidak akan melakukan kesalahan,” jawab Ruby dengan tenang. Jauh-jauh dari Amerika hanya untuk mengatakan ini? Bukankah Adam-lah kesalahan-nya? Sudah delapan tahun bersama, tapi justru pria itu mematahkan keinginannya!
“Attar bukan pria yang terbaik untukmu.”
“Lalu siapa yang terbaik untukku?”
“Seorang pria yang pasti bukan dia.”
“Mengapa bukan kamu saja?”
“Kamu tahu aku tidak mampu."
Secara tak langsung Adam memberitahunya bahwa ia tidak seberarti itu untuk pria itu. Ruby berusaha untuk
“Apakah pernikahan ini dibatalkan saja?”“Jangan!” kata Ruby keras. Bagaimana perasaan kakeknya kalau pernikahan ini batal? Bisa-bisa hubungan kakeknya dengan kakek pria itu merenggang hanya karena dirinya. “Aku janji, kejadian seperti ini tidak akan terjadi.”“Aku sudah tidak percaya lagi padamu, Rubinia.”“Apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu percaya, Attar?” tanya Ruby melas. Ya, untuk saat ini ia tak punya pilihan selain berdamai.“Hm…” Attar berpikir sejenak. “Ikutlah bersamaku ke kediaman Hardana. Aku jamin, kamu tidak merasa gugup begitu bertemu dengan orangtuaku.”“Apakah hari ini kamu tidak bekerja?”“Ini hari Sabtu, Sayang.” Pria itu tersenyum. Kemarahan telah memudar dari wajahnya. “Berpakaianlah dengan rapi. Kutunggu kamu di sini.”***Awalnya ia takut bertemu dengan keluarga besar
“Tidak.” Ruby menggeleng. “Aku hanya bertanya.”“Jangan menanyakan hal yang aku takuti, Ruby. Aku mohon.” Pria itu menatapnya dengan sungguh-sungguh.“Ya, aku takkan melakukannya. Omong-omong…”“Omong-omong apa?”“Di mana kamar mandi? Sepertinya susu yang diberikan ibumu terlalu banyak, Tar.”Attar tertawa. Ia mengantarkan Ruby ke kamar mandi. “Kamu susul aku ke bawah saja ya. Aku ingin bermain dengan Tasia,” katanya sebelum Ruby masuk ke kamar mandi. Ruby keluar dari sana beberapa menit kemudian, dan ia mendengar suara yang samar-samar di lorong.Ia mendekati suara itu, tepat di sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Di dekat pintu, ia mendengar perbincangan yang aneh.“Bagaimana kalau dia tahu bahwa anak kitalah penyebab kematian ayahnya?”“Dia tidak mungkin tahu kalau tidak ada yang membocorkannya!”
“Ya aku mengerti.” Fariz tersenyum, tidak tersinggung sama sekali. “Kamu lupa untuk menghadiri perlombaan lukis hari ini?” tanyanya pada Attar.“Oh, iya!” kata Attar sambil menepuk dahinya. “Tapi aku yakin, anak-anak dari sanggar kita yang memenanginya.”“Sanggar?” ulang Ruby.“Sanggar lukis yang kudirikan beberapa tahun silam,” jawab Attar bangga.“Iya, itu nazarnya ketika lulus dari Stanford,” sambung Fariz. “Saya pernah lihat kamu, Ruby. Tapi di mana ya? Bukan..bukan di pesta pertunangan Mbak Nina. Kamu seperti wanita di foto sepupu kami di Instagram.”“Maksudmu Adam?&
Attar menghela napas berat. Sangat berat sampai Ruby merasakan berat masalah yang dialami pria itu.“Aku tidak tahu Fariz berhubungan baik dengan eksmu,” jawab Attar kesal. “Ini benar-benar di luar dugaan. Kukira dia…”“Tunggu. Mengapa keluargamu tidak boleh berhubungan baik dengan Adam?” Nah, barangkali pertanyaan yang tampak tak disengaja ini mungkin bisa memberi jawabannya. Sudah bosan Ruby semalam suntuk memikirkan ini. Pada dasarnya, ia tipe orang yang ingin tahu. Hal-hal seperti ini sangat menarik perhatiannya.Helaan napas lagi. Sepertinya Attar tidak tertarik untuk membahas hal ini. Tapi, Ruby tidak heran kan kalau bertanya mengapa keluarga Hardana memusuhi keluarga Adam?“Yang jelas, Kakek Has tidak suka dengan ibu Adam. Dan kami semua percaya, yang dilakukan Kakek adalah untuk kebaikan kami.”“Oh, benarkah?” Ruby mendengus kesal. Ia tidak bermaksud untuk meremehka
Seharusnya Attar mengerti. Tapi kelihatannya, pria itu ingin sekali ia memberi jawaban yang lebih baik. Apa misalnya? Karena Ruby mencintai pria itu?Cinta.Benarkah perasaan ini bernama cinta? Ya, aku memang ingin menikah dengannya, dan sama sekali bukan materi, bukan juga karena Kakek Gun. Aku ingin melakukannya karena aku percaya padanya. Aku percaya ia bisa menjadi suami yang setia, ayah yang baik untuk anak-anakku (kecuali di saat-saat ia marah), dan lelaki yang bertanggung jawab.Tapi apa benar cinta bisa tumbuh secepat ini? Rasanya baru kemarin aku berkenalan dengannya, dan aku tidak bisa membayangkan jika aku tidak menikah dengannya, hidup terpisah darinya.Dengannya, aku tidak mengingat Adam. Aku tidak mengingat siapapun. “Aku membutuhkanmu,” sahut Ruby terus terang.“Hanya itu?”“Aku memang buruk mencari kata-kata yang tepat.” Ruby menatap Attar dengan sendu. “Tapi itu yang
Ruby memanggil Bik Minah untuk membawakan kopi. “Aku tahu kamu tidak menyukai kopi, tapi hanya itu minuman yang ada di rumahku, selain anggur dan air putih,” begitu alasan Ruby pada mantan kekasihnya.“Siapa yang bilang aku tidak menyukai kopi?” Salah satu alis Adam terangkat.Oh, Ruby baru saja melakukan kesalahan. Yang dimaksudnya tidak menyukai kopi adalah Attar. Pernah pria itu menyodorkannya sebuah kopi dan saat Ruby menanyakan apakah ia menyukai kopi, saat itu Ruby tahu pria itu berbohong ketika menjawab “ya”.Huh. Bagaimana bisa aku keliru begini, gumam Ruby.“Tidak, kukira selama ini kukira kamu tidak menyukai kopi. Kita jarang ngopi bareng kan,” kilah Ruby.“Ya, benar juga,” gumam Adam. “Sayang sekali kita tidak bisa memutar waktu…”“Adam, sudah.” Ruby mengingatkan sebelum mereka terhanyut pada sebuah momen yang tak akan pernah terjadi.
Adam mengajaknya ke rumah makan Sunda yang terletak di Jalan Setiabudi Raya. Ia sama sekali tidak risih diajak oleh pria itu. Sebaliknya, ia sangat bersemangat untuk bertemu dengan ibu Adam, Tante Anna.Terakhir mereka bertemu saat ia dan Adam hendak meninggalkan Indonesia. Saat itu Tante Anna meminta Ruby untuk menjaga Adam, karena penyakit maag yang diderita pria itu. Meski saat itu usianya masih belia, Tante Anna sudah percaya padanya, dan itu salah satu alasan mengapa dulu Ruby masih ingin menikah dengan pria itu.Dan entah mengapa, hari ini Ruby tidak merasa kesal lagi pada Adam. Ia sadar, meskipun eksnya yang satu ini tidak mau menikah dengannya, setidaknya Adam selalu tulus melakukan apapun untuknya. Seperti sekarang. Ketika Adam mengantarkannya langsung ke rumah makan itu.“Kamu tidak izin dengan calon suamimu?” tanya Adam sambil mengemudi. Nadanya datar saja, tapi penuh maksud.“Mengapa kamu selalu ingin tahu?” balas Ruby
"Kamu harus memikirkan perasaannya juga, dong.”Ruby menatap Adam tidak percaya. “Trims, tapi kurasa perkataanmu memang benar. Tapi apa yang membuatmu bicara seperti itu?”“Entahlah, kalau aku tidak bisa menemukan bukti itu, mau tidak mau kamu menikah dengannya. Tapi aku berusaha semampuku, Ruby, aku sudah berjanji.”“Apakah dengan mendekati Fariz, kamu mencari tahu semua informasi itu?”Sekali lagi Adam tergelak. “Itu rahasia umum di keluarga Ha—keluarga itu. Semua orang juga tahu. Tapi Fariz masih membutuhkan kakeknya, jadi aku harus berusaha sendiri.”“Kakeknya. Kamu tidak menganggap Kakek Has kakekmu?”Adam menggeleng. “Karena dialah aku harus menjadi anak yatim, Ruby. Kalau ada seseorang yang menyebabkan kematian salah satu orangtuamu, apakah kamu akan memaafkannya?”Tidak. “Apakah kamu tahu akibatnya kalau kamu melakukan i
“Bagaimana dengan kontrak itu? Ketika kamu bilang mengenai lamaran itu, aku teringat pada kontrak itu.” “Curse the contract. Kamu tidak akan meninggalkan suamimu yang satu ini, kan?” Attar terus mencium, menggigit, leher serta bahu istrinya. “I will never give up on you, Rubiniaku. You’re the light of my life, I love you so much. Way too much.” “Attar, katakan dulu apa yang terjadi dengan kontrak itu.” Ruby membalikkan tubuhnya dan menatap suaminya dengan penuh tuntutan. “Apa yang kamu lakukan dengan perjanjian itu?” “Well, aku tidak peduli dengan perjanjian itu. Kakekmu juga sudah tidak ada, bukan? Bahkan notaris yang menyaksikan perjanjian itu sudah pergi juga. Dan aku.” Attar terdiam sejenak. “Aku tidak perlu kontrak atau jaminan apa pun untuk memilikimu dan anak-anak.” “Benarkah?” “Mau taruhan? Sebelumnya, aku ingin tahu apakah aku masih kuat menggendongmu atau tidak.” Dengan tubuhnya yang kekar Attar ma
ItaliaPemuda dengan memakai kemeja kotak-kotak menggandeng gadis kecil berambut panjang. “Papa!” teriak gadis kecil itu.“Miriam!” Attar menghampiri putri kecilnya dan menggendongnya. “Bagaimana jalan-jalannya dengan Kak Eda?”Tujuh tahun berlalu begitu cepat. Attar bersyukur, dengan kesehatannya yang semakin membaik, dan di usianya yang menginjak empat puluh, ia mendapat semuanya—anak-anak yang cantik dan tampan yang pintar—istri yang begitu sabar menghadapinya. Kehidupannya sangat sempurna tujuh tahun terakhir, setelah puluhan tahun sebelumnya ia habiskan dengan kebohongan dan kemarahan yang tak terkendali.Attar menamakan anak keduanya Miriam. Sebagai tanda hormatnya pada sang nenek yang sudah lama pergi. Nenek yang dicintai kakeknya, yang akan selamanya Attar kenang akan kebaikan sang kakek semasa hidupnya.Sebelum meninggalkan Hardana Land dan tinggal di Singapura, Attar melakuk
“Kata Tante Nina, Oom Attar tidak bisa bawa yang berat-berat dulu sejak serangan kayak Kakek.”Anak kecil tidak mungkin berbohong. Agar tidak membahas lebih lanjut, Attar bangkit dan mengajak istrinya untuk ke kamarnya yang berada di lantai yang sama. Sebelumnya ia menitip pesan pada Eda untuk menemani Kakek Malik dan Nenek Lenny di sana.Ketika Attar mendorong kursi roda istrinya ke kamar, sosok Kakek Gun dan keluarga Adiwangsa lainnya muncul. Mereka menjelaskan bahwa di luar macet sekali hingga Kakek Gun harus naik helikopter dari Menara Adiwangsa yang lokasinya tak jauh dari rumah.Kakek Gun meminta Ruby untuk beristirahat dulu sementara keluarga Adiwangsa menjenguk Hasyim. Ruby menolak, namun tak punya pilihan karena Edo dan Shera ikut mengkhawatirkan keadaannya.Begitu sampai kamar Attar membantu istrinya untuk bangun dan berbaring di tempat tidur. Dipastikannya kepala istrinya sudah nyaman dengan bantalnya. Kemudian ia duduk di tepi temp
“Kakek saya tidak pernah terlihat sakit.”“Anda pun juga begitu. Tapi Anda pernah serangan juga, bukan?” Dokter Prapto, dokter yang sama yang menangani Attar ketika ia dirawat. “Sekarang temuilah anggota keluarga yang lain di lorong, Pak Attar.”Dengan lemas Attar keluar dari kamar kakeknya. Di lorong sudah ada semua anggota keluarga Hardana, termasuk dari keluarga menantu. Adam, Fariz, dan sepupu yang lain memeluknya, memberi semangat padanya.Attar menghampiri istrinya yang duduk di atas kursi roda di pojok sebelah ibunya. Sebelumnya Attar memeluk mama-papanya, dan meminta Eda untuk mendoakan kakek buyutnya agar cepat sembuh.Ia duduk di kursi yang paling dekat dengan istrinya. “Bagaimana ceritanya? Kata Pak Mahdi dia serangan di kamarmu.”Ruby mengangguk. “Kakek mengakui semuanya di depanku.”“Apakah kamu menyakitinya?”Mata Ruby menyipit. Apakah suaminya berni
“Kakek Hasyim,” kata Ruby. “Ada perlu apa kemari?” Tidak perlu bertanya sebenarnya. Ia tahu apa yang ingin dikatakan kakek. Mengenai hubungan mereka yang sebenarnya. Tapi Ruby tidak tertarik. Yang diinginkannya adalah menemui Attar, membahas jenis kelamin bayinya.“Apakah Attar belum memberitahu bahwa aku…”“Kakekku? Sudah.”Ketenangan yang ditunjukkan Ruby membuat Hasyim terbelalak. “Kamu tidak marah atau benci padaku, Rubinia…”“Saya tidak punya pilihan, bukan,” jawab Ruby sinis. “Anda sudah mendapatkan apa yang Anda inginkan. Attar tidak dipenjara, dan saya telah menikah atas kehendak Anda.”“Ruby, saya tidak menyangka kamu berpikir seperti itu mengenai saya…” Hasyim mengira dirinya sudah baik pada cucunya yang satu ini. Ia telah lama berdiam diri dengan fakta yang ditelannya puluhan tahun. Dan reaksi Ruby adalah beban besar untuk
Armand memiliki temper yang sulit diduga. Ketika Edo masuk usia remaja, sikap Armand berubah pada putranya. Kasih sayang yang dulu disalurkannya pada anak-anaknya sirna begitu saja. Berganti dengan kemarahan karena anak-anaknya tidak ada yang menghargainya sebagai kepala rumah tangga, kebenciannya pada Gunawan yang tak pernah bersikap tegas padanya, bahkan seakan menunjukkan sikap tidak sayang pada anaknya dengan mendukung hubungan Armand dengan Hasyim.Hingga suatu hari Hasyim melakukan kesalahan.Dia tidak bisa mengekang dirinya untuk mengakui Armand. Pada acara open house Lebaran yang diadakan keluarga Adiwangsa, ia memanggil Ruby dengan sebutan yang tak biasa. “Hai, gadis kecil. Tidak salam pada kakekmu?”Ruby menoleh padanya dengan heran. Saat itu ia sudah remaja dan dia bukan cucu Hasyim. “Saya bukan Nina,” kata Ruby kikuk.“Tentu saja. Kamu Rubinia. Cucuku.”Percakapan mereka tidak berlanjut tatka
“Mustahil untuk membuka pintu maafmu,” bisik Attar di lehernya. “Aku insyaf, lelaki yang kini menjadi suamimu lelaki yang serakah, meraup apa yang diinginkannya, dan sekarang kamu menyadarkan aku bahwa malaikat pun tak sanggup memaafkan aku.”“Aku bukan malaikat,” jawab Ruby, masih memunggungi suaminya. “Aku hanya wanita tolol yang mencintaimu.”“Aku tetap suamimu, Nia. It’s my duty to ease your ache, and…” “Berhentilah mengesankan kamu melakukan ini karena statusmu,” bentak Ruby. Ia berbalik menatap suaminya. “Bisakah sekali saja kamu katakan padaku, kamu merawatku, menolongku, karena kamu seorang manusia yang memiliki hati nurani? Seorang suami yang mencintai istrinya?”“Kalau pun aku mengatakannya, kamu tidak akan percaya lagi padaku,” jawab Attar kaku. “Aku tidak perlu membusakan mulutku dengan janji-janji lagi. Aku akan buktika
“Mengapa kamu di sini?”“Mengapa aku di sini?” Suara Attar meninggi mendengar pertanyaan istrinya. “Well, kenapa aku harus di tempat lain di saat istriku sedang dirawat?”“Kamu terbiasa di kantor setiap akhir tahun atau bersama Nina dan yang lainnya berpesta menyambut tahun baru.”“Aku tidak begitu semangat di Hardana Land untuk saat ini. Bagaimana menurutmu jika aku pindah ke perusahaan Stephen? Hm, Stephen ini teman Fariz yang waktu itu kuceritakan. Dia yang menawarkan aku jadi CEO di Osvaldo Property.”Ruby mengernyit tanda tidak setuju. “Itu artinya kita akan tinggal di Singapura?”“Kita bisa berpisah dan aku bisa pulang setiap akhir minggu. Yah, mungkin juga tidak, karena uangku tidak akan sebanyak saat di Hardana Land dan aku tidak bisa memesan pesawat pribadiku sesukaku di sana.”“Aku tidak setuju jika kita harus berpisah. Maksudku, kita
“Mengapa tidak kamu saja yang melakukan proyek ini? Aku yakin kamu bisa menggantikan aku di sini. Kamu lebih berhak.”“Oh, Tara, bahkan aku tidak merasa ada bedanya kamu cucu Kakek atau bukan,” dengus Fariz. “You’re always my leader, cousin. Aku menyesal telah mengantarkan pesan Stephen mengenai tawaran itu. Mereka selalu welcome kapan pun kamu menerima mereka.”“Tidak ada ketegasan sekali. Mengapa tidak mencari CEO lain saja?”“Memang banyak pengusaha properti yang sukses, tapi mereka memilih untuk menjaga perusahaan mereka sendiri. Stephen berpikir dengan anggota keluarga Hardana yang banyak, melepasmu bukanlah masalah besar untuk kita. Tapi nyatanya, itu masalah juga.”“Aku percaya padamu.”“Tidak, Attar,” jawab Fariz tegas. “Aku akan sangat membencimu jika kamu meninggalkan perusahaan ini. Aku tahu passion-ku bukan di sini.