Share

7. Tolong Aku

Author: Putri Cahaya
last update Last Updated: 2024-08-19 12:56:32

[Zelda, malam ini aku memutuskan pergi dari rumah neraka itu. Aku udah nggak kuat berada disana]

Harap-harap cemas, Naina mengirimkan pesan untuk sahabatnya itu. Sayangnya, hanya centang dua dan belum dibaca. Mungkin Zelda sedang menikmati waktu bersama keluarganya?

Naina jadi sungkan meminta bantuan. Meski sebelumnya Zelda sudah menawarkan, tetap saja dirinya tidak ingin merepotkan Zelda terus.

Kini, Naina berjalan kaki tak tentu arah. Cukup jauh dari kompleks perumahan mertuanya.

Sudah memesan ojol juga bahkan sampai tiga kali, tetapi semuanya ditolak dengan alasan sudah larut malam.

Tidak mungkin ia pulang ke kampung halaman karena rumahnya sudah dijual untuk modal ke kota ini.

Kembali ke rumah Freya yang selama ini menjadi tempat tinggalnya sebelum menikah pun bukan pilihan bagus. Itu sama saja dengan masuk ke kandang musuh.

Wanita cantik itu kembali memesan ojol dengan tujuan menuju terminal, berharap kali ini orderannya diterima. Lelah berjalan, ia memutuskan istirahat di sebuah halte sambil menunggu ojol datang.

Naina tidak sendirian melainkan bersama beberapa orang yang sepertinya sedang menunggu jemputan. Ia temenung sambil memandang ke arah kendaraan berseliweran.

Apakah keputusannya untuk pergi dari rumah sudah benar? 

Ataukah terlalu buru-buru? 

Naina mengambil keputusan ini dalam keadaan emosi dan pikiran yang kacau. Namun, ia teringat dengan ancaman Bu Anita yang tentunya tidak main-main. 

Naina sama sekali tidak takut karena dirinya berada di pihak yang benar. Namun, ia tidak punya kuasa untuk melawan mereka. Ia juga tidak memiliki bukti kuat untuk membela diri.

Meski ada Bi Lastri sebagai saksi, tetap saja kalau sudah disuap dan diancam pasti akan memihak mereka. 

Hukum bisa dibeli. Orang kecil seperti dirinya pasti akan kalah dengan orang yang mempunyai kuasa. 

Bila dirinya dipenjara, lalu bagaimana dengan nasib anaknya? Ia tidak rela anaknya diasuh oleh Freya yang akan menjadi istri Dhafin nantinya.

Jika memilih bertahan, tidak menutup kemungkinan Freya akan terus menyakitinya. Ia tidak ingin anaknya bernasib sama dengan Altair.

Naina menghela napas berat kemudian melihat ponselnya. Ia menelan kekecewaan ketika lagi-lagi orderannya ditolak padahal tadi sempat diterima.

Orang-orang di halte pun satu-persatu mulai pergi hingga tinggallah dirinya sendirian. Malam semakin larut. Hawa dingin menembus kulitnya walaupun sudah mengenakan jaket.

Entah hanya perasaannya atau bagaimana, Naina merasa ada yang mengawasi. Dan benar saja. Ketika menoleh ke arah kanan, ia mendapati dua orang pria berbadan besar berdiri melihat ke arahnya.

Sontak, jantungnya berdetak cepat. Berusaha tenang, meski rasa takut mulai mendominasi. Ia cepat-cepat mengirim pesan lagi kepada Zelda.

[Zelda, tolong aku. Ada dua orang preman yang mengawasiku. Aku takut…]

Tetap sama. Hanya centang dua.

Tak ingin berburuk sangka, Naina beranjak pergi dari halte itu. Seperti dugaannya, kedua orang itu mengikutinya. Ia pun berjalan cepat menghindari mereka.

[Zelda, tolong. Mereka mengikutiku terus. Aku benar-benar takut. Kumohon… tolong aku]

Naina kembali mengirim pesan. Ia berharap besar kepada Zelda. Namun, pesannya masih belum dibaca bahkan pesan yang pertama tadi pun masih centang dua.

Naina akhirnya menelpon Zelda, tetapi tidak diangkat hanya berdering. Hingga panggilan kelima, tetap tidak dijawab. Ya Tuhan….

Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas bersiap lari. Akan tetapi, lengannya keburu ditahan oleh salah satu dari mereka.

“Mau kemana, Neng? Buru-buru amat.”

“Lepas!” Naina menghentak keras lengannya hingga terlepas.

“Eits, sini dulu. Temani kami berdua.” Preman yang satunya menghadang langkah Naina saat hendak kabur.

Naina mendorong sekuat tenaga preman itu lalu berlari. Mereka pun mengejarnya.

“Hey, berhenti!”

“Tolong…! Tolong…!”

Naina berteriak meminta tolong kepada orang-orang sekitar, tetapi tak ada satupun yang berniat menolongnya. Mereka semua malah menatapnya sinis terkesan menghakiminya.

“Kena kau!” 

Preman yang berambut cepak berhasil menangkap Naina. Ia tersenyum mengejek dan memandangi tubuh Naina penuh nafsu.

“Lepaskan saya!” Naina memberontak berusaha melepaskan cekalan, tetapi tidak bisa.

Keduanya tertawa puas. “Kami tau siapa dirimu. Kau wanita viral yang tega membunuh anakmu sendiri.”

Preman satunya yang berkepala setengah botak berjalan mendekat. “Sebelum kau membusuk di penjara atau dihukum mati lebih baik kita bersenang-senang dulu.”

“Sayang sekali jika tidak dinikmati,” ucapnya seraya membelai pipi Naina yang putih dan mulus. 

Naina menepis kasar tangan pria itu menggunakan tangannya yang bebas. “Tolong…! Tolong…! Tolong…!” teriaknya tidak menyerah.

Tawa mereka semakin nyaring. “Berteriaklah sepuasmu. Tidak akan ada orang yang mau menolong. Pembunuh sepertimu memang lebih pantas mati.”

Naina mulai melawan dengan menendang kuat preman yang mencekalnya menggunakan lutut. Pria itu mengerang kesakitan sambil memegangi alat vitalnya. 

Ia memanfaatkannya untuk kabur. Namun, tangannya kembali ditahan oleh preman berambut setengah botak.

“Kau takkan bisa kabur, Nona cantik. Ayo, ikut saya. Kita bersenang-senang sampai pagi.”

Naina pun melakukan perlawanan menggunakan teknik bela diri yang pernah dipelajarinya.

Dirinya menyerang di titik lemah sehingga mudah dilumpuhkan. Terakhir, ia memukul keras kepala plontos itu dengan tas besarnya.

Wanita itu kemudian kembali berlari. Walaupun memiliki ilmu bela diri, tetapi ia takkan mampu melawan mereka sendirian. 

Tenaganya tak sebanding apalagi dengan kondisinya yang tengah mengandung.

Suasana malam semakin sepi dan mencekam. Kendaran pun kian sedikit yang lewat. Tidak ada yang bisa dimintai tolong. 

Naina menggigil ketakutan, sementara di belakang sana dua preman itu mulai bangkit dan mengejarnya lagi.

Laju larinya melambat saat merasakan perutnya kram. Ia berhenti sejenak untuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan.

“Berhenti kau! Jangan kabur!”

Naina menoleh ke belakang dan langsung membelalakkan matanya begitu melihat jarak mereka yang semakin dekat. 

Jantungnya memompa sangat cepat. Ia kembali berlari dengan langkah tertatih sambil memegangi perut.

Hingga matanya menemukan sebuah minimarket yang buka 24 jam beberapa meter di depan. Dengan segera, Naina berjalan cepat ke arah sana.

Kebetulan ada satu mobil hitam terparkir. Sepertinya dewi keberuntungan sedang berpihak kepadanya saat mengetahui mobil itu tidak terkunci.

Dalam keadaan sangat terdesak, ia memutuskan masuk untuk bersembunyi karena tidak kuat lagi berlari. Ia menunduk ketika dua preman itu berada di sekitar mobil.

“Kemana dia?” Suara salah satu dari mereka terdengar membuat Naina tanpa sadar menahan napas.

“Kayaknya ke sana. Ayo, kejar. Kita harus mendapatkannya malam ini juga.”

Dari kaca mobil, Naina melihat mereka berjalan menjauh. Ia menghembuskan napas lega lantas menyandarkan tubuhnya di kursi penumpang. Namun, rasa kram di perutnya semakin menjadi.

Wanita itu meringis kesakitan seraya meremas perutnya. Dapat ia rasakan ada sesuatu yang hangat mengalir di sela-sela pahanya. Rasa khawatir bercampur takut kehilangan sang calon anak memenuhi hatinya.

“Sshh… Ya Allah, sakit sekali….” rintihnya memilukan.

Sampai ketika sebuah suara bariton begitu dalam menyapa indera pendengarannya. “Siapa kau? Beraninya masuk ke mobilku tanpa izin.”

"Akh!" Naina membuka mata dan menatap orang itu dengan pandangan buram.  “Tolong aku, sshh... B-bayiku....”

Ia memejamkan mata lagi. Rasa sakit di perutnya semakin tak tertahankan. Tubuhnya lemas luar biasa. Di tengah kesadarannya yang kian menipis ia berdoa dalam hati.

'Ya Allah... jangan ambil anakku. Aku nggak punya siapa-siapa lagi selain dia. Kumohon selamatkan janinku....’

Dan samar, ia dapat melihat wajah panik dari pria yang baru ditemuinya itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Alya Pristika
kabur pilihan yang tepat
goodnovel comment avatar
vikana_dee
lagian lama amat bertahannya
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
wanita goblok yg g mau berjuang dan hanya bisa pergi menghindar dari kenyataan. cerita sampah yg terlalu menjual kesedihan dan kebodohan.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   8. Sandiwara Freya

    Di sisi lain....“Sayang, pertunangan kita akan diadakan dua hari setelah empat puluh harinya Altair. Gimana menurutmu? Apa kamu setuju?”Dhaffin, yang belum tahu kaburnya Naina, hanya mengangguk pelan tanpa menoleh. Matanya tetap fokus melihat jalanan di depan. Sekarang ini, ia sedang dalam perjalanan mengantar Freya pulang.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Freya hati-hati sambil menatap Dhafin di sampingnya.“Kenapa?” Dhafin melirik sekilas.Freya menunduk, memainkan jarinya di pangkuan. “Aku merasa nggak enak. Kamu sama Naina kan baru aja kehilangan Altair. Kalian masih dalam suasana duka,” ucapnya berpura-pura simpati.“Maumu gimana? Diundur?”“Nggak nggak, bukan gitu.” Freya buru-buru menggeleng. “Ini kan udah menjadi kesepakatan bersama. Jadi, yaudah ikuti aja rencana mereka.”Dhafin hanya berdehem tanpa menanggapi lebih banyak. Dalam hati, ia juga merasakan hal yang sama. Duka masih sangat kental menyelimuti, apalagi Naina yang merasa paling kehilangan.Namun, kembali lagi. Semuanya

    Last Updated : 2024-08-20
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   9. Dua Garis Merah

    Dhafin tiba di rumah sekitar pukul sebelas malam. Suasana rumah sudah sangat sepi. Bahkan lampu ruang utama sudah dimatikan.Ia pun langsung melangkah menuju kamarnya dan tidak melihat keberadaan Naina.Mungkin tidur di kamar Altair karena semenjak putranya tiada Naina lebih sering tidur di sana.Pria bertubuh tinggi dan tegap itu mengambil piyama tidur yang sudah disiapkan sang istri lantas mengganti pakaiannya.Ia merebahkan tubuh yang terasa lelah di ranjang usai mengirim pesan pada Freya untuk mengabarkan bahwa dirinya sudah sampai rumah. Matanya terpejam dan tak lama memasuki alam mimpi.Keesokan paginya, Dhafin bangun sedikit telat. Biasanya Naina yang membangunkannya untuk menunaikan sholat Subuh. Namun, kali ini ia belum melihat batang hidung istrinya.“Naina, siapkan bajuku,” perintah Dhafin yang masih mengira Naina berada di kamar Altair. Tangannya sibuk memasukkan berkas ke dalam tas lebih.Tidak ada sahutan membuatnya mengernyit heran. Kamar ini dengan kamar anaknya saling

    Last Updated : 2024-08-21
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   10. Rumah Sakit

    Dhafin terduduk di pinggiran ranjang masih mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Ia senantiasa menatap tespack itu lekat-lekat. Naina hamil. Naina sedang mengandung anaknya. Akan tetapi, kenapa tidak memberitahunya? Kini, Naina pergi entah kemana dengan membawa serta benih di rahimnya. Ia benar-benar tidak menyangka istrinya itu berani berbuat nekat. Setelah semalam minta cerai, kemudian malah kabur. Naina pikir, dirinya akan terbebas begitu saja? Tentu tidak! Dhafin berjanji, akan membawa Naina kembali ke rumah ini bagaimanapun caranya. Naina harus berada dalam genggamannya. Tiba-tiba, Dhafin teringat dengan seorang perempuan yang selama ini menjadi sahabat istrinya. Mungkinkah Naina berada di tempat sahabatnya itu? Sepertinya iya. Siapa lagi orang yang akan dituju Naina kalau bukan sahabatnya? Naina tidak memiliki siapapun di dunia ini. Wanita itu hidup sebatang kara tanpa orang tua dan menumpang hidup di rumah Freya sebelum berakhir menikah dengannya.

    Last Updated : 2024-08-21
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   11. Ketika Masa Lalu Kembali

    Naina beringsut duduk dibantu oleh suster. Ia menatap dokter laki-laki di sampingnya dengan raut wajah cemas. Jantungnya berdebar-debar menunggu jawaban dari sang dokter. “Ibu mengalami pendarahan hebat. Untung saja anda segera dibawa ke rumah sakit sehingga langsung mendapatkan penanganan.” Naina dibuat sangat syok mendengar penjelasan dokter. Hatinya mencelos. Jantungnya semakin memompa cepat. “Lalu janin saya....” Ucapannya menggantung. Suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Ia tidak sanggup membayangkan bagaimana kalau dirinya kembali kehilangan. Anak ini satu-satunya yang menjadi harapannya untuk tetap bertahan hidup. Dokter mengulas senyum tipis seolah mengerti kekhawatiran pasiennya. “Alhamdulillah, janin ibu bisa diselamatkan.” “Alhamdulillah….” Naina menghembuskan napas lega. Perasaannya seketika plong. Dalam hati, ia sangat bersyukur. Tuhan masih baik kepadanya dengan tidak mengambil calon buah hatinya. “Tapi sekarang ini kandungan ibu sangat rentan keguguran. Kar

    Last Updated : 2024-08-22
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   12. Luka Tak Berdarah

    “Aku sangat mencintaimu, Freya. Jangan tinggalkan aku lagi.” Deg! Naina menghentikan langkahnya ketika mendengar ucapan Dhafin yang menyerupai gumaman. Ia berdiri dengan tubuh yang menegang kaku melihat mereka yang saling berpelukan itu. Dadanya seakan dihantam oleh sesuatu yang besar. Butiran bening telah terkumpul di kelopak matanya siap jatuh kapan saja. Belum cukup sampai di situ, Freya melepaskan pelukannya kemudian tanpa diduga mencium bibir Dhafin. Awalnya, Dhafin tampak terkejut, tetapi lama-kelamaan menikmati dan ikut membalas. Terlihat dari caranya yang memegang pipi dan tengkuk Freya semakin memperdalam ciuman. Sontak, air mata Naina jatuh tanpa permisi. Jantungnya berdetak cepat tanpa bisa dikendalikan. Dadanya sangat sesak menyaksikan langsung sang suami mencium mesra mantan kekasihnya. Ya Tuhan…. sakit sekali. Ia menggenggam kuat-kuat testpack di tangannya. Rencananya yang ingin memberikan kejutan, malah ia yang dibuat terkejut. Pantas saja suaminya p

    Last Updated : 2024-08-23
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   13. Tersebar Luas

    Naina menarik napasnya dalam-dalam untuk mengurangi rasa sesak dalam dadanya. Ia menatap miris sang putra yang masih menangis hingga suaranya serak.Sepertinya ini menjadi puncak kesabaran Altair menghadapi sikap sang ayah sehingga sangat susah dibujuk.“Kamu ini gimana sih? Anak nangis bukannya ditenangkan malah dibiarkan.” Sang ibu mertua akhirnya turun tangan. Ia berjalan menghampiri Altair.“Udah, Ma. Aku udah membujuk, tapi Altair tetep nggak mau.” Naina senantiasa mengusap punggung Altair yang bersandar padanya.“Ya, kamu harusnya cari cara dong. Pakai alternatif lain atau apa kek. Kasihan cucuku nangis terus dari pagi. Jadi ibu kok nggak becus banget.”Jleb sekali rasanya. Padahal anaknya yang salah karena melanggar janji, tetapi Naina tetap disalahkan bahkan dibilang tidak becus.“Tapi Altair maunya sama Mas Dhafin, Ma. Udah lama Mas Dhafin nggak main sama Altair.”“Jangan cuma mengandalkan Dhafin doang. Mentang-mentang Altair deketnya sama Dhafin, kamu lepas tangan gitu aja,”

    Last Updated : 2024-08-24
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   14. Mencari Naina

    “Apa? Turun?”Wanita yang merupakan petugas rumah sakit itu mendekat ke arah Naina. “Iya, Mbak. Sahamnya lagi turun drastis. Kurang lebih selama tiga hari ini sih.”Naina berdehem pelan untuk menetralkan rasa terkejutnya. “Ibu tau dari mana?”“Dari anak saya yang bekerja di perusahaan itu. Katanya di sana tuh lagi kacau banget, Mbak. Anak saya jadi lebih banyak lembur buat mengatasi masalah itu.”Naina terdiam tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia yakin pasti Dhafin sekarang sedang sibuk mengatasi masalah itu. Dhafin tentunya akan melakukan segala cara untuk mengembalikan nama baik perusahaan.“Anak saya juga bilang kalau masalah ini tuh akibat berita viralnya Mbak. Padahal yang saya tahu, Wirabuana Group itu perusahaan yang bagus banget loh. Nggak nyangka akan menghadapi masalah ini.”Naina membenarkan dalam hati perkataan wanita itu. Wirabuana Group memang salah satu perusahaan ternama yang terkenal sangat bagus. Di mata publik, citranya pun sangat baik seolah tanpa cela sedi

    Last Updated : 2024-08-25
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   15. Kemarahan Dhafin

    Dhafin yang baru saja kembali dari butik Zelda menghempaskan tubuh di kursi kebesarannya. Matanya terpejam dengan tangan menumpu pada dahi. Tak lama, pintu ruangannya terbuka. Ia membuka mata dan mendapati seorang pria yang menjabat sebagai sekretarisnya berjalan mendekat. “Bagaimana? Ketemu Naina-nya?” tanya pria itu lantas duduk di kursi berhadapan dengannya. Dhafin menggeleng pelan sebagai jawaban. Pencarian Naina memang sedikit terlupakan karena ia sangat subuk mengurusi masalah kantor. Baru hari ini dirinya menyempatkan waktu ke tempat Zelda. “Kenapa kamu harus mencarinya?” “Aku takkan membiarkanya lari begitu saja,” jawab Dhafin datar. Arvan, sahabat sekaligus sekretaris Dhafin, mengetuk-ngetuk meja kaca menggunakan jarinya seperti ingin mengutarakan sesuatu. “Menurutku Naina nggak sepenuhnya salah.” “Maksudmu?” Dhafin menegakkan tubuhnya. “Maksudku bisa dibilang Naina ini sebenarnya korban. Dia nggak berniat membuat semua kekacauan ini.” “Dia bersalah.” Dhafin menatap d

    Last Updated : 2024-08-26

Latest chapter

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   301. Jangan Terlena

    Grissham mengangkat kepala perlahan. Tatapannya bertemu dengan Lora, masih dengan wajah yang sedikit mengerut, seperti anak kecil yang baru saja mengakui kesalahan tapi tetap ingin dimengerti.Katakanlah ia kekanak-kanakan. Hanya karena cemburu, dirinya memilih mendiamkan Lora selama tiga hari.Namun... apakah salah jika ia merasa seperti itu? Lora miliknya walaupun belum sepenuhnya. Ia pun punya hak untuk cemburu.Selama ini, Grissham menahan. Selalu berusaha mengalah. Ia memang mengizinkan Lora tetap berhubungan baik dengan mantan suaminya demi anak-anak. Namun, bukan berarti ia tak terluka. Ada bagian dari hatinya yang terasa diabaikan setiap kali melihat Lora tersenyum bersama pria itu.Lora tampak terlalu menikmati kebersamaan mereka seakan lupa bahwa ada hati yang harus dijaga.Karena itulah Grissham memilih bersikap seperti itu, membiarkan jarak terbentang agar Lora menyadari sendiri. Dan nyatanya, wanita itu datang. Tiga hari cukup untuk membuat Lora bertanya-tanya dan akhir

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   300. Cemburunya Grissham

    Ruangan luas nan mewah itu terdiam bisu, seolah ikut menahan napas. Hembusan lembut dari pendingin ruangan menyusup ke sela-sela, membuat udara di dalamnya terasa membeku. Detik demi detik terdengar jelas dari dentingan jarum jam di dinding, mengisi keheningan yang seakan menanti sang pemilik ruangan untuk angkat bicara. Lora duduk diam. Matanya tak berkedip, menatap Grissham lekat-lekat. Tatapan itu menyimpan rasa penasaran yang terus menggelembung di dalam dada. Jemarinya saling menggenggam, mengguratkan kegelisahan yang coba ia redam lewat kehangatan dari dirinya sendiri. Grissham menghembuskan napas panjang. Matanya tak menoleh, tetap terpaku ke satu titik di hadapan, seolah dinding polos itu lebih pantas ia tatap daripada wanita yang duduk di sampingnya. Kedua tangannya bertumpu di lutut, jari-jarinya mengepal lalu mengendur, seirama dengan napas yang berat. “Aku sedang banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan dalam waktu dekat ini,” ucapnya datar, seperti seda

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   299. Berubah

    Beberapa hari berlalu tanpa terasa. Kini, hanya tersisa dua bulan lagi menuju hari pernikahan Lora dan Grissham.Segala persiapan nyaris rampung, dibantu penuh oleh keluarga besar yang turut antusias menyambut hari bahagia mereka.Gedung hotel megah milik keluarga Kusuma telah dipastikan dan dijadwalkan menjadi tempat berlangsungnya momen sakral itu.Gaun pengantin berpotongan anggun tergantung rapi di balik tirai kaca LaCia Boutique, menanti hari di mana Lora akan mengenakannya. Seragam keluarga pun telah selesai dijahit, lengkap dalam berbagai ukuran. MUA ternama yang menjadi incaran para pengantin sudah dibooking sejak beberapa bulan lalu. Jadwalnya dikunci, tak bisa diganggu gugat.Dan yang tak kalah penting, mereka memutuskan untuk mempercayakan seluruh rangkaian acara kepada wedding organizer profesional. Mulai dari acara siraman hingga resepsi, semua diserahkan kepada tangan-tangan berpengalaman.Rapat demi rapat digelar. Lora dan Grissham selalu hadir, duduk berdampingan den

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   298. Keputusan yang Tak Bisa Diganggu Gugat

    Wajah Bu Anita seketika berubah. Ada gurat kecewa yang perlahan menyusup. Sorot matanya tampak meredup, senyum yang tadi sempat mengembang perlahan menghilang. “Kamu udah memikirkan keputusan ini matang-matang, Nak?” tanyanya pelan dengan mata yang menatap lurus. “Udah, Ma,” jawab Lora dengan lirih tapi tegas. “Bahkan sejak awal aku memilih Kak Sham.” Ia menunduk sejenak, menahan tarikan emosi yang bergolak di dadanya. “Sekali lagi, aku minta maaf, Ma.” Keheningan menggantung beberapa saat. Lora menanti, menebak-nebak reaksi yang akan keluar. Raut datar di wajah Bu Anita membuat pikirannya mulai liar, mencari-cari makna dari setiap helaan napas wanita itu. Ia tahu betul watak ibunya Dhafin. Kini, muncul satu pertanyaan. Apakah keputusan ini akan diterima… atau akan menjadi awal dari jarak yang semakin renggang? Lora menunggu tanggapan Bu Anita dengan sedikit cemas. Melihat dari ekspresinya, sudah pasti beliau akan sangat marah, lalu memaksa agar permintaannya dipenuhi.

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   297. Perhatian yang Timpang

    Pertanyaan itu menggantung di udara. Dhafin tak langsung menjawab, dan dari keheningannya itu saja Lora sudah tahu jawabannya.“Aku nggak menyangkal,” akhirnya Dhafin bicara, suaranya tenang tapi berat. “Tapi itu juga bukan alasan utama. Aku beneran kangen anak-anak. Bukan cuma karena kamu, tapi karena aku ayah mereka.” Ia menarik napas lagi, lalu memalingkan wajah, menatap ke arah rumah tempat tawa si kembar kini terdengar samar. “Kejadian kemarin… bikin aku sadar. Aku nggak cuma kehilangan kamu, tapi juga mereka. Rasanya hampa banget.”Dhafin kembali menatap Lora, sorot matanya kali ini serius dan penuh harap. “Aku nggak minta banyak. Aku cuma pengen kamu izinkan aku tetap ada di hidup mereka. Walau kamu udah punya kehidupan sendiri.”Lora terkekeh pelan, suara tawanya lirih namun mengandung makna. Sudut bibirnya terangkat, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar geli.“Aku dari awal udah membebaskanmu bertemu anak-anak. Aku nggak pernah membatasi,” ujarnya

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   296. Permintaan Maaf

    “Papa!”Dua bocah kembar itu melesat turun dari mobil. Kaki-kaki mungil mereka menapak cepat di jalan setapak.Suara langkah kecil berpadu dengan teriakan riang, menciptakan simfoni rindu yang tak terbendung.Mereka langsung menghambur ke dalam pelukan ayahnya yang berdiri di teras dengan tangan terbuka dan mata yang tampak sedikit berembun.Begitu tubuh kecil itu memeluknya, Dhafin menunduk dan mendekap mereka erat seolah tak ingin melepaskan.Tangannya membelai rambut keduanya, mencium pipi mereka satu per satu dengan tawa kecil yang tertahan. Hatinya mencelos, penuh sesak oleh rasa bersalah yang belum juga reda. Terakhir ia melihat wajah mereka adalah di rumah sakit saat menjenguk ibunya.Sejak pertengkaran panas itu, Lora benar-benar menjauh. Dan ia... hanya bisa menyesali semuanya dalam diam.“Papa kangen banget sama kalian.” Suaranya bergetar, tetapi hangat.Ia mendaratkan ciuman bertubi-tubi di wajah mereka, membuat anak-anak itu tertawa geli sambil memegangi pipi mereka. “Kal

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   295. Permintaan untuk Datang Kembali

    Grissham tak langsung menanggapi. Matanya tak lepas dari jalanan yang padat. Tampak di depan sana, mobil-mobil merayap, saling berebut celah di bawah langit sore yang mulai menguning.Lampu sein berdetak pelan, menyatu dengan musik dari radio yang mengalun lembut dari speaker mobil.Beberapa menit kemudian, ia memutar kemudi ke kanan, memasuki jalan menuju kawasan perumahan elit—tempat keluarga Brighton tinggal.Dering ponsel yang sejak tadi bersenandung akhirnya berhenti. Lora menatap layar yang kini berubah gelap, jemarinya masih menggenggam erat perangkat itu.Grissham melirik sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Ia sempat mengira telepon itu tak akan datang lagi karena sang penelepon sudah menyerah. Namun hanya selang beberapa detik, getaran itu kembali menggema di dalam mobil. Nada dering yang sama, nama yang sama—masih bertahan di layar.Grissham menarik napas panjang, menahan jeda sebelum bersuara. “Angkat saja, siapa tahu penting,” ucapnya datar, tetapi lembut.Lora hanya me

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   294. Jejak Tradisi

    Senyum di wajah Zelda perlahan meredup. Masih ada lengkungan manis di bibirnya, tetapi tak lagi semeriah tadi. Pandangannya turun, jatuh pada jemarinya yang saling menggenggam di atas pangkuan, seolah mencari pegangan pada dirinya sendiri. Lora yang duduk di sampingnya mencuri pandang, lalu menatap lekat perut sahabatnya yang kini membulat jelas di balik dress selutut berwarna pastel itu. “Pemeriksaan terakhir? Emangnya kenapa?” tanyanya pelan tetapi penuh curiga setelah ada jeda sejenak. Zelda tidak langsung menjawab. Hanya diam, membiarkan hening mengambang beberapa detik. Kemudian, seperti tersadar, ia menarik napas dan kembali memasang senyum cerah hingga terasa agak dipaksakan. “Bukan apa-apa kok. Semuanya aman.” Lora tidak sepenuhnya percaya. Tatapannya menyapu wajah Zelda yang terlihat terlalu tenang untuk seseorang yang barusan tampak ragu. Namun, ia memilih menahan diri. Tangannya terulur untuk menyentuh perut sahabatnya yang terasa hangat dan hidup di bawah telapaknya

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   293. Persiapan Pernikahan

    Berbeda dengan Dhafin yang tenggelam dalam penyesalan tak berujung, Lora berdiri tegak di depan cermin besar di LaCia Boutique milik sahabatnya. Cahaya lembut dari lampu gantung kristal memantulkan siluetnya di permukaan kaca. Kebaya putih dengan detail payet halus melekat sempurna di tubuhnya, mengikuti lekuk tanpa cela.Kainnya jatuh anggun, sementara ekor kebaya menjuntai panjang hingga menyapu lantai dengan gerakan pelan setiap kali ia berpindah posisi. Kerudung segi empat yang menjuntai menutup dada, warnanya senada dengan kebaya, menjadikan tampilannya anggun tanpa harus berlebihan.Lora merapikan kerudungnya perlahan, jemarinya menyusuri kain lembut yang menjuntai menutup dada. Sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya.Bukan karena merasa paling cantik, bukan pula karena penampilan yang nyaris sempurna. Melainkan ada rasa hangat yang menjalari dadanya, sebuah rasa utuh sekaligus layak.Untuk pertama kalinya, ia menjalani proses ini dengan penuh kesadaran dan penghargaan. Ti

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status