Anaknya kembar!Iya, Dhafin akan mempunyai anak kembar. Pantas saja perut Naina terasa agak gimana gitu saat ia menyentuhnya. Ia merasakan ada sedikit tonjolan di sana meski dari luar tampak datar. Dan juga didukung dengan pakaian Naina yang selalu longgar.Dhafin menyunggingkan senyum tipis sambil mengusap lembut foto itu. Di dalam rahim Naina, ada dua anak yang sedang tumbuh dan berkembang. Tubuh mereka terlihat sudah terbentuk walaupun masih sangat kecil.Ada rasa yang sulit dijelaskan saat mengetahui fakta itu. Lagi-lagi Naina menyembunyikannya bahkan sudah selama itu. Jujur, ia merasa sedikit kecewa.Sebegitu tidak pentingnya kah Dhafin di mata Naina sampai-sampai hal sebesar ini disembunyikan?Ia ayahnya yang jelas mempunyai hak untuk tahu. Jika Naina tidak ingin memberitahukan kepada yang lain, dirinya tidak masalah. Setidaknya ia harus mengetahuinya lebih dulu.Dhafin menghela napas lalu menyandarkan tubuhnya. Ia teringat ketika pertama kali mengunjungi Naina. Tujuan utamany
“Nggak, Ma.” Dhafin menggeleng pelan lantas duduk di sofa single. “Aku ada pekerjaan di luar kantor sekalian mengunjungi kantor cabang.”Tentu saja jawabanya itu hanya kebohongan belaka. Dhafin memang belum memberitahu orang tuanya tentang Naina. Ia tidak menjamin mereka bakal senang dan antusias, mengingat Naina bukan menantu yang diinginkan.Ditambah lagi kini Naina kembali menghilang. Jadi, lebih baik ia merahasiakannya saja.“Mengunjungi kantor cabang?” Bu Anita mengerutkan keningnya tampak terheran-heran. “Ayahmu tidak bilang apapun mengenai kunjungan itu. Bukannya udah ada jadwalnya sendiri?” tanyanya.“Aku memang sengaja datang diluar jadwal, Ma, untuk melihat bagaimana kinerja mereka. Kalau diberitahu dulu, pastinya mereka akan melakukan persiapan dan tak jarang memanipulasi kenyataan yang ada.”Dhafin memberikan penjelasan yang masuk akal membuat sang ibu tampaknya langsung percaya.“Baguslah, memang lebih baik kamu jangan mencari Naina biar dia jadi gelandangan sekalian. D
Mobil merah dengan merek ternama itu melaju kencang membelah jalan raya Ibu Kota yang cuacanya sangat terik ini. “Hahaha…. Akhirnya kita terbebas dari si Dhafin.” Zelda tertawa puas dan merasa lega. “Tadi itu menegangkan banget tau nggak. Kamu juga jalannya cepat sampai-sampai membuat perutku kram.” Naina yang duduk di samping Zelda menyahut. Tangannya memegangi perutnya yang terasa kram. “Baru juga keluar rumah sakit, bisa-bisa masuk lagi.” Zelda terkekeh kecil lantas menunduk dan mengusap perut Naina. “O-ow… aku lupa ada keponakanku di sini. Aunty minta maaf, ya, Twins.” Ia kembali menatap Naina. “Aku melakukan itu biar kita nggak bertemu Dhafin.” “Aku tau.” Naina menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskannya perlahan untuk meredakan kram di perutnya. Begitu terus hingga merasa lebih baik. “Masih kram?” tanya Zelda dengan nada khawatir. Naina menggeleng. “Udah mendingan.” “Alhamdulillah… aku bakal merasa bersalah banget kalau kamu kenapa-napa lagi gara-gara aku.”
Zelda tersenyum. “Kamu tenang aja. Aku udah bilang ke mereka kalau aku ada acara keluarga di luar kota yang wajib dihadiri. Orang tuaku juga sedang ke luar kota sekarang meski dengan urusan yang berbeda.” “Aku udah kasih pesan ke para pekerja di rumah jika ada orang yang datang, bilang aja semuanya sedang pergi ke luar kota karena ada acara keluarga. Jadi, dijamin aman,” jelasnya sambil mengacungkan kedua jempol.Naina terperangah dan menggelengkan kepala takjub. “Wow! Ternyata kamu udah mempersiapkannya dengan matang, ya.”“Pastinya dong. Aku udah memprediksi semua itu,” balas Zelda semangat.Naina melihat ke arah jalanan lewat jendela samping kiri. Ia mengerutkan kening ketika menyadari arah jalannya menuju luar kota. “Kita mau kemana?” tanyanya kembali menatap Zelda.“Ke rumah Uncle Albern.”“Tapi ini kok kayak mau ke–” “Luar kota?” potong Zelda yang dijawab anggukan oleh Naina.“Rumah Uncle memang ada di daerah pinggiran kota. Aku yakin Dhafin nggak akan mencarimu sampai di san
“Siapa yang wanita yang kau bawa itu Albern?” Semua orang menoleh ke arah sumber suara, tak terkecuali Naina. Tak jauh dari posisi mereka, ada seorang wanita tua yang berdiri tegap. Ia masih tampak sehat dan bugar. Meski terdapat banyak kerutan, wajahnya terlihat masih cantik di usianya yang senja. Pakaian yang dikenakan pun sederhana, tetapi tampak elegan dan pas sesuai usia. Hanya daster batik panjang dilengkapi dengan kerudung yang menutupi rambutnya. Meskipun begitu, sudah dipastikan harganya bukan kaleng-kaleng. Naina menebak jika beliau merupakan ibu dari Tuan Albern. Ia mengerutkan keningnya merasa terheran-heran. Benarkah dirinya akan menjadi perawat untuk wanita tua itu? Namun, beliau kelihatannya masih sehat-sehat saja. “Apa kau membawa istri baru atau wanita simpananmu ke sini?” Zelda berdiri dan menghampiri wanita itu. “Bukan, Oma. Dia itu sahabatku.” Naina tersenyum sopan dan langsung beranjak dari duduknya lantas mencium tangan wanita tua itu dengan taw
“Emm….” Naina mengarahkan kedua bola matanya ke atas tanda berpikir, kemudian menggeleng. “Nggak ada sih. Aku bahkan jarang posting. Paling cuma story aja.”Zelda manggut-manggut paham. “Nanti aku bakal bantu kamu menghapus akunnya, oke?”“Iya, aku serahkan semuanya sama kamu. Asalkan nggak membuatmu repot aja.”Zelda tertawa kecil. “Ya, enggak lah, Naina. Kamu ini masih aja nggak enakan.”Naina hanya membalas dengan senyuman manis saja.“Sebelum ke rencana selanjutnya. Aku mau tanya sama kamu sekali lagi.” Zelda menatap Naina dengan raut wajah serius.“Apa kamu yakin dengan keputusanmu yang akan menggugat cerai Dhafin?” tanyanya. Naina terdiam selama beberapa detik. Ia menarik napas dalam-dalam lantas mengangguk mantap. “Yakin!”“Baiklah, lalu berkas-berkasnya udah siap belum?” tanya Zelda lagi. “Udah ada.” Naina beranjak untuk mengambil dokumen penting dari dalam lemari pakaian yang sudah ditata. Ia lantas menunjukkannya kepada Zelda.“Ini aku udah fotokopi semuanya. Untuk buku ni
Naina terbungkam dengan kepala tertunduk. Tebakan Oma Hira sangat tepat sasaran. Ia tidak tahu harus menjawab apa, takut salah bicara yang membuat Oma Hira semakin tidak menyukai. Oma Hira mengangguk paham. “Baiklah, aku mengizinkanmu tinggal di sini selama beberapa hari. Setelah itu, kau harus kembali kepada suamimu. Kalau bisa secepatnya.”Wanita tua itu lantas bangkit dari duduknya karena telah menyelesaikan makan malam. “Oma pamit ke kamar duluan. Selamat malam.”“Tapi Oma–”Ucapan Zelda terpotong ketika Oma mengangkat sebelah tangannya kemudian berlalu meninggalkan meja makan. “Ibu memang sangat membenci yang namanya perceraian,” ucap Tuan Albern lantas ikut beranjak pergi.Deg!Naina semakin menunduk seraya meremas jemarinya yang berkeringat. Hatinya mencelos. Sama seperti Tuan Albern, Oma memintanya kembali kepada Dhafin. Namun, dirinya sungguh-sungguh tidak ingin kembali. Mendengar namanya saja ia sudah bergetar ketakutan.Zelda menggenggam tangan Naina. “Oma bilang sepert
“Kan Mbak Nai udah klarifikasi,” ucap Mira menyahuti ucapan Gayatri sebelumnya. “Tapi berita itu memang ndak bener kan, Mbak?” tanya Gayatri kepada Naina untuk mengonfirmasi langsung. “Tidak! Saya difitnah,” jawab Naina tegas membuat semuanya mengucapkan syukur serentak.“Iya, sih. Tuan Albern nggak mungkin membawa seseorang tanpa tau seluk-beluknya. Kita aja masuk ke sini pakai seleksi ketat,” timpal Arum.“Udah, nggak usah bahas masalah itu. Kasihan Mbak Nai jadi keingat,” kata Mira.Naina tersenyum. “Makasih pengertiannya.”“Sama-sama, Mbak Nai,” balas mereka bebarengan kemudian melanjutkan kegiatannya untuk memasak sarapan.“Kalian mau masak apa? Boleh saya membantu?” tanya Naina menawarkan bantuan. Ia melihat mereka yang sepertinya sudah memiliki tugas masing-masing.“Jangan, Mbak, ndak usah,” tolak Gayatri.Seketika, raut wajah Naina berubah sedih. “Kenapa? Apa kalian takut makanannya akan saya kasih racun?”Wanita itu kembali teringat kejadian dimana dirinya dituduh memasukka