[Tidak ada ibu yang akan menyakiti anaknya. Kalau ada, dia bukan manusia, tapi binatang!]
Deg!
Sejenak, detak jantung Naina terasa berhenti. Tubuhnya lemas hingga membuatnya langsung luruh ke lantai. Badannya gemetar hebat.
Tanpa dosa, Freya juga men-tag akunnya untuk memperlihatkan kepada semua orang bahwa dialah pelakunya.
Beberapa saat terunggah, postingan itu langsung diserang komentar netizen.
[Wanita gila! Yang tega meracuni anaknya sendiri sampai meninggal. Dia tak layak menjadi ibu. Pembunuh!!!]
Naina merasakan ada pukulan kuat yang menghantam dadanya ketika membaca komentar kakak iparnya di bagian paling teratas.
Belum lagi berbagai komentar jahat di bawahnya membuat ia semakin diliputi rasa kecewa.
[Binatang aja masih punya rasa sayang untuk anaknya. Ini sih bukan binatang lagi, tapi iblis!]
[Iblis berkedok manusia]
[Dasar pembunuh!]
[Wanita seperti itu nggak pantas hidup. Lebih baik mati!]
[Anj lo! Lo tuh yg seharusnya mati! Bukan anak lo yg nggak salah apa-apa]
[Pembunuh!!!!]
[Mati saja kau!]
Jantungnya berdegup kian cepat disertai dengan denyutan menyakitkan. Seakan ada sebilah pedang yang menghunus di sana. Tangannya bergetar tanpa bisa dikendalikan.
Cairan bening mengalir deras dari mata indahnya. Naina tak mampu lagi menyembunyikan kesedihannya.
Ya Tuhan, sakit sekali.... Mereka berkomentar sesuka hati tanpa memikirkan perasaannya.
Sosial medianya pun tak luput dari hujatan dan makian. Bukan hanya di kolom komentar, tetapi juga lewat pesan pribadi yang masuk silih-berganti.
Seakan belum cukup, muncul lagi postingan video dari orang lain yang berisi Naina ketika ditampar Bu Anita sepulang dari pemakaman. Di caption tertulis....
[Awalnya saya takut mengunggah video ini karena dia menantu di keluarga Wirabuana. Tau sendiri kan se berpengaruh apa keluarga mereka? Tapi karena didorong oleh seseorang, akhirnya saya berani upload biar nggak ada korban lagi]
Akibatnya, sejumlah orang yang mungkin datang melayat di hari itu berbondong-bondong meng-upload video yang serupa meski dari posisi yang berbeda.
Hal itu menunjukkan bahwa video tersebut asli bukan editan semata. Tak lupa akunnya pun di-tag. Komentar-komentar pedas semakin banyak berdatangan.
[Penjarakan dia!]
[Hukum mati sekalian!]
Naina menjatuhkan ponselnya. Tangannya tak sanggup lagi menggenggam ponsel yang terus-menerus bergetar.
Ia duduk meringkuk sambil memeluk lututnya. Tangisannya tak kunjung berhenti dengan isakan memilukan.
Apa belum cukup luka yang diterimanya selama ini? Kenapa harus ditambah lagi?
Ponsel kembali berdering. Dengan tangan yang masih gemetar, wanita berusia 27 tahun itu mengangkat panggilan dari sahabatnya.
“Nai, kamu nggak papa?” tanya Zelda terdengar sangat khawatir.
“Zel….” Naina menyahut pelan. Suaranya serak dan bergetar.
“Kamu tenang, ya. Kita cari solusi bareng-bareng, oke?”
“Gimana aku bisa tenang? Semuanya menyerangku, Zel.” Naina menggigit bibir bawahnya gusar.
“Iya, aku sangat mengerti perasaanmu. Tapi kamu nggak boleh panik. Ingat janin dalam perutmu masih sangat rentan. Tenangkan dirimu dulu, ya.”
Zelda benar. Naina tidak boleh stress yang berakibat buruk pada kandungannya. Ia menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskan. Begitu terus hingga dirinya merasa lebih baik.
“Udah tenang?”
Naina berdehem sebagai balasan membuat Zelda melanjutkan ucapannya. “Sebelumnya aku mau tanya. Video itu beneran kamu?”
“Iya, tapi bukan racun yang kumasukkan.” Naina pun menceritakan semuanya tanpa ditutup-tutupi.
“Freya brengs*k!” Zelda mengumpat kesal.
“Aku harus apa, Zel? Aku… aku bingung.”
Zelda berdehem pelan. “Gini, kamu abaikan semua komentar sama pesan mereka. Jangan dilihat ataupun dibaca demi menjaga perasaanmu.”
“Terus yang kedua, kamu bisa bikin klarifikasi tentang kebenaran yang kamu ceritakan barusan,” jelasnya memberikan solusi.
“Klarifikasi? Apa mereka bakal percaya? Semua orang udah kemakan sama omongan Freya dan Kak Devira.”
“Percaya nggak atau nggak percaya itu hak mereka, Nai. Yang terpenting kita udah berusaha menjelaskan yang sebenarnya. Daripada nggak sama sekali. Yang ada malah kamu terkesan membenarkan tuduhan itu.”
“Tapi… aku nggak yakin akan berhasil.” Naina berkata dengan lesu.
“Dicoba aja dulu. Aku akan bantu kamu. Sekarang kamu bikin kalimat yang bagus untuk klarifikasi terus kamu posting.”
“Iya.” Naina menutup panggilan telepon. Baru saja ia hendak menjalankan saran dari Zelda tetapi….
Brak!
“Naina!”
Naina terlonjak kaget. Ia mendongak dan mendapati suaminya yang tampak dikuasai amarah.
“Jadi benar, kamu yang udah meracuni Altair?” Dhafin menunjukkan video yang diposting Freya.
Sekuat tenaga, Naina berusaha bangkit berdiri sambil berpegangan pada tepi ranjang. Tubuhnya masih lemas dan gemetar.
“Jawab, Naina!”
“I-itu… itu….” Naina tergagap. Sejenak, otaknya tiba-tiba blank bingung memulai penjelasan dari mana.
“Jelaskan!” tekan Dhafin tidak sabaran.
Naina menarik napas dalam-dalam untuk mengendalikan diri lantas menatap suaminya.
“Di video itu memang benar aku. Tapi bukan racun yang kumasukkan, melainkan vitamin. Kamu tau sendiri, Altair sering mengalami GTM.”
“Jadi, aku tambahkan vitamin dalam makanan ataupun minuman Altair. Itu pun nggak setiap hari. Kamu sendiri yang membelikannya langsung atas saran dari dokter.”
Dhafin terbungkam mendengar penjelasan Naina. Pria itu pasti sedang mengingat ketika pertama kali Altair mengalami GTM sampai berhari-hari, ia sangat panik dan langsung membawanya ke dokter.
Sang dokter pun merekomendasikan sebuah vitamin yang bisa dicampurkan dalam makanan atau minuman kesukaan Altair serta mampu memenuhi nutrisi dalam tubuh.
“Bahkan saat vitaminnya hampir habis, kamu buru-buru membeli lagi buat stok. Apa kamu lupa?”
Naina tahu, Dhafin sangat menyayangi Altair dan pastinya tidak akan melupakan apapun yang berkaitan dengan anaknya.
“Coba kamu amati lebih jeli. Di situ ada kemasan vitamin yang tak jauh dari posisi tanganku. Meski tampak samar, kamu pasti mengenalnya.”
Naina memperhatikan ekspresi Dhafin yang sedang meneliti video itu. Raut wajahnya terlihat datar membuat ia tidak bisa menebak isi pikiran sang suami.
Besar harapannya Dhafin akan mempercayainya. Namun, kenyataannya…. Dhafin kini tersenyum miring padanya.
“Aku tetap nggak percaya. Bisa jadi kamu salah memasukkan vitamin.” Dhafin menutup ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku celana.
Deg!
“Aku nggak bodoh sampai-sampai nggak bisa membedakan mana yang vitamin, mana yang bukan! Yang kucampurkan itu memang benar-benar vitamin, bukan racun seperti yang mereka tuduhkan!” Napasnya terdengar memburu dengan dada naik-turun. Ia mengepalkan tangannya kuat menahan emosi.“Nggak usah mengelak! Bukti udah jelas kalau kamu pelakunya.”“Bukti itu palsu. Ada yang sengaja merekam saat aku lagi memasukkan vitamin ke dalam makanan Altair. Kamu bisa tanya sama Bi Lastri sebagai saksi.” Menurunkan ego, Naina tak menyerah meyakinkan Dhafin. Tangannya terulur untuk menggenggam lengan sang suami. “Percayalah, Mas, bukan aku pelakunya.”Dhafin melepaskan tangannya kasar membuat Naina sangat terkejut lalu menatap kedua bola mata suaminya. Manik cokelat itu menyorot tajam dan dingin.“Cukup, Naina! Berhenti membela diri. Semua udah terbukti bahwa kau yang membunuh putraku!”Naina mematung. Setetes air jatuh dari pelupuk matanya. “Sedikitpun aku nggak pernah menyakiti Altair apalagi sampai memb
Ia sangat terkejut mendengar ucapan Freya. Kepalanya menggeleng tidak percaya. Tidak! Naina tidak mungkin salah memasukkan vitamin. Ia sangat mengenali bentuk dan isinya. Ia juga ingat betul hari dimana video diambil.Waktu itu Naina sedang membuatkan sarapan untuk Altair yang mengalami GTM. Dibantu oleh Bi Lastri, kepala pelayan, ia juga sedang memasak sarapan untuk semua orang.Setelah makanan Altair jadi, dirinya menambahkan vitamin sesuai anjuran dokter. Sebelumnya, ia sudah memastikan bahwa yang dipegangnya benar-benar vitamin. Mulai dari bentuk, isi, hingga takarannya.“Teliti banget, Non. Bukannya sama aja, ya?” Bi Lastri pun sampai terheran-heran melihat tingkahnya.Naina tertawa kecil. “Harus dong, Bi, biar nggak salah memasukkan.”Ia kemudian mengkreasikan makanan itu dengan membuat bentuk lucu. Altair sangat menyukai makanan yang menarik di matanya.Entah bagaimana video itu diambil padahal Naina tidak merasa direkam. Mungkin ia yang tidak menyadari saking asyiknya berse
[Zelda, malam ini aku memutuskan pergi dari rumah neraka itu. Aku udah nggak kuat berada disana]Harap-harap cemas, Naina mengirimkan pesan untuk sahabatnya itu. Sayangnya, hanya centang dua dan belum dibaca. Mungkin Zelda sedang menikmati waktu bersama keluarganya?Naina jadi sungkan meminta bantuan. Meski sebelumnya Zelda sudah menawarkan, tetap saja dirinya tidak ingin merepotkan Zelda terus.Kini, Naina berjalan kaki tak tentu arah. Cukup jauh dari kompleks perumahan mertuanya.Sudah memesan ojol juga bahkan sampai tiga kali, tetapi semuanya ditolak dengan alasan sudah larut malam.Tidak mungkin ia pulang ke kampung halaman karena rumahnya sudah dijual untuk modal ke kota ini.Kembali ke rumah Freya yang selama ini menjadi tempat tinggalnya sebelum menikah pun bukan pilihan bagus. Itu sama saja dengan masuk ke kandang musuh.Wanita cantik itu kembali memesan ojol dengan tujuan menuju terminal, berharap kali ini orderannya diterima. Lelah berjalan, ia memutuskan istirahat di sebuah
Di sisi lain....“Sayang, pertunangan kita akan diadakan dua hari setelah empat puluh harinya Altair. Gimana menurutmu? Apa kamu setuju?”Dhaffin, yang belum tahu kaburnya Naina, hanya mengangguk pelan tanpa menoleh. Matanya tetap fokus melihat jalanan di depan. Sekarang ini, ia sedang dalam perjalanan mengantar Freya pulang.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Freya hati-hati sambil menatap Dhafin di sampingnya.“Kenapa?” Dhafin melirik sekilas.Freya menunduk, memainkan jarinya di pangkuan. “Aku merasa nggak enak. Kamu sama Naina kan baru aja kehilangan Altair. Kalian masih dalam suasana duka,” ucapnya berpura-pura simpati.“Maumu gimana? Diundur?”“Nggak nggak, bukan gitu.” Freya buru-buru menggeleng. “Ini kan udah menjadi kesepakatan bersama. Jadi, yaudah ikuti aja rencana mereka.”Dhafin hanya berdehem tanpa menanggapi lebih banyak. Dalam hati, ia juga merasakan hal yang sama. Duka masih sangat kental menyelimuti, apalagi Naina yang merasa paling kehilangan.Namun, kembali lagi. Semuanya
Dhafin tiba di rumah sekitar pukul sebelas malam. Suasana rumah sudah sangat sepi. Bahkan lampu ruang utama sudah dimatikan.Ia pun langsung melangkah menuju kamarnya dan tidak melihat keberadaan Naina.Mungkin tidur di kamar Altair karena semenjak putranya tiada Naina lebih sering tidur di sana.Pria bertubuh tinggi dan tegap itu mengambil piyama tidur yang sudah disiapkan sang istri lantas mengganti pakaiannya.Ia merebahkan tubuh yang terasa lelah di ranjang usai mengirim pesan pada Freya untuk mengabarkan bahwa dirinya sudah sampai rumah. Matanya terpejam dan tak lama memasuki alam mimpi.Keesokan paginya, Dhafin bangun sedikit telat. Biasanya Naina yang membangunkannya untuk menunaikan sholat Subuh. Namun, kali ini ia belum melihat batang hidung istrinya.“Naina, siapkan bajuku,” perintah Dhafin yang masih mengira Naina berada di kamar Altair. Tangannya sibuk memasukkan berkas ke dalam tas lebih.Tidak ada sahutan membuatnya mengernyit heran. Kamar ini dengan kamar anaknya saling
Dhafin terduduk di pinggiran ranjang masih mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Ia senantiasa menatap tespack itu lekat-lekat. Naina hamil. Naina sedang mengandung anaknya. Akan tetapi, kenapa tidak memberitahunya? Kini, Naina pergi entah kemana dengan membawa serta benih di rahimnya. Ia benar-benar tidak menyangka istrinya itu berani berbuat nekat. Setelah semalam minta cerai, kemudian malah kabur. Naina pikir, dirinya akan terbebas begitu saja? Tentu tidak! Dhafin berjanji, akan membawa Naina kembali ke rumah ini bagaimanapun caranya. Naina harus berada dalam genggamannya. Tiba-tiba, Dhafin teringat dengan seorang perempuan yang selama ini menjadi sahabat istrinya. Mungkinkah Naina berada di tempat sahabatnya itu? Sepertinya iya. Siapa lagi orang yang akan dituju Naina kalau bukan sahabatnya? Naina tidak memiliki siapapun di dunia ini. Wanita itu hidup sebatang kara tanpa orang tua dan menumpang hidup di rumah Freya sebelum berakhir menikah dengannya.
Naina beringsut duduk dibantu oleh suster. Ia menatap dokter laki-laki di sampingnya dengan raut wajah cemas. Jantungnya berdebar-debar menunggu jawaban dari sang dokter. “Ibu mengalami pendarahan hebat. Untung saja anda segera dibawa ke rumah sakit sehingga langsung mendapatkan penanganan.” Naina dibuat sangat syok mendengar penjelasan dokter. Hatinya mencelos. Jantungnya semakin memompa cepat. “Lalu janin saya....” Ucapannya menggantung. Suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Ia tidak sanggup membayangkan bagaimana kalau dirinya kembali kehilangan. Anak ini satu-satunya yang menjadi harapannya untuk tetap bertahan hidup. Dokter mengulas senyum tipis seolah mengerti kekhawatiran pasiennya. “Alhamdulillah, janin ibu bisa diselamatkan.” “Alhamdulillah….” Naina menghembuskan napas lega. Perasaannya seketika plong. Dalam hati, ia sangat bersyukur. Tuhan masih baik kepadanya dengan tidak mengambil calon buah hatinya. “Tapi sekarang ini kandungan ibu sangat rentan keguguran. Kar
“Aku sangat mencintaimu, Freya. Jangan tinggalkan aku lagi.” Deg! Naina menghentikan langkahnya ketika mendengar ucapan Dhafin yang menyerupai gumaman. Ia berdiri dengan tubuh yang menegang kaku melihat mereka yang saling berpelukan itu. Dadanya seakan dihantam oleh sesuatu yang besar. Butiran bening telah terkumpul di kelopak matanya siap jatuh kapan saja. Belum cukup sampai di situ, Freya melepaskan pelukannya kemudian tanpa diduga mencium bibir Dhafin. Awalnya, Dhafin tampak terkejut, tetapi lama-kelamaan menikmati dan ikut membalas. Terlihat dari caranya yang memegang pipi dan tengkuk Freya semakin memperdalam ciuman. Sontak, air mata Naina jatuh tanpa permisi. Jantungnya berdetak cepat tanpa bisa dikendalikan. Dadanya sangat sesak menyaksikan langsung sang suami mencium mesra mantan kekasihnya. Ya Tuhan…. sakit sekali. Ia menggenggam kuat-kuat testpack di tangannya. Rencananya yang ingin memberikan kejutan, malah ia yang dibuat terkejut. Pantas saja suaminya p
Sungguh, Lora benar-benar tidak menyangka bila sandalnya juga ikutan rusak. Padahal sebelum tampil tadi, kondisi sandal itu masih sangat bagus tanpa ada tanda-tanda akan rusak. Mustahil sandalnya tiba-tiba bisa rusak tanpa sebab kalau bukan ada orang yang sengaja merusaknya.Eh, tunggu! Lora kembali melihat dan meneliti kedua barangnya yang telah rusak itu. Heels yang ia beli ini terkenal dengan keawetannya apalagi hanya dipakai satu kali sebelum ini.Bila dilihat dengan seksama, patahan bagian hak pada heels itu tampak rapi seperti sengaja dipatahkan.Tak berbeda jauh dengan sandalnya yang juga terlihat rapi di bagian putusnya strap sandal seolah-olah sehabis terpotong. Itu berarti dua sandal ini sengaja dirusak bukan rusak dengan sendirinya.Lora menjadi sangat yakin bila semua ini merupakan kerjaan seseorang. Orang itu sengaja merusak dua barangnya bermaksud untuk menjatuhkan dirinya. Pertanyaannya, siapakah orang yang tega melakukan itu?Sejak tadi sebelum Lora pakai, heels-ny
Mira mengangguk paham lantas pamit untuk kembali ke tempatnya. Tak lama, panitia meminta para model untuk segera bersiap karena sebentar lagi giliran mereka yang akan tampil. “Kalau gitu aku balik ke tempatku dulu, ya. Semoga sukses,” pamit Zelda seraya menepuk bahu Lora sejenak kemudian berlalu dari sana.Lora kembali dilanda gugup. Tangannya mulai berkeringat dingin. Jantungnya pun berdentum tak karuan. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan, begitu terus hingga dirinya merasa sedikit tenang.Selain itu, dirinya juga mengingat kembali blocking serta pose saat di runaway nanti untuk mengurangi kegugupannya.Satu persatu model yang mewakili Butik LaCia mulai tampil. Lora pun diarahkan oleh panitia mendekat ke runaway. Saat berjalan, ia merasakan ada tidak beres dengan sepatu heels-nya. Bagian hak sepatu itu terasa goyah seakan ingin copot.Tentu saja, ia agak panik sekaligus takut, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena sebentar lagi dirinya akan tampi
Acara fashion show week telah dimulai dan sudah berlangsung selama tiga puluh menit. Satu persatu peserta model dari desainer lain mulai tampil.Dua puluh lima menit sebelum tampil, Zelda bersama Sinta dan timnya kembali datang ke bagian final stage untuk membenahi detail baju dan juga riasan para modelnya. Busana karya Zelda ini memiliki model yang simpel dan elegan. Tidak ribet saat mengenakannya dan bisa dipakai sendiri tanpa bantuan desainer sehingga lebih cepat selesai dalam bersiap.“Hai, Lora,” sapa Zelda mendekati Lora yang hanya bergeming di tempatnya seraya meremas tangan. “Deg-degan, ya?”Lora tersenyum yang terkesan dipaksakan lalu mengangguk pelan. “Aku nervous banget, Zelda.”“Wajar kalau nervous. Ini kan pengalaman pertamamu.” Zelda menata dan membenahi gamis yang dipakai Lora. Tak lupa kerudungnya juga ikut dirapikan.“Makanya itu, aku takut gagal dan malah mengecewakanmu.” Lora menoleh sedikit ke belakang di mana Zelda sedang membenahi bagian belakang gamisnya.Zelda
Pukul empat sore, Lora dan Mira berada di mobil sedang dalam perjalanan pulang. Kali ini, Mira yang menyetir menggantikan Lora yang katanya sedang malas dan capek.“Pertanyaanku tadi belum dijawab loh, Mbak,” kata Lora yang duduk di kursi samping kemudi.Mira melirik Lora sekilas. “Pertanyaan yang mana?” tanyanya balik meski sudah menebak.“Kenapa tadi Mbak merampas botol minumanku? Datangnya tiba-tiba lagi, bikin aku kaget banget, tau. Minimal di-briefing dulu,” jawab Lora dengan bibir mengerucut sebal.Mira fokus pada jalanan yang padat merayap. “Tadi sebelum kamu datang dan duduk, aku melihat Freya memasukkan sesuatu ke dalam minumanmu.”“What?!” Lora membalalakkan mata terkejut. Ia bahkan sampai mengubah posisinya menjadi serong menghadap Mira. “Serius, Mbak?”Mira menggangguk yakin. “Aku punya buktinya, sempat kurekam tadi. Ambil aja HP-ku di tas buat melihatnya.”Lora mengangguk lalu mengulurkan tangannya ke jok belakang untuk meraih tas milik Mira di sana. Ia segara mengambil p
Lora mengangkat kedua bahunya. “Nggak tuh. Aku nggak memakai make-up tebal.”Wanita cantik itu menekuk lengan membentuk siku dengan punggung tangan menghadap Freya lalu menyingkap sedikit lengan bajunya hingga memperlihatkan kulitnya yang putih mulus.“Ini kulitku asli tanpa tertutup make-up,” ucapnya sambil menggosok pelan kulit di tangan yang tidak meninggalkan bekas. Ia berlanjut menunjuk wajahnya sendiri. “Kalau yang wajah kan emang wajib di make-up.”Freya menggelengkan kepalanya berkali-kali berusaha menyangkal. Ia bisa melihat sendiri kulit Lora yang sehat tanpa cacat sedikitpun. “Nggak mungkin! Bagaimana bisa? Padahal jelas-jelas kemarin kamu minum air dari botol itu,” katanya tidak terima.“Iyalah, aku minum, orang aku haus,” balas Lora dengan tenang dan terkesan santai usai menarik lengan baju untuk menutupi auratnya.“Memangnya kenapa kalau aku minum dari botol itu?” Ia mengangkat sebelah alisnya. Sedetik kemudian, Lora membulatkan matanya seraya menutup mulutnya terkeju
Hari H Fashion Show telah tiba. Semua peserta model yang ikut serta dalam fashion week kali ini telah berkumpul di belakang panggung atau lebih tepatnya di ruang khusus model. Mereka semua sudah terlihat sangat cantik dengan make-up dan mengenakan gaun yang hendak diperagakan nanti. Kini, mereka sedang berkumpul bersama dengan desainer masing-masing untuk melakukan pengarahan sekaligus membantu memperbaiki beberapa detail baju yang dikenakan oleh para modelnya.Freya tersenyum dalam hati saat dirinya tidak menemukan keberadaan Lora di sini. Pasti sekarang wanita itu sedang meratapi nasibnya yang tidak bisa hadir karena seluruh tubuhnya penuh ruam dan bentol-bentol kemerahan.Penyakit itu baru bisa disembuhkan tiga sampai empat hari ke depan dan tentu saja meninggalkan akan bekas yang cukup lama penyembuhannya. Jika benar-benar ingin sembuh total paling tidak satu bulan lamanya.“Di mana Lora?” tanya Zelda sambil menatap para model busananya. Sejak tadi ia belum menemukan batang hid
Acara gladi bersih dimulai pukul sepuluh pagi. Lora pergi ke restoran ketiga lebih dulu karena ada beberapa hal yang perlu diurus sekalian mengecek laporan keuangan. Ia bekerja dengan sangat fokus sampai-sampai hampir terlupa kalau dirinya harus pergi ke gedung tempat fashion show diadakan. Untung saja, ada Mira yang mengingatkannya.“Kamu langsung pergi ke lokasi aja, Mbak, biar aku yang handle pekerjaan di sini. Lagian tinggal sedikit kok,” ucap Mira.Lora memasukkan ponsel dan beberapa barangnya ke dalam tas selempang. “Nggak papa kutinggal?” tanyanya merasa tidak enak.Mira menggeleng seraya tersenyum menenangkan. “Nggak papa, nanti aku akan menyusul. Bisalah pakai ojol atau taksi online ke sananya.”Lora mencangklongkan tasnya di pundak kanan dengan buru-buru. “Yaudah aku pergi dulu, ya, Mbak.”“Hati-hati, Mbak Lora. Jangan ngebut!” balas Mira setengah berteriak karena Lora sudah berjalan menjauh.Tiba di lokasi, Lora langsung menuju ke bagian belakang panggung tepatnya di ruang
Berbeda dengan Dhafin yang sudah berhasil meluluhkan si kembar, Lora disibukkan dengan persiapan fashion show yang tinggal menghitung hari. Ditambah lagi ia harus mengurus restoran. Meski sudah ada kepala restoran di masing-masing cabang yang senantiasa membantunya, tetapi ia tidak bisa lepas tanggung jawab begitu saja.Ini sudah menjadi konsekuensi ketika dirinya memilih menerima kembali tawaran Zelda menjadi model produk baju muslimah di butik LaCia apalagi sekarang ini dirinya sudah memutuskan untuk publish wajah.Lora pergi ke restoran di waktu pagi untuk memantau kemudian siangnya ke butik Zelda bersama Mira yang selalu setia mendampingi. Semakin hari ia semakin sibuk bahkan tak jarang dirinya pulang telat.Masalah anak-anaknya, Lora tidak terlalu khawatir karena sudah ada Dhafin yang ikut membantu menjaga mereka. Ia mempercayakan si kembar kepada Dhafin sekaligus memberikan waktu kepada mereka untuk saling dekat satu sama lain. Dirinya juga sengaja tidak ikut saat mereka ada a
Hari demi hari telah terlewati. Dhafin menepati ucapannya sendiri, yakni datang ke kediaman Lora setiap hari sepulang dari kantor. Tak peduli dengan jarak tempuh yang cukup jauh, ia bahkan rela harus bolak-balik demi bisa menemui anak-anaknya. Lora juga pada akhirnya memenuhi permintaan ayah kandungnya si kembar yang melarang Grissham datang ke rumah.Beruntung Grissham sendiri mengerti dengan posisi Dhafin yang ingin dekat dengan si kembar tanpa ada peranan orang lain selain ibu dan pengasuhnya.Setiap hari, Dhafin selalu mengajak si kembar bermain sambil belajar seperti arahan baby sitter. Bukan hanya di rumah saja, ia juga kadang kala mengajak mereka jalan-jalan di luar yang tentu saja atas seizin Lora.Pria itu ingin mempunyai momen indah bersama kedua anak kembarnya untuk menggantikan waktunya yang telah hilang selama ini.Tanpa terasa hampir satu bulan lamanya Dhafin melakukan pendekatan dengan si kembar. Usaha yang dilakukannya tidak mengkhianati hasil.Si kembar lama-kelamaa