Home / Pernikahan / Mari Berpisah, Aku Menyerah / 6. Selamat Tinggal, Suamiku

Share

6. Selamat Tinggal, Suamiku

Ia  sangat terkejut mendengar ucapan Freya. Kepalanya menggeleng tidak percaya. 

Tidak! 

Naina tidak mungkin salah memasukkan vitamin. Ia sangat mengenali bentuk dan isinya. Ia juga ingat betul hari dimana video diambil.

Waktu itu Naina sedang membuatkan sarapan untuk Altair yang mengalami GTM. Dibantu oleh Bi Lastri, kepala pelayan, ia juga sedang memasak sarapan untuk semua orang.

Setelah makanan Altair jadi, dirinya menambahkan vitamin sesuai anjuran dokter. Sebelumnya, ia sudah memastikan bahwa yang dipegangnya benar-benar vitamin. Mulai dari bentuk, isi, hingga takarannya.

“Teliti banget, Non. Bukannya sama aja, ya?” Bi Lastri pun sampai terheran-heran melihat tingkahnya.

Naina tertawa kecil. “Harus dong, Bi, biar nggak salah memasukkan.”

Ia kemudian mengkreasikan makanan itu dengan membuat bentuk lucu. Altair sangat menyukai makanan yang menarik di matanya.

Entah bagaimana video itu diambil padahal Naina tidak merasa direkam. Mungkin ia yang tidak menyadari saking asyiknya bersenda gurau bersama beberapa pelayan di dapur.

“Hahaha….”

Suara tawa Freya yang menggelegar membuat Naina tersadar dari lamunanya. Ia menatap perempuan itu sambil mengepalkan tangannya. 

“Kamu bohong! Aku nggak pernah salah memasukkan vitamin.”

Freya mengangkat kedua bahunya masih dengan senyum yang terpatri. “Silakan cari sendiri kebenarannya.”

Ada setitik rasa takut dalam hati Naina bila apa yang dikatakan Freya memang benar adanya. Ya Tuhan… bagaimana bisa ia tidak menyadarinya?

Apa mungkin dirinya dijebak?

Naina kembali menggeleng. Ia tidak boleh ikut terpancing dan percaya begitu saja. Freya pasti sengaja ingin membuat mentalnya hancur lalu terperangkap dalam permainan liciknya.

“Kenapa kamu melakukan semua ini padaku? Apa salahku?” tanyanya.

“Kamu masih mempertanyakan salahmu dimana?” Lagi, Freya tertawa keras. Ia berjalan mengitari Naina. 

“Karena kamu itu benalu!” katanya tepat di samping telinga Naina.

Freya kembali melangkah dan berhenti di hadapan Naina. “Keluargaku berubah sejak kedatanganmu. Perhatian Papa jadi terbagi.”

“Papa selalu membanding-bandingkan aku denganmu yang pintar di bidang akademik. Sedangkan padaku, Papa selalu menganggap remeh prestasiku.”

“Meski beda sekolah, tetap aja Papa lebih bangga padamu dibanding aku yang anak kandungnya sendiri!” Freya menekan dadanya menggunakan jari telunjuk.

“Aku tau kamu anak yatim, tapi nggak seharusnya kamu rebut kasih sayang ayahku!”

Naina memejamkan mata sejenak mendengar suara Freya yang semakin meninggi. Pak Irawan, ayah Freya, memang sangat baik kepadanya apalagi saat ibu angkatnya meninggal.

Beliau bersedia merawat bahkan menyekolahkannya hingga sarjana. Ketulusan Pak Irawan membuat ia merasakan kasih sayang seorang ayah yang sama sekali tidak pernah dirasakannya semenjak lahir. 

Naina sama sekali tidak meminta. Ia juga cukup tahu diri posisinya dimana. Namun, Freya tidak terima dan terus membuat masalah untuknya.

“Dan sekarang, kamu!” Freya menudingkan telunjuknya tepat di depan muka Naina. “Kamu merebut Dhafin dariku.”

Naina menarik napas dalam-dalam untuk menghadapi Freya dengan tenang. “Aku nggak merebut Mas Dhafin darimu. Salahmu sendiri yang meninggalkannya sebelum akad nikah berlangsung.”

“Aku pergi karena ingin mengejar mimpiku. Itu kesempatan emas yang hanya terjadi beberapa tahun sekali. Tapi bukan berarti kamu malah menikahi Dhafin!” balas Freya sengit.

Naina membalas tatapan Freya dengan berani. “Asal kamu tau, Freya, aku juga terpaksa menikah sama Mas Dhafin. Demi menjaga nama baik keluarga, ayahmu memohon-mohon padaku untuk menggantikanmu.”

“Begitu pun ibumu yang mengingatkanku tentang utang budi. Tante Linda mengancam akan memecatku dari perusahaan dan nggak akan bisa diterima di perusahaan manapun. Aku nggak punya pilihan lain selain menerimanya.”

Ia tersenyum. “Sekarang di saat rumah tanggaku baik-baik aja, kamu kembali dan berniat menghancurkannya. Siapa di sini yang disebut pelakor?”

“Kamu!” Freya geram. Matanya berkilat tajam. Namun, dalam sekejap raut wajah itu berubah. Ia kemudian terkekeh kecil terkesan remeh.

“Terserah apa katamu, yang jelas aku ingin mengambil kembali milikku. Setidaknya satu penghalang berhasil tersingkirkan. Tak ada lagi yang menghalangi jalanku memiliki Dhafin sepenuhnya.”

Kini, giliran Naina yang dibuat geram. Ia sangat mengerti maksud dari kata ‘penghalang’ yang disebut Freya. 

“Kamu boleh membenciku, menyakitiku semaumu, tapi nggak dengan anakku. Altair nggak ada sangkut pautnya dalam hubungan kalian.” 

“Tentu ada. Seperti yang kamu bilang tadi, aku ingin menyingkirkanmu melalui Altair. Dhafin nggak akan menceraikanmu kalau masih ada anak diantara kalian,” balas Freya.

“Bonusnya, mereka langsung menuduhmu. Aku tinggal menambahkan bumbu-bumbu penyedap yang membuat mereka percaya padaku dan semakin membencimu.”

“Dasar licik! Bi*dap kamu!” Naina berang hingga tanpa sadar mengeluarkan umpatan.

Freya tertawa puas. “Yeah, it’s me. Aku nggak akan berhenti sebelum hidupmu hancur sehancur-hancurnya, Naina!” tekannya kemudian berlalu keluar kamar.

Naina terduduk lemas di tepi ranjang. Air mata kembali mengalir seakan tiada habisnya. “Bahkan hidupku udah hancur semenjak Altair meninggal.”

Ia memegang dadanya yang terasa sesak sekaligus berdenyut sakit. Putra semata wayangnya meninggal karena ulah orang lain. Anak sekecil itu yang tidak mengerti apa-apa malah menjadi korbannya.

Wanita itu menurunkan tangannya lantas mengusap perutnya lembut. “Sayang, Mama minta maaf. Mama nggak sanggup, Nak. Maaf, kalau Mama memisahkanmu dengan Papa nantinya.”

Naina beranjak menuju meja rias lalu menatap pantulan dirinya dalam cermin. Ia mengusap kasar pipinya yang basah oleh air mata.

Kesabarannya sudah habis karena tidak ada lagi orang yang mempercayainya di rumah ini. Dirinya sudah sangat lelah dengan semuanya. 

“Baiklah, sudah cukup. Aku mengakhiri semuanya.”

Naina mengambil tas besarnya lantas mengambil beberapa bajunya yang dibawa ke rumah ini. Tak lupa, ia memasukkan dokumen penting beserta tabungan.

Sejenak, ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar yang menjadi saksi bisu kisahnya bersama Dhafin.

“Selamat tinggal, Suamiku.”

Naina melangkah keluar kamar. Suasana rumah sangat sepi. Kemungkinan semua orang telah istirahat di kamar masing-masing mengingat waktu yang semakin larut malam.

Dhafin juga tidak terlihat sepertinya sedang mengantar Freya pulang. Baguslah, itu memudahkannya keluar dari sini tanpa diketahui siapapun.

Sekali lagi, ia menatap rumah megah yang hampir empat tahun ini tempatinya.

“Aku janji akan membuat kalian menyesal,” ujarnya.

Tanpa Naina ketahui, ada seseorang yang melihat kepergiannya dan segera mengirimkan pesan.

[Naina pergi dari rumah dengan membawa tas besar]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status