Zelda tersenyum. “Kamu tenang aja. Aku udah bilang ke mereka kalau aku ada acara keluarga di luar kota yang wajib dihadiri. Orang tuaku juga sedang ke luar kota sekarang meski dengan urusan yang berbeda.” “Aku udah kasih pesan ke para pekerja di rumah jika ada orang yang datang, bilang aja semuanya sedang pergi ke luar kota karena ada acara keluarga. Jadi, dijamin aman,” jelasnya sambil mengacungkan kedua jempol.Naina terperangah dan menggelengkan kepala takjub. “Wow! Ternyata kamu udah mempersiapkannya dengan matang, ya.”“Pastinya dong. Aku udah memprediksi semua itu,” balas Zelda semangat.Naina melihat ke arah jalanan lewat jendela samping kiri. Ia mengerutkan kening ketika menyadari arah jalannya menuju luar kota. “Kita mau kemana?” tanyanya kembali menatap Zelda.“Ke rumah Uncle Albern.”“Tapi ini kok kayak mau ke–” “Luar kota?” potong Zelda yang dijawab anggukan oleh Naina.“Rumah Uncle memang ada di daerah pinggiran kota. Aku yakin Dhafin nggak akan mencarimu sampai di san
“Siapa yang wanita yang kau bawa itu Albern?” Semua orang menoleh ke arah sumber suara, tak terkecuali Naina. Tak jauh dari posisi mereka, ada seorang wanita tua yang berdiri tegap. Ia masih tampak sehat dan bugar. Meski terdapat banyak kerutan, wajahnya terlihat masih cantik di usianya yang senja. Pakaian yang dikenakan pun sederhana, tetapi tampak elegan dan pas sesuai usia. Hanya daster batik panjang dilengkapi dengan kerudung yang menutupi rambutnya. Meskipun begitu, sudah dipastikan harganya bukan kaleng-kaleng. Naina menebak jika beliau merupakan ibu dari Tuan Albern. Ia mengerutkan keningnya merasa terheran-heran. Benarkah dirinya akan menjadi perawat untuk wanita tua itu? Namun, beliau kelihatannya masih sehat-sehat saja. “Apa kau membawa istri baru atau wanita simpananmu ke sini?” Zelda berdiri dan menghampiri wanita itu. “Bukan, Oma. Dia itu sahabatku.” Naina tersenyum sopan dan langsung beranjak dari duduknya lantas mencium tangan wanita tua itu dengan taw
“Emm….” Naina mengarahkan kedua bola matanya ke atas tanda berpikir, kemudian menggeleng. “Nggak ada sih. Aku bahkan jarang posting. Paling cuma story aja.”Zelda manggut-manggut paham. “Nanti aku bakal bantu kamu menghapus akunnya, oke?”“Iya, aku serahkan semuanya sama kamu. Asalkan nggak membuatmu repot aja.”Zelda tertawa kecil. “Ya, enggak lah, Naina. Kamu ini masih aja nggak enakan.”Naina hanya membalas dengan senyuman manis saja.“Sebelum ke rencana selanjutnya. Aku mau tanya sama kamu sekali lagi.” Zelda menatap Naina dengan raut wajah serius.“Apa kamu yakin dengan keputusanmu yang akan menggugat cerai Dhafin?” tanyanya. Naina terdiam selama beberapa detik. Ia menarik napas dalam-dalam lantas mengangguk mantap. “Yakin!”“Baiklah, lalu berkas-berkasnya udah siap belum?” tanya Zelda lagi. “Udah ada.” Naina beranjak untuk mengambil dokumen penting dari dalam lemari pakaian yang sudah ditata. Ia lantas menunjukkannya kepada Zelda.“Ini aku udah fotokopi semuanya. Untuk buku ni
Naina terbungkam dengan kepala tertunduk. Tebakan Oma Hira sangat tepat sasaran. Ia tidak tahu harus menjawab apa, takut salah bicara yang membuat Oma Hira semakin tidak menyukai. Oma Hira mengangguk paham. “Baiklah, aku mengizinkanmu tinggal di sini selama beberapa hari. Setelah itu, kau harus kembali kepada suamimu. Kalau bisa secepatnya.”Wanita tua itu lantas bangkit dari duduknya karena telah menyelesaikan makan malam. “Oma pamit ke kamar duluan. Selamat malam.”“Tapi Oma–”Ucapan Zelda terpotong ketika Oma mengangkat sebelah tangannya kemudian berlalu meninggalkan meja makan. “Ibu memang sangat membenci yang namanya perceraian,” ucap Tuan Albern lantas ikut beranjak pergi.Deg!Naina semakin menunduk seraya meremas jemarinya yang berkeringat. Hatinya mencelos. Sama seperti Tuan Albern, Oma memintanya kembali kepada Dhafin. Namun, dirinya sungguh-sungguh tidak ingin kembali. Mendengar namanya saja ia sudah bergetar ketakutan.Zelda menggenggam tangan Naina. “Oma bilang sepert
“Kan Mbak Nai udah klarifikasi,” ucap Mira menyahuti ucapan Gayatri sebelumnya. “Tapi berita itu memang ndak bener kan, Mbak?” tanya Gayatri kepada Naina untuk mengonfirmasi langsung. “Tidak! Saya difitnah,” jawab Naina tegas membuat semuanya mengucapkan syukur serentak.“Iya, sih. Tuan Albern nggak mungkin membawa seseorang tanpa tau seluk-beluknya. Kita aja masuk ke sini pakai seleksi ketat,” timpal Arum.“Udah, nggak usah bahas masalah itu. Kasihan Mbak Nai jadi keingat,” kata Mira.Naina tersenyum. “Makasih pengertiannya.”“Sama-sama, Mbak Nai,” balas mereka bebarengan kemudian melanjutkan kegiatannya untuk memasak sarapan.“Kalian mau masak apa? Boleh saya membantu?” tanya Naina menawarkan bantuan. Ia melihat mereka yang sepertinya sudah memiliki tugas masing-masing.“Jangan, Mbak, ndak usah,” tolak Gayatri.Seketika, raut wajah Naina berubah sedih. “Kenapa? Apa kalian takut makanannya akan saya kasih racun?”Wanita itu kembali teringat kejadian dimana dirinya dituduh memasukka
“Mbak Nai mau pergi ke sana sendirian atau perlu diantar?”Pertanyaan dari Mira itu membuat Naina sedikit tersentak. “Diantar saja, saya takut kesasar. Tunggu, ya, Mbak. Saya bersiap-siap dulu.”Tak membutuhkan waktu lama, Naina sudah selesai. Ia menutup pintu kamarnya lalu mengikuti langkah Mira menuju arah kolam renang.Selama perjalanan, Naina memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dihadapinya ketika bertemu dengan Oma Hira. Ia menjadi overthinking sendiri. Apakah Naina melakukan kesalahan lagi? Apakah Oma Hira akan berubah pikiran dan malah mengusirnya? Kalau itu beneran terjadi, bagaimana selanjutnya?“Mbak Nai nggak perlu khawatir. Oma nggak gigit kok. Saya tadi melihat raut wajah Oma kelihatannya bersahabat. Insyaallah, aman,” kata Mira.Naina tidak menyahut. Ia masih terlarut dalam pikirannya sendiri.Sampai di teras samping rumah, Mira menunjuk ke arah satu gazebo yang sudah ditempati Oma Hira.“Itu Oma di sana. Kalau gitu saya pamit, ya. Semangat, Mbak Nai,
“Saya merasa tidak aman, Oma. Sudah cukup putra saya yang menjadi korban.” Naina mengangkat kepala membalas tatapan Oma Hira.“Saya tidak ingin anak yang ada dalam kandungan saya ini bernasib sama dengan kakaknya. Saya ingin menyelamatkan diri dulu,” ujarnya seraya mengusap perut.Oma Hira menangguk paham. Sorot matanya terlihat sendu. “Apa karena itu kau ingin bercerai, Nak?”“Iya, Oma.”Oma Hira memegang tangan Naina. “Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik? Apalagi kan kamu sedang hamil.” Naina menggeleng dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Saya merasa lelah, Oma. Mas Dhafin menerima perjodohan dengan Freya, mantannya.”“Mereka bahkan akan melangsungkan pertunangan dalam waktu dekat. Mas Dhafin sangat mencintai Freya.”“Saya ini hanya istri pengganti yang hanya dijadikan bayang-bayang masa lalunya. Saya tidak lagi dibutuhkan. Selain itu…”Dengan suara bergetar menahan tangis, Naina pun menceritakan semua perlakuan yang ia dapatkan selama berada di rumah mertuanya. Rasa sesak
“Naina, apa kamu yakin ingin bercerai dari Dhafin, Nak? Pikirkan sekali lagi. Oma nggak ingin kamu menyesal nantinya.”Naina menatap lekat-lekat kertas yang berisi gugatan cerai di tangannya. Ia membaca satu-perasatu kalimat yang tertera di sana. Hari yang dinanti pun tiba. Hari dimana Naina harus menandatangani surat perceraian yang dirinya ajukan beberapa hari yang lalu. Ia memejamkan mata sejenak lalu menarik napas dalam-dalam. “Yakin, Oma, karena ini kutunggu-tunggu.”Naina meletakkan kertas itu di atas meja kemudian meraih bolpoin bertinta hitam di dekatnya. Jantung yang berdetak sangat cepat membuatnya dilingkupi rasa gugup luar biasa.Saat akan membubuhkan tanda tangan, tangannya tremor dan gemetaran hebat. Keringat dingin membasahi wajahnya disertai napas yang terdengar memburu.Zelda segera memegang tangan Naina dan meletakkan bolpoin. “Ada apa denganmu, Nai?” tanyanya panik.Naina menggeleng. Ia juga tidak mengerti kenapa tubuhnya bereaksi sedemikian rupa. Perasaannya tib
“Sayang….”Suara halus nan lembut yang menyapa indera pendengaran disertai dengan sentuhan di tangan membuat Lora tersentak kaget. Lamunannya tentang kejadian dua hari yang lalu itu seketika buyar.Ia melihat ke arah tangannya di pangkuan yang berada dalam genggaman tangan besar dan putih, lalu beralih menatap Grissham yang juga tengah memandangnya. Menyadari jika mobil telah berhenti, Lora pun mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ternyata mereka sudah tiba di parkiran rumah sakit, melihat beberapa mobil yang berjejer di depan dan sampingnya.“Kenapa? Aku melihatmu sejak tadi melamun selama perjalanan. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, hm?” tanya Grissham lembut seraya mengusap punggung tangan Lora.Lora menggigit bibir bawahnya pelan, mempertimbangkan apakah harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Namun, dirinya tidak bisa berbohong di hadapan Grissham.Ia menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata sejenak sebelum menoleh ke samping. “Aku kepikiran tentang pert
“Apa kamu juga masih berharap... kita bisa utuh lagi?” Pertanyaan itu masih terngiang jelas di benak Lora, meski sudah dua hari berlalu sejak Dhafin mengucapkannya. Suara Dhafin terdengar lembut, tetapi sarat akan makna. Layaknya bisikan yang tak ingin hilang, justru semakin melekat setiap kali ia mencoba melupakannya. Bukan. Bukan harapan untuk kembali yang menghantui Lora sekarang. Bukan karena ia masih menyimpan keinginan untuk mengulang masa lalu yang telah mereka kubur bersama luka. Ia tahu, tak semua yang retak bisa disatukan kembali hanya dengan kata “maaf” atau “mari kita mulai lagi.” Ada kenangan yang terlalu pahit untuk dikembalikan, ada luka yang terlalu dalam untuk benar-benar pulih. Namun, dari satu kalimat itu, Lora justru menangkap sesuatu yang tak terduga, bahwa ternyata Dhafin masih menyimpan harapan dan belum sepenuhnya melepaskan. Bahwa di balik sikap tenangnya selama ini, rupanya ada keinginan yang belum padam. Keinginan untuk merajut ulang sesuatu yang pern
Lora membantu Azhar duduk di sisi kanan neneknya, sementara Amina membantu Zora duduk di sisi kiri. Kini, si kembar berada di samping kanan-kiri Bu Anita, seperti dua permata yang menerangi hatinya.“Zora, cucu Oma yang cantik,” ucap Bu Anita sambil memeluk dan mencium kepala Zora yang dihiasi kunciran dua.Lalu, ia beralih ke Azhar, memeluk tubuh mungil cucu laki-lakinya dan menciumi wajahnya dengan penuh kasih. “Gemes banget sama cucu Oma yang paling ganteng ini.”Lora hanya tersenyum menyaksikan pemandangan itu. Ada rasa hangat mengalir dalam dadanya. Ia lalu duduk di kursi samping ranjang, sementara Amina memilih tempat di sofa. Keputusan untuk membawa si kembar ke sini terasa begitu tepat. Setidaknya, kehadiran mereka mampu menghibur Bu Anita dan mengusir kesepian yang mungkin menyelimuti.“Kalian berangkatnya dari rumah?” tanya Bu Anita sambil menatap si kembar secara bergantian.Ia mencium aroma khas tubuh anak-anak yang baru selesai mandi—wangi bedak bayi masih melekat, terle
“Bagaimana keadaan mantan ibu mertuamu?”Lora yang semula fokus pada piring sarapannya beralih menatap sang ibu. Ia mempercepat kunyahannya, lalu menelan makanan sebelum berbicara. “Ya, begitulah, Bun.”“Masih sering mengeluh sakit perut bagian bawah. Kata Mas Dhafin, lusa dijadwalkan operasi pengangkatan tumor supaya nggak semakin menyebar,” jawabnya dengan nada khawatir.Bu Radha manggut-manggut paham. Ia sudah mendengar kabar tentang kondisi Bu Anita. Wajahnya memancarkan ekspresi prihatin. “Tumor ganas di rahim, apalagi sudah masuk stadium tiga, itu kondisi yang cukup serius. Pada tahap ini, sel kanker biasanya sudah menyebar ke jaringan sekitar atau bahkan ke kelenjar getah bening di sekitarnya.”Ia menghela napas sejenak sebelum melanjutkan, “makanya, operasi pengangkatan tumor memang langkah yang tepat.”“Biasanya, dokter akan mengangkat rahim dan jaringan yang terdampak agar penyebaran kanker bisa dicegah. Kadang juga dibarengi kemoterapi atau terapi lain, tergantung tingkat
Suasana dalam ruangan tiba-tiba terasa begitu berat. Seolah udara mendadak menipis, meninggalkan mereka dalam keheningan yang menyesakkan. Lora menatap Bu Anita dengan perasaan campur aduk. Wanita itu masih berusaha tersenyum, meski jelas terlihat ada kepedihan yang berusaha ia sembunyikan. “Iya, Lora, aku bahkan baru mengetahuinya.” Dhafin akhirnya bersuara setelah beberapa menit terdiam. Suaranya terdengar lelah. Ia menundukkan kepala, menatap jemarinya yang saling bertaut di pangkuan. “Mama begitu rapi menyembunyikan penyakit itu dari kita semua.” Pria itu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Kata orang rumah, beberapa hari terakhir Mama sering mengeluh sakit perut. Aku sempat mengira itu hanya gangguan pencernaan biasa.” Tatapannya kemudian mengabur seakan-akan mengingat kejadian yang masih terekam jelas dalam benaknya. “Tapi saat jalan-jalan sama si kembar kemarin, aku mendapat telepon mendadak. Katanya Mama pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit.” Rahangnya
Lora menelan ludah, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu dalam suara Dhafin yang membuatnya tak bisa menolak. Dengan langkah ragu, ia mengikuti Dhafin yang membuka pintu. Aroma khas rumah sakit langsung menyergap hidung begitu dirinya memasuki ruangan. Ruangan itu diterangi cahaya lampu temaram, memberikan kesan tenang namun juga penuh dengan kenangan yang menyesakkan. Di tengah ruangan, Bu Anita terbaring dengan tubuh lemah, selang infus masih terpasang di tangannya. Matanya terpejam, napasnya teratur meski tampak sedikit berat. Lora melangkah lebih dekat hingga berdiri di samping tempat tidur. Matanya menatap lekat wajah pucat Bu Anita—wanita yang dulu pernah bersikap semena-mena padanya, kini tampak begitu rapuh dan tak berdaya. Ada perasaan aneh yang menyeruak di dadanya. Bukan kebencian, bukan pula kepuasan melihat keadaan mantan mertuanya seperti ini. Yang ada justru sesak yang sulit dijelaskan. Ini adalah sisi lain dari Bu Anita, yang tak pernah ia
Grissham mengangkat bahunya dengan gerakan yang ringan, seakan tak terlalu memperdulikan topik yang sedang dibicarakan. Ia menghembuskan napas pelan sebelum kembali menatap Lora dengan sorot mata yang tenang namun dalam. “Karena aku sadar, Twins butuh ayah kandungnya, begitu pula sebaliknya. Aku tidak bisa egois hanya karena perasaan pribadiku.” Laki-laki itu meraih gelas jus di depannya, mengaduk isinya dengan sedotan tanpa benar-benar berniat meminumnya. Ada sedikit ketegangan di wajahnya, tetapi senyumnya tetap terukir tipis. “Aku ingin menjadi bagian dari mereka, tapi bukan dengan menghalangi hubungan mereka dengan Dhafin,” lanjutnya dengan suara lembut. Lora terdiam sejenak, meresapi kata-kata itu. Ia menggenggam tangan Grissham di atas meja, meremasnya lembut. “MasyaAllah... Kak Sham baik banget,” ucapnya dengan suara penuh ketulusan. Grissham tersenyum kecil, ibu jarinya mengusap punggung tangan Lora dengan lembut. “Bagiku, kebahagiaanmu dan anak-anak adalah yang paling u
[Lora, Mama sedang sakit dan sangat ingin bertemu denganmu. Bisakah kau menemui Mama?]Lora hanya membaca pesan yang dikirimkan oleh Dhafin beberapa menit lalu tanpa ada niatan untuk membalas.Raut wajah dan tatapannya datar terkesan jengah. Dalam hati, ia merasa jengkel dengan Dhafin yang tak berhenti mengusiknya.Bukannya Lora tidak percaya bila ibunya Dhafin sedang sakit. Hanya saja dari sekian banyaknya orang, kenapa Bu Anita ingin bertemu dengannya? Apa yang sebenarnya beliau inginkan?“Sayang….”Panggilan dengan suara lembut itu berhasil membuat Lora sedikit tersentak. Ia mengangkat kepala, mengalihkan tatapannya pada Grissham yang duduk di hadapannya.“Ada apa? Kenapa wajahmu cemberut begitu?” Grissham menyadari perubahan ekspresi Lora sesaat setelah membaca sesuatu dalam ponselnya.Lora keluar dari ruang obrolan bersama Dhafin dan langsung menutup aplikasi pesan. “Ini Mas Dhafin ngechat katanya Mama sakit dan ingin menemuiku. Dia minta aku menemui Mama.”“Lalu kau menjawab apa
Dhafin mendaratkan tubuhnya di kursi tunggu depan kamar inap setelah kepergian dokter. Kakinya terasa lemas hingga tak mampu lagi menopang bobot tubuhnya.Matanya yang tajam itu menatap kosong ke lantai rumah sakit. Apa yang baru saja disampaikan oleh dokter membuatnya seketika terkejut sekaligus syok.Dunianya seakan runtuh mengetahui fakta tak terduga yang selama ini disembunyikan oleh sang ibu.Kata-kata tentang penyakit parah yang diderita sang ibu menggema di kepalanya, berulang-ulang, seolah menolak untuk diterima. Dadanya terasa sesak, napasnya pendek dan berat. Tangannya yang bertumpu di pahanya mengepal gemetar tanpa disadari.Dhafin merasa marah pada kenyataan yang begitu kejam. Kenapa ibunya harus menghadapi ini sendirian? Kenapa ia tidak diberi tahu sejak awal?Ada rasa bersalah yang tiba-tiba menyergapnya, menghantam dirinya tanpa ampun. Seharusnya Dhafin lebih peka, seharusnya ia menyadari ada sesuatu yang disembunyikan ibunya selama ini.Pria itu menjambak rambutnya fr