Ibra suami sangat perhitungan dan pelit terhadap Nila, istrinya. Memberi jatah harian 30 ribu dan tidak mau tau harus cukup untuk semua kebutuhan. Selain nafkah tak seberapa Ibra juga membebankan Nila mengurusi ibunya yang lumpuh. Nila yang lelah dan tidak bisa kemana-mana, diperhatikan Mada, teman suami sendiri. Segala kekurangannya dicukupi. Walau dengan cara salah memberi menyentuh tubuh. Hubungan keduanya pun akhirnya diketahui. Bagaimana Nila ke depannya? Akankah tetap bersama Mada atau Ibra? Atau menemukan belahan hati lain? ***
View More[Bisa kamu beri aku waktu? Lima menit saja di kamar mandi.]
Pesan itu dibaca Nila dengan hati berdebar, dari kontak yang dinamai Mala. Padahal sebenarnya dia laki-laki yang kini tengah berkumpul bersama suaminya dan beberapa kawan lain di ruang tengah. Mereka tengah asik berbincang sambil mengopi dan merokok. [Hanya sebentar, Nila. Aku sangat membutuhkanmu.] Nila hanya membacanya lagi dan mematung menatap layar ponsel. Diliriknya ruangan depan yang tampak riuh suara obrolan. Hanya suaranya yang tidak terdengar. "Mada!" Seseorang melemparinya cangkang kacang hingga lelaki yang sibuk dengan ponselnya itu sedikit tersentak dan mendongak. "Kenapa lo? Diem aja dari tadi." "Gak apa-apa." "Lo pasti nunggu kopi yang belum jadi kan, Mad? Sebentar." Ibra, suami Nila bangkit dari sofa sembari memasukkan ponselnya ke saku levis. Menuju dapur. "Nila! Cepat bikin kopi untuk Mada. Lelet amat!" "Busett si Ibra, galak bener sama istrinya. Gak liat-liat ada kita, main bentak aja." "Udah biasa dia, kayak baru denger aja. Tiap kita ke sini juga suka begitu.""Istri cantik, penurut begitu masih digalakin. Ibra ... Ibra ...." Tiga orang saling menimpali, tak terkecuali Mada. Mendengar suara Ibra yang kencang dan keras terhadap Nila, dia menahan diri untuk tidak terbawa emosi. Nila buru-buru memasukkan ponsel dalam saku baju saat Ibra mendekat. Dari tadi dia terus menggenggam benda itu. "Bukannya buatkan kopi malah main hape. Aku bilang cepat buat satu lagi untuk Mada." "Kopinya habis, Mas." Nila menjawab pelan sembari menunduk. "Ya beli. Kamu pergi ke warung terdekat bukan malah diam." "Uangnya?" Nila menadahkan tangan meminta. "Aku udah kasih kamu jatah, Nila.""Uang dari Mas udah abis." "Jangan boros-boros mangkannya. Harus pandai mengatur, dong." "Mas kasih jatah harian tiga puluh ribu. Mas pikir itu banyak? Tadi siang aku beli gas, beras, sayur, token listrik. Gak cukup uang dari Mas. Sisanya hutang di warung." "Mangkannya kamu kerja biar bisa bantu suami. Jangan cuma bisanya ngabisin uang suami aja." Nila ingin mendebat tapi lelaki itu keburu pergi. "Tunggu. Aku beli kopinya dulu!" Mulutnya yang sudah membuka untuk bicara terkatup lagi rapat. Ibra hendak ke warung. Ditinggalkan dulu teman-temannya. Mada menatap kepergiannya. Setelah punggung lelaki itu keluar melewati pintu dia beranjak bangun. "Gue ke kamar mandi dulu," pamitnya. Nila terkejut melihatnya datang. Tanpa berkata-kata Mada menarik tangannya, membawa masuk dalam kamar mandi di sudut ruangan dan mengunci pintu. "Kenapa pesanku tidak dibalas?" cecarnya."Mas Mada di sini banyak orang," jawab Nila takut-takut dan cemas. "Aku hanya minta waktu sebentar." "Jangan, Mas." Nila menghalau tangannya yang hendak menurunkan lengan baju. "Sebentar, Nila. Aku tidak bisa menahannya lagi. Sudah lama kamu tidak denganku. Aku menyusul ke sini karna kamu." Mada berhasil menurunkan semua lengan bajunya. Menatap terkesima pemandangan yang ada. "Aku tidak akan lama," bisiknya. Lalu menyerang dengan kecupan-kecupan. Dia butuh pelampiasan segera..Mada menjauh. Membasuh bekasnya dan membenarkan bawahan. Nila bersandar pada dinding, merapikan pakaian dengan gerakkan lamban. "Terimakasih." Mada menyentuh kedua pipinya menatap lembut. "Maaf kalau kamu tidak puas. Nanti aku akan membuat kamu senang dan bukan di sini." Dia lalu mengeluarkan dompet. Memberi lembaran uang merah. "Ambil." Mengepalkanya pada tangan Nila. "Kamu butuh kan? Tadi Ibra bahkan memarahimu." Lelaki itu berbalik. Membuka pengunci pintu, tidak bisa berlama-lama lagi di dalam dengannya. "Aku keluar dulu." Menghadap Nila kembali, menyempatkan mengecup bibirnya sekali lagi lalu pergi. Di luar tidak ada siapa-siapa. Mada menghela napas dan kembali ke ruang depan. Nila terdiam. Matanya berembun dan bibir bergetar menatap uang di tangan. Setiap kali Mada dengannya selalu memberi. Dia tahu ini salah. Menjalin hubungan diam-diam di belakang Ibra.Dia seperti itu hanya terhadap Mada saja. Uang darinya dipakai untuk menambal bekal yang kurang dan sebagian disimpan. Dia akan dimarahi jika meminta pada Ibra seperti tadi."Nila?" Terdengar suara Ibra memanggil. Dia buru-buru memasukkan uang dalam saku dress. Lalu membuka pintu kamar mandi. "Ya, Mas." Ada perasaan takut terhadapnya, terlebih belum lama sudah terjadi sesuatu. Bohong jika tidak merasakan itu. "Buatkan kopi untuk Mada jangan lama-lama." Ibra menaruh tentengan plastik berisi kopi sachet di meja. "Dan bawakan ke depan setelahnya." "Iya, Mas." Nila mendekat. Membuka kantong belanjaan itu. Ibra baru akan berbalik pergi tidak jadi saat melihat tanda merah di leher istrinya. "Apa ini?" tanyanya menatap penuh selidik sembari menunjuk. Nila menjauh menutupi dengan tangan. "Bukan apa-apa, Mas. Hanya digigit nyamuk." Berusaha tenang walau hati bergemuruh. Ibra tersenyum kecut tidak percaya. "Itu bukan bekas hewan. Masih baru. Tadi belum ada." Dia maju memperhatikan lagi area leher Nila meski ditutupi. Menatap tajam juga dingin. "Diantara ke empat temanku siapa orangnya?" tekannya menahan geram. Mencurigai tamu di rumah ini. "Bukan mereka, Mas." Nila berkerlit dan melengos. Perlahan mundur semakin takut dan mulai kalut. Salahnya sudah ceroboh. "Jawab jujur, siapa?!" Ibra membentak mengguncang kencang bahunya. Juga melepaskan tangan yang masih menutupi leher. "Lepas, Mas. Aku mau buat kopi." Gugup suara Nila, tapi Ibra tidak peduli itu lagi. Dia benci melihat tanda merah itu. "Masih tidak mau mengaku? Apa perlu aku memanggil mereka, menanyakan satu-satu?" Nila menggeleng panik sementara Ibra tersenyum sinis. Semakin kuat rasa curiganya. "Kamu bermain api di belakangku?" Didorongnya Nila hingga tersungkur. Ponselnya terjatuh dari saku berikut uang ratusan ribu ikut keluar. Ibra melebarkan mata melihatnya. "Kamu bilang tadi tidak ada. Dapat uang dari mana, hah?" Ditarik rambutnya hingga wajah Nila menengadah menatapnya. "Jawab!" Namun, bibir Nila tetap bungkam. Hanya pancaran matanya yang menyiratkan ketakutan amat dalam. Juga menahan rasa sakit di kulit kepalanya. Mata itu dipejam erat saat Ibra mengangkat satu tangan."Hentikan!" Berhenti di udara saat seseorang melarang. Nila membuka mata kembali dan menoleh. Membelalak melihat siapa dia.Ketika membuka mata Nila sudah berada dalam kamar. Mengerjap melihat suami di dekatnya. "Kamu gak apa-apa?" Mada hawatir menggenggam tangan. "Pusing?" Nila mengangguk kecil. "Mual juga?" tanya mama mertua yang juga ada di sebelahnya. Dan mengangguk lagi. Rahayu tersenyum. "Sepertinya kamu hamil." "Hah?" Nila sedikit terkejut dan hendak bangun. Mada membantunya duduk. Menatap tersenyum berharap ucapan mamanya benar. "Coba ingat-ingat terakhir datang bulan." Nila terdiam termenung. Memang dia telat datang menstruasi. "Nanti kamu tes pek ya, biar jelas. Mada, nanti kamu beli alatnya.""Iya, Ma." Rahayu kemudian pamit membiarkan keduanya istirahat. Tidak lupa mengingatkan Nila untuk meminum air hangat yang dibawakan Mada di meja kecil samping ranjang. Dia lalu meminumnya. Mada memeluk dari samping. "Akhirnya aku bisa jadi ayah," ucapnya senang tak henti mengukir senyum. Setelah berbulan-bulan menikah dengan ihtiar sesering mungkin bisa membuahkan hasil. "Iya, kan, Sayang?" Nila ikut
"Jadi, Mas Ibra jatuh ke jurang saat dikejar polisi dan sekarang terbaring koma?" "Ya. Seperti yang kamu lihat." Nila memperhatikan lagi mantan suaminya yang terbaring lemah dengan sisa luka di wajah. Baru tahu dan baru melihatnya. Dia enggan mengingat lagi sosok itu dan benci. Mada mengajak ke sini setelah selesai membesuk teman kantor yang sakit. Nila bertahan di tempat saat Mada mengajak mendekat. Menggenggam tangannya erat serta menggeleng kuat. "Cukup, Mas. Kita pergi dari sini." Dia takut dan trauma dengan apa yang telah diperbuatnya. Mada memaklumi. Dia pun tidak memaksa. "Ayo." Berbalik mengajak ke luar ruangan. Menyusuri lorong bersama orang-orang yang berkepentingan sama di jam besuk. "Apa setelah sembuh Mas Ibra ditahan?""Ya. Setelah sembuh dibawa ke sel tahanan. Proses hukum terus berlanjut." "Syukurlah. Orang jahat seperti dia memang pantas membusuk di penjara." Nila berkata geram. Menyadari seemosi itu, Mada meraih tangannya. "Maaf, ya, harusnya aku gak usah ngaj
Irwan sangat berduka cita atas kepergian istrinya. Widya tidak bisa diselamatkan dari kecelakaan, mengembuskan napas terakhir di ruang ICU. Kini jenazahnya sudah dikebumikan. "Ma ...," Putra mereka mengusap nisan bertuliskan namanya. Anak lelaki itu sangat terpukul atas kepergian mamanya. Anggota keluarga menghibur mengelusi bahu. "Sabar ... biarkan Mamamu tenang di alam sana. Masih ada Papamu." Adik tiri Mada itu tidak mendengarkan ucapan siapapun. Terus terisak di hadapan makam yang masih basah dengan taburan kelopak bunga segar di atasnya. Rahayu mematung melihatnya. Bersyukur dia selamat dari kecelakaan dulu. Sehingga masih bisa menemani Mada. Menyempatkan datang melihat akhir kehidupan wanita perebut suaminya dulu yang tragis. Membenarkan selendang hitam yang merosot di rambutnya juga menyentuh kaca mata, Rahayu kemudian berbalik. Irwan melihatnya mencegah. "Tunggu, Yu. Aku ingin bicara." Rahayu melepaskan tangan lelaki itu yang sembarangan menyentuhnya. "Katakan saja sekara
Gedoran di pintu mengejutkan Ibra. Mengehentikan aktifitasnya memagut mesra bibir Nila. Juga gerakkan di bawahnya. Lelaki itu tengah menikmati tubuh istri Mada ke tiga kalinya. Berdecak kesal. "Jangan ganggu gue!" teriaknya. Tidak ada suara lagi. Ibra pun melanjutkan kesenangannya sembari tersenyum menatap Nila sayang. Tetapi perempuan itu sebaliknya, sangat benci dengan mata sembab dan tatapan putus asa. Mual setiap mendengar desah dan erangan kenikmatan dari bibirnya.Tidak lama gedoran terdengar lagi kali ini lebih keras. Bahkan didobrak. Tiga orang masuk. Ibra yang merunduk terlena, sibuk mengecup dan mengecap ditarik tubuhnya hingga menyingkir dari Nila diseret turun. Nila menangis sangat malu tubuh telanj4ngnya kini dilihat banyak orang sementara tangan dan kaki terikat. "Lanc4ng kalian. Mengangguku!" Ibra marah kesenangannya dihentikan paksa. "Sudah cukup lo senang-senangnya, sekarang giliran kami," ujar salah satu seraya tersenyum menyeringai menatap Nila yang seketika pi
Ibra menyingkir selesai menuntaskan hasratnya. Begitu puas dengan durasi lama. Tidak seperti biasanya, karna dia pun meminum obat sebelumnya. Napas terengah sama seperti perempuan di dekatnya. Nila kembali menitikkan air mata saat diselimuti dan dikecup kening. "Terimakasih, Sayang." Ibra lalu memakai bawahan dan mengambil kemeja mengancingkan satu-satu hanya menyisakan kancing teratas yang dibiarkan. Lantas berdiri. Menghadap Mada. Tersenyum sinis melihatnya tidak berdaya terus menunduk dengan segala pesakitan. Mendekati dan menendangnya lagi hingga terjengkang. "Mass!" jerit Nila tidak tega melihatnya mendapat perlakuan buruk kesekian kali. "Kamu tega, Mas!" Marah terhadap Ibra. Sudah memakainya sepuas hati. Tapi masih juga menyakiti Mada. Lelaki itu menghadapnya lagi. Tersenyum dingin. "Kamu tidak usah pedulikan dia lagi Nila. Mulai sekarang kamu menjadi milikku. Akan selalu bersamaku. Dan kita ... bisa mengulang lagi yang tadi." "Tidak sudi! Lebih baik aku mati dari pada har
"Nila?!" Mada pun membelalak menatapnya. Ternyata istri yang dia cari ada di sini. "Mas ...," Nila terus terisak-isak. Menyadari keduanya dalam keadaan terikat tidak berdaya. "So sweetnya saling mengelukan ... sudah seperti Romeo dan Juliet yang mau dipisahkan." Ibra berkata mengolok dan menyungging senyum tipis setelahnya. Mada memelototi menatap benci. "Sejahat ini lo sama gue," tekannya geram. Ibra maju membekap dua pipinya kuat mencengkeram. "Lo yang mulai. Lo yang pertama hancurin kehidupan gue. Gak usah berlagak sok dijalimi!" Bugh! Ibra meninju kencang wajah itu hingga terjengkang. Nila menjerit membuatnya menoleh. "Tolong, jangan sakiti Mas Mada ...," pintanya terus berurai air mata. Ibra menyerigai kecil dan muak mendengarnya. "Hei, mantan istriku. Kamu hanya kasihan padanya, tidak kasihan padaku? Sungguh, kamu pun tidak punya hati sama seperti dia." Ibra kali ini membekap pipinya. Nila memajamkan mata bersiap seandainya lelaki itu mau menghajarnya. Dulu pun dia sudah te
Mada menepikan mobil ketika menemukan penjual es jagung. Turun dan ikut mengantre karna ramai sekali pembali. Sampai dia mendapatkan dua cup minuman dingin itu. Satu untuknya satu untuk Nila. Istrinya sangat menyukai es rasa manis susu, gula dan keju ini. Setelahnya kembali dalam mobil dan pulang. Menenteng belanjaan es itu seraya tersenyum, membayangkan Nila akan senang dibawakan jajanan kesukaannya. Hingga tiba di depan rumah. Membuka pintu dengan kode yang sudah hafal di kepala. "Sayang aku pulang." Mada meletakkan dua cup minuman itu di meja. "Aku bawain es kesukaan kamu," ujarnya lagi. Namun, tidak ada sahutan. Melihat sekitar tidak menemukan Nila. Lelaki itu kemudian mencari ke ruangan lain. Heran karna biasanya Nila akan datang menyambut saat pulang. Tapi kali ini tidak ada. "Sayang?" Dicari di semua kamar tidak ada. Rumahnya sepi. Dia tidak tahu saat ini istrinya sedang bersama Ibra. Di suatu tempat. Dengan kondisi tangan dan kaki terikat di kursi dan mulut ditutup lakban
"Mau, dong." "Mau apa?""Mau yang lebih." "Apaan sih, Mas?" Nila berhenti mensecroll media sosial di ponselnya. Menatap suami serius tapi juga bingung. "Mau lanjutin yang tadi." Seketika dia menepuk kening pelan dengan jari-jari tangan dan menahan senyum geli. "Mas, kita lagi di jalan loh." "Gak apa-apa lakuin di mobil." "Gak. Gak." "Sayang, pliiiss," pintanya memelas. Nila melengos pada jendela menahan senyum lagi. "Salahmu sudah menggodaku." "Kan aku cuma cium." "Tapi aku jadi ON setelahnya." Mada menarik satu tangannya menempelkan di bawah perut. Di balik celana bahan, miliknya sudah mengeras dan tampak menggembung jadinya. Gara-gara Nila menciumnya demi membuat Selin kepanasan. "Igh, Mas." "Berasa kan?" "Nanti saja di rumah." "Mau sekarang. Belum pernah kan? Di mobil?""Mas, nanti kita bisa digrebek karna mobil goyang!" "Ya cari tempat sepi dan gelap biar gak ketahuan." "Enggak ah." Mada tidak mengatakan apapun lagi. Terus mengemudi. Nila pun menjadi tenang dan la
Irwan dan Widya berada di depan apartemen. Mereka hendak masuk. Pintu langsung terbuka setelah memencet password. "Sepertinya tidak ada siapa-siapa, Pa. Pantas kita tekan bel juga enggak ada yang bukain." Sebelumnya mereka memencet bel berkali-kali, namun tidak ada orang yang membukakan pintu. Irwan lalu menekan PIN lama dan ternyata bisa. Mada belum mengganti password rumah masih seperti dulu. Sehingga mereka bisa masuk. "Mantan istrimu juga gak ada kayaknya, Pa." Widya sudah memeriksa kamar tidak menemukan siapa-siapa. "Kita gak jadi dong, Pa, ngobrol sama Ayu. Gak jadi ngasih tahu sesuatu." Perempuan itu duduk. Dari dalam tasnya mengeluarkan poto-poto Nila yang sudah direkayasa sedang bersama laki-laki lain. Tampak sedang mesra dalam ruangan. Mereka mau menebar racun fitnah gambar untuk membuat keruh rumah tangga Mada. Irwan merebutnya. "Kita taruh saja di kamarnya. Juga di kamar Mada." Lelaki itu beranjak. Memasuki kamar Rahayu. Menaruh gambar itu di bawah bantal. Lalu keluar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments