“Apa kamu sengaja ingin mencoreng nama baik keluargaku?”Freya terkejut dengan pertanyaan tak terduga dari Dhafin. Ia yang semula tengkurap di kasur mengubah posisinya menjadi duduk. Raut wajahnya berubah sendu meski Dhafin tidak bisa melihat. “Kenapa kamu bertanya seperti itu? Kamu menuduhku?”“Jawab!.” Suara Dhafin terdengar dingin menandakan kalau pria itu sedang marah. “Aku nggak bermaksud mencoreng nama baik keluargamu, Dhafin. Sama sekali enggak.”“Lalu tujuanmu?”“Aku….” Freya menghela napas berat. “Aku cuma mengungkapkan rasa kecewaku pada Naina yang tega meracuni Altair. Nggak ada maksud lain.”Ia menunduk menatap sendu ke arah jemari di pangkuannya. “Aku menyayangi Altair dengan tulus seperti anakku sendiri. Aku merasa sedih dan kehilangan banget. Baru satu minggu dekat, Altair tiba-tiba meninggal.”Matanya berkaca-kaca. “Rasanya kayak direbut paksa. Dan itu gara-gara Naina. Aku nggak terima, Dhafin. Aku sangat kecewa. Anak sekecil itu harus meninggal di tangan ibunya send
Di waktu yang sama, tetapi di tempat berbeda, Naina baru saja keluar dari kamar mandi dengan dibantu oleh suster. Ia berjalan pelan sambil memegang perutnya menuju ranjang.“Terima kasih sudah membantu saya, Suster,” ucapnya setelah berhasil duduk dengan nyaman di ranjang. “Sama-sama. Kalau ada apa-apa jangan sungkan memanggil kami.” Sang suster tersenyum ramah.Naina mengangguk dan ikut tersenyum. Ia melihat sang suster yang sedang meletakkan infus di tiang samping ranjang lalu mengatur kecepatannya.Suster ini memang berbeda yang sebelumnya dan tentunya jauh lebih ramah. Mungkin berkat ibu pengantar makanan siang tadi yang sudah menginfokan kebenaran pada mereka.Setelah menyelesaikan tugasnya, sang suster pun pamit lantas keluar ruangan meninggalkan Naina yang hendak berbaring. Namun, pintu kembali terbuka membuatnya mengurungkan niat.Di sana, ada Thalia yang tengah menepikan tubuh seolah memberi jalan pada orang lain. Tak lama, muncullah seorang pria bertubuh tinggi dan tegap be
Naina spontan meminta hal tersebut. Entah mendapat keberanian dari mana. Ia berpikir tidak ada salahnya meminta bantuan pada Tuan Albern. Dhafin pasti tidak akan menyangka ia berada bersama rival bisnisnya.Tuan Albern terlihat bukan orang jahat meski wajahnya tampak tidak bersahabat. Terbukti dari Tuan Albern bersedia menolong Naina yang merupakan istri dari rivalnya.Selain itu, dari penjelasan tadi, Tuan Albern juga tidak pernah menggunakan cara kotor dan licik untuk menjatuhkan lawan. Ia mengandalkan kualitas serta potensi yang dimilikinya.Jadi, Naina yakin Tuan Albern tidak akan menjadikannya alat untuk membuat Wirabuana hancur.Naina menatap dengan cemas ke arah Tuan Albern. Ia sangat berharap pria paruh baya itu akan bersedia menolongnya sekali lagi.“Kenapa saya harus membantumu?” Tuan Albern berbalik badan dan menatap Naina penuh intimidasi.Naina menunduk memandang ke arah jamarinya di pangkuan. “Saya… saya tidak punya siapa-siapa untuk dimintai tolong.”“Sudah tahu tidak m
“Mas Dhafin?” Naina menatap Dhafin yang berjalan ke arahnya. Hatinya dipenuhi rasa was-was. Ia menggenggam erat selimut yang membungkus setengah tubuhnya. “Mau apa kamu ke sini?” Dhafin tiba di samping ranjang Naina. Ia tersenyum miring. “Menjenguk istriku.” “Dari mana kamu tau keberadaanku? “Bukan hal yang sulit.” Naina menduga pasti gara-gara videonya yang viral membuat Dhafin sangat mudah menemukannya apalagi dengan kekuasaan yang dimiliki pria itu. “Kembalilah kepada keluarga suamimu.” Perkataan Tuan Albern semalam kembali terngiang. Atau jangan-jangan Tuan Albern yang memberitahu Dhafin? Namun, kayaknya tidak mungkin. Tuan Albern bilang tidak ingin mencampuri masalah internal keluarga Wirabuana. Sepertinya opsi pertama yang lebih tepat. Seluruh penghuni rumah sakit ini sudah tahu tentangnya. Anak buah Dhafin pasti sudah mencari tahu sebelumnya. “Ayo, pulang.” Ajakan yang baru saja Dhafin lontarkan itu membuat Naina tersadar dari lamunannya. Ia memandang Dhafin yang mas
“Kau ketinggalan berita?”Naina mengangguk membenarkan. “Aku nggak pegang HP sama sekali dan juga nggak pernah nonton TV selama di sini.”“Mama udah klarifikasi.” Dhafin menjawab pertanyaan Naina sebelumnya lantas mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana.Pria itu menunjukkan kepada Naina video sang ibu yang sudah diposting di akun Wirabuana Group.Video itu berisi tentang pernyataan Bu Anita yang mengatakan bahwa semua itu hanya kesalahpahaman. Bu Anita hanya refleks mengatakan Naina pembunuh karena tidak terima cucu laki-laki semata wayangnya meninggal secepat itu. Ia sangat menyayangi Altair dan merasa sedih karena kehilangan.Bu Anita juga membahas tentang perkataannya yang hendak memenjarakan Naina. Ia mengucapkan itu dalam keadaan emosi dan marah besar sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih.Bu Anita menambahkan bahwa semua makanan yang dikonsumsi Altair menjadi tanggung jawab Naina. Jadi, wajar bila ia langsung menuduh menantunya. Di dalam video itu, Naina bisa melihat
Naina sangat terkejut. Tubuhnya menegang kaku dengan mata yang membulat sempurna. Jantungnya pun berdegup kencang. Saking kencangnya ia khawatir akan terdengar hingga ke telinga Dhafin.Kejadiannya begitu cepat. Naina tidak bisa menghindar ketika tiba-tiba Dhafin mencium bibirnya. Meski hanya menempel, tetapi cukup mampu melumpuhkan seluruh sarafnya.Dhafin menjauhkan diri membuat Naina tersadar. Ia memegang bibirnya sambil menatap Dhafin kesal.“Mau lagi?” Dhafin tersenyum miring yang terkesan menggoda di mata Naina.“A-apaan sih?! Udah sana pergi. Pasti lagi ditunggu Freya–”Cup!Lagi, Dhafin kembali mencium Naina. Kali ini dengan menggerakkan bibir, melumat lembut. Tangannya memegang tengkuk Naina agar tidak menjauh.Naina tidak membalas. Ia hanya bergeming dengan tubuh yang tidak bisa digerakkan. Ia lagi-lagi dibuat terkejut dengan aksi Dhafin yang sangat tiba-tiba ini. Dhafin semakin memperdalam ciumannya. Naina bisa melihat mata Dhafin yang terpejam seakan-akan menikmati. Ia me
Naina terkekeh pelan mendengar rentetan pertanyaan Zelda yang menggebu-gebu, tetapi tersemat nada khawatir di dalamnya. “Iya, aku di rumah sakit.”“Di rumah sakit mana? Aku ke sana, ya.”“Jangan.” Naina mencegah. “Nanti aku bakal share lock, tapi kamu jangan ke sini dulu. Ada Mas Dhafin.”“Apa?! Dhafin udah menemuimu?”“Iya, sekarang dia pergi, tapi bilangnya cuma sebentar. Aku nggak mau kalian bertemu.”“Oke oke, aku mengerti maksudmu. Yaudah, kamu baik-baik, ya, di sana. Jangan sungkan hubungi aku kalau ada apa-apa.”“Iya.”Naina meletakkan kembali ponselnya setelah sambungan telepon terputus. Ia membaringkan tubuhnya berniat untuk istrahat tidur siang. Matanya terpejam hingga beberapa saat kemudian, ia tenggelam di alam mimpi.Entah berapa lama Naina tertidur. Ketika bangun, ia melihat Dhafin yang sudah ada di ruangannya tampak sedang menekuri tablet. Pria itu duduk di sofa tak jauh dari posisinya.Naina beranjak bangun dan menatap ke arah jendela. Sepertinya hari sudah sore. Ia me
Pagi kembali menyapa. Di dalam kamar rawat inap, Naina tengah duduk sambil merenung memikirkan mimpinya semalam.Dalam mimpi itu, Dhafin mengusap lembut dan mencium perutnya. Tak lupa, suaminya juga mengajak ngobrol sang calon buah hati entah tentang apa.Naina sempat berpikir bahwa itu benar-benar nyata. Namun ketika terbangun, Dhafin sudah tidak ada di ruangannya. Mungkin Dhafin pulang dari semalam saat dirinya terlelap.“Ternyata cuma mimpi,” gumam Naina.Mimpi yang sangat indah hingga terasa seperti nyata. Jika dipikir-pikir lagi, mustahil Dhafin melakukan itu. Selama ini, Dhafin selalu bersikap abai mengenai apapun yang menyangkut keadaannya.“Nainaaa….!”Naina sedikit tersentak dan tersadar dari lamunan panjangnya. Ia menoleh ke arah pintu dan mendapati Zelda yang berlari kecil menghampirinya.Zelda memeluk Naina erat. “Alhamdulillah, Ya Allah… akhirnya aku menemukanmu, Nai.”Perempuan itu melepaskan pelukan dan beralih menangkup wajah Naina. “Aku udah mencarimu kemana-mana. Kamu
Mira menyesap segelas jusnya yang tinggal setengah. Ia terdiam sejenak untuk merangkai kata-kata yang mudah dipahami. “Selain dari mimpi, yang sering digunakan itu kemantapan hati. Ada kecenderungan gitu loh. Dalam hal ini, kamu lebih condong pada siapa,” jawabnya.“Berarti ini berasal dari hati, ya, Mbak?” Lora menatap Mira sangat serius dengan tangan terlipat di atas meja seolah-olah sedang mendengarkan penjelasan guru.Mira menjentikkan jarinya. “Yups, bener banget. Kalau diibaratkan biarkan hati yang berbicara. Terus bisa juga pakai metode Al-Qur’an.”“Memakai Al-Qur'an?” Lora mengerutkan keningnya karena baru mendengar ada metode seperti itu. Kalau yang dua tadi ia pernah mendengar lewat video yang lewat.“Iya, ini juga bisa dibilang cara yang paling mudah. Caranya sama kayak yang kubilang tadi. Sholat Istikharah lalu doa. Habis itu kamu ambil Al-Qur’an.” Mira meraih sebuah buku yang ada di meja kerja Lora.Ia menepuk pelan buku di tangannya. “Anggaplah ini Al-Qur’an, ya. Kamu b
Lora lagi-lagi menghembuskan napas kasar. Ia tidak pernah menduga bahwa Dhafin akan menagih jawabannya hari ini. Rasanya baru kemarin permintaan rujuk itu terucap. Memang sudah terlewat beberapa hari, tetapi apakah harus secepat ini? Dirinya belum menyiapkan jawaban apapun! “Nggak salah Pak Dhafin menagih jawabanmu sekarang karena ingin mendapatkan kepastian darimu.” Mira mengembalikan ponsel Lora. “Kalau dari saranku, kamu lebih baik menjawab apa adanya sesuai dengan kondisimu saat ini,” ucapnya. Lora menggigit bibir bawahnya sambil menatap Mira. “Bukankah itu sama saja dengan mengecewakannya?” tanyanya ragu. “Bahkan saat kamu nggak langsung menjawab dan secara nggak langsung memintanya menunggu itu aja udah membuat Pak Dhafin kecewa banget,” jawab Mira telak. “Iya, juga, ya. Berarti aku harus bilang ke Mas Dhafin kalau aku belum bisa menjawab sekarang gitu?” Mira menganggukkan kepalanya. “Kamu berterus-terang padanya dan bilang kalau kamu masih butuh waktu dalam mengambil kep
“Terus kamu jawab apa?”Lora menggeleng pelan menjawab pertanyaan dari Mira yang duduk di depannya. “Aku belum memberikan jawaban apapun.”“Termasuk jawaban untuk Pak Dhafin?” tanya Mira lagi yang terdengar seperti menebak.Lora mengangguk dengan bibir melengkung ke bawah. “Iya, belum juga. Bagaimana mau ngasih jawaban? Beberapa hari setelah Mas Dhafin meminta rujuk, tiba-tiba aku dijodohkan sama Kak Sham. Aku kan jadi tambah pusing.”“Kalau kamu belum memberikan jawaban, artinya kamu sama saja meminta mereka menunggu dong?” balas Mira dengan mengerutkan kening.Lora menghela napas panjang. “Tanpa harus meminta menunggu, mereka tetap akan menunggu bahkan memintaku memikirkannya secara matang-matang.”Mira meletakkan sebelah tangan di dagu dan mengusapnya. “Hm… rumit juga, ya.”“Nah, kan….” Lora menutup wajahnya dengan kedua tangan yang bertumpu pada meja kerja. “Semua ini terlalu tiba-tiba untukku, Mbak Mira. Aku benar-benar nggak tau bagaimana menyikapinya,” keluhnya disertai rengek
Assalamu'alaikum, teman-teman, pembaca setia cerita "Mari Berpisah, Aku Menyerah." Di sini saya ingin memberikan pengumuman penting bahwa mulai hari ini sampai seminggu ke depan, saya tidak update bab baru. Atau dengan kata lain hiatus karena ingin istirahat sejenak sekalian mengumpulkan ide yang sekarang sedang macet dan juga menyusun kembali alur cerita agar lebih tertata. Bisa dibilang saya butuh jeda sebentar sebelum menulis lagi. InsyaAllah, saya akan kembali update minggu depan. Untuk para pembaca buku ini, terima kasih sudah mampir dan menjadi pembaca setia. Terima kasih banyak atas komentar-komentarnya. Dan maaf, saya tidak bisa membaca satu-persatu karena keterbatasan 🙏🏻 Saya juga sangat-sangat berterimakasih atas dukungan untuk buku ini dengan memberikan beberapa Gem dan hadiah. MasyaAllah... saya bahagia sekali. Semoga kalian semua sehat selalu dan dilimpahkan rizkinya. Terima kasih banyak, ya, teman-teman 🥰 Saya juga minta maaf kalau diantara kalian merasa cerita i
“Apa Kakak turut andil dalam perjodohan ini?” Grissham menggeleng menjawab pertanyaan Lora. Ia bisa melihat dengan jelas raut menuduh di wajah cantik wanita itu yang tersorot lampu teras. “Aku bahkan baru tahu ketika sudah tiba di sini. Kau jangan salah sangka dulu, Lora. Sungguh, aku tak tahu apapun tentang perjodohan ini.”“Pulang kerja, Ayah tiba-tiba mengajakku kemari tanpa memberitahu tujuannya. Aku mengira mungkin ingin membahas pekerjaan atau proyek baru.”“Tiba di rumah ini aku langsung bermain dengan Twins, sedangkan Ayah sedang membahas sesuatu dengan orang tuamu. Aku tak tahu apa yang mereka bahas.”“Setelah anak-anak masuk kamar karena jadwalnya tidur, aku pun bergabung dengan mereka dan barulah aku tahu tentang perjodohan ini,” jelasnya runtut.Lora mendengus keras dan memalingkan wajahnya menghadap depan. “Bohong banget! Tadi Om Albern bilang udah membicarakannya padamu. Nggak usah mengelak, Kak!”Grissham tersenyum tipis tanpa mengalihkan perhatiannya dari Lora. “Ay
“Nah, ini anaknya udah datang,” ucap Bu Radha yang tersenyum menyambut kedatangan putri-putrinya. Lora mencium tangan Pak Albern dan bersalaman biasa dengan Grissham diikuti oleh Florence. “Kak Sham dari kapan ke sininya? Udah lama?” tanyanya bermaksud menyapa dengan posisi yang masih berdiri.“Sudah dari tadi bahkan aku sempat bermain dengan Twins. Kau terlalu asyik menyendiri sampai-sampai tak tahu kedatanganku,” jawab Grissham. Lora menyengir hingga menampilkan giginya yang rapi. “Nggak menyendiri juga. Aku tadi ada perlu sama Florence.”Mendengar itu, Grissham beralih menatap Florence yang terlihat menempel pada Lora. “Wah… kalian sudah akur ceritanya ini?”Florence mengangguk dengan penuh senyum seraya memeluk lengan Lora yang memiliki postur tubuh lebih tinggi darinya.“Tentu saja, kami kan saudara. Ya kan, Lora?” tanyanya yang dijawab anggukan kecil oleh Lora. Grissham mengacungkan jempolnya ke arah dua perempuan itu. “Bagus bagus, begitu kek dari kemarin. Jadi lebih enak d
"Kenapa? Apa kamu nggak setuju aku pulang besok? Kamu maunya aku pulang malam ini juga?" Lora menatap sejenak tangannya yang masih ditahan oleh Florence. Raut wajahnya berubah menjadi tidak enak. "Maaf, Flo, aku nggak bisa kalau harus pulang malam ini. Aku nggak pulang sendirian, tapi bersama anak-anakku.”“Nggak baik membawa mereka pulang malam-malam begini apalagi kan perjalannya jauh. Ayah sama Ibun juga pastinya nggak akan mengizinkan. Tolong pengertiannya, ya, Flo," ucapnya.Florence langsung melepaskan cekalannya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali sambil menggerakkan tangan. "Enggak enggak, bukan begitu, Lora. Kamu nggak harus pergi dari sini baik sekarang maupun besok atau ke depannya. Tinggallah di rumah ini, Lora.”“Kamu jauh lebih pantas dan berhak dibandingkan aku yang bukan siapa-siapa. Bahkan hubungan darah pun aku nggak punya." Perempuan itu maju selangkah dengan tatapan sendu. "Aku minta maaf atas keegoisanku selama ini. Ya, kamu benar. Kehadiranmu di ru
"Apa kamu mau rujuk kembali dengan Dhafin?" Pertanyaan itu terus saja terngiang-ngiang dalam benaknya walaupun sudah lewat beberapa hari. Lora tidak memberikan jawaban apapun. Ia sendiri bingung bagaimana menyikapinya. Ini terlalu mendadak untuknya. Permintaan maaf dari sang mantan mertua saja sudah membuatnya tercengang apalagi ditambah dengan tawaran itu. Atau mungkin bisa disebut sebagai lamaran? Mengingat Bu Anita sendiri yang mengutarakan hal tersebut. "Kamu nggak harus menjawabnya sekarang, Nak. Dipikirkan dulu matang-matang. Kami nggak akan memaksa," ujar ibunya Dhafin waktu itu. Bu Anita dan yang lainnya memang tidak menuntut jawaban detik itu juga. Namun, tetap saja mereka pasti menunggu jawaban darinya. Ia bisa melihat ada harapan besar yang terpancar di wajah mereka khususnya bagi Dhafin. Rasanya jadi tidak enak bila memberikan jawaban yang mengecewakan.RujukSatu kata yang tak pernah terlintas sedikitpun dalam pikirannya. Sekarang Dhafin sendiri yang menginginkan r
Bu Anita memandang ke arah bawah, tidak berani menatap Lora. Dirinya merasa bersalah pernah menuduh wanita itu selingkuh. Ia sebenarnya tidak ingin membahas hal ini yang malah membuat Lora sulit memaafkannya. Namun, Dhafin sendiri yang malah memancing sehingga mau tak mau mereka harus menjelaskan semuanya. “Maafkan Mama, Lora. Waktu itu Mama terpengaruh dengan perkataan Freya.”Lora mengeraskan rahangnya dengan tangan terkepal kuat. Tatapan matanya berubah dingin. Freya sudah benar-benar kelewatan dengan membuat tuduhan tak bermutu. Bukan hanya dirinya yang kena, tetapi juga menyangkut putrinya. Tuduhan itu pastinya membuat orang tua Dhafin ikut membenci Zora karena dikira bukan cucu kandung mereka. Jelas, Lora tidak terima!Wanita itu memejamkan mata sejenak berusaha menekan emosinya kuat-kuat lalu kembali menatap serius orang tua Dhafin. “Ma, Pa, aku sama sekali nggak pernah selingkuh sama siapapun. Dengan segala sikapnya Mas Dhafin kepadaku, aku nggak berniat menduakan dan me