Ia sangat terkejut mendengar ucapan Freya. Kepalanya menggeleng tidak percaya.
Tidak!
Naina tidak mungkin salah memasukkan vitamin. Ia sangat mengenali bentuk dan isinya. Ia juga ingat betul hari dimana video diambil.
Waktu itu Naina sedang membuatkan sarapan untuk Altair yang mengalami GTM. Dibantu oleh Bi Lastri, kepala pelayan, ia juga sedang memasak sarapan untuk semua orang.
Setelah makanan Altair jadi, dirinya menambahkan vitamin sesuai anjuran dokter. Sebelumnya, ia sudah memastikan bahwa yang dipegangnya benar-benar vitamin. Mulai dari bentuk, isi, hingga takarannya.
“Teliti banget, Non. Bukannya sama aja, ya?” Bi Lastri pun sampai terheran-heran melihat tingkahnya.
Naina tertawa kecil. “Harus dong, Bi, biar nggak salah memasukkan.”
Ia kemudian mengkreasikan makanan itu dengan membuat bentuk lucu. Altair sangat menyukai makanan yang menarik di matanya.
Entah bagaimana video itu diambil padahal Naina tidak merasa direkam. Mungkin ia yang tidak menyadari saking asyiknya bersenda gurau bersama beberapa pelayan di dapur.
“Hahaha….”
Suara tawa Freya yang menggelegar membuat Naina tersadar dari lamunanya. Ia menatap perempuan itu sambil mengepalkan tangannya.
“Kamu bohong! Aku nggak pernah salah memasukkan vitamin.”
Freya mengangkat kedua bahunya masih dengan senyum yang terpatri. “Silakan cari sendiri kebenarannya.”
Ada setitik rasa takut dalam hati Naina bila apa yang dikatakan Freya memang benar adanya. Ya Tuhan… bagaimana bisa ia tidak menyadarinya?
Apa mungkin dirinya dijebak?
Naina kembali menggeleng. Ia tidak boleh ikut terpancing dan percaya begitu saja. Freya pasti sengaja ingin membuat mentalnya hancur lalu terperangkap dalam permainan liciknya.
“Kenapa kamu melakukan semua ini padaku? Apa salahku?” tanyanya.
“Kamu masih mempertanyakan salahmu dimana?” Lagi, Freya tertawa keras. Ia berjalan mengitari Naina.
“Karena kamu itu benalu!” katanya tepat di samping telinga Naina.
Freya kembali melangkah dan berhenti di hadapan Naina. “Keluargaku berubah sejak kedatanganmu. Perhatian Papa jadi terbagi.”
“Papa selalu membanding-bandingkan aku denganmu yang pintar di bidang akademik. Sedangkan padaku, Papa selalu menganggap remeh prestasiku.”
“Meski beda sekolah, tetap aja Papa lebih bangga padamu dibanding aku yang anak kandungnya sendiri!” Freya menekan dadanya menggunakan jari telunjuk.
“Aku tau kamu anak yatim, tapi nggak seharusnya kamu rebut kasih sayang ayahku!”
Naina memejamkan mata sejenak mendengar suara Freya yang semakin meninggi. Pak Irawan, ayah Freya, memang sangat baik kepadanya apalagi saat ibu angkatnya meninggal.
Beliau bersedia merawat bahkan menyekolahkannya hingga sarjana. Ketulusan Pak Irawan membuat ia merasakan kasih sayang seorang ayah yang sama sekali tidak pernah dirasakannya semenjak lahir.
Naina sama sekali tidak meminta. Ia juga cukup tahu diri posisinya dimana. Namun, Freya tidak terima dan terus membuat masalah untuknya.
“Dan sekarang, kamu!” Freya menudingkan telunjuknya tepat di depan muka Naina. “Kamu merebut Dhafin dariku.”
Naina menarik napas dalam-dalam untuk menghadapi Freya dengan tenang. “Aku nggak merebut Mas Dhafin darimu. Salahmu sendiri yang meninggalkannya sebelum akad nikah berlangsung.”
“Aku pergi karena ingin mengejar mimpiku. Itu kesempatan emas yang hanya terjadi beberapa tahun sekali. Tapi bukan berarti kamu malah menikahi Dhafin!” balas Freya sengit.
Naina membalas tatapan Freya dengan berani. “Asal kamu tau, Freya, aku juga terpaksa menikah sama Mas Dhafin. Demi menjaga nama baik keluarga, ayahmu memohon-mohon padaku untuk menggantikanmu.”
“Begitu pun ibumu yang mengingatkanku tentang utang budi. Tante Linda mengancam akan memecatku dari perusahaan dan nggak akan bisa diterima di perusahaan manapun. Aku nggak punya pilihan lain selain menerimanya.”
Ia tersenyum. “Sekarang di saat rumah tanggaku baik-baik aja, kamu kembali dan berniat menghancurkannya. Siapa di sini yang disebut pelakor?”
“Kamu!” Freya geram. Matanya berkilat tajam. Namun, dalam sekejap raut wajah itu berubah. Ia kemudian terkekeh kecil terkesan remeh.
“Terserah apa katamu, yang jelas aku ingin mengambil kembali milikku. Setidaknya satu penghalang berhasil tersingkirkan. Tak ada lagi yang menghalangi jalanku memiliki Dhafin sepenuhnya.”
Kini, giliran Naina yang dibuat geram. Ia sangat mengerti maksud dari kata ‘penghalang’ yang disebut Freya.
“Kamu boleh membenciku, menyakitiku semaumu, tapi nggak dengan anakku. Altair nggak ada sangkut pautnya dalam hubungan kalian.”
“Tentu ada. Seperti yang kamu bilang tadi, aku ingin menyingkirkanmu melalui Altair. Dhafin nggak akan menceraikanmu kalau masih ada anak diantara kalian,” balas Freya.
“Bonusnya, mereka langsung menuduhmu. Aku tinggal menambahkan bumbu-bumbu penyedap yang membuat mereka percaya padaku dan semakin membencimu.”
“Dasar licik! Bi*dap kamu!” Naina berang hingga tanpa sadar mengeluarkan umpatan.
Freya tertawa puas. “Yeah, it’s me. Aku nggak akan berhenti sebelum hidupmu hancur sehancur-hancurnya, Naina!” tekannya kemudian berlalu keluar kamar.
Naina terduduk lemas di tepi ranjang. Air mata kembali mengalir seakan tiada habisnya. “Bahkan hidupku udah hancur semenjak Altair meninggal.”
Ia memegang dadanya yang terasa sesak sekaligus berdenyut sakit. Putra semata wayangnya meninggal karena ulah orang lain. Anak sekecil itu yang tidak mengerti apa-apa malah menjadi korbannya.
Wanita itu menurunkan tangannya lantas mengusap perutnya lembut. “Sayang, Mama minta maaf. Mama nggak sanggup, Nak. Maaf, kalau Mama memisahkanmu dengan Papa nantinya.”
Naina beranjak menuju meja rias lalu menatap pantulan dirinya dalam cermin. Ia mengusap kasar pipinya yang basah oleh air mata.
Kesabarannya sudah habis karena tidak ada lagi orang yang mempercayainya di rumah ini. Dirinya sudah sangat lelah dengan semuanya.
“Baiklah, sudah cukup. Aku mengakhiri semuanya.”
Naina mengambil tas besarnya lantas mengambil beberapa bajunya yang dibawa ke rumah ini. Tak lupa, ia memasukkan dokumen penting beserta tabungan.
Sejenak, ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar yang menjadi saksi bisu kisahnya bersama Dhafin.
“Selamat tinggal, Suamiku.”
Naina melangkah keluar kamar. Suasana rumah sangat sepi. Kemungkinan semua orang telah istirahat di kamar masing-masing mengingat waktu yang semakin larut malam.
Dhafin juga tidak terlihat sepertinya sedang mengantar Freya pulang. Baguslah, itu memudahkannya keluar dari sini tanpa diketahui siapapun.
Sekali lagi, ia menatap rumah megah yang hampir empat tahun ini tempatinya.
“Aku janji akan membuat kalian menyesal,” ujarnya.
Tanpa Naina ketahui, ada seseorang yang melihat kepergiannya dan segera mengirimkan pesan.
[Naina pergi dari rumah dengan membawa tas besar]
[Zelda, malam ini aku memutuskan pergi dari rumah neraka itu. Aku udah nggak kuat berada disana]Harap-harap cemas, Naina mengirimkan pesan untuk sahabatnya itu. Sayangnya, hanya centang dua dan belum dibaca. Mungkin Zelda sedang menikmati waktu bersama keluarganya?Naina jadi sungkan meminta bantuan. Meski sebelumnya Zelda sudah menawarkan, tetap saja dirinya tidak ingin merepotkan Zelda terus.Kini, Naina berjalan kaki tak tentu arah. Cukup jauh dari kompleks perumahan mertuanya.Sudah memesan ojol juga bahkan sampai tiga kali, tetapi semuanya ditolak dengan alasan sudah larut malam.Tidak mungkin ia pulang ke kampung halaman karena rumahnya sudah dijual untuk modal ke kota ini.Kembali ke rumah Freya yang selama ini menjadi tempat tinggalnya sebelum menikah pun bukan pilihan bagus. Itu sama saja dengan masuk ke kandang musuh.Wanita cantik itu kembali memesan ojol dengan tujuan menuju terminal, berharap kali ini orderannya diterima. Lelah berjalan, ia memutuskan istirahat di sebuah
Di sisi lain....“Sayang, pertunangan kita akan diadakan dua hari setelah empat puluh harinya Altair. Gimana menurutmu? Apa kamu setuju?”Dhaffin, yang belum tahu kaburnya Naina, hanya mengangguk pelan tanpa menoleh. Matanya tetap fokus melihat jalanan di depan. Sekarang ini, ia sedang dalam perjalanan mengantar Freya pulang.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Freya hati-hati sambil menatap Dhafin di sampingnya.“Kenapa?” Dhafin melirik sekilas.Freya menunduk, memainkan jarinya di pangkuan. “Aku merasa nggak enak. Kamu sama Naina kan baru aja kehilangan Altair. Kalian masih dalam suasana duka,” ucapnya berpura-pura simpati.“Maumu gimana? Diundur?”“Nggak nggak, bukan gitu.” Freya buru-buru menggeleng. “Ini kan udah menjadi kesepakatan bersama. Jadi, yaudah ikuti aja rencana mereka.”Dhafin hanya berdehem tanpa menanggapi lebih banyak. Dalam hati, ia juga merasakan hal yang sama. Duka masih sangat kental menyelimuti, apalagi Naina yang merasa paling kehilangan.Namun, kembali lagi. Semuanya
Dhafin tiba di rumah sekitar pukul sebelas malam. Suasana rumah sudah sangat sepi. Bahkan lampu ruang utama sudah dimatikan.Ia pun langsung melangkah menuju kamarnya dan tidak melihat keberadaan Naina.Mungkin tidur di kamar Altair karena semenjak putranya tiada Naina lebih sering tidur di sana.Pria bertubuh tinggi dan tegap itu mengambil piyama tidur yang sudah disiapkan sang istri lantas mengganti pakaiannya.Ia merebahkan tubuh yang terasa lelah di ranjang usai mengirim pesan pada Freya untuk mengabarkan bahwa dirinya sudah sampai rumah. Matanya terpejam dan tak lama memasuki alam mimpi.Keesokan paginya, Dhafin bangun sedikit telat. Biasanya Naina yang membangunkannya untuk menunaikan sholat Subuh. Namun, kali ini ia belum melihat batang hidung istrinya.“Naina, siapkan bajuku,” perintah Dhafin yang masih mengira Naina berada di kamar Altair. Tangannya sibuk memasukkan berkas ke dalam tas lebih.Tidak ada sahutan membuatnya mengernyit heran. Kamar ini dengan kamar anaknya saling
Dhafin terduduk di pinggiran ranjang masih mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Ia senantiasa menatap tespack itu lekat-lekat. Naina hamil. Naina sedang mengandung anaknya. Akan tetapi, kenapa tidak memberitahunya? Kini, Naina pergi entah kemana dengan membawa serta benih di rahimnya. Ia benar-benar tidak menyangka istrinya itu berani berbuat nekat. Setelah semalam minta cerai, kemudian malah kabur. Naina pikir, dirinya akan terbebas begitu saja? Tentu tidak! Dhafin berjanji, akan membawa Naina kembali ke rumah ini bagaimanapun caranya. Naina harus berada dalam genggamannya. Tiba-tiba, Dhafin teringat dengan seorang perempuan yang selama ini menjadi sahabat istrinya. Mungkinkah Naina berada di tempat sahabatnya itu? Sepertinya iya. Siapa lagi orang yang akan dituju Naina kalau bukan sahabatnya? Naina tidak memiliki siapapun di dunia ini. Wanita itu hidup sebatang kara tanpa orang tua dan menumpang hidup di rumah Freya sebelum berakhir menikah dengannya.
Naina beringsut duduk dibantu oleh suster. Ia menatap dokter laki-laki di sampingnya dengan raut wajah cemas. Jantungnya berdebar-debar menunggu jawaban dari sang dokter. “Ibu mengalami pendarahan hebat. Untung saja anda segera dibawa ke rumah sakit sehingga langsung mendapatkan penanganan.” Naina dibuat sangat syok mendengar penjelasan dokter. Hatinya mencelos. Jantungnya semakin memompa cepat. “Lalu janin saya....” Ucapannya menggantung. Suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Ia tidak sanggup membayangkan bagaimana kalau dirinya kembali kehilangan. Anak ini satu-satunya yang menjadi harapannya untuk tetap bertahan hidup. Dokter mengulas senyum tipis seolah mengerti kekhawatiran pasiennya. “Alhamdulillah, janin ibu bisa diselamatkan.” “Alhamdulillah….” Naina menghembuskan napas lega. Perasaannya seketika plong. Dalam hati, ia sangat bersyukur. Tuhan masih baik kepadanya dengan tidak mengambil calon buah hatinya. “Tapi sekarang ini kandungan ibu sangat rentan keguguran. Kar
“Aku sangat mencintaimu, Freya. Jangan tinggalkan aku lagi.” Deg! Naina menghentikan langkahnya ketika mendengar ucapan Dhafin yang menyerupai gumaman. Ia berdiri dengan tubuh yang menegang kaku melihat mereka yang saling berpelukan itu. Dadanya seakan dihantam oleh sesuatu yang besar. Butiran bening telah terkumpul di kelopak matanya siap jatuh kapan saja. Belum cukup sampai di situ, Freya melepaskan pelukannya kemudian tanpa diduga mencium bibir Dhafin. Awalnya, Dhafin tampak terkejut, tetapi lama-kelamaan menikmati dan ikut membalas. Terlihat dari caranya yang memegang pipi dan tengkuk Freya semakin memperdalam ciuman. Sontak, air mata Naina jatuh tanpa permisi. Jantungnya berdetak cepat tanpa bisa dikendalikan. Dadanya sangat sesak menyaksikan langsung sang suami mencium mesra mantan kekasihnya. Ya Tuhan…. sakit sekali. Ia menggenggam kuat-kuat testpack di tangannya. Rencananya yang ingin memberikan kejutan, malah ia yang dibuat terkejut. Pantas saja suaminya p
Naina menarik napasnya dalam-dalam untuk mengurangi rasa sesak dalam dadanya. Ia menatap miris sang putra yang masih menangis hingga suaranya serak.Sepertinya ini menjadi puncak kesabaran Altair menghadapi sikap sang ayah sehingga sangat susah dibujuk.“Kamu ini gimana sih? Anak nangis bukannya ditenangkan malah dibiarkan.” Sang ibu mertua akhirnya turun tangan. Ia berjalan menghampiri Altair.“Udah, Ma. Aku udah membujuk, tapi Altair tetep nggak mau.” Naina senantiasa mengusap punggung Altair yang bersandar padanya.“Ya, kamu harusnya cari cara dong. Pakai alternatif lain atau apa kek. Kasihan cucuku nangis terus dari pagi. Jadi ibu kok nggak becus banget.”Jleb sekali rasanya. Padahal anaknya yang salah karena melanggar janji, tetapi Naina tetap disalahkan bahkan dibilang tidak becus.“Tapi Altair maunya sama Mas Dhafin, Ma. Udah lama Mas Dhafin nggak main sama Altair.”“Jangan cuma mengandalkan Dhafin doang. Mentang-mentang Altair deketnya sama Dhafin, kamu lepas tangan gitu aja,”
“Apa? Turun?”Wanita yang merupakan petugas rumah sakit itu mendekat ke arah Naina. “Iya, Mbak. Sahamnya lagi turun drastis. Kurang lebih selama tiga hari ini sih.”Naina berdehem pelan untuk menetralkan rasa terkejutnya. “Ibu tau dari mana?”“Dari anak saya yang bekerja di perusahaan itu. Katanya di sana tuh lagi kacau banget, Mbak. Anak saya jadi lebih banyak lembur buat mengatasi masalah itu.”Naina terdiam tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia yakin pasti Dhafin sekarang sedang sibuk mengatasi masalah itu. Dhafin tentunya akan melakukan segala cara untuk mengembalikan nama baik perusahaan.“Anak saya juga bilang kalau masalah ini tuh akibat berita viralnya Mbak. Padahal yang saya tahu, Wirabuana Group itu perusahaan yang bagus banget loh. Nggak nyangka akan menghadapi masalah ini.”Naina membenarkan dalam hati perkataan wanita itu. Wirabuana Group memang salah satu perusahaan ternama yang terkenal sangat bagus. Di mata publik, citranya pun sangat baik seolah tanpa cela sedi
“Loh, Zora belum tidur rupanya?”Lora terkejut melihat putrinya yang masih terbangun lantas menghampiri Zora yang berbaring di tempat tidur bersama Amina. Ia mengalihkan tatapannya ke arah perempuan itu untuk meminta penjelasan.Amina beranjak duduk dengan tangan yang membawa buku dongeng. “Adek Zora dari tadi menanyakan Kakak Azhar terus, Mbak. Dia nggak mau tidur kalau nggak ada Kakak Azhar.”Zora beranjak bangun lantas mendekati ibunya di pinggir ranjang. “Mama….” rengeknya sambil mengulurkan kedua tangan minta digendong.Lora mengangkat putrinya dalam gendongan, memeluk, dan mengusap lembut punggung Zora. Ia berjalan sembari mengayun-ayunkan tubuhnya. “Zora kenapa belum tidur, Sayang? Zora mencari-cari Kakak Azhar, ya?”Zora yang menyandarkan kepalanya di pundak Lora mengangguk pelan. Matanya yang indah sesekali terpejam menahan kantuk, tetapi ia ingin bertemu kembarannya. “Njang mana, Mama? Oya mau ama Njang.”Lora tidak langsung menjawab. Hatinya terasa teriris melihat putrinya
Lora terdiam sembari berpikir hingga tiba-tiba satu nama terlintas di otaknya apalagi pagi tadi baru saja bertemu. Dan bisa dikatakan pula pertemuannya itu tidak berakhir dengan baik. Kemungkinan besar orang itu akhirnya menjadi dendam sehingga dengan teganya menculik Azhar.“Freya. Iya, pasti dia yang menculik putraku,” ucapnya.“Apa kau yakin, Lora?” tanya Grissham tampak ragu-ragu.“Siapa lagi kalau bukan dia, Kak? Cuma dia yang nggak suka melihatku bahagia,” jawab Lora tanpa menoleh. Tangannya mengutak-atik ponsel lantas segera menghubungi Freya. “Ada apa lagi menghubungiku?” tanya Freya ketus setelah panggilan tersambung.“Dimana putraku?” sambar Lora langsung tanpa basa-basi.“Hah?” Suara Freya terdengar terkejut. “Ya, mana aku tau dimana anakmu. Kan kamu ibunya.” Lora berdecak kesal. “Nggak usah bohong! Kamu kan yang menculik anakku?” tanyanya disertai dengan desakan.“What?! Enak aja kamu menuduhku! Aku nggak tau, ya, dimana anakmu berada,” jawab Freya terdengar tidak terim
Usapan lembut di pundak, membuat Lora menoleh ke arah Grissham yang tengah tersenyum seolah memberikan kekuatan. Ia berdehem setelah berhasil menguasai diri. “Bagaimana bisa sampai hilang?” tanyanya dengan suara pelan.Amina terdengar menarik napas dalam-dalam. “Tadi kan saya sama si kembar main di taman kompleks, Mbak. Awalnya mereka bermain dengan anteng menggunakan mainan masing-masing.”“Terus di tengah-tengah bermain, Adek Zora tantrum minta dibelikan makanan yang Mbak Lora larang. Saya fokus menenangkan Adek Zora yang nangis rewel.”“Saking fokusnya saya sampai nggak sadar kalau Kakak Azhar nggak ada ditempatnya. Saya udah cari-cari sekitaran taman, tapi nggak ada.”“Saya tanya sama orang-orang di sana juga bilangnya nggak tau. Saya benar-benar minta maaf, Mbak. Ini kesalahan saya yang lalai dalam menjaga Kakak Azhar,” jelasnya panjang lebar.“Ya Allah, Mbak Mina... bagaimana bisa kamu seceroboh itu? Astaghfirullahalazim.” Lora memejamkan mata sejenak untuk mengendalikan amara
Lora menatap Freya tajam dengan raut wajah datar. “Jangan salahkan anak-anakku, Freya. Mas Dhafin sendiri yang mendekati mereka sehingga terbiasa dengan kehadirannya.” “Dari awal, aku nggak mengizinkan Mas Dhafin bertemu anak-anak, tapi dia tetap ngotot ingin bertemu dan dekat dengan mereka,” katanya dingin dan penuh penekanan.Ia menghela napas lalu mengubah ekspresinya menjadi lebih santai. “Lagi pula kamu nggak bisa melarang seorang ayah yang ingin bertemu dengan anak kandungnya.”“Meskipun aku dan Mas Dhafin udah resmi bercerai, tapi hubungan anak dengan ayahnya nggak akan pernah putus. Nggak ada yang namanya mantan anak kandung dan mantan ayah kandung.”“Mereka punya ikatan darah yang bahkan aku sendiri pun nggak bisa memutusnya. Apalagi kamu yang hanya sebatas tunangan,” paparnya panjang lebar.Lora tersenyum melihat ekspresi wajah Freya yang terdiam seolah-olah kehabisan kata-kata. “Beginilah resiko kalau kamu ingin menikahi seorang duda yang punya buntut.”“Kalau ingin menjad
Lora menghentikan mobilnya di area parkir salah satu cafe untuk bertemu dengan seseorang. Ia melepaskan seat belt, tetapi tidak langsung turun. Wanita itu masih bergeming di tempatnya seraya menarik napasnya dalam-dalam untuk mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba melanda. Tangannya meraih tas di kursi samping ketika mendengar ponselnya berdenting. Ternyata Grissham yang mengirim pesan. Ia pun segera mengetik balasannya.Grissham: [Kau serius ingin menemui Freya sendirian?] Lora: [Iya, ini aku udah sampai di tempat janjian] Grissham: [Perlu kutemani?] Lora: [Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri kok] Grissham: [Aku khawatir dia berbuat macam-macam padamu] Lora: [Aku jamin itu nggak akan terjadi. Kakak tenang aja, aku bisa jaga diri. Oke?] Grissham: [Baiklah, aku percaya padamu. Kalau ada sesuatu yang terjadi, langsung menghubungiku, hm?] Lora: [Iya, Kak Sham] Grissham: [Jangan lama-lama. Ingat, hari ini ada konferensi pers dan kau harus datang. Jangan sampai telat] Lora: [Iya, Ka
Ting!Dhafin beranjak dari posisi berbaringnya lantas mengambil ponselnya yang berdenting dalam tas kerjanya. Ia melihat ada beberapa pesan dari Arvan, salah satunya link video dari salah satu sosmed.[Tonton video itu sampai habis][Di situ Lora klarifikasi]Tanpa menunggu lama, Dhafin menekan tautan yang dikirim oleh sahabatnya dan langsung terhubung ke aplikasi TikTik.Video berdurasi lima menit itu mulai terputar. Diawali dengan Lora yang menjelaskan tentang hubungannya dengan Dhafin secara singkat. Lalu dilanjut dengan penjelasan mengenai kronologi sebernarnya waktu liburan bersama dengan dirinya. Di sana, Lora juga mencantumkan bukti berupa percakapannya bersama pengasuh si kembar.“Saya dengan Mas Dhafin tidak mempunyai hubungan apa-apa. Hubungan kami hanya berkaitan dengan kepentingan anak-anak. Saya tidak melarang dan membatasi Mas Dhafin bertemu dengan mereka.”“Saya tidak ingin menjadi ibu jahat yang memisahkan anak dengan ayahnya. Mau bagaimana pun Mas Dhafin itu ayah kan
“Oh… atau jangan-jangan semua masalah yang terjadi di restorannya Lora itu juga karena ulahmu?”“Kamu menuduhku, Dhaf? Hanya demi Lora kamu tega menuduhku?” tanya Freya dengan mata yang kembali berkabut.Dhafin mendengus keras. “Aku cuma bertanya. Melihat tingkahmu yang kelewatan ini, aku jadi berpikir kalau kamulah yang menjadi dalangnya.”Plak!Freya menampar pipi Dhafin hingga tertoleh ke samping. “Tega kamu menuduhku seperti itu! Aku nggak mungkin menyakiti diriku sendiri sampai masuk rumah sakit. Aku nggak segila itu, Dhaf!”Dhafin kembali menoleh ke arah Freya sambil mengusap pipinya. “Terserah apa katamu, yang pasti berhenti mengusik hidup Lora!”“Jika sekali lagi aku mendengar berita nggak bener tentang Lora dan kamulah penyebabnya, aku nggak akan tinggal diam. Kau akan berurusan denganku!” balasnya tajam.Freya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan air mata yang berjatuhan. “Kamu berubah, Dhaf. Kamu bukan Dhafin yang kukenal.”Dhafin tertawa keras hingga suaranya terdengar me
Brak! Dhafin yang sedang fokus dengan berkas-berkasnya terlonjak kaget mendengar pintu ruang kerja yang dibuka dengan sangat keras mirip dobrakan.Ia mendongak dan menatap tajam orang yang menjadi tersangka utama atas kekagetannya itu, tak lain dan tak bukan adalah sekretaris sekaligus sahabatnya.“Buka pintunya bisa pelan-pelan?” tanyanya dingin.Arvan berjalan tergesa-gesa menghampiri Dhafin. “Gawat, Bro, gawat! Parah banget sumpah!”Dhafin menghela napas lalu meletakkan berkas di atas meja. Ia mengangkat sebelah alisnya tak mengerti. “Apanya?”“Kamu udah buka sosmed belum?” tanya Arvan balik masih dengan posisi yang berdiri. “Nggak ada waktu,” jawab Dhafin datar sembari menggeleng pelan. Arvan berdecak kesal. Ia mengutak-atik ponselnya sejenak lalu menunjukkan sesuatu kepada Dhafin. “Nih, lihat!”Sontak, Dhafin melebarkan matanya terkejut melihat tampilan pada layar ponsel milik Arvan. Ia langsung bangkit dari duduknya dan….Brak! “Sialan Freya!” umpatnya setelah menggebrak mej
“Seperti yang kita curigai sebelumnya, Freya menjadi dalang dibalik semua kekacauan ini. Aku sudah menemukan buktinya,” kata Grissham.“Itu urus belakangan aja, Kak. Sekarang yang lebih penting itu mengembalikan kepercayaan publik pada restoran kita. Percuma restoran buka kalau nggak dapat pelanggan. Yang ada kita malah rugi,” balas Lora.Grissham mengangguk setuju. “Kau benar. Selain itu, agar karyawan bisa kembali bekerja lagi.”Saat ini, keduanya berada di restoran tepatnya di meja depan, tempat yang biasa digunakan pelanggan. Mereka berdiskusi di sana karena sambil mengawasi si kembar yang hari ini diajak kemari.“Aku punya solusi, Kak.” Lora melipat tangan yang di atas meja dan menatap laki-laki di hadapannya dengan serius.“Semua menu makanan di restoran, kita daftarkan ke BPOM sekaligus sertifikasi halal. Dengan begitu, makanan kita akan terjamin aman karena sudah mendapatkan izin dari BPOM.”“Masyarakat juga pastinya akan merasa lebih aman dan nggak ragu-ragu lagi makan di res