Dhafin terduduk di pinggiran ranjang masih mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Ia senantiasa menatap tespack itu lekat-lekat. Naina hamil. Naina sedang mengandung anaknya. Akan tetapi, kenapa tidak memberitahunya? Kini, Naina pergi entah kemana dengan membawa serta benih di rahimnya. Ia benar-benar tidak menyangka istrinya itu berani berbuat nekat. Setelah semalam minta cerai, kemudian malah kabur. Naina pikir, dirinya akan terbebas begitu saja? Tentu tidak! Dhafin berjanji, akan membawa Naina kembali ke rumah ini bagaimanapun caranya. Naina harus berada dalam genggamannya. Tiba-tiba, Dhafin teringat dengan seorang perempuan yang selama ini menjadi sahabat istrinya. Mungkinkah Naina berada di tempat sahabatnya itu? Sepertinya iya. Siapa lagi orang yang akan dituju Naina kalau bukan sahabatnya? Naina tidak memiliki siapapun di dunia ini. Wanita itu hidup sebatang kara tanpa orang tua dan menumpang hidup di rumah Freya sebelum berakhir menikah dengannya.
Naina beringsut duduk dibantu oleh suster. Ia menatap dokter laki-laki di sampingnya dengan raut wajah cemas. Jantungnya berdebar-debar menunggu jawaban dari sang dokter. “Ibu mengalami pendarahan hebat. Untung saja anda segera dibawa ke rumah sakit sehingga langsung mendapatkan penanganan.” Naina dibuat sangat syok mendengar penjelasan dokter. Hatinya mencelos. Jantungnya semakin memompa cepat. “Lalu janin saya....” Ucapannya menggantung. Suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Ia tidak sanggup membayangkan bagaimana kalau dirinya kembali kehilangan. Anak ini satu-satunya yang menjadi harapannya untuk tetap bertahan hidup. Dokter mengulas senyum tipis seolah mengerti kekhawatiran pasiennya. “Alhamdulillah, janin ibu bisa diselamatkan.” “Alhamdulillah….” Naina menghembuskan napas lega. Perasaannya seketika plong. Dalam hati, ia sangat bersyukur. Tuhan masih baik kepadanya dengan tidak mengambil calon buah hatinya. “Tapi sekarang ini kandungan ibu sangat rentan keguguran. Kar
“Aku sangat mencintaimu, Freya. Jangan tinggalkan aku lagi.” Deg! Naina menghentikan langkahnya ketika mendengar ucapan Dhafin yang menyerupai gumaman. Ia berdiri dengan tubuh yang menegang kaku melihat mereka yang saling berpelukan itu. Dadanya seakan dihantam oleh sesuatu yang besar. Butiran bening telah terkumpul di kelopak matanya siap jatuh kapan saja. Belum cukup sampai di situ, Freya melepaskan pelukannya kemudian tanpa diduga mencium bibir Dhafin. Awalnya, Dhafin tampak terkejut, tetapi lama-kelamaan menikmati dan ikut membalas. Terlihat dari caranya yang memegang pipi dan tengkuk Freya semakin memperdalam ciuman. Sontak, air mata Naina jatuh tanpa permisi. Jantungnya berdetak cepat tanpa bisa dikendalikan. Dadanya sangat sesak menyaksikan langsung sang suami mencium mesra mantan kekasihnya. Ya Tuhan…. sakit sekali. Ia menggenggam kuat-kuat testpack di tangannya. Rencananya yang ingin memberikan kejutan, malah ia yang dibuat terkejut. Pantas saja suaminya p
Naina menarik napasnya dalam-dalam untuk mengurangi rasa sesak dalam dadanya. Ia menatap miris sang putra yang masih menangis hingga suaranya serak.Sepertinya ini menjadi puncak kesabaran Altair menghadapi sikap sang ayah sehingga sangat susah dibujuk.“Kamu ini gimana sih? Anak nangis bukannya ditenangkan malah dibiarkan.” Sang ibu mertua akhirnya turun tangan. Ia berjalan menghampiri Altair.“Udah, Ma. Aku udah membujuk, tapi Altair tetep nggak mau.” Naina senantiasa mengusap punggung Altair yang bersandar padanya.“Ya, kamu harusnya cari cara dong. Pakai alternatif lain atau apa kek. Kasihan cucuku nangis terus dari pagi. Jadi ibu kok nggak becus banget.”Jleb sekali rasanya. Padahal anaknya yang salah karena melanggar janji, tetapi Naina tetap disalahkan bahkan dibilang tidak becus.“Tapi Altair maunya sama Mas Dhafin, Ma. Udah lama Mas Dhafin nggak main sama Altair.”“Jangan cuma mengandalkan Dhafin doang. Mentang-mentang Altair deketnya sama Dhafin, kamu lepas tangan gitu aja,”
“Apa? Turun?”Wanita yang merupakan petugas rumah sakit itu mendekat ke arah Naina. “Iya, Mbak. Sahamnya lagi turun drastis. Kurang lebih selama tiga hari ini sih.”Naina berdehem pelan untuk menetralkan rasa terkejutnya. “Ibu tau dari mana?”“Dari anak saya yang bekerja di perusahaan itu. Katanya di sana tuh lagi kacau banget, Mbak. Anak saya jadi lebih banyak lembur buat mengatasi masalah itu.”Naina terdiam tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia yakin pasti Dhafin sekarang sedang sibuk mengatasi masalah itu. Dhafin tentunya akan melakukan segala cara untuk mengembalikan nama baik perusahaan.“Anak saya juga bilang kalau masalah ini tuh akibat berita viralnya Mbak. Padahal yang saya tahu, Wirabuana Group itu perusahaan yang bagus banget loh. Nggak nyangka akan menghadapi masalah ini.”Naina membenarkan dalam hati perkataan wanita itu. Wirabuana Group memang salah satu perusahaan ternama yang terkenal sangat bagus. Di mata publik, citranya pun sangat baik seolah tanpa cela sedi
Dhafin yang baru saja kembali dari butik Zelda menghempaskan tubuh di kursi kebesarannya. Matanya terpejam dengan tangan menumpu pada dahi. Tak lama, pintu ruangannya terbuka. Ia membuka mata dan mendapati seorang pria yang menjabat sebagai sekretarisnya berjalan mendekat. “Bagaimana? Ketemu Naina-nya?” tanya pria itu lantas duduk di kursi berhadapan dengannya. Dhafin menggeleng pelan sebagai jawaban. Pencarian Naina memang sedikit terlupakan karena ia sangat subuk mengurusi masalah kantor. Baru hari ini dirinya menyempatkan waktu ke tempat Zelda. “Kenapa kamu harus mencarinya?” “Aku takkan membiarkanya lari begitu saja,” jawab Dhafin datar. Arvan, sahabat sekaligus sekretaris Dhafin, mengetuk-ngetuk meja kaca menggunakan jarinya seperti ingin mengutarakan sesuatu. “Menurutku Naina nggak sepenuhnya salah.” “Maksudmu?” Dhafin menegakkan tubuhnya. “Maksudku bisa dibilang Naina ini sebenarnya korban. Dia nggak berniat membuat semua kekacauan ini.” “Dia bersalah.” Dhafin menatap d
“Apa kamu sengaja ingin mencoreng nama baik keluargaku?”Freya terkejut dengan pertanyaan tak terduga dari Dhafin. Ia yang semula tengkurap di kasur mengubah posisinya menjadi duduk. Raut wajahnya berubah sendu meski Dhafin tidak bisa melihat. “Kenapa kamu bertanya seperti itu? Kamu menuduhku?”“Jawab!.” Suara Dhafin terdengar dingin menandakan kalau pria itu sedang marah. “Aku nggak bermaksud mencoreng nama baik keluargamu, Dhafin. Sama sekali enggak.”“Lalu tujuanmu?”“Aku….” Freya menghela napas berat. “Aku cuma mengungkapkan rasa kecewaku pada Naina yang tega meracuni Altair. Nggak ada maksud lain.”Ia menunduk menatap sendu ke arah jemari di pangkuannya. “Aku menyayangi Altair dengan tulus seperti anakku sendiri. Aku merasa sedih dan kehilangan banget. Baru satu minggu dekat, Altair tiba-tiba meninggal.”Matanya berkaca-kaca. “Rasanya kayak direbut paksa. Dan itu gara-gara Naina. Aku nggak terima, Dhafin. Aku sangat kecewa. Anak sekecil itu harus meninggal di tangan ibunya send
Di waktu yang sama, tetapi di tempat berbeda, Naina baru saja keluar dari kamar mandi dengan dibantu oleh suster. Ia berjalan pelan sambil memegang perutnya menuju ranjang.“Terima kasih sudah membantu saya, Suster,” ucapnya setelah berhasil duduk dengan nyaman di ranjang. “Sama-sama. Kalau ada apa-apa jangan sungkan memanggil kami.” Sang suster tersenyum ramah.Naina mengangguk dan ikut tersenyum. Ia melihat sang suster yang sedang meletakkan infus di tiang samping ranjang lalu mengatur kecepatannya.Suster ini memang berbeda yang sebelumnya dan tentunya jauh lebih ramah. Mungkin berkat ibu pengantar makanan siang tadi yang sudah menginfokan kebenaran pada mereka.Setelah menyelesaikan tugasnya, sang suster pun pamit lantas keluar ruangan meninggalkan Naina yang hendak berbaring. Namun, pintu kembali terbuka membuatnya mengurungkan niat.Di sana, ada Thalia yang tengah menepikan tubuh seolah memberi jalan pada orang lain. Tak lama, muncullah seorang pria bertubuh tinggi dan tegap be
[Aku nggak bisa datang. Aku sibuk]Tidak lama kemudian, pesannya yang semula centang dua abu-abu berubah warna menjadi centang biru. Nama kontak ‘Lora❤’ itu tampak mengetikkan balasan.[Aku tau kamu sibuk mempersiapkan pernikahanmu dengan Freya. Tapi apa kamu nggak bisa meluangkan waktu sedikit aja untuk anak-anak? Ini demi anak-anakmu sendiri loh, Mas. Apa sesusah itu?][Maaf, Lora. Dalam waktu dekat ini aku memang nggak bisa datang. Tolong, sampaikan maafku untuk si kembar] [Baik, terserah kamu! Kamu udah berhasil membuat anak-anak dekat denganmu, tapi begini balasanmu? Ingat, ya, aku nggak akan memintamu datang kalau bukan demi anak-anak]Dhafin tahu Lora bukan tipe orang yang mengemis perhatian. Wanita itu menghubungi dirinya semata-mata hanya untuk si kembar dan itu pun saat mereka yang meminta. Jika tidak, Lora tidak pernah mengirimkan pesan padanya kalau bukan ia duluan yang ngechat.[Ini terakhir kalinya aku mengganggu waktumu. Kedepannya jangan salahkan aku kalau si kembar
“Tante cuma dapat hikmahnya aja,” timpal Zelda.Dokter Radha mengangguk dengan memasang wajah sedih. “Iya, nih. Padahal kan Tante yang merasakan susahnya hamil sembilan bulan sama sakitnya melahirkan.” Pak Raynald tertawa pelan lantas menatap istrinya dalam-dalam. “Meskipun dari segi fisik tak ada kemiripan denganmu, tetapi jangan salah. Kebaikan dan kecerdasan dalam diri Lora sudah pasti menurun darimu, Sayang.”Dokter Radha tersenyum malu hingga menciptakan semburat merah di pipinya yang terlihat samar-samar. Ia berdehem pelan untuk mengurangi salah tingkahnya. “Lora, bagaimana kabarnya Dek Zora?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. “Zora sehat, Bun. Akhir-akhir ini udah jarang kambuhan,” jawab Lora sambil tersenyum melihat keharmonisan orang tuanya di usia yang tak lagi muda.“Alhamdulillah….” Dokter Radha kembali memegang kedua tangan Lora dengan mata berbinar-binar. “Ibun nggak nyangka banget udah punya cucu darimu. Kembar lagi, masyaallah….”“Sebenarnya ada tiga, Bun. Tapi putr
“Bila kau tidak kuat, lebih baik kita tunda dulu penjelasannya,” kata Grissham.Lora mengalihkan pandangannya pada Grissham lalu menggeleng pelan. “Lanjut aja. Aku ingin semuanya tuntas hari ini,” balasnya lirih. Ia sekarang duduk di antara dua orang yang mengaku sebagai orang tua kandungnya. Grissham menghela napas, menatap Lora yang terlihat sudah baik-baik saja. “Lora, seperti yang sudah kau dengar dari penjelasanku tadi, Uncle Raynald dan Aunty Radha sebenarnya adalah orang tua kandungmu.”“Kau merupakan putri yang ditukar oleh Ibu Linda dengan putri kandung Ibu Sekar yang selama ini diasuh oleh keluarga Brighton,” jelasnya.Pak Raynald mengangguk setuju menimpali perkataan Grissham. “Kami sudah melakukan tes DNA dan hasilnya memang benar kau adalah putri kandungku, Lora.”Dokter Radha mengeluarkan sebuah kertas yang memiliki logo rumah sakit ternama dari dalam tas kemudian menyerahkannya pada Lora. “Ini hasil tes DNA-nya.”Lora menegakkan tubuh dan mulai membaca isi dalam kertas
Di ruang tamu, Zelda beranjak dari duduknya menghampiri mereka yang masih berdiri di ambang pintu.Sedikit banyak dirinya bisa mendengar pembicaraan mereka dan ikut terkejut sama seperti Lora.Ia berdehem pelan begitu tiba di samping sahabatnya. “Lora, alangkah baiknya kalau mereka dipersilahkan duduk dulu biar enak ngobrolnya.”Lora menepuk dahinya pelan. “Oh iya, sampai lupa. Mari masuk, Om, Dokter, Kak Sham.” Ia memiringkan tubuh untuk memberikan akses jalan pada tamunya. “Loh, Zee. Kau di sini?” tanya Grissham saat melangkah masuk dan melihat sepupunya yang berada di rumah Lora. “Udah dari tadi,” balas Zelda datar lalu berjalan bersisian di samping Grissham.“Di mana si kembar? Tumben tidak kelihatan?” tanya Pak Raynald sambil menatap sekeliling. Ia melihat beberapa mainan dua bocil itu berserakan, tetapi tidak ada pemiliknya. “Lagi main sama Evan di taman samping, Om.” Lora mengekor di belakang mereka semua tanpa menutup pintu kembali. Ia menunjuk ke arah jendela besar di ruan
Lora menoleh sejenak ke arah sahabatnya lalu kembali menatap ke depan. Ia menghela napas panjang dengan raut wajah yang datar. Wanita itu tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaannya sekarang. Semuanya terasa campur aduk dan tak karuan setelah mendengar kabar berita itu. Sedikit banyak ia berharap bahwa berita itu tidaklah benar. Entahlah, ada rasa kecewa dalam hatinya apalagi mengingat Dhafin yang sudah mengetahui bagaimana kebusukan Freya. Ia merasa dikhianati karena telah menaruh kepercayaan yang lebih pada ayah kandung dari anak-anaknya itu. Lora juga merasakan ada rasa nyeri dan sesak dalam dadanya. Walaupun selama ini sikapnya pada Dhafin terkesan ketus dan ogah-ogahan, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada sisa rasa yang terpendam dalam hatinya yang paling dalam."Lora," panggil Zelda berusaha menyadarkan sahabatnya yang tampak larut dalam lamunannya. Ia jadi berpikir tentang apa yang membuat Lora terlihat menanggung beban berat. Seakan menyadari sesuatu, dirinya
Lora membulatkan mata terkejut bahkan sampai menutup mulutnya sejenak. Ia mengambil benda pipih berwarna putih dan biru itu dari tangan sahabatnya. Dirinya kembali menatap Zelda dengan pandangan penuh haru. “Zelda, kamu… kamu hamil?”Zelda mengangguk semangat disertai senyum yang mengembang lebar. “Iya, aku juga baru tau kemarin.” Lora langsung memeluk sahabatnya erat dengan tangan yang masih memegang test pack itu. “MasyaAllah tabarakallah, selamat, ya. Aku ikut senang banget.”Wanita itu melepaskan pelukannya dan beralih mengusap perut Zelda yang masih rata. “Alhamdulillah, Allah memberikan kepercayaan padamu dengan cepat. Si kembar bakal punya teman nih.”Zelda tertawa kecil. “Iya, personilnya nambah buat bikin kakek-neneknya kerepotan.” Lora ikut tertawa lantas mengembalikan testpack itu kepada pemiliknya. “Om Albern sama Kak Sham udah kamu beritahu belum?”Zelda menyimpan kembali testpack-nya ke dalam tas dan menggeleng. “Rencananya nanti sekalian mau menginap. Mama sama Papa
Grissham tersenyum misterius. “Bukan hal yang sulit, Uncle. Ada Mira yang membantuku mengambil beberapa helai rambut Lora yang sudah rontok.” Pak Raynald ikut terkekeh kecil lalu menyimpan sampel rambut itu ke tempat yang lebih aman. “Baiklah, saya akan segera menjadwalkan tes DNA.”“Bukan begitu, Sayang?” tanyanya sembari menoleh ke arah sang istri. Dokter Radha mengangguk mantap. “Lebih cepat lebih baik. Nanti aku yang akan mengurusnya.” “Kalau boleh kusarankan, sebaiknya tes DNA ini dikawal dengan ketat. Aku takut ada pihak-pihak lain yang bisa saja menyabotase hasilnya,” ujar Grissham memberikan usulan. Raynald menganggukkan kepalanya setuju. “Saya mengikuti saran darimu, Grissham.”Dokter Radha mengalihkan pandangannya ke arah Florence yang duduk sendirian di sofa seberang. Seketika rasa bersalah mulai bersarang dalam hatinya. Terlalu fokus membahas tentang Lora, ia sampai melupakan keberadaan putrinya di sana.Wanita itu beranjak menghampiri Florence lalu berpindah tempat d
Ayah Linda menatap Pak Arya terkejut. “Saya terima keputusan Bapak yang memecat saya.”“Tapi untuk masalah itu apakah tidak bisa dipikirkan lagi, Pak? Biaya sekolahnya sangat mahal apalagi saya sekarang tidak bekerja di perusahaan ini lagi,” balasnya bernegosiasi.Pak Arya mengangkat kedua bahunya tak acuh. “Ya, itu urusanmu sebagai ayahnya. Tujuan saya biayai mahal-mahal sekolah putrimu bukan untuk mencelakai putri saya.”“Percuma saya membayar pendidikannya kalau dia menjadi penyebab putri saya menderita selama di sekolah. Rasanya sia-sia saja,” ujarnya.Ayahnya Linda menggangguk pelan sebagai tanda menerima keputusan atasannya. “Sebentar lagi kenaikan kelas, saya janji akan memindahkannya ke sekolah lain.”“Tapi saya minta tolong, Pak, jangan dulu cabut biaya pendidikan putri saya. Biarkan dia bersekolah di sana sampai ujian kenaikan kelas selesai,” pintanya.Pak Arya melihat kalender kecil yang berdiri tegak di meja kerjanya. Ujian kenaikan kelas memang tinggal satu setengah bulan
Plak! Radha langsung bangkit berdiri seraya memegang pipi kirinya yang terasa panas akibat tamparan keras dari Linda. Ia menatap gadis itu dengan pandangan bingung sekaligus tidak percaya. “Linda.... Kenapa kamu menamparku?” tanyanya pelan. “Brengsek kamu, Radha!” Linda maju hendak menyerang Radha kembali, tetapi dihalangi oleh beberapa penghuni kelas ini. Ia menuding jari telunjuknya tepar di depan muka gadis itu. “Gara-gara kamu, ayahku jadi turun jabatan!”Suara Linda yang sangat keras berhasil menarik perhatian siswa lainnya, baik di kelas ini maupun dari kelas lain. Mereka berbondong-bondong mendekat untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Radha mengerutkan keningnya tidak mengerti dengan ucapan Linda. “Turun jabatan? Maksudnya gimana? Aku benar-benar nggak paham apa maksudmu.” Linda tersenyum sinis sembari memutar bola mata malas. “Nggak usah pura-pura bego, Radha!”“Aku tau kalau kamu yang mengadu sama orang tuamu tentang semua yang kulakukan padamu.”“Kamu menghasut a