Ia sangat terkejut mendengar ucapan Freya. Kepalanya menggeleng tidak percaya.
Tidak!
Naina tidak mungkin salah memasukkan vitamin. Ia sangat mengenali bentuk dan isinya. Ia juga ingat betul hari dimana video diambil.
Waktu itu Naina sedang membuatkan sarapan untuk Altair yang mengalami GTM. Dibantu oleh Bi Lastri, kepala pelayan, ia juga sedang memasak sarapan untuk semua orang.
Setelah makanan Altair jadi, dirinya menambahkan vitamin sesuai anjuran dokter. Sebelumnya, ia sudah memastikan bahwa yang dipegangnya benar-benar vitamin. Mulai dari bentuk, isi, hingga takarannya.
“Teliti banget, Non. Bukannya sama aja, ya?” Bi Lastri pun sampai terheran-heran melihat tingkahnya.
Naina tertawa kecil. “Harus dong, Bi, biar nggak salah memasukkan.”
Ia kemudian mengkreasikan makanan itu dengan membuat bentuk lucu. Altair sangat menyukai makanan yang menarik di matanya.
Entah bagaimana video itu diambil padahal Naina tidak merasa direkam. Mungkin ia yang tidak menyadari saking asyiknya bersenda gurau bersama beberapa pelayan di dapur.
“Hahaha….”
Suara tawa Freya yang menggelegar membuat Naina tersadar dari lamunanya. Ia menatap perempuan itu sambil mengepalkan tangannya.
“Kamu bohong! Aku nggak pernah salah memasukkan vitamin.”
Freya mengangkat kedua bahunya masih dengan senyum yang terpatri. “Silakan cari sendiri kebenarannya.”
Ada setitik rasa takut dalam hati Naina bila apa yang dikatakan Freya memang benar adanya. Ya Tuhan… bagaimana bisa ia tidak menyadarinya?
Apa mungkin dirinya dijebak?
Naina kembali menggeleng. Ia tidak boleh ikut terpancing dan percaya begitu saja. Freya pasti sengaja ingin membuat mentalnya hancur lalu terperangkap dalam permainan liciknya.
“Kenapa kamu melakukan semua ini padaku? Apa salahku?” tanyanya.
“Kamu masih mempertanyakan salahmu dimana?” Lagi, Freya tertawa keras. Ia berjalan mengitari Naina.
“Karena kamu itu benalu!” katanya tepat di samping telinga Naina.
Freya kembali melangkah dan berhenti di hadapan Naina. “Keluargaku berubah sejak kedatanganmu. Perhatian Papa jadi terbagi.”
“Papa selalu membanding-bandingkan aku denganmu yang pintar di bidang akademik. Sedangkan padaku, Papa selalu menganggap remeh prestasiku.”
“Meski beda sekolah, tetap aja Papa lebih bangga padamu dibanding aku yang anak kandungnya sendiri!” Freya menekan dadanya menggunakan jari telunjuk.
“Aku tau kamu anak yatim, tapi nggak seharusnya kamu rebut kasih sayang ayahku!”
Naina memejamkan mata sejenak mendengar suara Freya yang semakin meninggi. Pak Irawan, ayah Freya, memang sangat baik kepadanya apalagi saat ibu angkatnya meninggal.
Beliau bersedia merawat bahkan menyekolahkannya hingga sarjana. Ketulusan Pak Irawan membuat ia merasakan kasih sayang seorang ayah yang sama sekali tidak pernah dirasakannya semenjak lahir.
Naina sama sekali tidak meminta. Ia juga cukup tahu diri posisinya dimana. Namun, Freya tidak terima dan terus membuat masalah untuknya.
“Dan sekarang, kamu!” Freya menudingkan telunjuknya tepat di depan muka Naina. “Kamu merebut Dhafin dariku.”
Naina menarik napas dalam-dalam untuk menghadapi Freya dengan tenang. “Aku nggak merebut Mas Dhafin darimu. Salahmu sendiri yang meninggalkannya sebelum akad nikah berlangsung.”
“Aku pergi karena ingin mengejar mimpiku. Itu kesempatan emas yang hanya terjadi beberapa tahun sekali. Tapi bukan berarti kamu malah menikahi Dhafin!” balas Freya sengit.
Naina membalas tatapan Freya dengan berani. “Asal kamu tau, Freya, aku juga terpaksa menikah sama Mas Dhafin. Demi menjaga nama baik keluarga, ayahmu memohon-mohon padaku untuk menggantikanmu.”
“Begitu pun ibumu yang mengingatkanku tentang utang budi. Tante Linda mengancam akan memecatku dari perusahaan dan nggak akan bisa diterima di perusahaan manapun. Aku nggak punya pilihan lain selain menerimanya.”
Ia tersenyum. “Sekarang di saat rumah tanggaku baik-baik aja, kamu kembali dan berniat menghancurkannya. Siapa di sini yang disebut pelakor?”
“Kamu!” Freya geram. Matanya berkilat tajam. Namun, dalam sekejap raut wajah itu berubah. Ia kemudian terkekeh kecil terkesan remeh.
“Terserah apa katamu, yang jelas aku ingin mengambil kembali milikku. Setidaknya satu penghalang berhasil tersingkirkan. Tak ada lagi yang menghalangi jalanku memiliki Dhafin sepenuhnya.”
Kini, giliran Naina yang dibuat geram. Ia sangat mengerti maksud dari kata ‘penghalang’ yang disebut Freya.
“Kamu boleh membenciku, menyakitiku semaumu, tapi nggak dengan anakku. Altair nggak ada sangkut pautnya dalam hubungan kalian.”
“Tentu ada. Seperti yang kamu bilang tadi, aku ingin menyingkirkanmu melalui Altair. Dhafin nggak akan menceraikanmu kalau masih ada anak diantara kalian,” balas Freya.
“Bonusnya, mereka langsung menuduhmu. Aku tinggal menambahkan bumbu-bumbu penyedap yang membuat mereka percaya padaku dan semakin membencimu.”
“Dasar licik! Bi*dap kamu!” Naina berang hingga tanpa sadar mengeluarkan umpatan.
Freya tertawa puas. “Yeah, it’s me. Aku nggak akan berhenti sebelum hidupmu hancur sehancur-hancurnya, Naina!” tekannya kemudian berlalu keluar kamar.
Naina terduduk lemas di tepi ranjang. Air mata kembali mengalir seakan tiada habisnya. “Bahkan hidupku udah hancur semenjak Altair meninggal.”
Ia memegang dadanya yang terasa sesak sekaligus berdenyut sakit. Putra semata wayangnya meninggal karena ulah orang lain. Anak sekecil itu yang tidak mengerti apa-apa malah menjadi korbannya.
Wanita itu menurunkan tangannya lantas mengusap perutnya lembut. “Sayang, Mama minta maaf. Mama nggak sanggup, Nak. Maaf, kalau Mama memisahkanmu dengan Papa nantinya.”
Naina beranjak menuju meja rias lalu menatap pantulan dirinya dalam cermin. Ia mengusap kasar pipinya yang basah oleh air mata.
Kesabarannya sudah habis karena tidak ada lagi orang yang mempercayainya di rumah ini. Dirinya sudah sangat lelah dengan semuanya.
“Baiklah, sudah cukup. Aku mengakhiri semuanya.”
Naina mengambil tas besarnya lantas mengambil beberapa bajunya yang dibawa ke rumah ini. Tak lupa, ia memasukkan dokumen penting beserta tabungan.
Sejenak, ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar yang menjadi saksi bisu kisahnya bersama Dhafin.
“Selamat tinggal, Suamiku.”
Naina melangkah keluar kamar. Suasana rumah sangat sepi. Kemungkinan semua orang telah istirahat di kamar masing-masing mengingat waktu yang semakin larut malam.
Dhafin juga tidak terlihat sepertinya sedang mengantar Freya pulang. Baguslah, itu memudahkannya keluar dari sini tanpa diketahui siapapun.
Sekali lagi, ia menatap rumah megah yang hampir empat tahun ini tempatinya.
“Aku janji akan membuat kalian menyesal,” ujarnya.
Tanpa Naina ketahui, ada seseorang yang melihat kepergiannya dan segera mengirimkan pesan.
[Naina pergi dari rumah dengan membawa tas besar]
[Zelda, malam ini aku memutuskan pergi dari rumah neraka itu. Aku udah nggak kuat berada disana]Harap-harap cemas, Naina mengirimkan pesan untuk sahabatnya itu. Sayangnya, hanya centang dua dan belum dibaca. Mungkin Zelda sedang menikmati waktu bersama keluarganya?Naina jadi sungkan meminta bantuan. Meski sebelumnya Zelda sudah menawarkan, tetap saja dirinya tidak ingin merepotkan Zelda terus.Kini, Naina berjalan kaki tak tentu arah. Cukup jauh dari kompleks perumahan mertuanya.Sudah memesan ojol juga bahkan sampai tiga kali, tetapi semuanya ditolak dengan alasan sudah larut malam.Tidak mungkin ia pulang ke kampung halaman karena rumahnya sudah dijual untuk modal ke kota ini.Kembali ke rumah Freya yang selama ini menjadi tempat tinggalnya sebelum menikah pun bukan pilihan bagus. Itu sama saja dengan masuk ke kandang musuh.Wanita cantik itu kembali memesan ojol dengan tujuan menuju terminal, berharap kali ini orderannya diterima. Lelah berjalan, ia memutuskan istirahat di sebuah
Di sisi lain....“Sayang, pertunangan kita akan diadakan dua hari setelah empat puluh harinya Altair. Gimana menurutmu? Apa kamu setuju?”Dhaffin, yang belum tahu kaburnya Naina, hanya mengangguk pelan tanpa menoleh. Matanya tetap fokus melihat jalanan di depan. Sekarang ini, ia sedang dalam perjalanan mengantar Freya pulang.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Freya hati-hati sambil menatap Dhafin di sampingnya.“Kenapa?” Dhafin melirik sekilas.Freya menunduk, memainkan jarinya di pangkuan. “Aku merasa nggak enak. Kamu sama Naina kan baru aja kehilangan Altair. Kalian masih dalam suasana duka,” ucapnya berpura-pura simpati.“Maumu gimana? Diundur?”“Nggak nggak, bukan gitu.” Freya buru-buru menggeleng. “Ini kan udah menjadi kesepakatan bersama. Jadi, yaudah ikuti aja rencana mereka.”Dhafin hanya berdehem tanpa menanggapi lebih banyak. Dalam hati, ia juga merasakan hal yang sama. Duka masih sangat kental menyelimuti, apalagi Naina yang merasa paling kehilangan.Namun, kembali lagi. Semuanya
Dhafin tiba di rumah sekitar pukul sebelas malam. Suasana rumah sudah sangat sepi. Bahkan lampu ruang utama sudah dimatikan.Ia pun langsung melangkah menuju kamarnya dan tidak melihat keberadaan Naina.Mungkin tidur di kamar Altair karena semenjak putranya tiada Naina lebih sering tidur di sana.Pria bertubuh tinggi dan tegap itu mengambil piyama tidur yang sudah disiapkan sang istri lantas mengganti pakaiannya.Ia merebahkan tubuh yang terasa lelah di ranjang usai mengirim pesan pada Freya untuk mengabarkan bahwa dirinya sudah sampai rumah. Matanya terpejam dan tak lama memasuki alam mimpi.Keesokan paginya, Dhafin bangun sedikit telat. Biasanya Naina yang membangunkannya untuk menunaikan sholat Subuh. Namun, kali ini ia belum melihat batang hidung istrinya.“Naina, siapkan bajuku,” perintah Dhafin yang masih mengira Naina berada di kamar Altair. Tangannya sibuk memasukkan berkas ke dalam tas lebih.Tidak ada sahutan membuatnya mengernyit heran. Kamar ini dengan kamar anaknya saling
Dhafin terduduk di pinggiran ranjang masih mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Ia senantiasa menatap tespack itu lekat-lekat. Naina hamil. Naina sedang mengandung anaknya. Akan tetapi, kenapa tidak memberitahunya? Kini, Naina pergi entah kemana dengan membawa serta benih di rahimnya. Ia benar-benar tidak menyangka istrinya itu berani berbuat nekat. Setelah semalam minta cerai, kemudian malah kabur. Naina pikir, dirinya akan terbebas begitu saja? Tentu tidak! Dhafin berjanji, akan membawa Naina kembali ke rumah ini bagaimanapun caranya. Naina harus berada dalam genggamannya. Tiba-tiba, Dhafin teringat dengan seorang perempuan yang selama ini menjadi sahabat istrinya. Mungkinkah Naina berada di tempat sahabatnya itu? Sepertinya iya. Siapa lagi orang yang akan dituju Naina kalau bukan sahabatnya? Naina tidak memiliki siapapun di dunia ini. Wanita itu hidup sebatang kara tanpa orang tua dan menumpang hidup di rumah Freya sebelum berakhir menikah dengannya.
Naina beringsut duduk dibantu oleh suster. Ia menatap dokter laki-laki di sampingnya dengan raut wajah cemas. Jantungnya berdebar-debar menunggu jawaban dari sang dokter. “Ibu mengalami pendarahan hebat. Untung saja anda segera dibawa ke rumah sakit sehingga langsung mendapatkan penanganan.” Naina dibuat sangat syok mendengar penjelasan dokter. Hatinya mencelos. Jantungnya semakin memompa cepat. “Lalu janin saya....” Ucapannya menggantung. Suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Ia tidak sanggup membayangkan bagaimana kalau dirinya kembali kehilangan. Anak ini satu-satunya yang menjadi harapannya untuk tetap bertahan hidup. Dokter mengulas senyum tipis seolah mengerti kekhawatiran pasiennya. “Alhamdulillah, janin ibu bisa diselamatkan.” “Alhamdulillah….” Naina menghembuskan napas lega. Perasaannya seketika plong. Dalam hati, ia sangat bersyukur. Tuhan masih baik kepadanya dengan tidak mengambil calon buah hatinya. “Tapi sekarang ini kandungan ibu sangat rentan keguguran. Kar
“Aku sangat mencintaimu, Freya. Jangan tinggalkan aku lagi.” Deg! Naina menghentikan langkahnya ketika mendengar ucapan Dhafin yang menyerupai gumaman. Ia berdiri dengan tubuh yang menegang kaku melihat mereka yang saling berpelukan itu. Dadanya seakan dihantam oleh sesuatu yang besar. Butiran bening telah terkumpul di kelopak matanya siap jatuh kapan saja. Belum cukup sampai di situ, Freya melepaskan pelukannya kemudian tanpa diduga mencium bibir Dhafin. Awalnya, Dhafin tampak terkejut, tetapi lama-kelamaan menikmati dan ikut membalas. Terlihat dari caranya yang memegang pipi dan tengkuk Freya semakin memperdalam ciuman. Sontak, air mata Naina jatuh tanpa permisi. Jantungnya berdetak cepat tanpa bisa dikendalikan. Dadanya sangat sesak menyaksikan langsung sang suami mencium mesra mantan kekasihnya. Ya Tuhan…. sakit sekali. Ia menggenggam kuat-kuat testpack di tangannya. Rencananya yang ingin memberikan kejutan, malah ia yang dibuat terkejut. Pantas saja suaminya p
Naina menarik napasnya dalam-dalam untuk mengurangi rasa sesak dalam dadanya. Ia menatap miris sang putra yang masih menangis hingga suaranya serak.Sepertinya ini menjadi puncak kesabaran Altair menghadapi sikap sang ayah sehingga sangat susah dibujuk.“Kamu ini gimana sih? Anak nangis bukannya ditenangkan malah dibiarkan.” Sang ibu mertua akhirnya turun tangan. Ia berjalan menghampiri Altair.“Udah, Ma. Aku udah membujuk, tapi Altair tetep nggak mau.” Naina senantiasa mengusap punggung Altair yang bersandar padanya.“Ya, kamu harusnya cari cara dong. Pakai alternatif lain atau apa kek. Kasihan cucuku nangis terus dari pagi. Jadi ibu kok nggak becus banget.”Jleb sekali rasanya. Padahal anaknya yang salah karena melanggar janji, tetapi Naina tetap disalahkan bahkan dibilang tidak becus.“Tapi Altair maunya sama Mas Dhafin, Ma. Udah lama Mas Dhafin nggak main sama Altair.”“Jangan cuma mengandalkan Dhafin doang. Mentang-mentang Altair deketnya sama Dhafin, kamu lepas tangan gitu aja,”
“Apa? Turun?”Wanita yang merupakan petugas rumah sakit itu mendekat ke arah Naina. “Iya, Mbak. Sahamnya lagi turun drastis. Kurang lebih selama tiga hari ini sih.”Naina berdehem pelan untuk menetralkan rasa terkejutnya. “Ibu tau dari mana?”“Dari anak saya yang bekerja di perusahaan itu. Katanya di sana tuh lagi kacau banget, Mbak. Anak saya jadi lebih banyak lembur buat mengatasi masalah itu.”Naina terdiam tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia yakin pasti Dhafin sekarang sedang sibuk mengatasi masalah itu. Dhafin tentunya akan melakukan segala cara untuk mengembalikan nama baik perusahaan.“Anak saya juga bilang kalau masalah ini tuh akibat berita viralnya Mbak. Padahal yang saya tahu, Wirabuana Group itu perusahaan yang bagus banget loh. Nggak nyangka akan menghadapi masalah ini.”Naina membenarkan dalam hati perkataan wanita itu. Wirabuana Group memang salah satu perusahaan ternama yang terkenal sangat bagus. Di mata publik, citranya pun sangat baik seolah tanpa cela sedi
“Ayah, Ibun, ada hal penting yang ingin kubicarakan.”Setelah makan malam usai, mereka berkumpul di ruang tengah hanya untuk sekedar bersantai melepas penat. Terkecuali Florence yang katanya harus menyiapkan presentasi penting.Lora pun memanfaatkan kesempatan ini untuk berbicara kepada orang tuanya tentang permintaan rujuk Dhafin. Mumpung mereka sedang tidak sibuk.“Tentang apa?” tanya Pak Raynald menanggapi perkataan putrinya.Lora menatap kedua orang tuanya bergantian lalu menarik napas dalam-dalam. “Jadi gini, Ayah, Ibun. Beberapa hari sebelum aku menginap di sini, Mas Dhafin bersama orang tuanya datang ke rumah.” “Mereka ke rumahmu? Tumben banget. Kalau Dhafin nggak heran, ya. Lah, ini orang tuanya. Untuk apa mereka ke sana?” tanya Bu Radha dengan nada sedikit terkejut.“Mereka datang untuk meminta maaf kepadaku atas semua kesalahan yang mereka lakukan selama ini. Mereka juga ingin memperbaiki segalanya,” jelas Lora.“Lalu apa kau memaafkan mereka?” Gantian Pak Raynald yang bert
Lora menghentikan gerakan tangannya yang hendak memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut. Ia menatap kedua orang tuanya bergantian lalu beralih melirik Florence yang duduk di samping sang ibu tengah menikmati makanan. Dalam hati, dirinya merasa agak keberatan dengan usulan mereka. Bukan tidak nyaman tinggal di sini, tetapi…. “Aku kan udah punya rumah sendiri, Bun, Yah. Kalau aku tinggal di sini, bagaimana dengan rumahku? Bakal kosong nantinya,” ucapnya menolak secara tersirat. “Kan ada asistenmu. Siapa itu namanya?” sahut Bu Radha sekaligus bertanya. “Mbak Mira,” jawab Lora sebelum melahap makanannya yang tertunda. “Nah, iya, biar Mira aja yang menempati rumahmu. Kamunya tinggal di sini bersama si kembar. Ya, kayak sekarang ini misalnya. Daripada kamu harus bolak-balik.” “Tapi, Bun, Mbak Mira sebentar lagi kan mau menikah. Pasti nanti bakal ikut suaminya,” bantah Lora usai menelan makanannya. Bu Radha meletakkan sendok dan garpu di atas piring lantas memusatkan perh
Mira menyesap segelas jusnya yang tinggal setengah. Ia terdiam sejenak untuk merangkai kata-kata yang mudah dipahami. “Selain dari mimpi, yang sering digunakan itu kemantapan hati. Ada kecenderungan gitu loh. Dalam hal ini, kamu lebih condong pada siapa,” jawabnya. “Berarti ini berasal dari hati, ya, Mbak?” Lora menatap Mira sangat serius dengan tangan terlipat di atas meja seolah-olah sedang mendengarkan penjelasan guru. Mira menjentikkan jarinya. “Yups, bener banget. Kalau diibaratkan biarkan hati yang berbicara. Terus bisa juga pakai metode Al-Qur’an.” “Memakai Al-Qur'an?” Lora mengerutkan keningnya karena baru mendengar ada metode seperti itu. Kalau yang dua tadi ia pernah mendengar lewat video yang lewat. “Iya, ini juga bisa dibilang cara yang paling mudah. Caranya sama kayak yang kubilang tadi. Sholat Istikharah lalu doa. Habis itu kamu ambil Al-Qur’an.” Mira meraih sebuah buku yang ada di meja kerja Lora. Ia menepuk pelan buku di tangannya. “Anggaplah ini Al-Qur’an,
Lora lagi-lagi menghembuskan napas kasar. Ia tidak pernah menduga bahwa Dhafin akan menagih jawabannya hari ini. Rasanya baru kemarin permintaan rujuk itu terucap. Memang sudah terlewat beberapa hari, tetapi apakah harus secepat ini? Dirinya belum menyiapkan jawaban apapun! “Nggak salah Pak Dhafin menagih jawabanmu sekarang karena ingin mendapatkan kepastian darimu.” Mira mengembalikan ponsel Lora. “Kalau dari saranku, kamu lebih baik menjawab apa adanya sesuai dengan kondisimu saat ini,” ucapnya. Lora menggigit bibir bawahnya sambil menatap Mira. “Bukankah itu sama saja dengan mengecewakannya?” tanyanya ragu. “Bahkan saat kamu nggak langsung menjawab dan secara nggak langsung memintanya menunggu itu aja udah membuat Pak Dhafin kecewa banget,” jawab Mira telak. “Iya, juga, ya. Berarti aku harus bilang ke Mas Dhafin kalau aku belum bisa menjawab sekarang gitu?” Mira menganggukkan kepalanya. “Kamu berterus-terang padanya dan bilang kalau kamu masih butuh waktu dalam mengambil kep
“Terus kamu jawab apa?”Lora menggeleng pelan menjawab pertanyaan dari Mira yang duduk di depannya. “Aku belum memberikan jawaban apapun.”“Termasuk jawaban untuk Pak Dhafin?” tanya Mira lagi yang terdengar seperti menebak.Lora mengangguk dengan bibir melengkung ke bawah. “Iya, belum juga. Bagaimana mau ngasih jawaban? Beberapa hari setelah Mas Dhafin meminta rujuk, tiba-tiba aku dijodohkan sama Kak Sham. Aku kan jadi tambah pusing.”“Kalau kamu belum memberikan jawaban, artinya kamu sama saja meminta mereka menunggu dong?” balas Mira dengan mengerutkan kening.Lora menghela napas panjang. “Tanpa harus meminta menunggu, mereka tetap akan menunggu bahkan memintaku memikirkannya secara matang-matang.”Mira meletakkan sebelah tangan di dagu dan mengusapnya. “Hm… rumit juga, ya.”“Nah, kan….” Lora menutup wajahnya dengan kedua tangan yang bertumpu pada meja kerja. “Semua ini terlalu tiba-tiba untukku, Mbak Mira. Aku benar-benar nggak tau bagaimana menyikapinya,” keluhnya disertai rengek
Assalamu'alaikum, teman-teman, pembaca setia cerita "Mari Berpisah, Aku Menyerah." Di sini saya ingin memberikan pengumuman penting bahwa mulai hari ini sampai seminggu ke depan, saya tidak update bab baru. Atau dengan kata lain hiatus karena ingin istirahat sejenak sekalian mengumpulkan ide yang sekarang sedang macet dan juga menyusun kembali alur cerita agar lebih tertata. Bisa dibilang saya butuh jeda sebentar sebelum menulis lagi. InsyaAllah, saya akan kembali update minggu depan. Untuk para pembaca buku ini, terima kasih sudah mampir dan menjadi pembaca setia. Terima kasih banyak atas komentar-komentarnya. Dan maaf, saya tidak bisa membaca satu-persatu karena keterbatasan 🙏🏻 Saya juga sangat-sangat berterimakasih atas dukungan untuk buku ini dengan memberikan beberapa Gem dan hadiah. MasyaAllah... saya bahagia sekali. Semoga kalian semua sehat selalu dan dilimpahkan rizkinya. Terima kasih banyak, ya, teman-teman 🥰 Saya juga minta maaf kalau diantara kalian merasa cerita i
“Apa Kakak turut andil dalam perjodohan ini?” Grissham menggeleng menjawab pertanyaan Lora. Ia bisa melihat dengan jelas raut menuduh di wajah cantik wanita itu yang tersorot lampu teras. “Aku bahkan baru tahu ketika sudah tiba di sini. Kau jangan salah sangka dulu, Lora. Sungguh, aku tak tahu apapun tentang perjodohan ini.”“Pulang kerja, Ayah tiba-tiba mengajakku kemari tanpa memberitahu tujuannya. Aku mengira mungkin ingin membahas pekerjaan atau proyek baru.”“Tiba di rumah ini aku langsung bermain dengan Twins, sedangkan Ayah sedang membahas sesuatu dengan orang tuamu. Aku tak tahu apa yang mereka bahas.”“Setelah anak-anak masuk kamar karena jadwalnya tidur, aku pun bergabung dengan mereka dan barulah aku tahu tentang perjodohan ini,” jelasnya runtut.Lora mendengus keras dan memalingkan wajahnya menghadap depan. “Bohong banget! Tadi Om Albern bilang udah membicarakannya padamu. Nggak usah mengelak, Kak!”Grissham tersenyum tipis tanpa mengalihkan perhatiannya dari Lora. “Ay
“Nah, ini anaknya udah datang,” ucap Bu Radha yang tersenyum menyambut kedatangan putri-putrinya. Lora mencium tangan Pak Albern dan bersalaman biasa dengan Grissham diikuti oleh Florence. “Kak Sham dari kapan ke sininya? Udah lama?” tanyanya bermaksud menyapa dengan posisi yang masih berdiri.“Sudah dari tadi bahkan aku sempat bermain dengan Twins. Kau terlalu asyik menyendiri sampai-sampai tak tahu kedatanganku,” jawab Grissham. Lora menyengir hingga menampilkan giginya yang rapi. “Nggak menyendiri juga. Aku tadi ada perlu sama Florence.”Mendengar itu, Grissham beralih menatap Florence yang terlihat menempel pada Lora. “Wah… kalian sudah akur ceritanya ini?”Florence mengangguk dengan penuh senyum seraya memeluk lengan Lora yang memiliki postur tubuh lebih tinggi darinya.“Tentu saja, kami kan saudara. Ya kan, Lora?” tanyanya yang dijawab anggukan kecil oleh Lora. Grissham mengacungkan jempolnya ke arah dua perempuan itu. “Bagus bagus, begitu kek dari kemarin. Jadi lebih enak d
"Kenapa? Apa kamu nggak setuju aku pulang besok? Kamu maunya aku pulang malam ini juga?" Lora menatap sejenak tangannya yang masih ditahan oleh Florence. Raut wajahnya berubah menjadi tidak enak. "Maaf, Flo, aku nggak bisa kalau harus pulang malam ini. Aku nggak pulang sendirian, tapi bersama anak-anakku.”“Nggak baik membawa mereka pulang malam-malam begini apalagi kan perjalannya jauh. Ayah sama Ibun juga pastinya nggak akan mengizinkan. Tolong pengertiannya, ya, Flo," ucapnya.Florence langsung melepaskan cekalannya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali sambil menggerakkan tangan. "Enggak enggak, bukan begitu, Lora. Kamu nggak harus pergi dari sini baik sekarang maupun besok atau ke depannya. Tinggallah di rumah ini, Lora.”“Kamu jauh lebih pantas dan berhak dibandingkan aku yang bukan siapa-siapa. Bahkan hubungan darah pun aku nggak punya." Perempuan itu maju selangkah dengan tatapan sendu. "Aku minta maaf atas keegoisanku selama ini. Ya, kamu benar. Kehadiranmu di ru