“Tidak.” Ruby menggeleng. “Aku hanya bertanya.”
“Jangan menanyakan hal yang aku takuti, Ruby. Aku mohon.” Pria itu menatapnya dengan sungguh-sungguh.
“Ya, aku takkan melakukannya. Omong-omong…”
“Omong-omong apa?”
“Di mana kamar mandi? Sepertinya susu yang diberikan ibumu terlalu banyak, Tar.”
Attar tertawa. Ia mengantarkan Ruby ke kamar mandi. “Kamu susul aku ke bawah saja ya. Aku ingin bermain dengan Tasia,” katanya sebelum Ruby masuk ke kamar mandi. Ruby keluar dari sana beberapa menit kemudian, dan ia mendengar suara yang samar-samar di lorong.
Ia mendekati suara itu, tepat di sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Di dekat pintu, ia mendengar perbincangan yang aneh.
“Bagaimana kalau dia tahu bahwa anak kitalah penyebab kematian ayahnya?”
“Dia tidak mungkin tahu kalau tidak ada yang membocorkannya!”
“Ya aku mengerti.” Fariz tersenyum, tidak tersinggung sama sekali. “Kamu lupa untuk menghadiri perlombaan lukis hari ini?” tanyanya pada Attar.“Oh, iya!” kata Attar sambil menepuk dahinya. “Tapi aku yakin, anak-anak dari sanggar kita yang memenanginya.”“Sanggar?” ulang Ruby.“Sanggar lukis yang kudirikan beberapa tahun silam,” jawab Attar bangga.“Iya, itu nazarnya ketika lulus dari Stanford,” sambung Fariz. “Saya pernah lihat kamu, Ruby. Tapi di mana ya? Bukan..bukan di pesta pertunangan Mbak Nina. Kamu seperti wanita di foto sepupu kami di Instagram.”“Maksudmu Adam?&
Attar menghela napas berat. Sangat berat sampai Ruby merasakan berat masalah yang dialami pria itu.“Aku tidak tahu Fariz berhubungan baik dengan eksmu,” jawab Attar kesal. “Ini benar-benar di luar dugaan. Kukira dia…”“Tunggu. Mengapa keluargamu tidak boleh berhubungan baik dengan Adam?” Nah, barangkali pertanyaan yang tampak tak disengaja ini mungkin bisa memberi jawabannya. Sudah bosan Ruby semalam suntuk memikirkan ini. Pada dasarnya, ia tipe orang yang ingin tahu. Hal-hal seperti ini sangat menarik perhatiannya.Helaan napas lagi. Sepertinya Attar tidak tertarik untuk membahas hal ini. Tapi, Ruby tidak heran kan kalau bertanya mengapa keluarga Hardana memusuhi keluarga Adam?“Yang jelas, Kakek Has tidak suka dengan ibu Adam. Dan kami semua percaya, yang dilakukan Kakek adalah untuk kebaikan kami.”“Oh, benarkah?” Ruby mendengus kesal. Ia tidak bermaksud untuk meremehka
Seharusnya Attar mengerti. Tapi kelihatannya, pria itu ingin sekali ia memberi jawaban yang lebih baik. Apa misalnya? Karena Ruby mencintai pria itu?Cinta.Benarkah perasaan ini bernama cinta? Ya, aku memang ingin menikah dengannya, dan sama sekali bukan materi, bukan juga karena Kakek Gun. Aku ingin melakukannya karena aku percaya padanya. Aku percaya ia bisa menjadi suami yang setia, ayah yang baik untuk anak-anakku (kecuali di saat-saat ia marah), dan lelaki yang bertanggung jawab.Tapi apa benar cinta bisa tumbuh secepat ini? Rasanya baru kemarin aku berkenalan dengannya, dan aku tidak bisa membayangkan jika aku tidak menikah dengannya, hidup terpisah darinya.Dengannya, aku tidak mengingat Adam. Aku tidak mengingat siapapun. “Aku membutuhkanmu,” sahut Ruby terus terang.“Hanya itu?”“Aku memang buruk mencari kata-kata yang tepat.” Ruby menatap Attar dengan sendu. “Tapi itu yang
Ruby memanggil Bik Minah untuk membawakan kopi. “Aku tahu kamu tidak menyukai kopi, tapi hanya itu minuman yang ada di rumahku, selain anggur dan air putih,” begitu alasan Ruby pada mantan kekasihnya.“Siapa yang bilang aku tidak menyukai kopi?” Salah satu alis Adam terangkat.Oh, Ruby baru saja melakukan kesalahan. Yang dimaksudnya tidak menyukai kopi adalah Attar. Pernah pria itu menyodorkannya sebuah kopi dan saat Ruby menanyakan apakah ia menyukai kopi, saat itu Ruby tahu pria itu berbohong ketika menjawab “ya”.Huh. Bagaimana bisa aku keliru begini, gumam Ruby.“Tidak, kukira selama ini kukira kamu tidak menyukai kopi. Kita jarang ngopi bareng kan,” kilah Ruby.“Ya, benar juga,” gumam Adam. “Sayang sekali kita tidak bisa memutar waktu…”“Adam, sudah.” Ruby mengingatkan sebelum mereka terhanyut pada sebuah momen yang tak akan pernah terjadi.
Adam mengajaknya ke rumah makan Sunda yang terletak di Jalan Setiabudi Raya. Ia sama sekali tidak risih diajak oleh pria itu. Sebaliknya, ia sangat bersemangat untuk bertemu dengan ibu Adam, Tante Anna.Terakhir mereka bertemu saat ia dan Adam hendak meninggalkan Indonesia. Saat itu Tante Anna meminta Ruby untuk menjaga Adam, karena penyakit maag yang diderita pria itu. Meski saat itu usianya masih belia, Tante Anna sudah percaya padanya, dan itu salah satu alasan mengapa dulu Ruby masih ingin menikah dengan pria itu.Dan entah mengapa, hari ini Ruby tidak merasa kesal lagi pada Adam. Ia sadar, meskipun eksnya yang satu ini tidak mau menikah dengannya, setidaknya Adam selalu tulus melakukan apapun untuknya. Seperti sekarang. Ketika Adam mengantarkannya langsung ke rumah makan itu.“Kamu tidak izin dengan calon suamimu?” tanya Adam sambil mengemudi. Nadanya datar saja, tapi penuh maksud.“Mengapa kamu selalu ingin tahu?” balas Ruby
"Kamu harus memikirkan perasaannya juga, dong.”Ruby menatap Adam tidak percaya. “Trims, tapi kurasa perkataanmu memang benar. Tapi apa yang membuatmu bicara seperti itu?”“Entahlah, kalau aku tidak bisa menemukan bukti itu, mau tidak mau kamu menikah dengannya. Tapi aku berusaha semampuku, Ruby, aku sudah berjanji.”“Apakah dengan mendekati Fariz, kamu mencari tahu semua informasi itu?”Sekali lagi Adam tergelak. “Itu rahasia umum di keluarga Ha—keluarga itu. Semua orang juga tahu. Tapi Fariz masih membutuhkan kakeknya, jadi aku harus berusaha sendiri.”“Kakeknya. Kamu tidak menganggap Kakek Has kakekmu?”Adam menggeleng. “Karena dialah aku harus menjadi anak yatim, Ruby. Kalau ada seseorang yang menyebabkan kematian salah satu orangtuamu, apakah kamu akan memaafkannya?”Tidak. “Apakah kamu tahu akibatnya kalau kamu melakukan i
"Tentu aku harus datang. Aku tidak bisa memikirkanmu. Mengapa kamu melarangku bertemu denganmu? Mengapa kamu tidak mengajakku ke makam ayahmu?”“Aku tidak mau mengganggumu.”“Tapi kenyataannya kamu malah menggangguku.” Attar tersenyum pahit. “Kamu tahu, setiap siang aku selalu ke sini, memikirkan keadaanmu. Apa yang terjadi padamu, Sayang?”Ruby menatap Attar sesaat, memastikan bahwa pria itu memang tulus ingin mendengar curahan isi hatinya.“Entahlah. Ayahku selalu datang ke dalam mimpiku, seperti ada yang ingin ia katakan. Karena itu aku selalu ke makamnya. Tapi di sanapun aku tidak mendapatkan apa-apa.”“Apa kamu tidak merasa takut ke sana sendirian?”“Takut?” Ruby terkekeh. “Setelah Papi meninggal, ketakutanku hanyalah kehilangan anggota keluargaku.”Mendengar itu, Attar menelan ludahnya. “Kamu sudah makan?” Ia mencoba mengalihkan
“Semuanya sudah siap,” kata Fariz, masuk lagi ke kamar Attar. “Kita harus segera berangkat kalau tidak mau terlambat.”Semuanya memang sudah siap. Tapi ketika seluruh keluarga Hardana sampai di tempat ijab-kabul, mereka hampir tidak bisa berkata apa-apa.Ruby tidak ada di rumah dan meninggalkan surat yang berisi permintamaafan. Attar langsung meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Ia bergegas mencari Ruby.Sayang, di saat ia hendak pergi, kakeknya jatuh pingsan.***“Aset-asetku dan villa di Aspen sedang menantimu, Tar.”“Tapi bagaimana dengan apa yang kulakukan pada ayahnya? Pada keluarganya?”“Saya pastikan Ruby dan keluarganya tidak tahu apa yang telah saya lakukan di masa lalu.”Itulah pesan suara yang diterimanya ketika ia sedang dirias. Adam yang mengirimkannya, entah dari mana. Jadi benar dialah penyebab kematian ayahku,