[Tidak ada ibu yang akan menyakiti anaknya. Kalau ada, dia bukan manusia, tapi binatang!]
Deg!
Sejenak, detak jantung Naina terasa berhenti. Tubuhnya lemas hingga membuatnya langsung luruh ke lantai. Badannya gemetar hebat.
Tanpa dosa, Freya juga men-tag akunnya untuk memperlihatkan kepada semua orang bahwa dialah pelakunya.
Beberapa saat terunggah, postingan itu langsung diserang komentar netizen.
[Wanita gila! Yang tega meracuni anaknya sendiri sampai meninggal. Dia tak layak menjadi ibu. Pembunuh!!!]
Naina merasakan ada pukulan kuat yang menghantam dadanya ketika membaca komentar kakak iparnya di bagian paling teratas.
Belum lagi berbagai komentar jahat di bawahnya membuat ia semakin diliputi rasa kecewa.
[Binatang aja masih punya rasa sayang untuk anaknya. Ini sih bukan binatang lagi, tapi iblis!]
[Iblis berkedok manusia]
[Dasar pembunuh!]
[Wanita seperti itu nggak pantas hidup. Lebih baik mati!]
[Anj lo! Lo tuh yg seharusnya mati! Bukan anak lo yg nggak salah apa-apa]
[Pembunuh!!!!]
[Mati saja kau!]
Jantungnya berdegup kian cepat disertai dengan denyutan menyakitkan. Seakan ada sebilah pedang yang menghunus di sana. Tangannya bergetar tanpa bisa dikendalikan.
Cairan bening mengalir deras dari mata indahnya. Naina tak mampu lagi menyembunyikan kesedihannya.
Ya Tuhan, sakit sekali.... Mereka berkomentar sesuka hati tanpa memikirkan perasaannya.
Sosial medianya pun tak luput dari hujatan dan makian. Bukan hanya di kolom komentar, tetapi juga lewat pesan pribadi yang masuk silih-berganti.
Seakan belum cukup, muncul lagi postingan video dari orang lain yang berisi Naina ketika ditampar Bu Anita sepulang dari pemakaman. Di caption tertulis....
[Awalnya saya takut mengunggah video ini karena dia menantu di keluarga Wirabuana. Tau sendiri kan se berpengaruh apa keluarga mereka? Tapi karena didorong oleh seseorang, akhirnya saya berani upload biar nggak ada korban lagi]
Akibatnya, sejumlah orang yang mungkin datang melayat di hari itu berbondong-bondong meng-upload video yang serupa meski dari posisi yang berbeda.
Hal itu menunjukkan bahwa video tersebut asli bukan editan semata. Tak lupa akunnya pun di-tag. Komentar-komentar pedas semakin banyak berdatangan.
[Penjarakan dia!]
[Hukum mati sekalian!]
Naina menjatuhkan ponselnya. Tangannya tak sanggup lagi menggenggam ponsel yang terus-menerus bergetar.
Ia duduk meringkuk sambil memeluk lututnya. Tangisannya tak kunjung berhenti dengan isakan memilukan.
Apa belum cukup luka yang diterimanya selama ini? Kenapa harus ditambah lagi?
Ponsel kembali berdering. Dengan tangan yang masih gemetar, wanita berusia 27 tahun itu mengangkat panggilan dari sahabatnya.
“Nai, kamu nggak papa?” tanya Zelda terdengar sangat khawatir.
“Zel….” Naina menyahut pelan. Suaranya serak dan bergetar.
“Kamu tenang, ya. Kita cari solusi bareng-bareng, oke?”
“Gimana aku bisa tenang? Semuanya menyerangku, Zel.” Naina menggigit bibir bawahnya gusar.
“Iya, aku sangat mengerti perasaanmu. Tapi kamu nggak boleh panik. Ingat janin dalam perutmu masih sangat rentan. Tenangkan dirimu dulu, ya.”
Zelda benar. Naina tidak boleh stress yang berakibat buruk pada kandungannya. Ia menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskan. Begitu terus hingga dirinya merasa lebih baik.
“Udah tenang?”
Naina berdehem sebagai balasan membuat Zelda melanjutkan ucapannya. “Sebelumnya aku mau tanya. Video itu beneran kamu?”
“Iya, tapi bukan racun yang kumasukkan.” Naina pun menceritakan semuanya tanpa ditutup-tutupi.
“Freya brengs*k!” Zelda mengumpat kesal.
“Aku harus apa, Zel? Aku… aku bingung.”
Zelda berdehem pelan. “Gini, kamu abaikan semua komentar sama pesan mereka. Jangan dilihat ataupun dibaca demi menjaga perasaanmu.”
“Terus yang kedua, kamu bisa bikin klarifikasi tentang kebenaran yang kamu ceritakan barusan,” jelasnya memberikan solusi.
“Klarifikasi? Apa mereka bakal percaya? Semua orang udah kemakan sama omongan Freya dan Kak Devira.”
“Percaya nggak atau nggak percaya itu hak mereka, Nai. Yang terpenting kita udah berusaha menjelaskan yang sebenarnya. Daripada nggak sama sekali. Yang ada malah kamu terkesan membenarkan tuduhan itu.”
“Tapi… aku nggak yakin akan berhasil.” Naina berkata dengan lesu.
“Dicoba aja dulu. Aku akan bantu kamu. Sekarang kamu bikin kalimat yang bagus untuk klarifikasi terus kamu posting.”
“Iya.” Naina menutup panggilan telepon. Baru saja ia hendak menjalankan saran dari Zelda tetapi….
Brak!
“Naina!”
Naina terlonjak kaget. Ia mendongak dan mendapati suaminya yang tampak dikuasai amarah.
“Jadi benar, kamu yang udah meracuni Altair?” Dhafin menunjukkan video yang diposting Freya.
Sekuat tenaga, Naina berusaha bangkit berdiri sambil berpegangan pada tepi ranjang. Tubuhnya masih lemas dan gemetar.
“Jawab, Naina!”
“I-itu… itu….” Naina tergagap. Sejenak, otaknya tiba-tiba blank bingung memulai penjelasan dari mana.
“Jelaskan!” tekan Dhafin tidak sabaran.
Naina menarik napas dalam-dalam untuk mengendalikan diri lantas menatap suaminya.
“Di video itu memang benar aku. Tapi bukan racun yang kumasukkan, melainkan vitamin. Kamu tau sendiri, Altair sering mengalami GTM.”
“Jadi, aku tambahkan vitamin dalam makanan ataupun minuman Altair. Itu pun nggak setiap hari. Kamu sendiri yang membelikannya langsung atas saran dari dokter.”
Dhafin terbungkam mendengar penjelasan Naina. Pria itu pasti sedang mengingat ketika pertama kali Altair mengalami GTM sampai berhari-hari, ia sangat panik dan langsung membawanya ke dokter.
Sang dokter pun merekomendasikan sebuah vitamin yang bisa dicampurkan dalam makanan atau minuman kesukaan Altair serta mampu memenuhi nutrisi dalam tubuh.
“Bahkan saat vitaminnya hampir habis, kamu buru-buru membeli lagi buat stok. Apa kamu lupa?”
Naina tahu, Dhafin sangat menyayangi Altair dan pastinya tidak akan melupakan apapun yang berkaitan dengan anaknya.
“Coba kamu amati lebih jeli. Di situ ada kemasan vitamin yang tak jauh dari posisi tanganku. Meski tampak samar, kamu pasti mengenalnya.”
Naina memperhatikan ekspresi Dhafin yang sedang meneliti video itu. Raut wajahnya terlihat datar membuat ia tidak bisa menebak isi pikiran sang suami.
Besar harapannya Dhafin akan mempercayainya. Namun, kenyataannya…. Dhafin kini tersenyum miring padanya.
“Aku tetap nggak percaya. Bisa jadi kamu salah memasukkan vitamin.” Dhafin menutup ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku celana.
Deg!
“Aku nggak bodoh sampai-sampai nggak bisa membedakan mana yang vitamin, mana yang bukan! Yang kucampurkan itu memang benar-benar vitamin, bukan racun seperti yang mereka tuduhkan!” Napasnya terdengar memburu dengan dada naik-turun. Ia mengepalkan tangannya kuat menahan emosi.“Nggak usah mengelak! Bukti udah jelas kalau kamu pelakunya.”“Bukti itu palsu. Ada yang sengaja merekam saat aku lagi memasukkan vitamin ke dalam makanan Altair. Kamu bisa tanya sama Bi Lastri sebagai saksi.” Menurunkan ego, Naina tak menyerah meyakinkan Dhafin. Tangannya terulur untuk menggenggam lengan sang suami. “Percayalah, Mas, bukan aku pelakunya.”Dhafin melepaskan tangannya kasar membuat Naina sangat terkejut lalu menatap kedua bola mata suaminya. Manik cokelat itu menyorot tajam dan dingin.“Cukup, Naina! Berhenti membela diri. Semua udah terbukti bahwa kau yang membunuh putraku!”Naina mematung. Setetes air jatuh dari pelupuk matanya. “Sedikitpun aku nggak pernah menyakiti Altair apalagi sampai memb
Ia sangat terkejut mendengar ucapan Freya. Kepalanya menggeleng tidak percaya. Tidak! Naina tidak mungkin salah memasukkan vitamin. Ia sangat mengenali bentuk dan isinya. Ia juga ingat betul hari dimana video diambil.Waktu itu Naina sedang membuatkan sarapan untuk Altair yang mengalami GTM. Dibantu oleh Bi Lastri, kepala pelayan, ia juga sedang memasak sarapan untuk semua orang.Setelah makanan Altair jadi, dirinya menambahkan vitamin sesuai anjuran dokter. Sebelumnya, ia sudah memastikan bahwa yang dipegangnya benar-benar vitamin. Mulai dari bentuk, isi, hingga takarannya.“Teliti banget, Non. Bukannya sama aja, ya?” Bi Lastri pun sampai terheran-heran melihat tingkahnya.Naina tertawa kecil. “Harus dong, Bi, biar nggak salah memasukkan.”Ia kemudian mengkreasikan makanan itu dengan membuat bentuk lucu. Altair sangat menyukai makanan yang menarik di matanya.Entah bagaimana video itu diambil padahal Naina tidak merasa direkam. Mungkin ia yang tidak menyadari saking asyiknya berse
[Zelda, malam ini aku memutuskan pergi dari rumah neraka itu. Aku udah nggak kuat berada disana]Harap-harap cemas, Naina mengirimkan pesan untuk sahabatnya itu. Sayangnya, hanya centang dua dan belum dibaca. Mungkin Zelda sedang menikmati waktu bersama keluarganya?Naina jadi sungkan meminta bantuan. Meski sebelumnya Zelda sudah menawarkan, tetap saja dirinya tidak ingin merepotkan Zelda terus.Kini, Naina berjalan kaki tak tentu arah. Cukup jauh dari kompleks perumahan mertuanya.Sudah memesan ojol juga bahkan sampai tiga kali, tetapi semuanya ditolak dengan alasan sudah larut malam.Tidak mungkin ia pulang ke kampung halaman karena rumahnya sudah dijual untuk modal ke kota ini.Kembali ke rumah Freya yang selama ini menjadi tempat tinggalnya sebelum menikah pun bukan pilihan bagus. Itu sama saja dengan masuk ke kandang musuh.Wanita cantik itu kembali memesan ojol dengan tujuan menuju terminal, berharap kali ini orderannya diterima. Lelah berjalan, ia memutuskan istirahat di sebuah
Di sisi lain....“Sayang, pertunangan kita akan diadakan dua hari setelah empat puluh harinya Altair. Gimana menurutmu? Apa kamu setuju?”Dhaffin, yang belum tahu kaburnya Naina, hanya mengangguk pelan tanpa menoleh. Matanya tetap fokus melihat jalanan di depan. Sekarang ini, ia sedang dalam perjalanan mengantar Freya pulang.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Freya hati-hati sambil menatap Dhafin di sampingnya.“Kenapa?” Dhafin melirik sekilas.Freya menunduk, memainkan jarinya di pangkuan. “Aku merasa nggak enak. Kamu sama Naina kan baru aja kehilangan Altair. Kalian masih dalam suasana duka,” ucapnya berpura-pura simpati.“Maumu gimana? Diundur?”“Nggak nggak, bukan gitu.” Freya buru-buru menggeleng. “Ini kan udah menjadi kesepakatan bersama. Jadi, yaudah ikuti aja rencana mereka.”Dhafin hanya berdehem tanpa menanggapi lebih banyak. Dalam hati, ia juga merasakan hal yang sama. Duka masih sangat kental menyelimuti, apalagi Naina yang merasa paling kehilangan.Namun, kembali lagi. Semuanya
Dhafin tiba di rumah sekitar pukul sebelas malam. Suasana rumah sudah sangat sepi. Bahkan lampu ruang utama sudah dimatikan.Ia pun langsung melangkah menuju kamarnya dan tidak melihat keberadaan Naina.Mungkin tidur di kamar Altair karena semenjak putranya tiada Naina lebih sering tidur di sana.Pria bertubuh tinggi dan tegap itu mengambil piyama tidur yang sudah disiapkan sang istri lantas mengganti pakaiannya.Ia merebahkan tubuh yang terasa lelah di ranjang usai mengirim pesan pada Freya untuk mengabarkan bahwa dirinya sudah sampai rumah. Matanya terpejam dan tak lama memasuki alam mimpi.Keesokan paginya, Dhafin bangun sedikit telat. Biasanya Naina yang membangunkannya untuk menunaikan sholat Subuh. Namun, kali ini ia belum melihat batang hidung istrinya.“Naina, siapkan bajuku,” perintah Dhafin yang masih mengira Naina berada di kamar Altair. Tangannya sibuk memasukkan berkas ke dalam tas lebih.Tidak ada sahutan membuatnya mengernyit heran. Kamar ini dengan kamar anaknya saling
Dhafin terduduk di pinggiran ranjang masih mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Ia senantiasa menatap tespack itu lekat-lekat. Naina hamil. Naina sedang mengandung anaknya. Akan tetapi, kenapa tidak memberitahunya? Kini, Naina pergi entah kemana dengan membawa serta benih di rahimnya. Ia benar-benar tidak menyangka istrinya itu berani berbuat nekat. Setelah semalam minta cerai, kemudian malah kabur. Naina pikir, dirinya akan terbebas begitu saja? Tentu tidak! Dhafin berjanji, akan membawa Naina kembali ke rumah ini bagaimanapun caranya. Naina harus berada dalam genggamannya. Tiba-tiba, Dhafin teringat dengan seorang perempuan yang selama ini menjadi sahabat istrinya. Mungkinkah Naina berada di tempat sahabatnya itu? Sepertinya iya. Siapa lagi orang yang akan dituju Naina kalau bukan sahabatnya? Naina tidak memiliki siapapun di dunia ini. Wanita itu hidup sebatang kara tanpa orang tua dan menumpang hidup di rumah Freya sebelum berakhir menikah dengannya.
Naina beringsut duduk dibantu oleh suster. Ia menatap dokter laki-laki di sampingnya dengan raut wajah cemas. Jantungnya berdebar-debar menunggu jawaban dari sang dokter. “Ibu mengalami pendarahan hebat. Untung saja anda segera dibawa ke rumah sakit sehingga langsung mendapatkan penanganan.” Naina dibuat sangat syok mendengar penjelasan dokter. Hatinya mencelos. Jantungnya semakin memompa cepat. “Lalu janin saya....” Ucapannya menggantung. Suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Ia tidak sanggup membayangkan bagaimana kalau dirinya kembali kehilangan. Anak ini satu-satunya yang menjadi harapannya untuk tetap bertahan hidup. Dokter mengulas senyum tipis seolah mengerti kekhawatiran pasiennya. “Alhamdulillah, janin ibu bisa diselamatkan.” “Alhamdulillah….” Naina menghembuskan napas lega. Perasaannya seketika plong. Dalam hati, ia sangat bersyukur. Tuhan masih baik kepadanya dengan tidak mengambil calon buah hatinya. “Tapi sekarang ini kandungan ibu sangat rentan keguguran. Kar
“Aku sangat mencintaimu, Freya. Jangan tinggalkan aku lagi.” Deg! Naina menghentikan langkahnya ketika mendengar ucapan Dhafin yang menyerupai gumaman. Ia berdiri dengan tubuh yang menegang kaku melihat mereka yang saling berpelukan itu. Dadanya seakan dihantam oleh sesuatu yang besar. Butiran bening telah terkumpul di kelopak matanya siap jatuh kapan saja. Belum cukup sampai di situ, Freya melepaskan pelukannya kemudian tanpa diduga mencium bibir Dhafin. Awalnya, Dhafin tampak terkejut, tetapi lama-kelamaan menikmati dan ikut membalas. Terlihat dari caranya yang memegang pipi dan tengkuk Freya semakin memperdalam ciuman. Sontak, air mata Naina jatuh tanpa permisi. Jantungnya berdetak cepat tanpa bisa dikendalikan. Dadanya sangat sesak menyaksikan langsung sang suami mencium mesra mantan kekasihnya. Ya Tuhan…. sakit sekali. Ia menggenggam kuat-kuat testpack di tangannya. Rencananya yang ingin memberikan kejutan, malah ia yang dibuat terkejut. Pantas saja suaminya p
Grissham mengangkat kepala perlahan. Tatapannya bertemu dengan Lora, masih dengan wajah yang sedikit mengerut, seperti anak kecil yang baru saja mengakui kesalahan tapi tetap ingin dimengerti.Katakanlah ia kekanak-kanakan. Hanya karena cemburu, dirinya memilih mendiamkan Lora selama tiga hari.Namun... apakah salah jika ia merasa seperti itu? Lora miliknya walaupun belum sepenuhnya. Ia pun punya hak untuk cemburu.Selama ini, Grissham menahan. Selalu berusaha mengalah. Ia memang mengizinkan Lora tetap berhubungan baik dengan mantan suaminya demi anak-anak. Namun, bukan berarti ia tak terluka. Ada bagian dari hatinya yang terasa diabaikan setiap kali melihat Lora tersenyum bersama pria itu.Lora tampak terlalu menikmati kebersamaan mereka seakan lupa bahwa ada hati yang harus dijaga.Karena itulah Grissham memilih bersikap seperti itu, membiarkan jarak terbentang agar Lora menyadari sendiri. Dan nyatanya, wanita itu datang. Tiga hari cukup untuk membuat Lora bertanya-tanya dan akhir
Ruangan luas nan mewah itu terdiam bisu, seolah ikut menahan napas. Hembusan lembut dari pendingin ruangan menyusup ke sela-sela, membuat udara di dalamnya terasa membeku. Detik demi detik terdengar jelas dari dentingan jarum jam di dinding, mengisi keheningan yang seakan menanti sang pemilik ruangan untuk angkat bicara. Lora duduk diam. Matanya tak berkedip, menatap Grissham lekat-lekat. Tatapan itu menyimpan rasa penasaran yang terus menggelembung di dalam dada. Jemarinya saling menggenggam, mengguratkan kegelisahan yang coba ia redam lewat kehangatan dari dirinya sendiri. Grissham menghembuskan napas panjang. Matanya tak menoleh, tetap terpaku ke satu titik di hadapan, seolah dinding polos itu lebih pantas ia tatap daripada wanita yang duduk di sampingnya. Kedua tangannya bertumpu di lutut, jari-jarinya mengepal lalu mengendur, seirama dengan napas yang berat. “Aku sedang banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan dalam waktu dekat ini,” ucapnya datar, seperti seda
Beberapa hari berlalu tanpa terasa. Kini, hanya tersisa dua bulan lagi menuju hari pernikahan Lora dan Grissham.Segala persiapan nyaris rampung, dibantu penuh oleh keluarga besar yang turut antusias menyambut hari bahagia mereka.Gedung hotel megah milik keluarga Kusuma telah dipastikan dan dijadwalkan menjadi tempat berlangsungnya momen sakral itu.Gaun pengantin berpotongan anggun tergantung rapi di balik tirai kaca LaCia Boutique, menanti hari di mana Lora akan mengenakannya. Seragam keluarga pun telah selesai dijahit, lengkap dalam berbagai ukuran. MUA ternama yang menjadi incaran para pengantin sudah dibooking sejak beberapa bulan lalu. Jadwalnya dikunci, tak bisa diganggu gugat.Dan yang tak kalah penting, mereka memutuskan untuk mempercayakan seluruh rangkaian acara kepada wedding organizer profesional. Mulai dari acara siraman hingga resepsi, semua diserahkan kepada tangan-tangan berpengalaman.Rapat demi rapat digelar. Lora dan Grissham selalu hadir, duduk berdampingan den
Wajah Bu Anita seketika berubah. Ada gurat kecewa yang perlahan menyusup. Sorot matanya tampak meredup, senyum yang tadi sempat mengembang perlahan menghilang. “Kamu udah memikirkan keputusan ini matang-matang, Nak?” tanyanya pelan dengan mata yang menatap lurus. “Udah, Ma,” jawab Lora dengan lirih tapi tegas. “Bahkan sejak awal aku memilih Kak Sham.” Ia menunduk sejenak, menahan tarikan emosi yang bergolak di dadanya. “Sekali lagi, aku minta maaf, Ma.” Keheningan menggantung beberapa saat. Lora menanti, menebak-nebak reaksi yang akan keluar. Raut datar di wajah Bu Anita membuat pikirannya mulai liar, mencari-cari makna dari setiap helaan napas wanita itu. Ia tahu betul watak ibunya Dhafin. Kini, muncul satu pertanyaan. Apakah keputusan ini akan diterima… atau akan menjadi awal dari jarak yang semakin renggang? Lora menunggu tanggapan Bu Anita dengan sedikit cemas. Melihat dari ekspresinya, sudah pasti beliau akan sangat marah, lalu memaksa agar permintaannya dipenuhi.
Pertanyaan itu menggantung di udara. Dhafin tak langsung menjawab, dan dari keheningannya itu saja Lora sudah tahu jawabannya.“Aku nggak menyangkal,” akhirnya Dhafin bicara, suaranya tenang tapi berat. “Tapi itu juga bukan alasan utama. Aku beneran kangen anak-anak. Bukan cuma karena kamu, tapi karena aku ayah mereka.” Ia menarik napas lagi, lalu memalingkan wajah, menatap ke arah rumah tempat tawa si kembar kini terdengar samar. “Kejadian kemarin… bikin aku sadar. Aku nggak cuma kehilangan kamu, tapi juga mereka. Rasanya hampa banget.”Dhafin kembali menatap Lora, sorot matanya kali ini serius dan penuh harap. “Aku nggak minta banyak. Aku cuma pengen kamu izinkan aku tetap ada di hidup mereka. Walau kamu udah punya kehidupan sendiri.”Lora terkekeh pelan, suara tawanya lirih namun mengandung makna. Sudut bibirnya terangkat, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar geli.“Aku dari awal udah membebaskanmu bertemu anak-anak. Aku nggak pernah membatasi,” ujarnya
“Papa!”Dua bocah kembar itu melesat turun dari mobil. Kaki-kaki mungil mereka menapak cepat di jalan setapak.Suara langkah kecil berpadu dengan teriakan riang, menciptakan simfoni rindu yang tak terbendung.Mereka langsung menghambur ke dalam pelukan ayahnya yang berdiri di teras dengan tangan terbuka dan mata yang tampak sedikit berembun.Begitu tubuh kecil itu memeluknya, Dhafin menunduk dan mendekap mereka erat seolah tak ingin melepaskan.Tangannya membelai rambut keduanya, mencium pipi mereka satu per satu dengan tawa kecil yang tertahan. Hatinya mencelos, penuh sesak oleh rasa bersalah yang belum juga reda. Terakhir ia melihat wajah mereka adalah di rumah sakit saat menjenguk ibunya.Sejak pertengkaran panas itu, Lora benar-benar menjauh. Dan ia... hanya bisa menyesali semuanya dalam diam.“Papa kangen banget sama kalian.” Suaranya bergetar, tetapi hangat.Ia mendaratkan ciuman bertubi-tubi di wajah mereka, membuat anak-anak itu tertawa geli sambil memegangi pipi mereka. “Kal
Grissham tak langsung menanggapi. Matanya tak lepas dari jalanan yang padat. Tampak di depan sana, mobil-mobil merayap, saling berebut celah di bawah langit sore yang mulai menguning.Lampu sein berdetak pelan, menyatu dengan musik dari radio yang mengalun lembut dari speaker mobil.Beberapa menit kemudian, ia memutar kemudi ke kanan, memasuki jalan menuju kawasan perumahan elit—tempat keluarga Brighton tinggal.Dering ponsel yang sejak tadi bersenandung akhirnya berhenti. Lora menatap layar yang kini berubah gelap, jemarinya masih menggenggam erat perangkat itu.Grissham melirik sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Ia sempat mengira telepon itu tak akan datang lagi karena sang penelepon sudah menyerah. Namun hanya selang beberapa detik, getaran itu kembali menggema di dalam mobil. Nada dering yang sama, nama yang sama—masih bertahan di layar.Grissham menarik napas panjang, menahan jeda sebelum bersuara. “Angkat saja, siapa tahu penting,” ucapnya datar, tetapi lembut.Lora hanya me
Senyum di wajah Zelda perlahan meredup. Masih ada lengkungan manis di bibirnya, tetapi tak lagi semeriah tadi. Pandangannya turun, jatuh pada jemarinya yang saling menggenggam di atas pangkuan, seolah mencari pegangan pada dirinya sendiri. Lora yang duduk di sampingnya mencuri pandang, lalu menatap lekat perut sahabatnya yang kini membulat jelas di balik dress selutut berwarna pastel itu. “Pemeriksaan terakhir? Emangnya kenapa?” tanyanya pelan tetapi penuh curiga setelah ada jeda sejenak. Zelda tidak langsung menjawab. Hanya diam, membiarkan hening mengambang beberapa detik. Kemudian, seperti tersadar, ia menarik napas dan kembali memasang senyum cerah hingga terasa agak dipaksakan. “Bukan apa-apa kok. Semuanya aman.” Lora tidak sepenuhnya percaya. Tatapannya menyapu wajah Zelda yang terlihat terlalu tenang untuk seseorang yang barusan tampak ragu. Namun, ia memilih menahan diri. Tangannya terulur untuk menyentuh perut sahabatnya yang terasa hangat dan hidup di bawah telapaknya
Berbeda dengan Dhafin yang tenggelam dalam penyesalan tak berujung, Lora berdiri tegak di depan cermin besar di LaCia Boutique milik sahabatnya. Cahaya lembut dari lampu gantung kristal memantulkan siluetnya di permukaan kaca. Kebaya putih dengan detail payet halus melekat sempurna di tubuhnya, mengikuti lekuk tanpa cela.Kainnya jatuh anggun, sementara ekor kebaya menjuntai panjang hingga menyapu lantai dengan gerakan pelan setiap kali ia berpindah posisi. Kerudung segi empat yang menjuntai menutup dada, warnanya senada dengan kebaya, menjadikan tampilannya anggun tanpa harus berlebihan.Lora merapikan kerudungnya perlahan, jemarinya menyusuri kain lembut yang menjuntai menutup dada. Sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya.Bukan karena merasa paling cantik, bukan pula karena penampilan yang nyaris sempurna. Melainkan ada rasa hangat yang menjalari dadanya, sebuah rasa utuh sekaligus layak.Untuk pertama kalinya, ia menjalani proses ini dengan penuh kesadaran dan penghargaan. Ti