“Paman?”Zelda mengangguk. “Iya, beliau pamanku.”“Kok bisa?” tanya Naina masih tidak percaya kalau Tuan Albern adalah paman Zelda.Zelda berdehem dan memperbaiki posisi duduknya. “Jadi gini, ayahku itu adiknya Uncle Albern. Mereka hanya dua bersaudara. Uncle itu orangnya sangat sibuk, jadi jarang berkunjung ke rumah.”“Terus kenapa kamu nggak pake marga–”“Starward?” potong Zelda yang dibalas anggukan kecil oleh Naina. “Kamu tau kan nama panjangku apa?”“Zelda Crescencia Putri Starla.” Naina mengeja nama lengkap Zelda sambil berpikir.Zelda menjentikkan jarinya. “Nah, nama Starla itu gabungan dari nama orang tuaku. Starward dan Kayla.”“Mereka memang sengaja nggak pakai nama Starward di belakang namaku biar adil. Kan dulu sempat ada debat dua keluarga besar,” jelasnya.Naina manggut-manggut mengerti. Ia benar-benar tidak menyangka Zelda memiliki identitas yang bukan main-main. Dari dulu, Zelda memang orangnya merakyat, supel, dan mudah bergaul dengan siapa saja tanpa memandang status
Tuan Albern melirik Zelda sambil tersenyum miring. “Tanpa membantu anak yatim piatu pun, perusahaanku sudah berjaya dan menghasilkan keuntungan besar setiap bulan,” sahutnya.‘Sombong amat!’ Zelda menggerutu dalam hati dan sedikit mencibir. Sepertinya Tuan Albern Starward yang terhormat itu lupa jika setiap berapa bulan sekali Starward Group melaksanakan program CSR untuk warga sekitar. Salah satunya dengan menjadi donatur tetap di beberapa panti asuhan.Hal itulah yang membuat Starward Group semakin berjaya karena mendapatkan kepercayaan publik secara penuh. Bisa dibilang keuntungannya menjadi berkah.“Aku juga tidak ingin memasukkan pengkhianat dengan membawa wanita itu bersamaku,” tambah Tuan Albern lantas kembali fokus pada berkas.Dengan kata lain, pria itu menuduh Naina akan menjadi mata-mata yang berasal dari musuh bisnisnya. Zelda menggeleng pelan, tidak menyangka pamannya mempunyai pemikiran seperti itu.“Naina nggak kayak gitu, Uncle. Dia wanita baik-baik. Aku udah mengenaln
Dhafin berjalan tergesa-gesa di lorong rumah sakit menuju ruang rawat inap Naina. Kaki panjangnya melangkah lebar hingga suara hentakan sepatunya di lantai terdengar jelas.Sebelum masuk, ia berhenti sejenak untuk mengatur napasnya yang sedikit ngos-ngosan. Tangannya menekan handle pintu itu ke bawah lantas mendorong masuk ke dalam.KosongTidak ada siapapun. Ruangannya juga terlihat sudah rapi dan bersih. Dhafin pun mencari Naina di seluruh penjuru ruangan ini bahkan sampai di kamar mandi. Namun, hasilnya nihil.Naina pergi ke mana? Apakah pulang sendiri ataukah sudah dijemput oleh orang lain?Tak ingin membuang waktu, Dhafin keluar ruangan dan langsung berpapasan dengan ibu-ibu petugas kebersihan rumah sakit. Ibu itu membawa troli yang berisi alat kebersihan.“Permisi, apakah anda yang membersihkan kamar ini?” tanyanya sambil menunjuk kamar rawat inap yang ditempati Naina.“Iya, saya baru saja membereskannya agar bisa ditempati oleh pasien baru,” jawab ibu yang mengenakan masker itu
Anaknya kembar!Iya, Dhafin akan mempunyai anak kembar. Pantas saja perut Naina terasa agak gimana gitu saat ia menyentuhnya. Ia merasakan ada sedikit tonjolan di sana meski dari luar tampak datar. Dan juga didukung dengan pakaian Naina yang selalu longgar.Dhafin menyunggingkan senyum tipis sambil mengusap lembut foto itu. Di dalam rahim Naina, ada dua anak yang sedang tumbuh dan berkembang. Tubuh mereka terlihat sudah terbentuk walaupun masih sangat kecil.Ada rasa yang sulit dijelaskan saat mengetahui fakta itu. Lagi-lagi Naina menyembunyikannya bahkan sudah selama itu. Jujur, ia merasa sedikit kecewa.Sebegitu tidak pentingnya kah Dhafin di mata Naina sampai-sampai hal sebesar ini disembunyikan?Ia ayahnya yang jelas mempunyai hak untuk tahu. Jika Naina tidak ingin memberitahukan kepada yang lain, dirinya tidak masalah. Setidaknya ia harus mengetahuinya lebih dulu.Dhafin menghela napas lalu menyandarkan tubuhnya. Ia teringat ketika pertama kali mengunjungi Naina. Tujuan utamany
“Nggak, Ma.” Dhafin menggeleng pelan lantas duduk di sofa single. “Aku ada pekerjaan di luar kantor sekalian mengunjungi kantor cabang.”Tentu saja jawabanya itu hanya kebohongan belaka. Dhafin memang belum memberitahu orang tuanya tentang Naina. Ia tidak menjamin mereka bakal senang dan antusias, mengingat Naina bukan menantu yang diinginkan.Ditambah lagi kini Naina kembali menghilang. Jadi, lebih baik ia merahasiakannya saja.“Mengunjungi kantor cabang?” Bu Anita mengerutkan keningnya tampak terheran-heran. “Ayahmu tidak bilang apapun mengenai kunjungan itu. Bukannya udah ada jadwalnya sendiri?” tanyanya.“Aku memang sengaja datang diluar jadwal, Ma, untuk melihat bagaimana kinerja mereka. Kalau diberitahu dulu, pastinya mereka akan melakukan persiapan dan tak jarang memanipulasi kenyataan yang ada.”Dhafin memberikan penjelasan yang masuk akal membuat sang ibu tampaknya langsung percaya.“Baguslah, memang lebih baik kamu jangan mencari Naina biar dia jadi gelandangan sekalian. D
Mobil merah dengan merek ternama itu melaju kencang membelah jalan raya Ibu Kota yang cuacanya sangat terik ini. “Hahaha…. Akhirnya kita terbebas dari si Dhafin.” Zelda tertawa puas dan merasa lega. “Tadi itu menegangkan banget tau nggak. Kamu juga jalannya cepat sampai-sampai membuat perutku kram.” Naina yang duduk di samping Zelda menyahut. Tangannya memegangi perutnya yang terasa kram. “Baru juga keluar rumah sakit, bisa-bisa masuk lagi.” Zelda terkekeh kecil lantas menunduk dan mengusap perut Naina. “O-ow… aku lupa ada keponakanku di sini. Aunty minta maaf, ya, Twins.” Ia kembali menatap Naina. “Aku melakukan itu biar kita nggak bertemu Dhafin.” “Aku tau.” Naina menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskannya perlahan untuk meredakan kram di perutnya. Begitu terus hingga merasa lebih baik. “Masih kram?” tanya Zelda dengan nada khawatir. Naina menggeleng. “Udah mendingan.” “Alhamdulillah… aku bakal merasa bersalah banget kalau kamu kenapa-napa lagi gara-gara aku.”
Zelda tersenyum. “Kamu tenang aja. Aku udah bilang ke mereka kalau aku ada acara keluarga di luar kota yang wajib dihadiri. Orang tuaku juga sedang ke luar kota sekarang meski dengan urusan yang berbeda.” “Aku udah kasih pesan ke para pekerja di rumah jika ada orang yang datang, bilang aja semuanya sedang pergi ke luar kota karena ada acara keluarga. Jadi, dijamin aman,” jelasnya sambil mengacungkan kedua jempol.Naina terperangah dan menggelengkan kepala takjub. “Wow! Ternyata kamu udah mempersiapkannya dengan matang, ya.”“Pastinya dong. Aku udah memprediksi semua itu,” balas Zelda semangat.Naina melihat ke arah jalanan lewat jendela samping kiri. Ia mengerutkan kening ketika menyadari arah jalannya menuju luar kota. “Kita mau kemana?” tanyanya kembali menatap Zelda.“Ke rumah Uncle Albern.”“Tapi ini kok kayak mau ke–” “Luar kota?” potong Zelda yang dijawab anggukan oleh Naina.“Rumah Uncle memang ada di daerah pinggiran kota. Aku yakin Dhafin nggak akan mencarimu sampai di san
“Siapa yang wanita yang kau bawa itu Albern?” Semua orang menoleh ke arah sumber suara, tak terkecuali Naina. Tak jauh dari posisi mereka, ada seorang wanita tua yang berdiri tegap. Ia masih tampak sehat dan bugar. Meski terdapat banyak kerutan, wajahnya terlihat masih cantik di usianya yang senja. Pakaian yang dikenakan pun sederhana, tetapi tampak elegan dan pas sesuai usia. Hanya daster batik panjang dilengkapi dengan kerudung yang menutupi rambutnya. Meskipun begitu, sudah dipastikan harganya bukan kaleng-kaleng. Naina menebak jika beliau merupakan ibu dari Tuan Albern. Ia mengerutkan keningnya merasa terheran-heran. Benarkah dirinya akan menjadi perawat untuk wanita tua itu? Namun, beliau kelihatannya masih sehat-sehat saja. “Apa kau membawa istri baru atau wanita simpananmu ke sini?” Zelda berdiri dan menghampiri wanita itu. “Bukan, Oma. Dia itu sahabatku.” Naina tersenyum sopan dan langsung beranjak dari duduknya lantas mencium tangan wanita tua itu dengan taw
Mira menyesap segelas jusnya yang tinggal setengah. Ia terdiam sejenak untuk merangkai kata-kata yang mudah dipahami. “Selain dari mimpi, yang sering digunakan itu kemantapan hati. Ada kecenderungan gitu loh. Dalam hal ini, kamu lebih condong pada siapa,” jawabnya.“Berarti ini berasal dari hati, ya, Mbak?” Lora menatap Mira sangat serius dengan tangan terlipat di atas meja seolah-olah sedang mendengarkan penjelasan guru.Mira menjentikkan jarinya. “Yups, bener banget. Kalau diibaratkan biarkan hati yang berbicara. Terus bisa juga pakai metode Al-Qur’an.”“Memakai Al-Qur'an?” Lora mengerutkan keningnya karena baru mendengar ada metode seperti itu. Kalau yang dua tadi ia pernah mendengar lewat video yang lewat.“Iya, ini juga bisa dibilang cara yang paling mudah. Caranya sama kayak yang kubilang tadi. Sholat Istikharah lalu doa. Habis itu kamu ambil Al-Qur’an.” Mira meraih sebuah buku yang ada di meja kerja Lora.Ia menepuk pelan buku di tangannya. “Anggaplah ini Al-Qur’an, ya. Kamu b
Lora lagi-lagi menghembuskan napas kasar. Ia tidak pernah menduga bahwa Dhafin akan menagih jawabannya hari ini. Rasanya baru kemarin permintaan rujuk itu terucap. Memang sudah terlewat beberapa hari, tetapi apakah harus secepat ini? Dirinya belum menyiapkan jawaban apapun! “Nggak salah Pak Dhafin menagih jawabanmu sekarang karena ingin mendapatkan kepastian darimu.” Mira mengembalikan ponsel Lora. “Kalau dari saranku, kamu lebih baik menjawab apa adanya sesuai dengan kondisimu saat ini,” ucapnya. Lora menggigit bibir bawahnya sambil menatap Mira. “Bukankah itu sama saja dengan mengecewakannya?” tanyanya ragu. “Bahkan saat kamu nggak langsung menjawab dan secara nggak langsung memintanya menunggu itu aja udah membuat Pak Dhafin kecewa banget,” jawab Mira telak. “Iya, juga, ya. Berarti aku harus bilang ke Mas Dhafin kalau aku belum bisa menjawab sekarang gitu?” Mira menganggukkan kepalanya. “Kamu berterus-terang padanya dan bilang kalau kamu masih butuh waktu dalam mengambil kep
“Terus kamu jawab apa?”Lora menggeleng pelan menjawab pertanyaan dari Mira yang duduk di depannya. “Aku belum memberikan jawaban apapun.”“Termasuk jawaban untuk Pak Dhafin?” tanya Mira lagi yang terdengar seperti menebak.Lora mengangguk dengan bibir melengkung ke bawah. “Iya, belum juga. Bagaimana mau ngasih jawaban? Beberapa hari setelah Mas Dhafin meminta rujuk, tiba-tiba aku dijodohkan sama Kak Sham. Aku kan jadi tambah pusing.”“Kalau kamu belum memberikan jawaban, artinya kamu sama saja meminta mereka menunggu dong?” balas Mira dengan mengerutkan kening.Lora menghela napas panjang. “Tanpa harus meminta menunggu, mereka tetap akan menunggu bahkan memintaku memikirkannya secara matang-matang.”Mira meletakkan sebelah tangan di dagu dan mengusapnya. “Hm… rumit juga, ya.”“Nah, kan….” Lora menutup wajahnya dengan kedua tangan yang bertumpu pada meja kerja. “Semua ini terlalu tiba-tiba untukku, Mbak Mira. Aku benar-benar nggak tau bagaimana menyikapinya,” keluhnya disertai rengek
Assalamu'alaikum, teman-teman, pembaca setia cerita "Mari Berpisah, Aku Menyerah." Di sini saya ingin memberikan pengumuman penting bahwa mulai hari ini sampai seminggu ke depan, saya tidak update bab baru. Atau dengan kata lain hiatus karena ingin istirahat sejenak sekalian mengumpulkan ide yang sekarang sedang macet dan juga menyusun kembali alur cerita agar lebih tertata. Bisa dibilang saya butuh jeda sebentar sebelum menulis lagi. InsyaAllah, saya akan kembali update minggu depan. Untuk para pembaca buku ini, terima kasih sudah mampir dan menjadi pembaca setia. Terima kasih banyak atas komentar-komentarnya. Dan maaf, saya tidak bisa membaca satu-persatu karena keterbatasan 🙏🏻 Saya juga sangat-sangat berterimakasih atas dukungan untuk buku ini dengan memberikan beberapa Gem dan hadiah. MasyaAllah... saya bahagia sekali. Semoga kalian semua sehat selalu dan dilimpahkan rizkinya. Terima kasih banyak, ya, teman-teman 🥰 Saya juga minta maaf kalau diantara kalian merasa cerita i
“Apa Kakak turut andil dalam perjodohan ini?” Grissham menggeleng menjawab pertanyaan Lora. Ia bisa melihat dengan jelas raut menuduh di wajah cantik wanita itu yang tersorot lampu teras. “Aku bahkan baru tahu ketika sudah tiba di sini. Kau jangan salah sangka dulu, Lora. Sungguh, aku tak tahu apapun tentang perjodohan ini.”“Pulang kerja, Ayah tiba-tiba mengajakku kemari tanpa memberitahu tujuannya. Aku mengira mungkin ingin membahas pekerjaan atau proyek baru.”“Tiba di rumah ini aku langsung bermain dengan Twins, sedangkan Ayah sedang membahas sesuatu dengan orang tuamu. Aku tak tahu apa yang mereka bahas.”“Setelah anak-anak masuk kamar karena jadwalnya tidur, aku pun bergabung dengan mereka dan barulah aku tahu tentang perjodohan ini,” jelasnya runtut.Lora mendengus keras dan memalingkan wajahnya menghadap depan. “Bohong banget! Tadi Om Albern bilang udah membicarakannya padamu. Nggak usah mengelak, Kak!”Grissham tersenyum tipis tanpa mengalihkan perhatiannya dari Lora. “Ay
“Nah, ini anaknya udah datang,” ucap Bu Radha yang tersenyum menyambut kedatangan putri-putrinya. Lora mencium tangan Pak Albern dan bersalaman biasa dengan Grissham diikuti oleh Florence. “Kak Sham dari kapan ke sininya? Udah lama?” tanyanya bermaksud menyapa dengan posisi yang masih berdiri.“Sudah dari tadi bahkan aku sempat bermain dengan Twins. Kau terlalu asyik menyendiri sampai-sampai tak tahu kedatanganku,” jawab Grissham. Lora menyengir hingga menampilkan giginya yang rapi. “Nggak menyendiri juga. Aku tadi ada perlu sama Florence.”Mendengar itu, Grissham beralih menatap Florence yang terlihat menempel pada Lora. “Wah… kalian sudah akur ceritanya ini?”Florence mengangguk dengan penuh senyum seraya memeluk lengan Lora yang memiliki postur tubuh lebih tinggi darinya.“Tentu saja, kami kan saudara. Ya kan, Lora?” tanyanya yang dijawab anggukan kecil oleh Lora. Grissham mengacungkan jempolnya ke arah dua perempuan itu. “Bagus bagus, begitu kek dari kemarin. Jadi lebih enak d
"Kenapa? Apa kamu nggak setuju aku pulang besok? Kamu maunya aku pulang malam ini juga?" Lora menatap sejenak tangannya yang masih ditahan oleh Florence. Raut wajahnya berubah menjadi tidak enak. "Maaf, Flo, aku nggak bisa kalau harus pulang malam ini. Aku nggak pulang sendirian, tapi bersama anak-anakku.”“Nggak baik membawa mereka pulang malam-malam begini apalagi kan perjalannya jauh. Ayah sama Ibun juga pastinya nggak akan mengizinkan. Tolong pengertiannya, ya, Flo," ucapnya.Florence langsung melepaskan cekalannya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali sambil menggerakkan tangan. "Enggak enggak, bukan begitu, Lora. Kamu nggak harus pergi dari sini baik sekarang maupun besok atau ke depannya. Tinggallah di rumah ini, Lora.”“Kamu jauh lebih pantas dan berhak dibandingkan aku yang bukan siapa-siapa. Bahkan hubungan darah pun aku nggak punya." Perempuan itu maju selangkah dengan tatapan sendu. "Aku minta maaf atas keegoisanku selama ini. Ya, kamu benar. Kehadiranmu di ru
"Apa kamu mau rujuk kembali dengan Dhafin?" Pertanyaan itu terus saja terngiang-ngiang dalam benaknya walaupun sudah lewat beberapa hari. Lora tidak memberikan jawaban apapun. Ia sendiri bingung bagaimana menyikapinya. Ini terlalu mendadak untuknya. Permintaan maaf dari sang mantan mertua saja sudah membuatnya tercengang apalagi ditambah dengan tawaran itu. Atau mungkin bisa disebut sebagai lamaran? Mengingat Bu Anita sendiri yang mengutarakan hal tersebut. "Kamu nggak harus menjawabnya sekarang, Nak. Dipikirkan dulu matang-matang. Kami nggak akan memaksa," ujar ibunya Dhafin waktu itu. Bu Anita dan yang lainnya memang tidak menuntut jawaban detik itu juga. Namun, tetap saja mereka pasti menunggu jawaban darinya. Ia bisa melihat ada harapan besar yang terpancar di wajah mereka khususnya bagi Dhafin. Rasanya jadi tidak enak bila memberikan jawaban yang mengecewakan.RujukSatu kata yang tak pernah terlintas sedikitpun dalam pikirannya. Sekarang Dhafin sendiri yang menginginkan r
Bu Anita memandang ke arah bawah, tidak berani menatap Lora. Dirinya merasa bersalah pernah menuduh wanita itu selingkuh. Ia sebenarnya tidak ingin membahas hal ini yang malah membuat Lora sulit memaafkannya. Namun, Dhafin sendiri yang malah memancing sehingga mau tak mau mereka harus menjelaskan semuanya. “Maafkan Mama, Lora. Waktu itu Mama terpengaruh dengan perkataan Freya.”Lora mengeraskan rahangnya dengan tangan terkepal kuat. Tatapan matanya berubah dingin. Freya sudah benar-benar kelewatan dengan membuat tuduhan tak bermutu. Bukan hanya dirinya yang kena, tetapi juga menyangkut putrinya. Tuduhan itu pastinya membuat orang tua Dhafin ikut membenci Zora karena dikira bukan cucu kandung mereka. Jelas, Lora tidak terima!Wanita itu memejamkan mata sejenak berusaha menekan emosinya kuat-kuat lalu kembali menatap serius orang tua Dhafin. “Ma, Pa, aku sama sekali nggak pernah selingkuh sama siapapun. Dengan segala sikapnya Mas Dhafin kepadaku, aku nggak berniat menduakan dan me