Beranda / Rumah Tangga / Mari Berpisah, Aku Menyerah / 17. Bertemu Sang Penolong

Share

17. Bertemu Sang Penolong

Penulis: Putri Cahaya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-28 23:54:23
Di waktu yang sama, tetapi di tempat berbeda, Naina baru saja keluar dari kamar mandi dengan dibantu oleh suster. Ia berjalan pelan sambil memegang perutnya menuju ranjang.

“Terima kasih sudah membantu saya, Suster,” ucapnya setelah berhasil duduk dengan nyaman di ranjang.

“Sama-sama. Kalau ada apa-apa jangan sungkan memanggil kami.” Sang suster tersenyum ramah.

Naina mengangguk dan ikut tersenyum. Ia melihat sang suster yang sedang meletakkan infus di tiang samping ranjang lalu mengatur kecepatannya.

Suster ini memang berbeda yang sebelumnya dan tentunya jauh lebih ramah. Mungkin berkat ibu pengantar makanan siang tadi yang sudah menginfokan kebenaran pada mereka.

Setelah menyelesaikan tugasnya, sang suster pun pamit lantas keluar ruangan meninggalkan Naina yang hendak berbaring. Namun, pintu kembali terbuka membuatnya mengurungkan niat.

Di sana, ada Thalia yang tengah menepikan tubuh seolah memberi jalan pada orang lain.

Tak lama, muncullah seorang pria bertubuh tinggi dan tegap be
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   18. Kembalilah pada Suamimu

    Naina spontan meminta hal tersebut. Entah mendapat keberanian dari mana. Ia berpikir tidak ada salahnya meminta bantuan pada Tuan Albern. Dhafin pasti tidak akan menyangka ia berada bersama rival bisnisnya.Tuan Albern terlihat bukan orang jahat meski wajahnya tampak tidak bersahabat. Terbukti dari Tuan Albern bersedia menolong Naina yang merupakan istri dari rivalnya.Selain itu, dari penjelasan tadi, Tuan Albern juga tidak pernah menggunakan cara kotor dan licik untuk menjatuhkan lawan. Ia mengandalkan kualitas serta potensi yang dimilikinya.Jadi, Naina yakin Tuan Albern tidak akan menjadikannya alat untuk membuat Wirabuana hancur.Naina menatap dengan cemas ke arah Tuan Albern. Ia sangat berharap pria paruh baya itu akan bersedia menolongnya sekali lagi.“Kenapa saya harus membantumu?” Tuan Albern berbalik badan dan menatap Naina penuh intimidasi.Naina menunduk memandang ke arah jamarinya di pangkuan. “Saya… saya tidak punya siapa-siapa untuk dimintai tolong.”“Sudah tahu tidak m

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-29
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   19. Ayo, Pulang

    “Mas Dhafin?” Naina menatap Dhafin yang berjalan ke arahnya. Hatinya dipenuhi rasa was-was. Ia menggenggam erat selimut yang membungkus setengah tubuhnya. “Mau apa kamu ke sini?” Dhafin tiba di samping ranjang Naina. Ia tersenyum miring. “Menjenguk istriku.” “Dari mana kamu tau keberadaanku? “Bukan hal yang sulit.” Naina menduga pasti gara-gara videonya yang viral membuat Dhafin sangat mudah menemukannya apalagi dengan kekuasaan yang dimiliki pria itu. “Kembalilah kepada keluarga suamimu.” Perkataan Tuan Albern semalam kembali terngiang. Atau jangan-jangan Tuan Albern yang memberitahu Dhafin? Namun, kayaknya tidak mungkin. Tuan Albern bilang tidak ingin mencampuri masalah internal keluarga Wirabuana. Sepertinya opsi pertama yang lebih tepat. Seluruh penghuni rumah sakit ini sudah tahu tentangnya. Anak buah Dhafin pasti sudah mencari tahu sebelumnya. “Ayo, pulang.” Ajakan yang baru saja Dhafin lontarkan itu membuat Naina tersadar dari lamunannya. Ia memandang Dhafin yang mas

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-30
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   20. Tidak Mau Pulang

    “Kau ketinggalan berita?”Naina mengangguk membenarkan. “Aku nggak pegang HP sama sekali dan juga nggak pernah nonton TV selama di sini.”“Mama udah klarifikasi.” Dhafin menjawab pertanyaan Naina sebelumnya lantas mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana.Pria itu menunjukkan kepada Naina video sang ibu yang sudah diposting di akun Wirabuana Group.Video itu berisi tentang pernyataan Bu Anita yang mengatakan bahwa semua itu hanya kesalahpahaman. Bu Anita hanya refleks mengatakan Naina pembunuh karena tidak terima cucu laki-laki semata wayangnya meninggal secepat itu. Ia sangat menyayangi Altair dan merasa sedih karena kehilangan.Bu Anita juga membahas tentang perkataannya yang hendak memenjarakan Naina. Ia mengucapkan itu dalam keadaan emosi dan marah besar sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih.Bu Anita menambahkan bahwa semua makanan yang dikonsumsi Altair menjadi tanggung jawab Naina. Jadi, wajar bila ia langsung menuduh menantunya. Di dalam video itu, Naina bisa melihat

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-31
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   21. Sikap Aneh Dhafin

    Naina sangat terkejut. Tubuhnya menegang kaku dengan mata yang membulat sempurna. Jantungnya pun berdegup kencang. Saking kencangnya ia khawatir akan terdengar hingga ke telinga Dhafin.Kejadiannya begitu cepat. Naina tidak bisa menghindar ketika tiba-tiba Dhafin mencium bibirnya. Meski hanya menempel, tetapi cukup mampu melumpuhkan seluruh sarafnya.Dhafin menjauhkan diri membuat Naina tersadar. Ia memegang bibirnya sambil menatap Dhafin kesal.“Mau lagi?” Dhafin tersenyum miring yang terkesan menggoda di mata Naina.“A-apaan sih?! Udah sana pergi. Pasti lagi ditunggu Freya–”Cup!Lagi, Dhafin kembali mencium Naina. Kali ini dengan menggerakkan bibir, melumat lembut. Tangannya memegang tengkuk Naina agar tidak menjauh.Naina tidak membalas. Ia hanya bergeming dengan tubuh yang tidak bisa digerakkan. Ia lagi-lagi dibuat terkejut dengan aksi Dhafin yang sangat tiba-tiba ini. Dhafin semakin memperdalam ciumannya. Naina bisa melihat mata Dhafin yang terpejam seakan-akan menikmati. Ia me

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-01
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   22. Merindukan Altair

    Naina terkekeh pelan mendengar rentetan pertanyaan Zelda yang menggebu-gebu, tetapi tersemat nada khawatir di dalamnya. “Iya, aku di rumah sakit.”“Di rumah sakit mana? Aku ke sana, ya.”“Jangan.” Naina mencegah. “Nanti aku bakal share lock, tapi kamu jangan ke sini dulu. Ada Mas Dhafin.”“Apa?! Dhafin udah menemuimu?”“Iya, sekarang dia pergi, tapi bilangnya cuma sebentar. Aku nggak mau kalian bertemu.”“Oke oke, aku mengerti maksudmu. Yaudah, kamu baik-baik, ya, di sana. Jangan sungkan hubungi aku kalau ada apa-apa.”“Iya.”Naina meletakkan kembali ponselnya setelah sambungan telepon terputus. Ia membaringkan tubuhnya berniat untuk istrahat tidur siang. Matanya terpejam hingga beberapa saat kemudian, ia tenggelam di alam mimpi.Entah berapa lama Naina tertidur. Ketika bangun, ia melihat Dhafin yang sudah ada di ruangannya tampak sedang menekuri tablet. Pria itu duduk di sofa tak jauh dari posisinya.Naina beranjak bangun dan menatap ke arah jendela. Sepertinya hari sudah sore. Ia me

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-01
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   23. Kedatangan Zelda

    Pagi kembali menyapa. Di dalam kamar rawat inap, Naina tengah duduk sambil merenung memikirkan mimpinya semalam.Dalam mimpi itu, Dhafin mengusap lembut dan mencium perutnya. Tak lupa, suaminya juga mengajak ngobrol sang calon buah hati entah tentang apa.Naina sempat berpikir bahwa itu benar-benar nyata. Namun ketika terbangun, Dhafin sudah tidak ada di ruangannya. Mungkin Dhafin pulang dari semalam saat dirinya terlelap.“Ternyata cuma mimpi,” gumam Naina.Mimpi yang sangat indah hingga terasa seperti nyata. Jika dipikir-pikir lagi, mustahil Dhafin melakukan itu. Selama ini, Dhafin selalu bersikap abai mengenai apapun yang menyangkut keadaannya.“Nainaaa….!”Naina sedikit tersentak dan tersadar dari lamunan panjangnya. Ia menoleh ke arah pintu dan mendapati Zelda yang berlari kecil menghampirinya.Zelda memeluk Naina erat. “Alhamdulillah, Ya Allah… akhirnya aku menemukanmu, Nai.”Perempuan itu melepaskan pelukan dan beralih menangkup wajah Naina. “Aku udah mencarimu kemana-mana. Kamu

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-02
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   24. Postingan Terbaru Freya

    Naina merenung mengingat semua perlakuan Dhafin di masa lalu. Suaminya itu memang terkadang memberikan perhatian kecil dibalik sifatnya yang dingin dan pemaksa.Sedikit banyak, ia berharap Dhafin akan berubah dan mampu menerimanya sebagai istri bukan pembantu ataupun pengasuh Altair. Namun, harapan itu langsung pupus ketika keesokan harinya Dhafin kembali ke mode awal.Bisa dibilang hari ini perhatian, besoknya cuek. Begitu terus hingga Freya kembali datang dan membuat Dhafin benar-benar mengabaikannya.“Aku bilang gini karena aku sayang banget sama kamu, Nai. Aku nggak ingin melihatmu terluka lagi.” Zelda menggenggam tangan sahabatnya.Naina membenarkan dalam hati. Sudah cukup penderitaannya selama empat tahun ini. Ia bertahan demi Altair agar putranya mendapatkan kasih sayang utuh dari keluarga Dhafin. Sekarang Altair udah tenang di surga sehingga tidak ada alasan baginya untuk tetap bertahan. Meski Dhafin udah tahu kehamilannya, Naina tetap pada keputusannya. Ia tidak akan kembali

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-02
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   25. Rencana ke Luar Kota

    “Paman?”Zelda mengangguk. “Iya, beliau pamanku.”“Kok bisa?” tanya Naina masih tidak percaya kalau Tuan Albern adalah paman Zelda.Zelda berdehem dan memperbaiki posisi duduknya. “Jadi gini, ayahku itu adiknya Uncle Albern. Mereka hanya dua bersaudara. Uncle itu orangnya sangat sibuk, jadi jarang berkunjung ke rumah.”“Terus kenapa kamu nggak pake marga–”“Starward?” potong Zelda yang dibalas anggukan kecil oleh Naina. “Kamu tau kan nama panjangku apa?”“Zelda Crescencia Putri Starla.” Naina mengeja nama lengkap Zelda sambil berpikir.Zelda menjentikkan jarinya. “Nah, nama Starla itu gabungan dari nama orang tuaku. Starward dan Kayla.”“Mereka memang sengaja nggak pakai nama Starward di belakang namaku biar adil. Kan dulu sempat ada debat dua keluarga besar,” jelasnya.Naina manggut-manggut mengerti. Ia benar-benar tidak menyangka Zelda memiliki identitas yang bukan main-main. Dari dulu, Zelda memang orangnya merakyat, supel, dan mudah bergaul dengan siapa saja tanpa memandang status

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-03

Bab terbaru

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   262. Melamarmu

    Ruang tamu di mansion utama keluarga Kusuma yang sangat luas itu tampak indah dengan beberapa ornamen bunga sebagai hiasannya. Di bagian depan yang menjadi panggung utama terdapat dua kursi dan dekorasi sederhana bertuliskan ‘G & L’ pada dindingnya. Ya, hari ini atau lebih tepatnya malam ini acara pertunangan Lora dengan Grissham akhirnya digelar. Acaranya berlangsung secara intimate yang hanya dihadiri oleh sanak saudara dan orang terdekat saja. Beberapa tamu sudah mulai berdatangan karena memang acaranya dilaksanakan pukul tujuh dengan tujuan agar tidak kemalaman. Sementara itu, sang pemeran utama masih berada di kamar sedang bersiap. Ia membiarkan MUA menyiapkan penampilannya di hari istimewa ini, mulai dari make-up hingga tatanan kerudung. “Sudah selesai.” “Cantik banget, Mbak Lora.” Lora tersenyum menanggapi ucapan mereka dan mengucapkan terima kasih karena sudah dibantu bersiap-siap. Ia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Di sana dirinya tampak sangat cantik dengan

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   261. Pilihan Akhir Lora

    Lora berdiri dengan perasaan resah. Kedua bola matanya bergerak liar untuk menghindari tatapan Dhafin yang terasa menusuk itu. Ia bingung, tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Otaknya tiba-tiba terasa kosong. Kedatangan Dhafin kemari saja sudah membuatnya kaget bukan main. Lora tak pernah menduga hal yang ditutup-tutupi dari Dhafin akhirnya terungkap sekarang. Ya, meskipun pria itu akan tahu nantinya, tetapi bukan berarti secepat ini juga. “Lora,” panggil Dhafin terdengar sangat dingin bercampur geram. Ia sebenarnya sudah tahu jawabannya. Namun, ia ingin mendengar langsung penjelasan dari mulut Lora sendiri. “Ee… itu… a-aku… aku….” Lora berkata dengan gagap hingga tanpa sadar mengeratkan pegangan tangannya pada lengan sang ayah seolah meminta bantuan. Pak Raynald yang menyadari itu dan mulai bisa membaca situasi menoleh pada putrinya. “Apa kau belum belum memberitahu Dhafin tentang ini, Princess?” “Ayah…” Lora menatap ayahnya melas dan menggeleng samar. Tangannya semakin

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   260. Perjuangkan Cintamu, Dhafin!

    Lora lagi-lagi menggeleng tegas. “Nggak usah, Mas Dhafin. Udah jelas orang tuaku nggak setuju, jadi percuma aja. Jangan membuang waktu untuk keputusan yang udah final.” ‘Maaf, Mas. Aku cuma nggak ingin kamu tau kalau aku udah dijodohkan sama Kak Sham. Kamu pasti akan lebih kecewa lagi,’ lanjutnya dalam hati seraya menatap Dhafin dengan perasaan bersalah. “Tapi, Lora–” Drrtt! Ucapan Dhafin terpotong oleh suara dering ponsel milik Lora. Wanita itu segera mengangkat telepon dan berbincang sejenak dengan sang penelepon yang ternyata dari Amina. Setelah mengakhiri telepon, Lora kembali memusatkan perhatiannya pada Dhafin. “Mas Dhafin, aku udah mantap dengan keputusanku. Aku minta maaf atas jawabanku yang mengecewakan.” “Aku pamit pulang duluan, ya, Mas. Si kembar udah mencariku.” Ia lantas beranjak dari duduknya sambil sedikit menunduk. “Sekali lagi aku minta maaf. Aku pergi dulu, assalamu'alaikum,” pamitnya lantas berlalu meninggalkan Dhafin sendirian. “Wa’alaikumsalam.” Dhafin me

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   259. Keputusan Bulat

    “Apa?” Dhafin sedikit melebarkan mata tajamnya. Netra berwarna coklat itu memperlihatkan keterkejutan yang tak mampu disembunyikan.Ia berharap salah mendengar. Namun, suara Lora yang pelan seakan-akan berdengung di telinganya membuat napasnya tercekat.“Iya, Mas, orang tuaku nggak setuju kalau kita rujuk.” Lora mengulang perkataannya. Ia menatap tepat di kedua bola mata Dhafin seolah menegaskan bahwa ucapannya tidak main-main.Dhafin tertegun dengan jantung yang mempompa liar. Hatinya mencelos serasa diremas oleh tangan tak kasat mata. Jadi, Lora menolak rujuk karena orang tuanya tidak setuju.“Kenapa nggak setuju? Padahal semuanya baik-baik aja. Bukankah mereka udah memaafkanku?” tanyanya yang terdengar seperti protes.Lora mengangguk sembari melipat tangannya di atas meja. “Mereka memang memaafkanmu, tapi bukan berarti bisa kembali. Orang tuaku punya kekhawatiran yang besar padaku yang akan terluka lagi kalau kita rujuk.”Dhafin merasakan dadanya bergemuruh hebat mendengar pengaku

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   258. Satu Jawaban

    [Assalamu'alaikum, Mas. Apa hari ini kamu ada waktu untuk bertemu?][Aku ingin membahas kelanjutan permintaan rujuk waktu itu sekaligus memberikan jawaban. Rasanya nggak enak kalau lewat telepon][Waalaikumsalam, Lora. Sepulang kantor nanti sore aku free. Ingin bertemu dimana?][Di kafe dekat kantormu aja. Bisa kan?][Bisa-bisa, sampai bertemu nanti]Itu merupakan sepengal pesan yang dikirimkan oleh Lora siang tadi. Dhafin jadi kembali teringat dengan permintaan mantan istrinya yang ingin minta petunjuk lewat sholat Istikharah selama seminggu.Tanpa terasa tibalah hari ini saatnya Dhafin mendengar jawaban itu. Sungguh, ia sangat antusias dan tidak sabar ingin segera bertemu Lora. Ia berharap jawaban yang diberikan oleh Lora sama seperti yang dirinya punya usai melaksanakan sholat Istikharah juga.Kini, pria berparas tampan itu duduk sendiriam di salah satu meja yang berada di dekat jendela. Tubuhnya bersandar pada kursi sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja.Ia menunggu kehadiran

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   257. Memaafkan, Tidak untuk Kembali

    “Ayah, Ibun, ada hal penting yang ingin kubicarakan.”Setelah makan malam usai, mereka berkumpul di ruang tengah hanya untuk sekedar bersantai melepas penat. Terkecuali Florence yang katanya harus menyiapkan presentasi penting.Lora pun memanfaatkan kesempatan ini untuk berbicara kepada orang tuanya tentang permintaan rujuk Dhafin. Mumpung mereka sedang tidak sibuk.“Tentang apa?” tanya Pak Raynald menanggapi perkataan putrinya.Lora menatap kedua orang tuanya bergantian lalu menarik napas dalam-dalam. “Jadi gini, Ayah, Ibun. Beberapa hari sebelum aku menginap di sini, Mas Dhafin bersama orang tuanya datang ke rumah.” “Mereka ke rumahmu? Tumben banget. Kalau Dhafin nggak heran, ya. Lah, ini orang tuanya. Untuk apa mereka ke sana?” tanya Bu Radha dengan nada sedikit terkejut.“Mereka datang untuk meminta maaf kepadaku atas semua kesalahan yang mereka lakukan selama ini. Mereka juga ingin memperbaiki segalanya,” jelas Lora.“Lalu apa kau memaafkan mereka?” Gantian Pak Raynald yang bert

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   256. Tradisi Keluarga

    Lora menghentikan gerakan tangannya yang hendak memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut. Ia menatap kedua orang tuanya bergantian lalu beralih melirik Florence yang duduk di samping sang ibu tengah menikmati makanan. Dalam hati, dirinya merasa agak keberatan dengan usulan mereka. Bukan tidak nyaman tinggal di sini, tetapi…. “Aku kan udah punya rumah sendiri, Bun, Yah. Kalau aku tinggal di sini, bagaimana dengan rumahku? Bakal kosong nantinya,” ucapnya menolak secara tersirat. “Kan ada asistenmu. Siapa itu namanya?” sahut Bu Radha sekaligus bertanya. “Mbak Mira,” jawab Lora sebelum melahap makanannya yang tertunda. “Nah, iya, biar Mira aja yang menempati rumahmu. Kamunya tinggal di sini bersama si kembar. Ya, kayak sekarang ini misalnya. Daripada kamu harus bolak-balik.” “Tapi, Bun, Mbak Mira sebentar lagi kan mau menikah. Pasti nanti bakal ikut suaminya,” bantah Lora usai menelan makanannya. Bu Radha meletakkan sendok dan garpu di atas piring lantas memusatkan perh

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   255. Tinggal Bersama

    Mira menyesap segelas jusnya yang tinggal setengah. Ia terdiam sejenak untuk merangkai kata-kata yang mudah dipahami. “Selain dari mimpi, yang sering digunakan itu kemantapan hati. Ada kecenderungan gitu loh. Dalam hal ini, kamu lebih condong pada siapa,” jawabnya. “Berarti ini berasal dari hati, ya, Mbak?” Lora menatap Mira sangat serius dengan tangan terlipat di atas meja seolah-olah sedang mendengarkan penjelasan guru. Mira menjentikkan jarinya. “Yups, bener banget. Kalau diibaratkan biarkan hati yang berbicara. Terus bisa juga pakai metode Al-Qur’an.” “Memakai Al-Qur'an?” Lora mengerutkan keningnya karena baru mendengar ada metode seperti itu. Kalau yang dua tadi ia pernah mendengar lewat video yang lewat. “Iya, ini juga bisa dibilang cara yang paling mudah. Caranya sama kayak yang kubilang tadi. Sholat Istikharah lalu doa. Habis itu kamu ambil Al-Qur’an.” Mira meraih sebuah buku yang ada di meja kerja Lora. Ia menepuk pelan buku di tangannya. “Anggaplah ini Al-Qur’an,

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   254. Jawaban Sholat Istikharah

    Lora lagi-lagi menghembuskan napas kasar. Ia tidak pernah menduga bahwa Dhafin akan menagih jawabannya hari ini. Rasanya baru kemarin permintaan rujuk itu terucap. Memang sudah terlewat beberapa hari, tetapi apakah harus secepat ini? Dirinya belum menyiapkan jawaban apapun! “Nggak salah Pak Dhafin menagih jawabanmu sekarang karena ingin mendapatkan kepastian darimu.” Mira mengembalikan ponsel Lora. “Kalau dari saranku, kamu lebih baik menjawab apa adanya sesuai dengan kondisimu saat ini,” ucapnya. Lora menggigit bibir bawahnya sambil menatap Mira. “Bukankah itu sama saja dengan mengecewakannya?” tanyanya ragu. “Bahkan saat kamu nggak langsung menjawab dan secara nggak langsung memintanya menunggu itu aja udah membuat Pak Dhafin kecewa banget,” jawab Mira telak. “Iya, juga, ya. Berarti aku harus bilang ke Mas Dhafin kalau aku belum bisa menjawab sekarang gitu?” Mira menganggukkan kepalanya. “Kamu berterus-terang padanya dan bilang kalau kamu masih butuh waktu dalam mengambil kep

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status