[Zelda, malam ini aku memutuskan pergi dari rumah neraka itu. Aku udah nggak kuat berada disana]
Harap-harap cemas, Naina mengirimkan pesan untuk sahabatnya itu. Sayangnya, hanya centang dua dan belum dibaca. Mungkin Zelda sedang menikmati waktu bersama keluarganya?
Naina jadi sungkan meminta bantuan. Meski sebelumnya Zelda sudah menawarkan, tetap saja dirinya tidak ingin merepotkan Zelda terus.
Kini, Naina berjalan kaki tak tentu arah. Cukup jauh dari kompleks perumahan mertuanya.
Sudah memesan ojol juga bahkan sampai tiga kali, tetapi semuanya ditolak dengan alasan sudah larut malam.
Tidak mungkin ia pulang ke kampung halaman karena rumahnya sudah dijual untuk modal ke kota ini.
Kembali ke rumah Freya yang selama ini menjadi tempat tinggalnya sebelum menikah pun bukan pilihan bagus. Itu sama saja dengan masuk ke kandang musuh.
Wanita cantik itu kembali memesan ojol dengan tujuan menuju terminal, berharap kali ini orderannya diterima. Lelah berjalan, ia memutuskan istirahat di sebuah halte sambil menunggu ojol datang.
Naina tidak sendirian melainkan bersama beberapa orang yang sepertinya sedang menunggu jemputan. Ia temenung sambil memandang ke arah kendaraan berseliweran.
Apakah keputusannya untuk pergi dari rumah sudah benar?
Ataukah terlalu buru-buru?
Naina mengambil keputusan ini dalam keadaan emosi dan pikiran yang kacau. Namun, ia teringat dengan ancaman Bu Anita yang tentunya tidak main-main.
Naina sama sekali tidak takut karena dirinya berada di pihak yang benar. Namun, ia tidak punya kuasa untuk melawan mereka. Ia juga tidak memiliki bukti kuat untuk membela diri.
Meski ada Bi Lastri sebagai saksi, tetap saja kalau sudah disuap dan diancam pasti akan memihak mereka.
Hukum bisa dibeli. Orang kecil seperti dirinya pasti akan kalah dengan orang yang mempunyai kuasa.
Bila dirinya dipenjara, lalu bagaimana dengan nasib anaknya? Ia tidak rela anaknya diasuh oleh Freya yang akan menjadi istri Dhafin nantinya.
Jika memilih bertahan, tidak menutup kemungkinan Freya akan terus menyakitinya. Ia tidak ingin anaknya bernasib sama dengan Altair.
Naina menghela napas berat kemudian melihat ponselnya. Ia menelan kekecewaan ketika lagi-lagi orderannya ditolak padahal tadi sempat diterima.
Orang-orang di halte pun satu-persatu mulai pergi hingga tinggallah dirinya sendirian. Malam semakin larut. Hawa dingin menembus kulitnya walaupun sudah mengenakan jaket.
Entah hanya perasaannya atau bagaimana, Naina merasa ada yang mengawasi. Dan benar saja. Ketika menoleh ke arah kanan, ia mendapati dua orang pria berbadan besar berdiri melihat ke arahnya.
Sontak, jantungnya berdetak cepat. Berusaha tenang, meski rasa takut mulai mendominasi. Ia cepat-cepat mengirim pesan lagi kepada Zelda.
[Zelda, tolong aku. Ada dua orang preman yang mengawasiku. Aku takut…]
Tetap sama. Hanya centang dua.
Tak ingin berburuk sangka, Naina beranjak pergi dari halte itu. Seperti dugaannya, kedua orang itu mengikutinya. Ia pun berjalan cepat menghindari mereka.
[Zelda, tolong. Mereka mengikutiku terus. Aku benar-benar takut. Kumohon… tolong aku]
Naina kembali mengirim pesan. Ia berharap besar kepada Zelda. Namun, pesannya masih belum dibaca bahkan pesan yang pertama tadi pun masih centang dua.
Naina akhirnya menelpon Zelda, tetapi tidak diangkat hanya berdering. Hingga panggilan kelima, tetap tidak dijawab. Ya Tuhan….
Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas bersiap lari. Akan tetapi, lengannya keburu ditahan oleh salah satu dari mereka.
“Mau kemana, Neng? Buru-buru amat.”
“Lepas!” Naina menghentak keras lengannya hingga terlepas.
“Eits, sini dulu. Temani kami berdua.” Preman yang satunya menghadang langkah Naina saat hendak kabur.
Naina mendorong sekuat tenaga preman itu lalu berlari. Mereka pun mengejarnya.
“Hey, berhenti!”
“Tolong…! Tolong…!”
Naina berteriak meminta tolong kepada orang-orang sekitar, tetapi tak ada satupun yang berniat menolongnya. Mereka semua malah menatapnya sinis terkesan menghakiminya.
“Kena kau!”
Preman yang berambut cepak berhasil menangkap Naina. Ia tersenyum mengejek dan memandangi tubuh Naina penuh nafsu.
“Lepaskan saya!” Naina memberontak berusaha melepaskan cekalan, tetapi tidak bisa.
Keduanya tertawa puas. “Kami tau siapa dirimu. Kau wanita viral yang tega membunuh anakmu sendiri.”
Preman satunya yang berkepala setengah botak berjalan mendekat. “Sebelum kau membusuk di penjara atau dihukum mati lebih baik kita bersenang-senang dulu.”
“Sayang sekali jika tidak dinikmati,” ucapnya seraya membelai pipi Naina yang putih dan mulus.
Naina menepis kasar tangan pria itu menggunakan tangannya yang bebas. “Tolong…! Tolong…! Tolong…!” teriaknya tidak menyerah.
Tawa mereka semakin nyaring. “Berteriaklah sepuasmu. Tidak akan ada orang yang mau menolong. Pembunuh sepertimu memang lebih pantas mati.”
Naina mulai melawan dengan menendang kuat preman yang mencekalnya menggunakan lutut. Pria itu mengerang kesakitan sambil memegangi alat vitalnya.
Ia memanfaatkannya untuk kabur. Namun, tangannya kembali ditahan oleh preman berambut setengah botak.
“Kau takkan bisa kabur, Nona cantik. Ayo, ikut saya. Kita bersenang-senang sampai pagi.”
Naina pun melakukan perlawanan menggunakan teknik bela diri yang pernah dipelajarinya.
Dirinya menyerang di titik lemah sehingga mudah dilumpuhkan. Terakhir, ia memukul keras kepala plontos itu dengan tas besarnya.
Wanita itu kemudian kembali berlari. Walaupun memiliki ilmu bela diri, tetapi ia takkan mampu melawan mereka sendirian.
Tenaganya tak sebanding apalagi dengan kondisinya yang tengah mengandung.
Suasana malam semakin sepi dan mencekam. Kendaran pun kian sedikit yang lewat. Tidak ada yang bisa dimintai tolong.
Naina menggigil ketakutan, sementara di belakang sana dua preman itu mulai bangkit dan mengejarnya lagi.
Laju larinya melambat saat merasakan perutnya kram. Ia berhenti sejenak untuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan.
“Berhenti kau! Jangan kabur!”
Naina menoleh ke belakang dan langsung membelalakkan matanya begitu melihat jarak mereka yang semakin dekat.
Jantungnya memompa sangat cepat. Ia kembali berlari dengan langkah tertatih sambil memegangi perut.
Hingga matanya menemukan sebuah minimarket yang buka 24 jam beberapa meter di depan. Dengan segera, Naina berjalan cepat ke arah sana.
Kebetulan ada satu mobil hitam terparkir. Sepertinya dewi keberuntungan sedang berpihak kepadanya saat mengetahui mobil itu tidak terkunci.
Dalam keadaan sangat terdesak, ia memutuskan masuk untuk bersembunyi karena tidak kuat lagi berlari. Ia menunduk ketika dua preman itu berada di sekitar mobil.
“Kemana dia?” Suara salah satu dari mereka terdengar membuat Naina tanpa sadar menahan napas.
“Kayaknya ke sana. Ayo, kejar. Kita harus mendapatkannya malam ini juga.”
Dari kaca mobil, Naina melihat mereka berjalan menjauh. Ia menghembuskan napas lega lantas menyandarkan tubuhnya di kursi penumpang. Namun, rasa kram di perutnya semakin menjadi.
Wanita itu meringis kesakitan seraya meremas perutnya. Dapat ia rasakan ada sesuatu yang hangat mengalir di sela-sela pahanya. Rasa khawatir bercampur takut kehilangan sang calon anak memenuhi hatinya.
“Sshh… Ya Allah, sakit sekali….” rintihnya memilukan.
Sampai ketika sebuah suara bariton begitu dalam menyapa indera pendengarannya. “Siapa kau? Beraninya masuk ke mobilku tanpa izin.”
"Akh!" Naina membuka mata dan menatap orang itu dengan pandangan buram. “Tolong aku, sshh... B-bayiku....”
Ia memejamkan mata lagi. Rasa sakit di perutnya semakin tak tertahankan. Tubuhnya lemas luar biasa. Di tengah kesadarannya yang kian menipis ia berdoa dalam hati.
'Ya Allah... jangan ambil anakku. Aku nggak punya siapa-siapa lagi selain dia. Kumohon selamatkan janinku....’
Dan samar, ia dapat melihat wajah panik dari pria yang baru ditemuinya itu.
Di sisi lain....“Sayang, pertunangan kita akan diadakan dua hari setelah empat puluh harinya Altair. Gimana menurutmu? Apa kamu setuju?”Dhaffin, yang belum tahu kaburnya Naina, hanya mengangguk pelan tanpa menoleh. Matanya tetap fokus melihat jalanan di depan. Sekarang ini, ia sedang dalam perjalanan mengantar Freya pulang.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Freya hati-hati sambil menatap Dhafin di sampingnya.“Kenapa?” Dhafin melirik sekilas.Freya menunduk, memainkan jarinya di pangkuan. “Aku merasa nggak enak. Kamu sama Naina kan baru aja kehilangan Altair. Kalian masih dalam suasana duka,” ucapnya berpura-pura simpati.“Maumu gimana? Diundur?”“Nggak nggak, bukan gitu.” Freya buru-buru menggeleng. “Ini kan udah menjadi kesepakatan bersama. Jadi, yaudah ikuti aja rencana mereka.”Dhafin hanya berdehem tanpa menanggapi lebih banyak. Dalam hati, ia juga merasakan hal yang sama. Duka masih sangat kental menyelimuti, apalagi Naina yang merasa paling kehilangan.Namun, kembali lagi. Semuanya
Dhafin tiba di rumah sekitar pukul sebelas malam. Suasana rumah sudah sangat sepi. Bahkan lampu ruang utama sudah dimatikan.Ia pun langsung melangkah menuju kamarnya dan tidak melihat keberadaan Naina.Mungkin tidur di kamar Altair karena semenjak putranya tiada Naina lebih sering tidur di sana.Pria bertubuh tinggi dan tegap itu mengambil piyama tidur yang sudah disiapkan sang istri lantas mengganti pakaiannya.Ia merebahkan tubuh yang terasa lelah di ranjang usai mengirim pesan pada Freya untuk mengabarkan bahwa dirinya sudah sampai rumah. Matanya terpejam dan tak lama memasuki alam mimpi.Keesokan paginya, Dhafin bangun sedikit telat. Biasanya Naina yang membangunkannya untuk menunaikan sholat Subuh. Namun, kali ini ia belum melihat batang hidung istrinya.“Naina, siapkan bajuku,” perintah Dhafin yang masih mengira Naina berada di kamar Altair. Tangannya sibuk memasukkan berkas ke dalam tas lebih.Tidak ada sahutan membuatnya mengernyit heran. Kamar ini dengan kamar anaknya saling
Dhafin terduduk di pinggiran ranjang masih mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Ia senantiasa menatap tespack itu lekat-lekat. Naina hamil. Naina sedang mengandung anaknya. Akan tetapi, kenapa tidak memberitahunya? Kini, Naina pergi entah kemana dengan membawa serta benih di rahimnya. Ia benar-benar tidak menyangka istrinya itu berani berbuat nekat. Setelah semalam minta cerai, kemudian malah kabur. Naina pikir, dirinya akan terbebas begitu saja? Tentu tidak! Dhafin berjanji, akan membawa Naina kembali ke rumah ini bagaimanapun caranya. Naina harus berada dalam genggamannya. Tiba-tiba, Dhafin teringat dengan seorang perempuan yang selama ini menjadi sahabat istrinya. Mungkinkah Naina berada di tempat sahabatnya itu? Sepertinya iya. Siapa lagi orang yang akan dituju Naina kalau bukan sahabatnya? Naina tidak memiliki siapapun di dunia ini. Wanita itu hidup sebatang kara tanpa orang tua dan menumpang hidup di rumah Freya sebelum berakhir menikah dengannya.
Naina beringsut duduk dibantu oleh suster. Ia menatap dokter laki-laki di sampingnya dengan raut wajah cemas. Jantungnya berdebar-debar menunggu jawaban dari sang dokter. “Ibu mengalami pendarahan hebat. Untung saja anda segera dibawa ke rumah sakit sehingga langsung mendapatkan penanganan.” Naina dibuat sangat syok mendengar penjelasan dokter. Hatinya mencelos. Jantungnya semakin memompa cepat. “Lalu janin saya....” Ucapannya menggantung. Suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Ia tidak sanggup membayangkan bagaimana kalau dirinya kembali kehilangan. Anak ini satu-satunya yang menjadi harapannya untuk tetap bertahan hidup. Dokter mengulas senyum tipis seolah mengerti kekhawatiran pasiennya. “Alhamdulillah, janin ibu bisa diselamatkan.” “Alhamdulillah….” Naina menghembuskan napas lega. Perasaannya seketika plong. Dalam hati, ia sangat bersyukur. Tuhan masih baik kepadanya dengan tidak mengambil calon buah hatinya. “Tapi sekarang ini kandungan ibu sangat rentan keguguran. Kar
“Aku sangat mencintaimu, Freya. Jangan tinggalkan aku lagi.” Deg! Naina menghentikan langkahnya ketika mendengar ucapan Dhafin yang menyerupai gumaman. Ia berdiri dengan tubuh yang menegang kaku melihat mereka yang saling berpelukan itu. Dadanya seakan dihantam oleh sesuatu yang besar. Butiran bening telah terkumpul di kelopak matanya siap jatuh kapan saja. Belum cukup sampai di situ, Freya melepaskan pelukannya kemudian tanpa diduga mencium bibir Dhafin. Awalnya, Dhafin tampak terkejut, tetapi lama-kelamaan menikmati dan ikut membalas. Terlihat dari caranya yang memegang pipi dan tengkuk Freya semakin memperdalam ciuman. Sontak, air mata Naina jatuh tanpa permisi. Jantungnya berdetak cepat tanpa bisa dikendalikan. Dadanya sangat sesak menyaksikan langsung sang suami mencium mesra mantan kekasihnya. Ya Tuhan…. sakit sekali. Ia menggenggam kuat-kuat testpack di tangannya. Rencananya yang ingin memberikan kejutan, malah ia yang dibuat terkejut. Pantas saja suaminya p
Naina menarik napasnya dalam-dalam untuk mengurangi rasa sesak dalam dadanya. Ia menatap miris sang putra yang masih menangis hingga suaranya serak.Sepertinya ini menjadi puncak kesabaran Altair menghadapi sikap sang ayah sehingga sangat susah dibujuk.“Kamu ini gimana sih? Anak nangis bukannya ditenangkan malah dibiarkan.” Sang ibu mertua akhirnya turun tangan. Ia berjalan menghampiri Altair.“Udah, Ma. Aku udah membujuk, tapi Altair tetep nggak mau.” Naina senantiasa mengusap punggung Altair yang bersandar padanya.“Ya, kamu harusnya cari cara dong. Pakai alternatif lain atau apa kek. Kasihan cucuku nangis terus dari pagi. Jadi ibu kok nggak becus banget.”Jleb sekali rasanya. Padahal anaknya yang salah karena melanggar janji, tetapi Naina tetap disalahkan bahkan dibilang tidak becus.“Tapi Altair maunya sama Mas Dhafin, Ma. Udah lama Mas Dhafin nggak main sama Altair.”“Jangan cuma mengandalkan Dhafin doang. Mentang-mentang Altair deketnya sama Dhafin, kamu lepas tangan gitu aja,”
“Apa? Turun?”Wanita yang merupakan petugas rumah sakit itu mendekat ke arah Naina. “Iya, Mbak. Sahamnya lagi turun drastis. Kurang lebih selama tiga hari ini sih.”Naina berdehem pelan untuk menetralkan rasa terkejutnya. “Ibu tau dari mana?”“Dari anak saya yang bekerja di perusahaan itu. Katanya di sana tuh lagi kacau banget, Mbak. Anak saya jadi lebih banyak lembur buat mengatasi masalah itu.”Naina terdiam tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia yakin pasti Dhafin sekarang sedang sibuk mengatasi masalah itu. Dhafin tentunya akan melakukan segala cara untuk mengembalikan nama baik perusahaan.“Anak saya juga bilang kalau masalah ini tuh akibat berita viralnya Mbak. Padahal yang saya tahu, Wirabuana Group itu perusahaan yang bagus banget loh. Nggak nyangka akan menghadapi masalah ini.”Naina membenarkan dalam hati perkataan wanita itu. Wirabuana Group memang salah satu perusahaan ternama yang terkenal sangat bagus. Di mata publik, citranya pun sangat baik seolah tanpa cela sedi
Dhafin yang baru saja kembali dari butik Zelda menghempaskan tubuh di kursi kebesarannya. Matanya terpejam dengan tangan menumpu pada dahi. Tak lama, pintu ruangannya terbuka. Ia membuka mata dan mendapati seorang pria yang menjabat sebagai sekretarisnya berjalan mendekat. “Bagaimana? Ketemu Naina-nya?” tanya pria itu lantas duduk di kursi berhadapan dengannya. Dhafin menggeleng pelan sebagai jawaban. Pencarian Naina memang sedikit terlupakan karena ia sangat subuk mengurusi masalah kantor. Baru hari ini dirinya menyempatkan waktu ke tempat Zelda. “Kenapa kamu harus mencarinya?” “Aku takkan membiarkanya lari begitu saja,” jawab Dhafin datar. Arvan, sahabat sekaligus sekretaris Dhafin, mengetuk-ngetuk meja kaca menggunakan jarinya seperti ingin mengutarakan sesuatu. “Menurutku Naina nggak sepenuhnya salah.” “Maksudmu?” Dhafin menegakkan tubuhnya. “Maksudku bisa dibilang Naina ini sebenarnya korban. Dia nggak berniat membuat semua kekacauan ini.” “Dia bersalah.” Dhafin menatap d
“Terus Mbak Mira jawab apa?”“Kalau yang ruangan, aku jawab iya. Tapi kalau untuk penyakitnya Dek Zora, aku nggak kasih tau. Kata Mbak Lora kan nggak boleh memberitahu apapun informasi tentang si kembar pada orang asing,” jelas Mira.“Bagus kalau Mbak Mira nggak memberitahu. Terus gimana?”“Aku tanya balik, Anda siapa? Gitu. Tapi belum sempat menjawab, dia dapat telepon. Ya udah, aku manfaatkan kesempatan itu untuk pergi.”“Kapan itu kejadiannya?”“Waktu hari kedua Dek Zora dirawat. Itu loh, Mbak, saat kita habis dari kantin. Siangnya mendekati jam sebelas waktu aku pamit mau ke restoran cabang. Nah, pas keluar kamar, aku bertemu dia.”Lora menjadi teringat, saat itu ia memang sendirian di kamar inap. Grissham pamit tak lama setelah menjemputnya dari toilet karena akan ada meeting penting di jam satu siang.Dirinya juga meminta Mira untuk datang ke cabang kedua restoran untuk melakukan kunjungan sekaligus mengecek.Siapa orang itu? Apa mungkin orang itu adalah Dhafin? Mengingat di h
Sudah tiga hari Zora dirawat inap. Kondisinya berangsur-angsur pulih. Kata dokter, besok sudah diperbolehkan pulang.Selama tiga hari ini, Lora senantiasa mendampingi Zora dan sama sekali tidak pulang ke rumah. Ia khawatir bila dirinya pulang, Zora akan mencarinya dan malah semakin memperburuk kesehatan gadis kecil itu.Untuk masalah Azhar, Lora merasa tenang meninggalkan putranya di rumah karena sudah ada Zelda yang menginap.Ada pula Evan dan Grissham yang setiap hari datang berkunjung sehingga membuat Azhar tidak merasa sendirian.Lora juga tidak serta merta mengabaikan Azhar begitu saja. Ia selalu melakukan video call guna memantau dan mengetahui apa saja kegiatan Azhar tanpa kehadiran dirinya sekaligus memberikan perhatian.Untung saja Azhar itu termasuk anak yang pintar dan penurut sehingga tidak memaksa menyusul ke rumah sakit untuk menjenguk kembarannya.Terkait dengan pekerjaan, Lora menyerahkan dan mempercayakan semuanya pada Mira. Ia meminta Mira memantau kondisi semua res
“What?! Seriously? Kamu bertemu dengan Lora yang ternyata adalah Naina?”“Iya, aku akan menceritakannya nanti.”“Kenapa Naina–maksudku Lora bisa ada di sana? Sedang menjenguk orang sakit atau–”“Aozora, Putriku yang sakit,” potong Dhafin.“Sakit apa?” tanya Arvan.“Aku nggak tau. Makanya aku ingin mencari tau semuanya. Ini adalah kesempatanku mumpung bertemu mereka,” jawab Dhafin lantas mengalihkan pandangannya pada bunga bougenville di depan sana.“Benar, gunakan kesempatan ini dengan sebaik mungkin. Jangan sia-siakan,” saran Arvan.Dhafin menghela napas berat. “Tapi aku nggak yakin Lora mau menemuiku apalagi mengizinkanku bertemu Aozora.”“Dicoba aja dulu. Diterima atau ditolak itu urusan belakangan. Mau bagaimanapun kamu adalah ayahnya yang berhak bertemu.”Dhafin mengangguk. “Ya, mungkin besok.”Pria itu melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul sebelas. Terlalu mepet bila harus mencari tahu tentang penyakit Aozora karena ia juga harus kembali ke kantor. “Setengah dua belas ak
Dhafin bingung harus menjawab apa. Haruskah dirinya mengaku bahwa ia adalah ayahnya Aozora? Tetapi bukankah akan terkesan sangat aneh? Ia yang tidak pernah muncul dalam kehidupan Lora tiba-tiba mengaku sebagai ayahnya Aozora. Mana ada orang yang percaya, kecuali Lora sendiri yang bilang.“Halo... Pak. Anda belum jawab pertanyaan saya.” Mira melambaikan tangannya di depan wajah Dhafin yang tampak sedang melamun.Dhafin tersentak. Namun, ia segera menguasai diri. “Anda tidak mengenal saya?”Mira menatap Dhafin datar. “Memangnya Anda siapa yang harus saya kenal?”Benar juga, tetapi Dhafin ini kan dikenal dengan CEO Wirabuana Group. Hampir semua orang mengenalnya. Masa perempuan ini sama sekali tidak mengetahui siapa dirinya? Ia merasa harga dirinya sedikit tergores.Dhafin mendadak gugup hingga membuatnya tergagap. Ingin membuat perempuan itu mati kutu, malah dirinya yang dibuat tidak berkutik. “Eee… saya... Saya itu–” Belum sempat melanjutkan, suara dering ponsel di saku celana memoto
Tiba di depan ruangan sang keponakan, Dhafin tidak langsung masuk, melainkan berhenti sejenak lalu menatap Freya tajam. “Diamlah!”Pria itu merasa pusing mendengarkan segala omongan Freya. Saat ini, ia sedang tidak ingin memikirkan mana yang benar dan mana yang salah. Ia akan mencari tahu kebenarannya sendiri nanti.Dhafin kembali melanjutkan jalannya memasuki ruangan bersama Freya yang mendampingi.“Kalian ini dari mana saja sih? Kenapa baru sampai?” tanya Davira langsung sesaat setelah keduanya tiba.“Itu, Kak, tadi kami sempat bertemu–”“Rekan kerja. Aku menyapanya dan mengobrol sedikit,” potong Dhafin sebelum Freya sempat menyelesaikan ucapannya. Ia tidak sepenuhnya berbohong karena dirinya memang benar-benar bertemu dengan Grissham yang merupakan rekan kerjanya. Ya, anggaplah seperti itu.Davira mengangguk percaya. “Ya udah, aku titip Daisha sebentar. Aku mau membersihkan diri dulu.”“Mas Sean belum ke sini?” tanya Dhafin karena tidak melihat batang hidung kakak iparnya di ruan
Plak!Lora menampar keras pipi Freya. “Keterlaluan kamu! Kau boleh menuduhku yang tidak-tidak, tapi jangan pernah menuduh anak-anakku!” marahnya dengan napas memburu. Tatapan matanya menyorot sangat tajam.Freya terkejut dan memegang pipinya yang terasa panas. Namun, beberapa detik kemudian, ia kembali mengendalikan ekspresinya seolah tidak terjadi apapun.“Aku kan cuma bertanya. Wajar dong,” balasnya membela diri.“Mereka jelas anak-anakku. Aku ayahnya. Jangan menuduh sembarangan,” sahut Dhafin ketus karena tidak terima. Enak saja dituduh anak orang lain. Ia sendiri yang membuatnya.Lora yang mendapatkan pembelaan dari Dhafin diam-diam tersenyum dalam hati. Sejak awal, pria itu sudah mengetahui kehamilannya. Ia yakin Dhafin tidak akan mudah percaya dengan omong kosong Freya.“Atas dasar apa kau menuduh anak-anakku seperti itu, hah?” tanyanya sengit dengan mengangkat dagu tanpa rasa takut.Freya menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. “Gini, ya, Lora. Kamu pergi dari rumah da
Dhafin menoleh ketika mendengar Freya yang juga memanggil Lora dengan nama Naina. Itu artinya wanita di hadapannya ini memang benar-benar Naina. Kecurigaannya dahulu terbukti bahwa sebenarnya Naina dan Lora adalah orang yang sama. Perasaannya untuk Lora pun tidak salah karena ternyata wanita itu merupakan mantan istrinya. Setelah bercerai, rasa ketertarikannya kepada Lora semakin besar. Ia sempat merasa bersalah sebab dirinya bisa secepat itu melupakan Naina dan berpindah hati pada Lora.Sekarang semuanya sudah jelas. Perasaannya kepada Lora berasal dari alam bawah sadar dan ikatan batinnya yang mengatakan bahwa Lora adalah Naina.Sementara itu, Freya terkejut melihat keberadaan wanita yang paling dibencinya berada di rumah sakit ini. Lebih mengejutkannya lagi, ia mendengar Naina dipanggil Lora oleh laki-laki di samping wanita itu. Tanpa bertanya pun dirinya sudah bisa membaca situasi.“Aku nggak menyangka akan bertemu kamu lagi setelah tiga tahun lamanya. Dan apa tadi? Lora? Tern
“Jadi benar, kamu adalah Naina yang menyamar menjadi Lora?” Dhafin berjalan mendekat dengan tatapan tak pernah lepas dari wanita di depannya ini.Lora menatap heran ke arah Dhafin seraya mengerutkan kening. “Saya tidak mengerti maksud Anda. Saya permisi.”Wanita itu kembali menghadap depan dan mulai melangkah menjauh. Sungguh, ia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Dhafin di sini. Di antara banyaknya orang yang ada di rumah sakit terkenal ini, kenapa harus Dhafin yang ia temui? Lora hanya belum siap bertemu kembali meski sebelumnya sudah mewanti-wanti bila sewaktu-waktu dipertemukan lagi. Namun, ia tak menduga akan secepat ini.Dhafin buru-buru menahan tangan wanita yang ia yakini sebagai Naina untuk mencegah kepergiannya. “Tunggu, Naina, aku belum selesai bicara.”Lora menatap sejenak tangan Dhafin yang memegang tangannya kemudian berbalik badan. Ia menarik tangannya kuat hingga pegangan itu terlepas. “Maaf, Anda salah orang. Saya bukan Naina,” ujarnya diakhiri dengan seny
Aritmia Itulah yang dikatakan dokter setelah hasil pemeriksaan keluar. Betapa hancurnya hati Lora sebagai seorang ibu ketika mendengar diagnosa itu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain berusaha memberikan pengobatan yang terbaik untuk putrinya. Rumah sakit sudah menjadi rumah kedua bagi Zora bahkan sampai memiliki dokter langganan yang pada akhirnya menjadi dokter tetap. Setiap kontrol langsung mendatangi dokter itu atau bisa juga dengan membuat janji. “Mama jangan sedih. Zora pasti sembuh.” Ucapan Grissham itu membuat Lora tersadar dari lamunannya. Ia kembali mendekati sang putri yang tengah menatapnya. “Anan dih, Mama. Oya embuh (Jangan sedih, Mama. Zora sembuh),” kata Zora menirukan perkataan Grissham dengan bahasa sederhananya. Lora menarik sudut bibirnya membentuk senyuman haru. Ia mencium pipi Zora dengan gemas. “Iya, Sayang. Zora pasti sembuh.” Waktu bergulir dengan cepat. Tak terasa, hari sudah berganti menjadi sore mendekati senja. Zora juga tertidur pulas sete