Beranda / Pernikahan / Mari Berpisah, Aku Menyerah / 5. Kepercayaan yang Lenyap

Share

5. Kepercayaan yang Lenyap

Penulis: Putri Cahaya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Aku nggak bodoh sampai-sampai nggak bisa membedakan mana yang vitamin, mana yang bukan! Yang kucampurkan itu memang benar-benar vitamin, bukan racun seperti yang mereka tuduhkan!” 

Napasnya terdengar memburu dengan dada naik-turun. Ia mengepalkan tangannya kuat menahan emosi.

“Nggak usah mengelak! Bukti udah jelas kalau kamu pelakunya.”

“Bukti itu palsu. Ada yang sengaja merekam saat aku lagi memasukkan vitamin ke dalam makanan Altair. Kamu bisa tanya sama Bi Lastri sebagai saksi.” 

Menurunkan ego, Naina tak menyerah meyakinkan Dhafin. Tangannya terulur untuk menggenggam lengan sang suami. “Percayalah, Mas, bukan aku pelakunya.”

Dhafin melepaskan tangannya kasar membuat Naina sangat terkejut lalu menatap kedua bola mata suaminya. Manik cokelat itu menyorot tajam dan dingin.

“Cukup, Naina! Berhenti membela diri. Semua udah terbukti bahwa kau yang membunuh putraku!”

Naina mematung. Setetes air jatuh dari pelupuk matanya. “Sedikitpun aku nggak pernah menyakiti Altair apalagi sampai membunuh. Aku nggak sekejam itu sampai harus membunuh anakku sendiri.”

Dhafin menghela napas. “Kalau bukan kamu, terus siapa?”

“Freya! Freya yang udah membunuh putra kita.”

Plak!

Naina memegang pipinya. Ia menoleh ke arah ibu mertua yang tiba-tiba datang dan langsung menamparnya. Diikuti oleh Freya di belakang yang menampilkan raut wajah sendu seolah seolah-olah terluka.

“Atas dasar apa kamu menuduh calon menantuku, hah?!” ucap Bu Anita marah.

“Aku bukan menuduh, tapi bicara fakta, Ma. Dia!” Naina menunjuk Freya dengan jari telunjuknya. “Dia yang udah melenyapkan nyawa anakku.”

“Ada bukti?” tanya Dhafin datar.

Naina terdiam tak mampu menjawab karena memang dirinya tidak mempunyai bukti.

“Jangan melibatkan orang lain atas kesalahanmu sendiri,” kata Dhafin lagi lebih dingin.

“Lagi pula untuk apa Freya membunuh Altair?” sambung Bu Anita sambil bersedekap dada.

“Untuk menyingkirkanku. Dengan membunuh Altair, otomatis dia bisa menyingkirkanku lebih mudah karena nggak ada lagi alasan Mas Dhafin mempertahankanku menjadi istrinya.”

“Nai.... Aku nggak tau apa salahku padamu sampai-sampai kamu malah menuduhku.” Raut wajah Freya terlihat sedih. 

Namun, Naina tahu itu hanya pura-pura demi mendapatkan simpati.

“Hentikan omong kosongmu itu, Naina!” bentak Dhafin sepertinya sudah muak.

“Freya nggak mungkin melakukan hal itu. Aku yang lebih mengenalnya bertahun-tahun. Berhenti menuduh orang.”

Naina terkekeh miris bersamaan dengan butiran bening yang kembali lolos. Di depan mata, ia melihat suaminya yang mati-matian membela wanita lain.

“Kamu memang mengenalnya bertahun-tahun, tapi aku yang tinggal serumah bersamanya dari kecil. Aku tau bagaimana karakternya ketika di dalam dan di luar rumah.”

“Freya itu perempuan jahat, Mas! Dia melakukan apapun demi bisa mendapatkanmu, termasuk membunuh Altair!” teriaknya meluapkan amarah yang ditahan sejak tadi.

Dhafin semakin mengeraskan rahangnya hingga giginya bergemeletuk. “Jangan pernah menjelekkan Freya di depanku. Dia perempuan baik-baik.” 

“Bukan sepertimu! Seorang ibu yang tega membunuh anaknya sendiri!” tekannya sambil menudingkan telunjuk tepat di depan muka Naina.

Naina memandang Dhafin dengan tatapan penuh kepedihan. Hatinya hancur berkeping-keping mendengar kalimat menyakitkan yang dilontarkan oleh suaminya.

Lukanya semakin menganga dan berdarah-darah. Perih sekali seolah ada garam yang bertabur di atasnya.

Plak! 

Lagi, tamparan keras kembali ia dapatkan dari Bu Anita. Tubuhnya juga didorong hingga jatuh di atas kasur.

“Wanita gila! Pembunuh! Kau sudah mencoreng nama baik keluarga! Kupastikan kau akan membusuk di penjara!”

“Ayo, Dhafin.” Bu Anita menyeret lengan Dhafin lalu membawanya keluar kamar meninggalkan Naina berdua bersama Freya.

Prok... prok... prok! 

“Pertunjukan yang sangat menakjubkan.”

Naina beranjak duduk di tepi ranjang. Ia menatap Freya yang sedang bertepuk tangan bahagia. Raut wajah itu dalam sekejap berubah usai kepergian Dhafin dan ibunya.

“Udah puas kamu?”

“Belum. Aku nggak akan pernah puas sebelum kamu menderita sampai hancur.” 

Freya tertawa. “Akhirnya sebentar lagi aku berhasil menyingkirkanmu. Bagaimana rasanya dibenci suami?”

Ia berjalan mendekat. “Ututu... kasihan banget sih,” katanya sambil mengusap kepala Naina.

Naina menepis kasar tangan Freya. Mati-matian ia menahan air matanya agar tidak lagi tumpah. Ia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya di hadapan Freya.

“Apa maumu?” tanyanya datar.

“Tentu saja aku ingin mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Udah cukup aku memberikan posisiku sebagai nyonya Wirabuana padamu.”

Freya menatap Naina dengan sinis disertai senyuman remeh.

“Dan yang paling penting, tak lama lagi kamu akan terusir dari rumah ini dengan cara tidak terhormat. Oh, atau mungkin dipenjara?” 

Perempuan itu menunduk untuk melihat wajah Naina lebih dekat. “Lihatlah, seluruh dunia mengenalmu sebagai pembunuh. Ibu yang sangat kejam yang tega membunuh anaknya sendiri.” 

“Kau yang kejam, Freya! Kamulah pelaku yang sebenarnya!” balas Naina dengan berani tak lupa dengan tatapan tajamnya.

“Ups! Ketahuan deh!” Freya menutup mulut seolah keceplosan. “Sayangnya, nggak ada orang yang mempercayaimu. Kamu udah menjadi tersangka utama.”

“Aku akan membuktikannya.”

“Dan aku nggak akan membiarkanmu mendapatkan bukti itu. Selamat menikmati kehancuranmu, Naina.” Freya balik badan dan berjalan hendak keluar kamar.

“Video yang kamu posting itu nggak benar. Kamu sengaja merekamnya untuk memfitnahku.” Naina bangkit berdiri.

Freya kembali mendekati Naina. Ia tersenyum miring. “Oh ya? Bagaimana kalau bukti itu benar? Tanpa kamu sadari, yang kamu masukkan sebenarnya adalah racun.”

Tubuh Naina gemetar, menahan marah. “Apa maksudmu?!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ipunk Barbara
ingin menguasai
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   6. Selamat Tinggal, Suamiku

    Ia sangat terkejut mendengar ucapan Freya. Kepalanya menggeleng tidak percaya. Tidak! Naina tidak mungkin salah memasukkan vitamin. Ia sangat mengenali bentuk dan isinya. Ia juga ingat betul hari dimana video diambil.Waktu itu Naina sedang membuatkan sarapan untuk Altair yang mengalami GTM. Dibantu oleh Bi Lastri, kepala pelayan, ia juga sedang memasak sarapan untuk semua orang.Setelah makanan Altair jadi, dirinya menambahkan vitamin sesuai anjuran dokter. Sebelumnya, ia sudah memastikan bahwa yang dipegangnya benar-benar vitamin. Mulai dari bentuk, isi, hingga takarannya.“Teliti banget, Non. Bukannya sama aja, ya?” Bi Lastri pun sampai terheran-heran melihat tingkahnya.Naina tertawa kecil. “Harus dong, Bi, biar nggak salah memasukkan.”Ia kemudian mengkreasikan makanan itu dengan membuat bentuk lucu. Altair sangat menyukai makanan yang menarik di matanya.Entah bagaimana video itu diambil padahal Naina tidak merasa direkam. Mungkin ia yang tidak menyadari saking asyiknya berse

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   7. Tolong Aku

    [Zelda, malam ini aku memutuskan pergi dari rumah neraka itu. Aku udah nggak kuat berada disana]Harap-harap cemas, Naina mengirimkan pesan untuk sahabatnya itu. Sayangnya, hanya centang dua dan belum dibaca. Mungkin Zelda sedang menikmati waktu bersama keluarganya?Naina jadi sungkan meminta bantuan. Meski sebelumnya Zelda sudah menawarkan, tetap saja dirinya tidak ingin merepotkan Zelda terus.Kini, Naina berjalan kaki tak tentu arah. Cukup jauh dari kompleks perumahan mertuanya.Sudah memesan ojol juga bahkan sampai tiga kali, tetapi semuanya ditolak dengan alasan sudah larut malam.Tidak mungkin ia pulang ke kampung halaman karena rumahnya sudah dijual untuk modal ke kota ini.Kembali ke rumah Freya yang selama ini menjadi tempat tinggalnya sebelum menikah pun bukan pilihan bagus. Itu sama saja dengan masuk ke kandang musuh.Wanita cantik itu kembali memesan ojol dengan tujuan menuju terminal, berharap kali ini orderannya diterima. Lelah berjalan, ia memutuskan istirahat di sebuah

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   8. Sandiwara Freya

    Di sisi lain....“Sayang, pertunangan kita akan diadakan dua hari setelah empat puluh harinya Altair. Gimana menurutmu? Apa kamu setuju?”Dhaffin, yang belum tahu kaburnya Naina, hanya mengangguk pelan tanpa menoleh. Matanya tetap fokus melihat jalanan di depan. Sekarang ini, ia sedang dalam perjalanan mengantar Freya pulang.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Freya hati-hati sambil menatap Dhafin di sampingnya.“Kenapa?” Dhafin melirik sekilas.Freya menunduk, memainkan jarinya di pangkuan. “Aku merasa nggak enak. Kamu sama Naina kan baru aja kehilangan Altair. Kalian masih dalam suasana duka,” ucapnya berpura-pura simpati.“Maumu gimana? Diundur?”“Nggak nggak, bukan gitu.” Freya buru-buru menggeleng. “Ini kan udah menjadi kesepakatan bersama. Jadi, yaudah ikuti aja rencana mereka.”Dhafin hanya berdehem tanpa menanggapi lebih banyak. Dalam hati, ia juga merasakan hal yang sama. Duka masih sangat kental menyelimuti, apalagi Naina yang merasa paling kehilangan.Namun, kembali lagi. Semuanya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   9. Dua Garis Merah

    Dhafin tiba di rumah sekitar pukul sebelas malam. Suasana rumah sudah sangat sepi. Bahkan lampu ruang utama sudah dimatikan.Ia pun langsung melangkah menuju kamarnya dan tidak melihat keberadaan Naina.Mungkin tidur di kamar Altair karena semenjak putranya tiada Naina lebih sering tidur di sana.Pria bertubuh tinggi dan tegap itu mengambil piyama tidur yang sudah disiapkan sang istri lantas mengganti pakaiannya.Ia merebahkan tubuh yang terasa lelah di ranjang usai mengirim pesan pada Freya untuk mengabarkan bahwa dirinya sudah sampai rumah. Matanya terpejam dan tak lama memasuki alam mimpi.Keesokan paginya, Dhafin bangun sedikit telat. Biasanya Naina yang membangunkannya untuk menunaikan sholat Subuh. Namun, kali ini ia belum melihat batang hidung istrinya.“Naina, siapkan bajuku,” perintah Dhafin yang masih mengira Naina berada di kamar Altair. Tangannya sibuk memasukkan berkas ke dalam tas lebih.Tidak ada sahutan membuatnya mengernyit heran. Kamar ini dengan kamar anaknya saling

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   10. Rumah Sakit

    Dhafin terduduk di pinggiran ranjang masih mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Ia senantiasa menatap tespack itu lekat-lekat. Naina hamil. Naina sedang mengandung anaknya. Akan tetapi, kenapa tidak memberitahunya? Kini, Naina pergi entah kemana dengan membawa serta benih di rahimnya. Ia benar-benar tidak menyangka istrinya itu berani berbuat nekat. Setelah semalam minta cerai, kemudian malah kabur. Naina pikir, dirinya akan terbebas begitu saja? Tentu tidak! Dhafin berjanji, akan membawa Naina kembali ke rumah ini bagaimanapun caranya. Naina harus berada dalam genggamannya. Tiba-tiba, Dhafin teringat dengan seorang perempuan yang selama ini menjadi sahabat istrinya. Mungkinkah Naina berada di tempat sahabatnya itu? Sepertinya iya. Siapa lagi orang yang akan dituju Naina kalau bukan sahabatnya? Naina tidak memiliki siapapun di dunia ini. Wanita itu hidup sebatang kara tanpa orang tua dan menumpang hidup di rumah Freya sebelum berakhir menikah dengannya.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   11. Ketika Masa Lalu Kembali

    Naina beringsut duduk dibantu oleh suster. Ia menatap dokter laki-laki di sampingnya dengan raut wajah cemas. Jantungnya berdebar-debar menunggu jawaban dari sang dokter. “Ibu mengalami pendarahan hebat. Untung saja anda segera dibawa ke rumah sakit sehingga langsung mendapatkan penanganan.” Naina dibuat sangat syok mendengar penjelasan dokter. Hatinya mencelos. Jantungnya semakin memompa cepat. “Lalu janin saya....” Ucapannya menggantung. Suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Ia tidak sanggup membayangkan bagaimana kalau dirinya kembali kehilangan. Anak ini satu-satunya yang menjadi harapannya untuk tetap bertahan hidup. Dokter mengulas senyum tipis seolah mengerti kekhawatiran pasiennya. “Alhamdulillah, janin ibu bisa diselamatkan.” “Alhamdulillah….” Naina menghembuskan napas lega. Perasaannya seketika plong. Dalam hati, ia sangat bersyukur. Tuhan masih baik kepadanya dengan tidak mengambil calon buah hatinya. “Tapi sekarang ini kandungan ibu sangat rentan keguguran. Kar

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   12. Luka Tak Berdarah

    “Aku sangat mencintaimu, Freya. Jangan tinggalkan aku lagi.” Deg! Naina menghentikan langkahnya ketika mendengar ucapan Dhafin yang menyerupai gumaman. Ia berdiri dengan tubuh yang menegang kaku melihat mereka yang saling berpelukan itu. Dadanya seakan dihantam oleh sesuatu yang besar. Butiran bening telah terkumpul di kelopak matanya siap jatuh kapan saja. Belum cukup sampai di situ, Freya melepaskan pelukannya kemudian tanpa diduga mencium bibir Dhafin. Awalnya, Dhafin tampak terkejut, tetapi lama-kelamaan menikmati dan ikut membalas. Terlihat dari caranya yang memegang pipi dan tengkuk Freya semakin memperdalam ciuman. Sontak, air mata Naina jatuh tanpa permisi. Jantungnya berdetak cepat tanpa bisa dikendalikan. Dadanya sangat sesak menyaksikan langsung sang suami mencium mesra mantan kekasihnya. Ya Tuhan…. sakit sekali. Ia menggenggam kuat-kuat testpack di tangannya. Rencananya yang ingin memberikan kejutan, malah ia yang dibuat terkejut. Pantas saja suaminya p

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   13. Tersebar Luas

    Naina menarik napasnya dalam-dalam untuk mengurangi rasa sesak dalam dadanya. Ia menatap miris sang putra yang masih menangis hingga suaranya serak.Sepertinya ini menjadi puncak kesabaran Altair menghadapi sikap sang ayah sehingga sangat susah dibujuk.“Kamu ini gimana sih? Anak nangis bukannya ditenangkan malah dibiarkan.” Sang ibu mertua akhirnya turun tangan. Ia berjalan menghampiri Altair.“Udah, Ma. Aku udah membujuk, tapi Altair tetep nggak mau.” Naina senantiasa mengusap punggung Altair yang bersandar padanya.“Ya, kamu harusnya cari cara dong. Pakai alternatif lain atau apa kek. Kasihan cucuku nangis terus dari pagi. Jadi ibu kok nggak becus banget.”Jleb sekali rasanya. Padahal anaknya yang salah karena melanggar janji, tetapi Naina tetap disalahkan bahkan dibilang tidak becus.“Tapi Altair maunya sama Mas Dhafin, Ma. Udah lama Mas Dhafin nggak main sama Altair.”“Jangan cuma mengandalkan Dhafin doang. Mentang-mentang Altair deketnya sama Dhafin, kamu lepas tangan gitu aja,”

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   169. Sandal Jepit Sang Penyelamat

    Sungguh, Lora benar-benar tidak menyangka bila sandalnya juga ikutan rusak. Padahal sebelum tampil tadi, kondisi sandal itu masih sangat bagus tanpa ada tanda-tanda akan rusak. Mustahil sandalnya tiba-tiba bisa rusak tanpa sebab kalau bukan ada orang yang sengaja merusaknya.Eh, tunggu! Lora kembali melihat dan meneliti kedua barangnya yang telah rusak itu. Heels yang ia beli ini terkenal dengan keawetannya apalagi hanya dipakai satu kali sebelum ini.Bila dilihat dengan seksama, patahan bagian hak pada heels itu tampak rapi seperti sengaja dipatahkan.Tak berbeda jauh dengan sandalnya yang juga terlihat rapi di bagian putusnya strap sandal seolah-olah sehabis terpotong. Itu berarti dua sandal ini sengaja dirusak bukan rusak dengan sendirinya.Lora menjadi sangat yakin bila semua ini merupakan kerjaan seseorang. Orang itu sengaja merusak dua barangnya bermaksud untuk menjatuhkan dirinya. Pertanyaannya, siapakah orang yang tega melakukan itu?Sejak tadi sebelum Lora pakai, heels-ny

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   168. Terjatuh dan Bangkit Lagi

    Mira mengangguk paham lantas pamit untuk kembali ke tempatnya. Tak lama, panitia meminta para model untuk segera bersiap karena sebentar lagi giliran mereka yang akan tampil. “Kalau gitu aku balik ke tempatku dulu, ya. Semoga sukses,” pamit Zelda seraya menepuk bahu Lora sejenak kemudian berlalu dari sana.Lora kembali dilanda gugup. Tangannya mulai berkeringat dingin. Jantungnya pun berdentum tak karuan. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan, begitu terus hingga dirinya merasa sedikit tenang.Selain itu, dirinya juga mengingat kembali blocking serta pose saat di runaway nanti untuk mengurangi kegugupannya.Satu persatu model yang mewakili Butik LaCia mulai tampil. Lora pun diarahkan oleh panitia mendekat ke runaway. Saat berjalan, ia merasakan ada tidak beres dengan sepatu heels-nya. Bagian hak sepatu itu terasa goyah seakan ingin copot.Tentu saja, ia agak panik sekaligus takut, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena sebentar lagi dirinya akan tampi

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   167. Wejangan dari Zelda

    Acara fashion show week telah dimulai dan sudah berlangsung selama tiga puluh menit. Satu persatu peserta model dari desainer lain mulai tampil.Dua puluh lima menit sebelum tampil, Zelda bersama Sinta dan timnya kembali datang ke bagian final stage untuk membenahi detail baju dan juga riasan para modelnya. Busana karya Zelda ini memiliki model yang simpel dan elegan. Tidak ribet saat mengenakannya dan bisa dipakai sendiri tanpa bantuan desainer sehingga lebih cepat selesai dalam bersiap.“Hai, Lora,” sapa Zelda mendekati Lora yang hanya bergeming di tempatnya seraya meremas tangan. “Deg-degan, ya?”Lora tersenyum yang terkesan dipaksakan lalu mengangguk pelan. “Aku nervous banget, Zelda.”“Wajar kalau nervous. Ini kan pengalaman pertamamu.” Zelda menata dan membenahi gamis yang dipakai Lora. Tak lupa kerudungnya juga ikut dirapikan.“Makanya itu, aku takut gagal dan malah mengecewakanmu.” Lora menoleh sedikit ke belakang di mana Zelda sedang membenahi bagian belakang gamisnya.Zelda

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   166. Rencana yang Gagal

    Pukul empat sore, Lora dan Mira berada di mobil sedang dalam perjalanan pulang. Kali ini, Mira yang menyetir menggantikan Lora yang katanya sedang malas dan capek.“Pertanyaanku tadi belum dijawab loh, Mbak,” kata Lora yang duduk di kursi samping kemudi.Mira melirik Lora sekilas. “Pertanyaan yang mana?” tanyanya balik meski sudah menebak.“Kenapa tadi Mbak merampas botol minumanku? Datangnya tiba-tiba lagi, bikin aku kaget banget, tau. Minimal di-briefing dulu,” jawab Lora dengan bibir mengerucut sebal.Mira fokus pada jalanan yang padat merayap. “Tadi sebelum kamu datang dan duduk, aku melihat Freya memasukkan sesuatu ke dalam minumanmu.”“What?!” Lora membalalakkan mata terkejut. Ia bahkan sampai mengubah posisinya menjadi serong menghadap Mira. “Serius, Mbak?”Mira menggangguk yakin. “Aku punya buktinya, sempat kurekam tadi. Ambil aja HP-ku di tas buat melihatnya.”Lora mengangguk lalu mengulurkan tangannya ke jok belakang untuk meraih tas milik Mira di sana. Ia segara mengambil p

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   165. Aksi Heroik Mira

    Lora mengangkat kedua bahunya. “Nggak tuh. Aku nggak memakai make-up tebal.”Wanita cantik itu menekuk lengan membentuk siku dengan punggung tangan menghadap Freya lalu menyingkap sedikit lengan bajunya hingga memperlihatkan kulitnya yang putih mulus.“Ini kulitku asli tanpa tertutup make-up,” ucapnya sambil menggosok pelan kulit di tangan yang tidak meninggalkan bekas. Ia berlanjut menunjuk wajahnya sendiri. “Kalau yang wajah kan emang wajib di make-up.”Freya menggelengkan kepalanya berkali-kali berusaha menyangkal. Ia bisa melihat sendiri kulit Lora yang sehat tanpa cacat sedikitpun. “Nggak mungkin! Bagaimana bisa? Padahal jelas-jelas kemarin kamu minum air dari botol itu,” katanya tidak terima.“Iyalah, aku minum, orang aku haus,” balas Lora dengan tenang dan terkesan santai usai menarik lengan baju untuk menutupi auratnya.“Memangnya kenapa kalau aku minum dari botol itu?” Ia mengangkat sebelah alisnya. Sedetik kemudian, Lora membulatkan matanya seraya menutup mulutnya terkeju

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   164. Kembali Terlambat

    Hari H Fashion Show telah tiba. Semua peserta model yang ikut serta dalam fashion week kali ini telah berkumpul di belakang panggung atau lebih tepatnya di ruang khusus model. Mereka semua sudah terlihat sangat cantik dengan make-up dan mengenakan gaun yang hendak diperagakan nanti. Kini, mereka sedang berkumpul bersama dengan desainer masing-masing untuk melakukan pengarahan sekaligus membantu memperbaiki beberapa detail baju yang dikenakan oleh para modelnya.Freya tersenyum dalam hati saat dirinya tidak menemukan keberadaan Lora di sini. Pasti sekarang wanita itu sedang meratapi nasibnya yang tidak bisa hadir karena seluruh tubuhnya penuh ruam dan bentol-bentol kemerahan.Penyakit itu baru bisa disembuhkan tiga sampai empat hari ke depan dan tentu saja meninggalkan akan bekas yang cukup lama penyembuhannya. Jika benar-benar ingin sembuh total paling tidak satu bulan lamanya.“Di mana Lora?” tanya Zelda sambil menatap para model busananya. Sejak tadi ia belum menemukan batang hid

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   163. Rencana Jahat

    Acara gladi bersih dimulai pukul sepuluh pagi. Lora pergi ke restoran ketiga lebih dulu karena ada beberapa hal yang perlu diurus sekalian mengecek laporan keuangan. Ia bekerja dengan sangat fokus sampai-sampai hampir terlupa kalau dirinya harus pergi ke gedung tempat fashion show diadakan. Untung saja, ada Mira yang mengingatkannya.“Kamu langsung pergi ke lokasi aja, Mbak, biar aku yang handle pekerjaan di sini. Lagian tinggal sedikit kok,” ucap Mira.Lora memasukkan ponsel dan beberapa barangnya ke dalam tas selempang. “Nggak papa kutinggal?” tanyanya merasa tidak enak.Mira menggeleng seraya tersenyum menenangkan. “Nggak papa, nanti aku akan menyusul. Bisalah pakai ojol atau taksi online ke sananya.”Lora mencangklongkan tasnya di pundak kanan dengan buru-buru. “Yaudah aku pergi dulu, ya, Mbak.”“Hati-hati, Mbak Lora. Jangan ngebut!” balas Mira setengah berteriak karena Lora sudah berjalan menjauh.Tiba di lokasi, Lora langsung menuju ke bagian belakang panggung tepatnya di ruang

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   162. Semakin Sibuk

    Berbeda dengan Dhafin yang sudah berhasil meluluhkan si kembar, Lora disibukkan dengan persiapan fashion show yang tinggal menghitung hari. Ditambah lagi ia harus mengurus restoran. Meski sudah ada kepala restoran di masing-masing cabang yang senantiasa membantunya, tetapi ia tidak bisa lepas tanggung jawab begitu saja.Ini sudah menjadi konsekuensi ketika dirinya memilih menerima kembali tawaran Zelda menjadi model produk baju muslimah di butik LaCia apalagi sekarang ini dirinya sudah memutuskan untuk publish wajah.Lora pergi ke restoran di waktu pagi untuk memantau kemudian siangnya ke butik Zelda bersama Mira yang selalu setia mendampingi. Semakin hari ia semakin sibuk bahkan tak jarang dirinya pulang telat.Masalah anak-anaknya, Lora tidak terlalu khawatir karena sudah ada Dhafin yang ikut membantu menjaga mereka. Ia mempercayakan si kembar kepada Dhafin sekaligus memberikan waktu kepada mereka untuk saling dekat satu sama lain. Dirinya juga sengaja tidak ikut saat mereka ada a

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   161. Bersama Papa Dhafin

    Hari demi hari telah terlewati. Dhafin menepati ucapannya sendiri, yakni datang ke kediaman Lora setiap hari sepulang dari kantor. Tak peduli dengan jarak tempuh yang cukup jauh, ia bahkan rela harus bolak-balik demi bisa menemui anak-anaknya. Lora juga pada akhirnya memenuhi permintaan ayah kandungnya si kembar yang melarang Grissham datang ke rumah.Beruntung Grissham sendiri mengerti dengan posisi Dhafin yang ingin dekat dengan si kembar tanpa ada peranan orang lain selain ibu dan pengasuhnya.Setiap hari, Dhafin selalu mengajak si kembar bermain sambil belajar seperti arahan baby sitter. Bukan hanya di rumah saja, ia juga kadang kala mengajak mereka jalan-jalan di luar yang tentu saja atas seizin Lora.Pria itu ingin mempunyai momen indah bersama kedua anak kembarnya untuk menggantikan waktunya yang telah hilang selama ini.Tanpa terasa hampir satu bulan lamanya Dhafin melakukan pendekatan dengan si kembar. Usaha yang dilakukannya tidak mengkhianati hasil.Si kembar lama-kelamaa

DMCA.com Protection Status