Share

5. Kepercayaan yang Lenyap

“Aku nggak bodoh sampai-sampai nggak bisa membedakan mana yang vitamin, mana yang bukan! Yang kucampurkan itu memang benar-benar vitamin, bukan racun seperti yang mereka tuduhkan!” 

Napasnya terdengar memburu dengan dada naik-turun. Ia mengepalkan tangannya kuat menahan emosi.

“Nggak usah mengelak! Bukti udah jelas kalau kamu pelakunya.”

“Bukti itu palsu. Ada yang sengaja merekam saat aku lagi memasukkan vitamin ke dalam makanan Altair. Kamu bisa tanya sama Bi Lastri sebagai saksi.” 

Menurunkan ego, Naina tak menyerah meyakinkan Dhafin. Tangannya terulur untuk menggenggam lengan sang suami. “Percayalah, Mas, bukan aku pelakunya.”

Dhafin melepaskan tangannya kasar membuat Naina sangat terkejut lalu menatap kedua bola mata suaminya. Manik cokelat itu menyorot tajam dan dingin.

“Cukup, Naina! Berhenti membela diri. Semua udah terbukti bahwa kau yang membunuh putraku!”

Naina mematung. Setetes air jatuh dari pelupuk matanya. “Sedikitpun aku nggak pernah menyakiti Altair apalagi sampai membunuh. Aku nggak sekejam itu sampai harus membunuh anakku sendiri.”

Dhafin menghela napas. “Kalau bukan kamu, terus siapa?”

“Freya! Freya yang udah membunuh putra kita.”

Plak!

Naina memegang pipinya. Ia menoleh ke arah ibu mertua yang tiba-tiba datang dan langsung menamparnya. Diikuti oleh Freya di belakang yang menampilkan raut wajah sendu seolah seolah-olah terluka.

“Atas dasar apa kamu menuduh calon menantuku, hah?!” ucap Bu Anita marah.

“Aku bukan menuduh, tapi bicara fakta, Ma. Dia!” Naina menunjuk Freya dengan jari telunjuknya. “Dia yang udah melenyapkan nyawa anakku.”

“Ada bukti?” tanya Dhafin datar.

Naina terdiam tak mampu menjawab karena memang dirinya tidak mempunyai bukti.

“Jangan melibatkan orang lain atas kesalahanmu sendiri,” kata Dhafin lagi lebih dingin.

“Lagi pula untuk apa Freya membunuh Altair?” sambung Bu Anita sambil bersedekap dada.

“Untuk menyingkirkanku. Dengan membunuh Altair, otomatis dia bisa menyingkirkanku lebih mudah karena nggak ada lagi alasan Mas Dhafin mempertahankanku menjadi istrinya.”

“Nai.... Aku nggak tau apa salahku padamu sampai-sampai kamu malah menuduhku.” Raut wajah Freya terlihat sedih. 

Namun, Naina tahu itu hanya pura-pura demi mendapatkan simpati.

“Hentikan omong kosongmu itu, Naina!” bentak Dhafin sepertinya sudah muak.

“Freya nggak mungkin melakukan hal itu. Aku yang lebih mengenalnya bertahun-tahun. Berhenti menuduh orang.”

Naina terkekeh miris bersamaan dengan butiran bening yang kembali lolos. Di depan mata, ia melihat suaminya yang mati-matian membela wanita lain.

“Kamu memang mengenalnya bertahun-tahun, tapi aku yang tinggal serumah bersamanya dari kecil. Aku tau bagaimana karakternya ketika di dalam dan di luar rumah.”

“Freya itu perempuan jahat, Mas! Dia melakukan apapun demi bisa mendapatkanmu, termasuk membunuh Altair!” teriaknya meluapkan amarah yang ditahan sejak tadi.

Dhafin semakin mengeraskan rahangnya hingga giginya bergemeletuk. “Jangan pernah menjelekkan Freya di depanku. Dia perempuan baik-baik.” 

“Bukan sepertimu! Seorang ibu yang tega membunuh anaknya sendiri!” tekannya sambil menudingkan telunjuk tepat di depan muka Naina.

Naina memandang Dhafin dengan tatapan penuh kepedihan. Hatinya hancur berkeping-keping mendengar kalimat menyakitkan yang dilontarkan oleh suaminya.

Lukanya semakin menganga dan berdarah-darah. Perih sekali seolah ada garam yang bertabur di atasnya.

Plak! 

Lagi, tamparan keras kembali ia dapatkan dari Bu Anita. Tubuhnya juga didorong hingga jatuh di atas kasur.

“Wanita gila! Pembunuh! Kau sudah mencoreng nama baik keluarga! Kupastikan kau akan membusuk di penjara!”

“Ayo, Dhafin.” Bu Anita menyeret lengan Dhafin lalu membawanya keluar kamar meninggalkan Naina berdua bersama Freya.

Prok... prok... prok! 

“Pertunjukan yang sangat menakjubkan.”

Naina beranjak duduk di tepi ranjang. Ia menatap Freya yang sedang bertepuk tangan bahagia. Raut wajah itu dalam sekejap berubah usai kepergian Dhafin dan ibunya.

“Udah puas kamu?”

“Belum. Aku nggak akan pernah puas sebelum kamu menderita sampai hancur.” 

Freya tertawa. “Akhirnya sebentar lagi aku berhasil menyingkirkanmu. Bagaimana rasanya dibenci suami?”

Ia berjalan mendekat. “Ututu... kasihan banget sih,” katanya sambil mengusap kepala Naina.

Naina menepis kasar tangan Freya. Mati-matian ia menahan air matanya agar tidak lagi tumpah. Ia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya di hadapan Freya.

“Apa maumu?” tanyanya datar.

“Tentu saja aku ingin mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Udah cukup aku memberikan posisiku sebagai nyonya Wirabuana padamu.”

Freya menatap Naina dengan sinis disertai senyuman remeh.

“Dan yang paling penting, tak lama lagi kamu akan terusir dari rumah ini dengan cara tidak terhormat. Oh, atau mungkin dipenjara?” 

Perempuan itu menunduk untuk melihat wajah Naina lebih dekat. “Lihatlah, seluruh dunia mengenalmu sebagai pembunuh. Ibu yang sangat kejam yang tega membunuh anaknya sendiri.” 

“Kau yang kejam, Freya! Kamulah pelaku yang sebenarnya!” balas Naina dengan berani tak lupa dengan tatapan tajamnya.

“Ups! Ketahuan deh!” Freya menutup mulut seolah keceplosan. “Sayangnya, nggak ada orang yang mempercayaimu. Kamu udah menjadi tersangka utama.”

“Aku akan membuktikannya.”

“Dan aku nggak akan membiarkanmu mendapatkan bukti itu. Selamat menikmati kehancuranmu, Naina.” Freya balik badan dan berjalan hendak keluar kamar.

“Video yang kamu posting itu nggak benar. Kamu sengaja merekamnya untuk memfitnahku.” Naina bangkit berdiri.

Freya kembali mendekati Naina. Ia tersenyum miring. “Oh ya? Bagaimana kalau bukti itu benar? Tanpa kamu sadari, yang kamu masukkan sebenarnya adalah racun.”

Tubuh Naina gemetar, menahan marah. “Apa maksudmu?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status