Dhafin yang baru saja kembali dari butik Zelda menghempaskan tubuh di kursi kebesarannya. Matanya terpejam dengan tangan menumpu pada dahi. Tak lama, pintu ruangannya terbuka. Ia membuka mata dan mendapati seorang pria yang menjabat sebagai sekretarisnya berjalan mendekat. “Bagaimana? Ketemu Naina-nya?” tanya pria itu lantas duduk di kursi berhadapan dengannya. Dhafin menggeleng pelan sebagai jawaban. Pencarian Naina memang sedikit terlupakan karena ia sangat subuk mengurusi masalah kantor. Baru hari ini dirinya menyempatkan waktu ke tempat Zelda. “Kenapa kamu harus mencarinya?” “Aku takkan membiarkanya lari begitu saja,” jawab Dhafin datar. Arvan, sahabat sekaligus sekretaris Dhafin, mengetuk-ngetuk meja kaca menggunakan jarinya seperti ingin mengutarakan sesuatu. “Menurutku Naina nggak sepenuhnya salah.” “Maksudmu?” Dhafin menegakkan tubuhnya. “Maksudku bisa dibilang Naina ini sebenarnya korban. Dia nggak berniat membuat semua kekacauan ini.” “Dia bersalah.” Dhafin menatap d
“Apa kamu sengaja ingin mencoreng nama baik keluargaku?”Freya terkejut dengan pertanyaan tak terduga dari Dhafin. Ia yang semula tengkurap di kasur mengubah posisinya menjadi duduk. Raut wajahnya berubah sendu meski Dhafin tidak bisa melihat. “Kenapa kamu bertanya seperti itu? Kamu menuduhku?”“Jawab!.” Suara Dhafin terdengar dingin menandakan kalau pria itu sedang marah. “Aku nggak bermaksud mencoreng nama baik keluargamu, Dhafin. Sama sekali enggak.”“Lalu tujuanmu?”“Aku….” Freya menghela napas berat. “Aku cuma mengungkapkan rasa kecewaku pada Naina yang tega meracuni Altair. Nggak ada maksud lain.”Ia menunduk menatap sendu ke arah jemari di pangkuannya. “Aku menyayangi Altair dengan tulus seperti anakku sendiri. Aku merasa sedih dan kehilangan banget. Baru satu minggu dekat, Altair tiba-tiba meninggal.”Matanya berkaca-kaca. “Rasanya kayak direbut paksa. Dan itu gara-gara Naina. Aku nggak terima, Dhafin. Aku sangat kecewa. Anak sekecil itu harus meninggal di tangan ibunya send
Di waktu yang sama, tetapi di tempat berbeda, Naina baru saja keluar dari kamar mandi dengan dibantu oleh suster. Ia berjalan pelan sambil memegang perutnya menuju ranjang.“Terima kasih sudah membantu saya, Suster,” ucapnya setelah berhasil duduk dengan nyaman di ranjang. “Sama-sama. Kalau ada apa-apa jangan sungkan memanggil kami.” Sang suster tersenyum ramah.Naina mengangguk dan ikut tersenyum. Ia melihat sang suster yang sedang meletakkan infus di tiang samping ranjang lalu mengatur kecepatannya.Suster ini memang berbeda yang sebelumnya dan tentunya jauh lebih ramah. Mungkin berkat ibu pengantar makanan siang tadi yang sudah menginfokan kebenaran pada mereka.Setelah menyelesaikan tugasnya, sang suster pun pamit lantas keluar ruangan meninggalkan Naina yang hendak berbaring. Namun, pintu kembali terbuka membuatnya mengurungkan niat.Di sana, ada Thalia yang tengah menepikan tubuh seolah memberi jalan pada orang lain. Tak lama, muncullah seorang pria bertubuh tinggi dan tegap be
Naina spontan meminta hal tersebut. Entah mendapat keberanian dari mana. Ia berpikir tidak ada salahnya meminta bantuan pada Tuan Albern. Dhafin pasti tidak akan menyangka ia berada bersama rival bisnisnya.Tuan Albern terlihat bukan orang jahat meski wajahnya tampak tidak bersahabat. Terbukti dari Tuan Albern bersedia menolong Naina yang merupakan istri dari rivalnya.Selain itu, dari penjelasan tadi, Tuan Albern juga tidak pernah menggunakan cara kotor dan licik untuk menjatuhkan lawan. Ia mengandalkan kualitas serta potensi yang dimilikinya.Jadi, Naina yakin Tuan Albern tidak akan menjadikannya alat untuk membuat Wirabuana hancur.Naina menatap dengan cemas ke arah Tuan Albern. Ia sangat berharap pria paruh baya itu akan bersedia menolongnya sekali lagi.“Kenapa saya harus membantumu?” Tuan Albern berbalik badan dan menatap Naina penuh intimidasi.Naina menunduk memandang ke arah jamarinya di pangkuan. “Saya… saya tidak punya siapa-siapa untuk dimintai tolong.”“Sudah tahu tidak m
“Mas Dhafin?” Naina menatap Dhafin yang berjalan ke arahnya. Hatinya dipenuhi rasa was-was. Ia menggenggam erat selimut yang membungkus setengah tubuhnya. “Mau apa kamu ke sini?” Dhafin tiba di samping ranjang Naina. Ia tersenyum miring. “Menjenguk istriku.” “Dari mana kamu tau keberadaanku? “Bukan hal yang sulit.” Naina menduga pasti gara-gara videonya yang viral membuat Dhafin sangat mudah menemukannya apalagi dengan kekuasaan yang dimiliki pria itu. “Kembalilah kepada keluarga suamimu.” Perkataan Tuan Albern semalam kembali terngiang. Atau jangan-jangan Tuan Albern yang memberitahu Dhafin? Namun, kayaknya tidak mungkin. Tuan Albern bilang tidak ingin mencampuri masalah internal keluarga Wirabuana. Sepertinya opsi pertama yang lebih tepat. Seluruh penghuni rumah sakit ini sudah tahu tentangnya. Anak buah Dhafin pasti sudah mencari tahu sebelumnya. “Ayo, pulang.” Ajakan yang baru saja Dhafin lontarkan itu membuat Naina tersadar dari lamunannya. Ia memandang Dhafin yang mas
“Kau ketinggalan berita?”Naina mengangguk membenarkan. “Aku nggak pegang HP sama sekali dan juga nggak pernah nonton TV selama di sini.”“Mama udah klarifikasi.” Dhafin menjawab pertanyaan Naina sebelumnya lantas mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana.Pria itu menunjukkan kepada Naina video sang ibu yang sudah diposting di akun Wirabuana Group.Video itu berisi tentang pernyataan Bu Anita yang mengatakan bahwa semua itu hanya kesalahpahaman. Bu Anita hanya refleks mengatakan Naina pembunuh karena tidak terima cucu laki-laki semata wayangnya meninggal secepat itu. Ia sangat menyayangi Altair dan merasa sedih karena kehilangan.Bu Anita juga membahas tentang perkataannya yang hendak memenjarakan Naina. Ia mengucapkan itu dalam keadaan emosi dan marah besar sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih.Bu Anita menambahkan bahwa semua makanan yang dikonsumsi Altair menjadi tanggung jawab Naina. Jadi, wajar bila ia langsung menuduh menantunya. Di dalam video itu, Naina bisa melihat
Naina sangat terkejut. Tubuhnya menegang kaku dengan mata yang membulat sempurna. Jantungnya pun berdegup kencang. Saking kencangnya ia khawatir akan terdengar hingga ke telinga Dhafin.Kejadiannya begitu cepat. Naina tidak bisa menghindar ketika tiba-tiba Dhafin mencium bibirnya. Meski hanya menempel, tetapi cukup mampu melumpuhkan seluruh sarafnya.Dhafin menjauhkan diri membuat Naina tersadar. Ia memegang bibirnya sambil menatap Dhafin kesal.“Mau lagi?” Dhafin tersenyum miring yang terkesan menggoda di mata Naina.“A-apaan sih?! Udah sana pergi. Pasti lagi ditunggu Freya–”Cup!Lagi, Dhafin kembali mencium Naina. Kali ini dengan menggerakkan bibir, melumat lembut. Tangannya memegang tengkuk Naina agar tidak menjauh.Naina tidak membalas. Ia hanya bergeming dengan tubuh yang tidak bisa digerakkan. Ia lagi-lagi dibuat terkejut dengan aksi Dhafin yang sangat tiba-tiba ini. Dhafin semakin memperdalam ciumannya. Naina bisa melihat mata Dhafin yang terpejam seakan-akan menikmati. Ia me
Naina terkekeh pelan mendengar rentetan pertanyaan Zelda yang menggebu-gebu, tetapi tersemat nada khawatir di dalamnya. “Iya, aku di rumah sakit.”“Di rumah sakit mana? Aku ke sana, ya.”“Jangan.” Naina mencegah. “Nanti aku bakal share lock, tapi kamu jangan ke sini dulu. Ada Mas Dhafin.”“Apa?! Dhafin udah menemuimu?”“Iya, sekarang dia pergi, tapi bilangnya cuma sebentar. Aku nggak mau kalian bertemu.”“Oke oke, aku mengerti maksudmu. Yaudah, kamu baik-baik, ya, di sana. Jangan sungkan hubungi aku kalau ada apa-apa.”“Iya.”Naina meletakkan kembali ponselnya setelah sambungan telepon terputus. Ia membaringkan tubuhnya berniat untuk istrahat tidur siang. Matanya terpejam hingga beberapa saat kemudian, ia tenggelam di alam mimpi.Entah berapa lama Naina tertidur. Ketika bangun, ia melihat Dhafin yang sudah ada di ruangannya tampak sedang menekuri tablet. Pria itu duduk di sofa tak jauh dari posisinya.Naina beranjak bangun dan menatap ke arah jendela. Sepertinya hari sudah sore. Ia me
“Mama... huwaaaa....” Suara tangisan seorang anak kecil terdengar nyaring memenuhi seluruh penjuru rumah ini. Tiga orang dewasa yang menemani dibuat kelimpungan karena bingung bagaimana cara menenangkannya.Sudah sejak sore tadi, anak itu terus menangis tanpa berhenti dengan terus memanggil-manggil ibunya. Hingga sekarang saat malam semakin larut, tangisannya belum juga reda bahkan sampai melewatkan makan malam.“Sayang, sini sama Oma. Oma gendong, yuk. Mau?” ajak seorang wanita paruh baya sembari duduk berlutut di hadapan anak itu. Ia memegang tangan kecil milik cucunya dengan disertai sedikit tarikan.Anak kecil itu menggelengkan kepala ribut dan menepis kasar tangan orang yang mengaku neneknya. Ia menggeser tubuh menjauh seraya menghentak-hentakkan kakinya di lantai. Tangisannya pun semakin kencang tak terkendali. “Ndak mau… ndak mau… ndak mau…. Mau Mama… Mama….”Wanita itu kembali mundur untuk menghampiri suaminya yang duduk di sofa ruang tengah. “Bagaimana ini, Pa?”“Anak ini
“Loh, Zora belum tidur rupanya?”Lora terkejut melihat putrinya yang masih terbangun lantas menghampiri Zora yang berbaring di tempat tidur bersama Amina. Ia mengalihkan tatapannya ke arah perempuan itu untuk meminta penjelasan.Amina beranjak duduk dengan tangan yang membawa buku dongeng. “Adek Zora dari tadi menanyakan Kakak Azhar terus, Mbak. Dia nggak mau tidur kalau nggak ada Kakak Azhar.”Zora beranjak bangun lantas mendekati ibunya di pinggir ranjang. “Mama….” rengeknya sambil mengulurkan kedua tangan minta digendong.Lora mengangkat putrinya dalam gendongan, memeluk, dan mengusap lembut punggung Zora. Ia berjalan sembari mengayun-ayunkan tubuhnya. “Zora kenapa belum tidur, Sayang? Zora mencari-cari Kakak Azhar, ya?”Zora yang menyandarkan kepalanya di pundak Lora mengangguk pelan. Matanya yang indah sesekali terpejam menahan kantuk, tetapi ia ingin bertemu kembarannya. “Njang mana, Mama? Oya mau ama Njang.”Lora tidak langsung menjawab. Hatinya terasa teriris melihat putrinya
Lora terdiam sembari berpikir hingga tiba-tiba satu nama terlintas di otaknya apalagi pagi tadi baru saja bertemu. Dan bisa dikatakan pula pertemuannya itu tidak berakhir dengan baik. Kemungkinan besar orang itu akhirnya menjadi dendam sehingga dengan teganya menculik Azhar.“Freya. Iya, pasti dia yang menculik putraku,” ucapnya.“Apa kau yakin, Lora?” tanya Grissham tampak ragu-ragu.“Siapa lagi kalau bukan dia, Kak? Cuma dia yang nggak suka melihatku bahagia,” jawab Lora tanpa menoleh. Tangannya mengutak-atik ponsel lantas segera menghubungi Freya. “Ada apa lagi menghubungiku?” tanya Freya ketus setelah panggilan tersambung.“Dimana putraku?” sambar Lora langsung tanpa basa-basi.“Hah?” Suara Freya terdengar terkejut. “Ya, mana aku tau dimana anakmu. Kan kamu ibunya.” Lora berdecak kesal. “Nggak usah bohong! Kamu kan yang menculik anakku?” tanyanya disertai dengan desakan.“What?! Enak aja kamu menuduhku! Aku nggak tau, ya, dimana anakmu berada,” jawab Freya terdengar tidak terim
Usapan lembut di pundak, membuat Lora menoleh ke arah Grissham yang tengah tersenyum seolah memberikan kekuatan. Ia berdehem setelah berhasil menguasai diri. “Bagaimana bisa sampai hilang?” tanyanya dengan suara pelan.Amina terdengar menarik napas dalam-dalam. “Tadi kan saya sama si kembar main di taman kompleks, Mbak. Awalnya mereka bermain dengan anteng menggunakan mainan masing-masing.”“Terus di tengah-tengah bermain, Adek Zora tantrum minta dibelikan makanan yang Mbak Lora larang. Saya fokus menenangkan Adek Zora yang nangis rewel.”“Saking fokusnya saya sampai nggak sadar kalau Kakak Azhar nggak ada ditempatnya. Saya udah cari-cari sekitaran taman, tapi nggak ada.”“Saya tanya sama orang-orang di sana juga bilangnya nggak tau. Saya benar-benar minta maaf, Mbak. Ini kesalahan saya yang lalai dalam menjaga Kakak Azhar,” jelasnya panjang lebar.“Ya Allah, Mbak Mina... bagaimana bisa kamu seceroboh itu? Astaghfirullahalazim.” Lora memejamkan mata sejenak untuk mengendalikan amara
Lora menatap Freya tajam dengan raut wajah datar. “Jangan salahkan anak-anakku, Freya. Mas Dhafin sendiri yang mendekati mereka sehingga terbiasa dengan kehadirannya.” “Dari awal, aku nggak mengizinkan Mas Dhafin bertemu anak-anak, tapi dia tetap ngotot ingin bertemu dan dekat dengan mereka,” katanya dingin dan penuh penekanan.Ia menghela napas lalu mengubah ekspresinya menjadi lebih santai. “Lagi pula kamu nggak bisa melarang seorang ayah yang ingin bertemu dengan anak kandungnya.”“Meskipun aku dan Mas Dhafin udah resmi bercerai, tapi hubungan anak dengan ayahnya nggak akan pernah putus. Nggak ada yang namanya mantan anak kandung dan mantan ayah kandung.”“Mereka punya ikatan darah yang bahkan aku sendiri pun nggak bisa memutusnya. Apalagi kamu yang hanya sebatas tunangan,” paparnya panjang lebar.Lora tersenyum melihat ekspresi wajah Freya yang terdiam seolah-olah kehabisan kata-kata. “Beginilah resiko kalau kamu ingin menikahi seorang duda yang punya buntut.”“Kalau ingin menjad
Lora menghentikan mobilnya di area parkir salah satu cafe untuk bertemu dengan seseorang. Ia melepaskan seat belt, tetapi tidak langsung turun. Wanita itu masih bergeming di tempatnya seraya menarik napasnya dalam-dalam untuk mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba melanda. Tangannya meraih tas di kursi samping ketika mendengar ponselnya berdenting. Ternyata Grissham yang mengirim pesan. Ia pun segera mengetik balasannya.Grissham: [Kau serius ingin menemui Freya sendirian?] Lora: [Iya, ini aku udah sampai di tempat janjian] Grissham: [Perlu kutemani?] Lora: [Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri kok] Grissham: [Aku khawatir dia berbuat macam-macam padamu] Lora: [Aku jamin itu nggak akan terjadi. Kakak tenang aja, aku bisa jaga diri. Oke?] Grissham: [Baiklah, aku percaya padamu. Kalau ada sesuatu yang terjadi, langsung menghubungiku, hm?] Lora: [Iya, Kak Sham] Grissham: [Jangan lama-lama. Ingat, hari ini ada konferensi pers dan kau harus datang. Jangan sampai telat] Lora: [Iya, Ka
Ting!Dhafin beranjak dari posisi berbaringnya lantas mengambil ponselnya yang berdenting dalam tas kerjanya. Ia melihat ada beberapa pesan dari Arvan, salah satunya link video dari salah satu sosmed.[Tonton video itu sampai habis][Di situ Lora klarifikasi]Tanpa menunggu lama, Dhafin menekan tautan yang dikirim oleh sahabatnya dan langsung terhubung ke aplikasi TikTik.Video berdurasi lima menit itu mulai terputar. Diawali dengan Lora yang menjelaskan tentang hubungannya dengan Dhafin secara singkat. Lalu dilanjut dengan penjelasan mengenai kronologi sebernarnya waktu liburan bersama dengan dirinya. Di sana, Lora juga mencantumkan bukti berupa percakapannya bersama pengasuh si kembar.“Saya dengan Mas Dhafin tidak mempunyai hubungan apa-apa. Hubungan kami hanya berkaitan dengan kepentingan anak-anak. Saya tidak melarang dan membatasi Mas Dhafin bertemu dengan mereka.”“Saya tidak ingin menjadi ibu jahat yang memisahkan anak dengan ayahnya. Mau bagaimana pun Mas Dhafin itu ayah kan
“Oh… atau jangan-jangan semua masalah yang terjadi di restorannya Lora itu juga karena ulahmu?”“Kamu menuduhku, Dhaf? Hanya demi Lora kamu tega menuduhku?” tanya Freya dengan mata yang kembali berkabut.Dhafin mendengus keras. “Aku cuma bertanya. Melihat tingkahmu yang kelewatan ini, aku jadi berpikir kalau kamulah yang menjadi dalangnya.”Plak!Freya menampar pipi Dhafin hingga tertoleh ke samping. “Tega kamu menuduhku seperti itu! Aku nggak mungkin menyakiti diriku sendiri sampai masuk rumah sakit. Aku nggak segila itu, Dhaf!”Dhafin kembali menoleh ke arah Freya sambil mengusap pipinya. “Terserah apa katamu, yang pasti berhenti mengusik hidup Lora!”“Jika sekali lagi aku mendengar berita nggak bener tentang Lora dan kamulah penyebabnya, aku nggak akan tinggal diam. Kau akan berurusan denganku!” balasnya tajam.Freya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan air mata yang berjatuhan. “Kamu berubah, Dhaf. Kamu bukan Dhafin yang kukenal.”Dhafin tertawa keras hingga suaranya terdengar me
Brak! Dhafin yang sedang fokus dengan berkas-berkasnya terlonjak kaget mendengar pintu ruang kerja yang dibuka dengan sangat keras mirip dobrakan.Ia mendongak dan menatap tajam orang yang menjadi tersangka utama atas kekagetannya itu, tak lain dan tak bukan adalah sekretaris sekaligus sahabatnya.“Buka pintunya bisa pelan-pelan?” tanyanya dingin.Arvan berjalan tergesa-gesa menghampiri Dhafin. “Gawat, Bro, gawat! Parah banget sumpah!”Dhafin menghela napas lalu meletakkan berkas di atas meja. Ia mengangkat sebelah alisnya tak mengerti. “Apanya?”“Kamu udah buka sosmed belum?” tanya Arvan balik masih dengan posisi yang berdiri. “Nggak ada waktu,” jawab Dhafin datar sembari menggeleng pelan. Arvan berdecak kesal. Ia mengutak-atik ponselnya sejenak lalu menunjukkan sesuatu kepada Dhafin. “Nih, lihat!”Sontak, Dhafin melebarkan matanya terkejut melihat tampilan pada layar ponsel milik Arvan. Ia langsung bangkit dari duduknya dan….Brak! “Sialan Freya!” umpatnya setelah menggebrak mej