Naina spontan meminta hal tersebut. Entah mendapat keberanian dari mana. Ia berpikir tidak ada salahnya meminta bantuan pada Tuan Albern. Dhafin pasti tidak akan menyangka ia berada bersama rival bisnisnya.Tuan Albern terlihat bukan orang jahat meski wajahnya tampak tidak bersahabat. Terbukti dari Tuan Albern bersedia menolong Naina yang merupakan istri dari rivalnya.Selain itu, dari penjelasan tadi, Tuan Albern juga tidak pernah menggunakan cara kotor dan licik untuk menjatuhkan lawan. Ia mengandalkan kualitas serta potensi yang dimilikinya.Jadi, Naina yakin Tuan Albern tidak akan menjadikannya alat untuk membuat Wirabuana hancur.Naina menatap dengan cemas ke arah Tuan Albern. Ia sangat berharap pria paruh baya itu akan bersedia menolongnya sekali lagi.“Kenapa saya harus membantumu?” Tuan Albern berbalik badan dan menatap Naina penuh intimidasi.Naina menunduk memandang ke arah jamarinya di pangkuan. “Saya… saya tidak punya siapa-siapa untuk dimintai tolong.”“Sudah tahu tidak m
“Mas Dhafin?” Naina menatap Dhafin yang berjalan ke arahnya. Hatinya dipenuhi rasa was-was. Ia menggenggam erat selimut yang membungkus setengah tubuhnya. “Mau apa kamu ke sini?” Dhafin tiba di samping ranjang Naina. Ia tersenyum miring. “Menjenguk istriku.” “Dari mana kamu tau keberadaanku? “Bukan hal yang sulit.” Naina menduga pasti gara-gara videonya yang viral membuat Dhafin sangat mudah menemukannya apalagi dengan kekuasaan yang dimiliki pria itu. “Kembalilah kepada keluarga suamimu.” Perkataan Tuan Albern semalam kembali terngiang. Atau jangan-jangan Tuan Albern yang memberitahu Dhafin? Namun, kayaknya tidak mungkin. Tuan Albern bilang tidak ingin mencampuri masalah internal keluarga Wirabuana. Sepertinya opsi pertama yang lebih tepat. Seluruh penghuni rumah sakit ini sudah tahu tentangnya. Anak buah Dhafin pasti sudah mencari tahu sebelumnya. “Ayo, pulang.” Ajakan yang baru saja Dhafin lontarkan itu membuat Naina tersadar dari lamunannya. Ia memandang Dhafin yang mas
“Kau ketinggalan berita?”Naina mengangguk membenarkan. “Aku nggak pegang HP sama sekali dan juga nggak pernah nonton TV selama di sini.”“Mama udah klarifikasi.” Dhafin menjawab pertanyaan Naina sebelumnya lantas mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana.Pria itu menunjukkan kepada Naina video sang ibu yang sudah diposting di akun Wirabuana Group.Video itu berisi tentang pernyataan Bu Anita yang mengatakan bahwa semua itu hanya kesalahpahaman. Bu Anita hanya refleks mengatakan Naina pembunuh karena tidak terima cucu laki-laki semata wayangnya meninggal secepat itu. Ia sangat menyayangi Altair dan merasa sedih karena kehilangan.Bu Anita juga membahas tentang perkataannya yang hendak memenjarakan Naina. Ia mengucapkan itu dalam keadaan emosi dan marah besar sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih.Bu Anita menambahkan bahwa semua makanan yang dikonsumsi Altair menjadi tanggung jawab Naina. Jadi, wajar bila ia langsung menuduh menantunya. Di dalam video itu, Naina bisa melihat
Naina sangat terkejut. Tubuhnya menegang kaku dengan mata yang membulat sempurna. Jantungnya pun berdegup kencang. Saking kencangnya ia khawatir akan terdengar hingga ke telinga Dhafin.Kejadiannya begitu cepat. Naina tidak bisa menghindar ketika tiba-tiba Dhafin mencium bibirnya. Meski hanya menempel, tetapi cukup mampu melumpuhkan seluruh sarafnya.Dhafin menjauhkan diri membuat Naina tersadar. Ia memegang bibirnya sambil menatap Dhafin kesal.“Mau lagi?” Dhafin tersenyum miring yang terkesan menggoda di mata Naina.“A-apaan sih?! Udah sana pergi. Pasti lagi ditunggu Freya–”Cup!Lagi, Dhafin kembali mencium Naina. Kali ini dengan menggerakkan bibir, melumat lembut. Tangannya memegang tengkuk Naina agar tidak menjauh.Naina tidak membalas. Ia hanya bergeming dengan tubuh yang tidak bisa digerakkan. Ia lagi-lagi dibuat terkejut dengan aksi Dhafin yang sangat tiba-tiba ini. Dhafin semakin memperdalam ciumannya. Naina bisa melihat mata Dhafin yang terpejam seakan-akan menikmati. Ia me
Naina terkekeh pelan mendengar rentetan pertanyaan Zelda yang menggebu-gebu, tetapi tersemat nada khawatir di dalamnya. “Iya, aku di rumah sakit.”“Di rumah sakit mana? Aku ke sana, ya.”“Jangan.” Naina mencegah. “Nanti aku bakal share lock, tapi kamu jangan ke sini dulu. Ada Mas Dhafin.”“Apa?! Dhafin udah menemuimu?”“Iya, sekarang dia pergi, tapi bilangnya cuma sebentar. Aku nggak mau kalian bertemu.”“Oke oke, aku mengerti maksudmu. Yaudah, kamu baik-baik, ya, di sana. Jangan sungkan hubungi aku kalau ada apa-apa.”“Iya.”Naina meletakkan kembali ponselnya setelah sambungan telepon terputus. Ia membaringkan tubuhnya berniat untuk istrahat tidur siang. Matanya terpejam hingga beberapa saat kemudian, ia tenggelam di alam mimpi.Entah berapa lama Naina tertidur. Ketika bangun, ia melihat Dhafin yang sudah ada di ruangannya tampak sedang menekuri tablet. Pria itu duduk di sofa tak jauh dari posisinya.Naina beranjak bangun dan menatap ke arah jendela. Sepertinya hari sudah sore. Ia me
Pagi kembali menyapa. Di dalam kamar rawat inap, Naina tengah duduk sambil merenung memikirkan mimpinya semalam.Dalam mimpi itu, Dhafin mengusap lembut dan mencium perutnya. Tak lupa, suaminya juga mengajak ngobrol sang calon buah hati entah tentang apa.Naina sempat berpikir bahwa itu benar-benar nyata. Namun ketika terbangun, Dhafin sudah tidak ada di ruangannya. Mungkin Dhafin pulang dari semalam saat dirinya terlelap.“Ternyata cuma mimpi,” gumam Naina.Mimpi yang sangat indah hingga terasa seperti nyata. Jika dipikir-pikir lagi, mustahil Dhafin melakukan itu. Selama ini, Dhafin selalu bersikap abai mengenai apapun yang menyangkut keadaannya.“Nainaaa….!”Naina sedikit tersentak dan tersadar dari lamunan panjangnya. Ia menoleh ke arah pintu dan mendapati Zelda yang berlari kecil menghampirinya.Zelda memeluk Naina erat. “Alhamdulillah, Ya Allah… akhirnya aku menemukanmu, Nai.”Perempuan itu melepaskan pelukan dan beralih menangkup wajah Naina. “Aku udah mencarimu kemana-mana. Kamu
Naina merenung mengingat semua perlakuan Dhafin di masa lalu. Suaminya itu memang terkadang memberikan perhatian kecil dibalik sifatnya yang dingin dan pemaksa.Sedikit banyak, ia berharap Dhafin akan berubah dan mampu menerimanya sebagai istri bukan pembantu ataupun pengasuh Altair. Namun, harapan itu langsung pupus ketika keesokan harinya Dhafin kembali ke mode awal.Bisa dibilang hari ini perhatian, besoknya cuek. Begitu terus hingga Freya kembali datang dan membuat Dhafin benar-benar mengabaikannya.“Aku bilang gini karena aku sayang banget sama kamu, Nai. Aku nggak ingin melihatmu terluka lagi.” Zelda menggenggam tangan sahabatnya.Naina membenarkan dalam hati. Sudah cukup penderitaannya selama empat tahun ini. Ia bertahan demi Altair agar putranya mendapatkan kasih sayang utuh dari keluarga Dhafin. Sekarang Altair udah tenang di surga sehingga tidak ada alasan baginya untuk tetap bertahan. Meski Dhafin udah tahu kehamilannya, Naina tetap pada keputusannya. Ia tidak akan kembali
“Paman?”Zelda mengangguk. “Iya, beliau pamanku.”“Kok bisa?” tanya Naina masih tidak percaya kalau Tuan Albern adalah paman Zelda.Zelda berdehem dan memperbaiki posisi duduknya. “Jadi gini, ayahku itu adiknya Uncle Albern. Mereka hanya dua bersaudara. Uncle itu orangnya sangat sibuk, jadi jarang berkunjung ke rumah.”“Terus kenapa kamu nggak pake marga–”“Starward?” potong Zelda yang dibalas anggukan kecil oleh Naina. “Kamu tau kan nama panjangku apa?”“Zelda Crescencia Putri Starla.” Naina mengeja nama lengkap Zelda sambil berpikir.Zelda menjentikkan jarinya. “Nah, nama Starla itu gabungan dari nama orang tuaku. Starward dan Kayla.”“Mereka memang sengaja nggak pakai nama Starward di belakang namaku biar adil. Kan dulu sempat ada debat dua keluarga besar,” jelasnya.Naina manggut-manggut mengerti. Ia benar-benar tidak menyangka Zelda memiliki identitas yang bukan main-main. Dari dulu, Zelda memang orangnya merakyat, supel, dan mudah bergaul dengan siapa saja tanpa memandang status
Senyum di wajah Zelda perlahan meredup. Masih ada lengkungan manis di bibirnya, tetapi tak lagi semeriah tadi. Pandangannya turun, jatuh pada jemarinya yang saling menggenggam di atas pangkuan, seolah mencari pegangan pada dirinya sendiri. Lora yang duduk di sampingnya mencuri pandang, lalu menatap lekat perut sahabatnya yang kini membulat jelas di balik dress selutut berwarna pastel itu. “Pemeriksaan terakhir? Emangnya kenapa?” tanyanya pelan tetapi penuh curiga setelah ada jeda sejenak. Zelda tidak langsung menjawab. Hanya diam, membiarkan hening mengambang beberapa detik. Kemudian, seperti tersadar, ia menarik napas dan kembali memasang senyum cerah hingga terasa agak dipaksakan. “Bukan apa-apa kok. Semuanya aman.” Lora tidak sepenuhnya percaya. Tatapannya menyapu wajah Zelda yang terlihat terlalu tenang untuk seseorang yang barusan tampak ragu. Namun, ia memilih menahan diri. Tangannya terulur untuk menyentuh perut sahabatnya yang terasa hangat dan hidup di bawah telapaknya
Berbeda dengan Dhafin yang tenggelam dalam penyesalan tak berujung, Lora berdiri tegak di depan cermin besar di LaCia Boutique milik sahabatnya. Cahaya lembut dari lampu gantung kristal memantulkan siluetnya di permukaan kaca. Kebaya putih dengan detail payet halus melekat sempurna di tubuhnya, mengikuti lekuk tanpa cela.Kainnya jatuh anggun, sementara ekor kebaya menjuntai panjang hingga menyapu lantai dengan gerakan pelan setiap kali ia berpindah posisi. Kerudung segi empat yang menjuntai menutup dada, warnanya senada dengan kebaya, menjadikan tampilannya anggun tanpa harus berlebihan.Lora merapikan kerudungnya perlahan, jemarinya menyusuri kain lembut yang menjuntai menutup dada. Sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya.Bukan karena merasa paling cantik, bukan pula karena penampilan yang nyaris sempurna. Melainkan ada rasa hangat yang menjalari dadanya, sebuah rasa utuh sekaligus layak.Untuk pertama kalinya, ia menjalani proses ini dengan penuh kesadaran dan penghargaan. Ti
“Gobl*k!”Suara Arvan memantul di dinding ruang kerja yang sunyi.Dhafin langsung menoleh, matanya menyipit tajam ke arah sahabatnya yang bersandar santai di sofa single, satu kaki bersilang di atas lutut. Sorot matanya menyala, seperti ingin melemparkan kursi ke arah lawan bicaranya.Pria itu menggertakkan rahangnya. Umpatan itu bukan sekedar suara, melainkan terasa seperti tamparan dingin yang menghantam dadanya.Baru saja Dhafin menceritakan semua masalah antara dirinya dan Lora baru-baru ini pada Arvan, berharap sedikit pengertian. Namun, yang ia dapat, justru sebuah kalimat kasar yang mengguncang ego dan harga dirinya.Arvan tak bergeming hanya menaikkan satu alis, tanpa gentar. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, kedua siku bertumpu di lutut.“Wajar Lora bersikap begitu,” katanya tanpa menurunkan volume suara. “Kamu secara terang-terangan mengusirnya cuma karena nolak satu permintaan.”Matanya membulat, ekspresinya semakin sengit. “Kurang baik apa Lora? Dia bolak-balik ke r
“Lora!!” Dhafin sontak berdiri hingga kursi yang didudukinya bergeser pelan dengan suara seret yang memecah ketegangan di udara. Sorot matanya menusuk, rahangnya mengeras. Dadanya naik turun cepat, menahan gelombang emosi yang mendesak keluar. Tangannya terkepal di sisi tubuh untuk menahannya dari ledakan yang lebih besar. Ia menatap Lora dalam-dalam, seakan-akan mencoba mencari sisa pengertian yang mungkin masih tertinggal di mata perempuan itu. “Jaga ucapanmu, Lora!” katanya dengan suara rendah tapi terdengar dingin dan tegas. “Aku sama sekali nggak ingin Mama kenapa-napa apalagi sampai berharap Mama meninggal!” Lora ikut berdiri. Tubuhnya tegak, namun sorot matanya menyiratkan kekecewaan yang dalam. Sebuah senyum miring muncul di wajah cantiknya. “Lalu barusan itu apa, Mas?” tanyanya pelan tetapi tajam. Dhafin langsung terbungkam. Sorot matanya tampak menatap ke depan dengan pandangan kosong. Wajahnya kaku dengan rahang yang masih mengeras. Seakan-akan pertanyaan Lora bar
Lora memilih kembali ke kamar inap Bu Anita, lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi yang berada tepat di depan ruangan. Punggungnya bersandar lemah, tetapi pikirannya terus berputar tanpa henti.Bayangan wajah Bu Anita, suara lirihnya, dan permintaan yang diucapkan dengan penuh harap—semuanya memenuhi benaknya. Berat. Terlalu berat.Lora menghela napas panjang. Bagaimana bisa dirinya menolak tanpa menyakiti? Di tengah kondisi Bu Anita yang semakin lemah, ia tak sanggup menambah beban pikirannya. Namun, memenuhi permintaan itu pun bukan jalan keluar terbaik. Kembali pada Dhafin tentunya bukan pilihan yang paling tepat. Bukan lagi jalan hidup yang ingin ia tapaki.Mungkin inilah ujian menjelang pernikahan. Bukan tentang gaun, undangan, atau dekorasi impian, melainkan kedatangan masa lalu yang tiba-tiba mengetuk ketika segalanya hampir siap untuk masa depan. Kenangan bersama Dhafin yang selama ini dikubur dalam-dalam, kini bangkit lagi dengan dibungkus dalam permintaan tulus dari seo
Lora tak langsung bereaksi. Ia hanya duduk membeku dan mematung dalam diam yang penuh makna. Matanya membelalak tipis, memantulkan bayangan masa lalu yang selama ini dikubur rapat-rapat. Suara Bu Anita menggema di kepala, menabrak dinding pertahanan yang susah payah dirinya bangun.Meski firasatnya sempat menebak, tetap saja kata-kata itu menghantam seperti gelombang dingin yang menyeretnya ke arus kenangan.Pelan-pelan, jemarinya yang semula menggenggam erat tangan Bu Anita mulai melemah. Ada jeda di napasnya, seakan paru-parunya lupa cara bekerja untuk sesaat.Lora menarik napas panjang, dada naik-turun perlahan saat mencoba meredakan gejolak di dalam hatinya. Kelopak matanya terpejam sejenak, menata isi kepala yang terasa penuh. Begitu kembali membuka mata, sorot matanya mantap menatap Bu Anita meskipun gurat getir masih membayang di sana.“Ma…” ucapnya lirih jemarinya kembali menggenggam tangan Bu Anita dengan lembut, “aku udah punya calon suami. Aku nggak akan mengkhianati kepe
Grissham sempat terpaku sepersekian detik, sebelum akhirnya menarik kembali tangannya dan mengulas senyum tipis.Laki-laki itu mulai paham, kemungkinan besar keberadaannya tidak sepenuhnya diterima. Ia adalah putra dari Pak Albern yang merupakan rival lama Pak Daniel di dunia bisnis. Meskipun demikian, dirinya tetap menjaga sikap, menahan segala prasangka demi menghormati suasana.Tanpa banyak bicara, Grissham melangkah tenang menyusul Lora yang sudah lebih dulu mendekati ranjang Bu Anita, lalu membungkuk sopan untuk menyalami wanita paruh baya itu dengan penuh hormat.“Lora banyak bercerita tentang Tante. Hari ini jadwalnya Tante dilakukan operasi, ya. Saya doakan semoga semuanya berjalan lancar dan Tante bisa segera pulih seperti sedia kala,” ucapnya tulus.Bu Anita tersenyum tipis. Rona hangat terpancar dari wajahnya meski tubuhnya tampak lemah. “Aamiin… makasih doanya, Nak Grissham. Makasih juga udah repot-repot menjenguk saya di sini.”Grissham menggeleng, senyum hangat tak lepa
“Sayang….”Suara halus nan lembut yang menyapa indera pendengaran disertai dengan sentuhan di tangan membuat Lora tersentak kaget. Lamunannya tentang kejadian dua hari yang lalu itu seketika buyar.Ia melihat ke arah tangannya di pangkuan yang berada dalam genggaman tangan besar dan putih, lalu beralih menatap Grissham yang juga tengah memandangnya. Menyadari jika mobil telah berhenti, Lora pun mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ternyata mereka sudah tiba di parkiran rumah sakit, melihat beberapa mobil yang berjejer di depan dan sampingnya.“Kenapa? Aku melihatmu sejak tadi melamun selama perjalanan. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, hm?” tanya Grissham lembut seraya mengusap punggung tangan Lora.Lora menggigit bibir bawahnya pelan, mempertimbangkan apakah harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Namun, dirinya tidak bisa berbohong di hadapan Grissham.Ia menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata sejenak sebelum menoleh ke samping. “Aku kepikiran tentang pert
“Apa kamu juga masih berharap... kita bisa utuh lagi?” Pertanyaan itu masih terngiang jelas di benak Lora, meski sudah dua hari berlalu sejak Dhafin mengucapkannya. Suara Dhafin terdengar lembut, tetapi sarat akan makna. Layaknya bisikan yang tak ingin hilang, justru semakin melekat setiap kali ia mencoba melupakannya. Bukan. Bukan harapan untuk kembali yang menghantui Lora sekarang. Bukan karena ia masih menyimpan keinginan untuk mengulang masa lalu yang telah mereka kubur bersama luka. Ia tahu, tak semua yang retak bisa disatukan kembali hanya dengan kata “maaf” atau “mari kita mulai lagi.” Ada kenangan yang terlalu pahit untuk dikembalikan, ada luka yang terlalu dalam untuk benar-benar pulih. Namun, dari satu kalimat itu, Lora justru menangkap sesuatu yang tak terduga, bahwa ternyata Dhafin masih menyimpan harapan dan belum sepenuhnya melepaskan. Bahwa di balik sikap tenangnya selama ini, rupanya ada keinginan yang belum padam. Keinginan untuk merajut ulang sesuatu yang pern