Share

3. Mari Berpisah

“Mas, aku ingin kita pisah.” Sekuat tenaga, Naina mengatakan kalimat yang ditahannya beberapa minggu ini.

Namun, Dhafin hanya menatap Naina datar. “Jangan kekanakan, Naina. Lebih baik, istirahat saja,” balasnya dingin.

Jantung Naina mencelos. Netranya berkaca-kaca membalas tatapan Dhafin. 

Kekanak-kanakan?

Jadi, seperti itu penilaian Dhafin terhadapnya. Apa Dhafin tak melihat perjuangannya selama empat tahun ini?

Naina telah melakukan segala hal agar kehadirannya dianggap oleh Dhafin. Ia berusaha semaksimal mungkin menjadi istri yang baik dan penurut.

Wanita itu rela resign dari tempat kerja lalu mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk suami. Bahkan ketika dijadikan pembantu gratisan oleh ibu mertuanya, ia tetap patuh. 

Selain karena kewajiban, Naina ingin meluluhkan hati suami dan keluarganya. Namun, ternyata ketulusannya sama sekali tak terlihat. Semuanya sia-sia.

Naina berdehem pelan. “Mas, aku udah mendengar pembicaraan kalian tadi.”

Kali ini, Dhafin menghentikan gerakannya yang akan mengambil berkas kantor di meja, kemudian menoleh ke arah Naina. Kedua alisnya terangkat tanda bahwa ia ingin mendengar lebih lanjut ucapan sang istri.

“Kamu menerima perjodohan itu, jadi untuk apa pernikahan ini? Tolong talak aku sekarang juga,” ucap Naina lagi.

Dhafin mengangguk samar. Ia menyandarkan tubuhnya pada meja sembari bersedekap dada. “Aku tidak akan menceraikanmu.”

“Kenapa, Mas? Bukankah Freya udah kembali dalam kehidupanmu? Aku cuma nggak ingin menjadi penghalang dalam hubungan kalian,” ujar Naina. 

“Aku sadar kok, aku cuma istri pengganti yang sampai kapanpun nggak akan pernah bisa mendapatkan hatimu.” 

Dhafin menurunkan tangannya lantas berjalan mendekat hingga berdiri tepat di hadapan Naina. Ia menatap lekat kedua bola mata indah milik istrinya yang memancarkan kesungguhan. 

“Kubilang, kita tak akan bercerai” ujar Dhafin datar tanpa ekspresi.

Naina tertawa sumbang lalu kembali menatap Dhafin. “Maumu apa sih, Mas? Aku sudah lelah.” 

Tatapannya meredup. Terlihat jelas sorot mata itu menyimpan luka begitu dalam. Ia menunduk sembari menangkupkan tangan. 

“Jadi, tolong, ceraikan aku. Bebaskan aku dari pernikahan yang menyiksa ini, Mas Dhafin,” pintanya. 

Dhafin menghela napas kasar. Tangannya terulur lantas memegang erat bahu Naina. Sedikit menunduk untuk melihat ekspresi wajah istrinya.

“Dengar, Naina. Aku nggak akan pernah menceraikanmu. Kamu tetap menjadi istriku,” tegasnya disertai penekanan dalam setiap kata-katanya.

Naina mendongak membuat tatapan keduanya kembali bertemu. Seharusnya ia senang mendapat pengakuan dari Dhafin. Namun, entah kenapa hatinya malah semakin sakit.

“Istri yang nggak dianggap maksudmu? Atau istri rasa pembantu?” Naina tersenyum miring menekan rasa sesak yang terus mengalir dalam dadanya.

Alih-alih menjawab, pria itu justru berlalu keluar kamar meninggalkan Naina sendirian yang menangisi apa yang terjadi padanya.

Dari kecil hidupnya dipenuhi oleh ujian dan cobaan. Kebahagiaan seolah enggan mendekat walau hanya sekedar menyapanya. Bahkan Naina lupa kapan terakhir ia merasakan kebahagiaan itu.

Kehadiran Altair bagaikan cahaya yang menerangi hidupnya yang gelap gulita. Tak peduli semua orang membencinya, asalkan bersama Altair ia merasa cukup. 

Sayangnya, kebahagiaan itu hanya sementara. Tepat di usia yang ke-3 tahun, Naina harus ikhlas melepas Altair kembali ke sisi Tuhan. 

Sumber kekuatannya telah tiada. Jiwanya kembali rapuh, hilang tujuan dan arah. Mengapa ia harus mengalami semua ini?

Sekarang, giliran Naina yang meminta pisah, Dhafin malah menolaknya. Sungguh, ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran suaminya.

Statusnya terasa digantung. Menjadi istri, tetapi selalu diabaikan. Begitu pula dengan mertua yang sangat membencinya.

Sebenarnya apa yang diinginkan Dhafin?

Mungkin Dhafin ingin melakukan poligami sehingga mempunyai dua istri. Pria itu bisa kembali kepada Freya tanpa harus melepaskannya.

Egois! 

Tentu saja Naina tidak akan sanggup. Belum apa-apa sudah terlihat sangat jelas Dhafin lebih condong kemana apalagi kalau mereka beneran menikah.

Hidupnya pasti akan lebih menderita. Freya tentunya tidak akan tinggal diam. Perempuan itu pasti akan melakukan segala cara untuk menyingkirkannya. 

Naina mengusap wajahnya kasar. Apa yang harus ia lakukan? Apa harus ia menggugat cerai seperti rencananya tadi?

Diabaikannya dering ponsel yang tiba-tiba terdengar.

Satu kali.

Dua kali.

Bahkan, tiga kali.

Hal ini membuat Naina penasaran. Ia pun mengambil ponselnya dan menemukan temannya menelpon dengan panik.

“Naina, gawat! Freya memposting sesuatu yang bisa membuatmu dipenjara.”

“Apa maksudmu?”

“Cek link yang kukirimkan lewat chat.”

Menahan degup jantung, Naina pun mengklik tautan itu.

Di sana, ada video yang berdurasi satu menit tiga puluh detik yang menampilkan dirinya menambah sesuatu di makanan sang putra.

Seharusnya, itu biasa saja, tapi caption di bawahnya sungguh provokatif.

[Tidak ada ibu yang akan menyakiti anaknya. Kalau ada, dia bukan manusia, tapi binatang!]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status