“Aku yang akan menggugat cerai.”
“Kamu serius?” Terkejut, Zelda tampak tidak menyangka Naina akan menjawab seperti itu.
“Jangan mengambil keputusan saat kamu sedang kacau, Nai. Meski aku berharap kalian berpisah, tapi jangan sampai kamu menyesal nantinya. Dan lagi, pikirkan juga tentang calon anakmu.”
Naina kembali menghela napas panjang. “Aku udah mempertimbangkan baik-baik keputusan ini dengan segala resikonya termasuk masalah anak.”
“Aku akan merawat dan membesarkannya sendirian. Menjadi single mom bukan pilihan yang buruk daripada bertahan di keluarga toxic itu,” paparnya.
Zelda tersenyum. “Inilah yang kutunggu-tunggu darimu, Nai. Kamu mampu mengambil keputusan tegas. Aku akan membantumu lepas dari mereka.”
Ia memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih condong ke arah Naina. “Tapi sebelum itu, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah merubah sikap.”
“Jangan terlalu patuh yang membuat dirimu ditindas terus. Buktikan kalau kamu nggak selemah yang mereka kira.”
Naina menyimak dengan serius semua saran dari Zelda. Ia juga menceritakan dirinya yang melakukan sedikit perlawanan akhir-akhir ini.
“Bagus, pertahankan itu. Melawan bukan berarti durhaka. Kamu harus berani membela dirimu sendiri agar tidak semakin terinjak.”
Naina mengangguk mantap. Dalam hati, ia bertekad tidak akan lagi membiarkan dirinya direndahkan. Sudah cukup.
Setelah sepakat sekaligus menghabiskan waktu bersama sahabatnya, Naina pun pulang ke rumah.
Sudah pukul 19.00, tapi ruang tamu dan ruang makan tampak sepi.
Hanya ada pembantu dan juga pegawai di rumah. Padahal, Naina ingin menemui Dhaffin yang akhir-akhir ini sulit ditemui.
Lesu, ia menuju kamarnya, tetapi ia tersentak kala mendengar percakapan dari arah kolam renang.
“Mama nggak sabar pengen cepat-cepat menjadikan Freya menantu keluarga ini.” Suara antusias mertua Naina terdengar keras–berbeda jauh setiap wanita itu menyebutkan nama Naina.
“Bagaimana kalau kita melaksanakan pertunangan setelah acara 40 hari Altair?”
Semua orang di sana terdengar tertawa membuat Naina menahan air mata.
Keadaan masih berduka atas meninggalnya Altair. Tapi, mereka semua berencana melangsungkan pertunangan?
Tak bisakah mereka menunggu dulu?
“Tapi, apa itu tidak terlalu cepat, Ma? Kita kan baru saja berduka atas meninggalnya Altair. Apa pantas kita mengadakan pesta pertunangan secepat itu?”
Tiba-tiba suara Freya terdengar, sedih.
“Freya juga tidak enak dengan Naina yang baru saja kehilangan anaknya.”
Naina tersenyum miring. Tangannya mengepal kuat menahan geram. Begitu pandai Freya bersandiwara di hadapan mereka.
Perempuan itu bahkan tersenyum mengejeknya beberapa hari lalu dan tak menunjukkan simpati. Sekarang, justru berpura-pura?
Licik!
Freya menyembunyikan kebusukannya dibalik topeng berhati malaikat seperti yang semua orang lihat.
Ingin rasanya Naina berteriak, Freya tidak sebaik itu! Namun, ia tidak mempunyai bukti yang membuatnya tidak bisa berkutik.
“Halah, biarin aja wanita itu. Emangnya dia doang yang sedih? Kita semua bahkan jauh lebih sedih.” Ibu mertua Naina membalas dengan nada sangat ketus, lalu bertanya pada sang putra.
“Bagaimana menurutmu, Dhafin? Apa kamu setuju?”
Kali ini, Naina gemetar. Ia menunggu dengan cemas jawaban dari Dhafin.
Meski sudah bisa menebak, tetapi masih ada harapan kecil kalau Dhafin akan menolaknya.
Setidaknya, bersimpati pada Naina atau menunggu keduanya bercerai….
“Terserah kalian aja. Kalian atur semuanya.”
Deg!
Jawaban yang dilontarkan Dhafin membuat harapan Naina pupus seketika. Ia memegang dadanya yang berdenyut sakit. Hatinya terasa dicabik-cabik.
Keputusannya untuk bercerai ternyata sudah benar.
Ia tidak akan mampu bersaing dengan Freya. Sudah pasti Freya-lah pemenangnya.
Naina menarik napas dalam-dalam guna menetralkan perasaannya sebelum melangkah memasuki kamarnya.
Ia memantapkan hati untuk melakukan perpisahan meski sebelumnya tak pernah ia sangka harus mengalami perceraian.
Rumah tangga yang dibina selama empat tahun ini harus berakhir dengan perpisahan. Kehadirannya ternyata tak mampu meluluhkan hati Dhafin.
Sementara itu, di ruang tamu, mereka masih bersenda gurau, tanpa sadar telah menyakiti hati seseorang.
“Dhafin, mama yakin kamu akan bahagia sama Freya nanti! Lihat kelakuan istrimu, Dhafin. Dibiarkan malah semakin ngelunjak. Lebih baik kamu cepat-cepat menceraikannya dan nikah sama Freya.”
Dhafin tidak menyahut.
Diam-diam, dia memikirkan Naina yang terasa semakin menjauh.
Ia juga dengar laporan perubahan sikap Naina yang mulai melawan.
Padahal biasanya patuh, bahkan rela ketika dijadikan layaknya pembantu di rumah ini.
Belum bisa dipastikan pula apakah benar Naina yang meracuni Altair atau bukan. Rasanya tidak mungkin Naina melakukan hal itu.
Naina sangat menyayangi putranya. Tak terlihat adanya baby blues, depresi, atau segala macam yang berkaitan dengan hal tersebut.
Atau…. Mungkinkah dirinya yang tidak tahu?
Dhafin menghela napas kasar lalu akhirnya memilih pamit ke kamar.
Hanya saja, begitu masuk, pria itu menemukan Naina sudah menatapnya dalam.
“Mas, aku ingin kita pisah.”
“Mas, aku ingin kita pisah.” Sekuat tenaga, Naina mengatakan kalimat yang ditahannya beberapa minggu ini.Namun, Dhafin hanya menatap Naina datar. “Jangan kekanakan, Naina. Lebih baik, istirahat saja,” balasnya dingin.Jantung Naina mencelos. Netranya berkaca-kaca membalas tatapan Dhafin. Kekanak-kanakan?Jadi, seperti itu penilaian Dhafin terhadapnya. Apa Dhafin tak melihat perjuangannya selama empat tahun ini?Naina telah melakukan segala hal agar kehadirannya dianggap oleh Dhafin. Ia berusaha semaksimal mungkin menjadi istri yang baik dan penurut.Wanita itu rela resign dari tempat kerja lalu mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk suami. Bahkan ketika dijadikan pembantu gratisan oleh ibu mertuanya, ia tetap patuh. Selain karena kewajiban, Naina ingin meluluhkan hati suami dan keluarganya. Namun, ternyata ketulusannya sama sekali tak terlihat. Semuanya sia-sia.Naina berdehem pelan. “Mas, aku udah mendengar pembicaraan kalian tadi.”Kali ini, Dhafin menghentikan gerakannya yang
[Tidak ada ibu yang akan menyakiti anaknya. Kalau ada, dia bukan manusia, tapi binatang!]Deg!Sejenak, detak jantung Naina terasa berhenti. Tubuhnya lemas hingga membuatnya langsung luruh ke lantai. Badannya gemetar hebat.Tanpa dosa, Freya juga men-tag akunnya untuk memperlihatkan kepada semua orang bahwa dialah pelakunya.Beberapa saat terunggah, postingan itu langsung diserang komentar netizen.[Wanita gila! Yang tega meracuni anaknya sendiri sampai meninggal. Dia tak layak menjadi ibu. Pembunuh!!!]Naina merasakan ada pukulan kuat yang menghantam dadanya ketika membaca komentar kakak iparnya di bagian paling teratas.Belum lagi berbagai komentar jahat di bawahnya membuat ia semakin diliputi rasa kecewa.[Binatang aja masih punya rasa sayang untuk anaknya. Ini sih bukan binatang lagi, tapi iblis!][Iblis berkedok manusia][Dasar pembunuh!][Wanita seperti itu nggak pantas hidup. Lebih baik mati!][Anj lo! Lo tuh yg seharusnya mati! Bukan anak lo yg nggak salah apa-apa][Pembunuh!!
“Aku nggak bodoh sampai-sampai nggak bisa membedakan mana yang vitamin, mana yang bukan! Yang kucampurkan itu memang benar-benar vitamin, bukan racun seperti yang mereka tuduhkan!” Napasnya terdengar memburu dengan dada naik-turun. Ia mengepalkan tangannya kuat menahan emosi.“Nggak usah mengelak! Bukti udah jelas kalau kamu pelakunya.”“Bukti itu palsu. Ada yang sengaja merekam saat aku lagi memasukkan vitamin ke dalam makanan Altair. Kamu bisa tanya sama Bi Lastri sebagai saksi.” Menurunkan ego, Naina tak menyerah meyakinkan Dhafin. Tangannya terulur untuk menggenggam lengan sang suami. “Percayalah, Mas, bukan aku pelakunya.”Dhafin melepaskan tangannya kasar membuat Naina sangat terkejut lalu menatap kedua bola mata suaminya. Manik cokelat itu menyorot tajam dan dingin.“Cukup, Naina! Berhenti membela diri. Semua udah terbukti bahwa kau yang membunuh putraku!”Naina mematung. Setetes air jatuh dari pelupuk matanya. “Sedikitpun aku nggak pernah menyakiti Altair apalagi sampai memb
Ia sangat terkejut mendengar ucapan Freya. Kepalanya menggeleng tidak percaya. Tidak! Naina tidak mungkin salah memasukkan vitamin. Ia sangat mengenali bentuk dan isinya. Ia juga ingat betul hari dimana video diambil.Waktu itu Naina sedang membuatkan sarapan untuk Altair yang mengalami GTM. Dibantu oleh Bi Lastri, kepala pelayan, ia juga sedang memasak sarapan untuk semua orang.Setelah makanan Altair jadi, dirinya menambahkan vitamin sesuai anjuran dokter. Sebelumnya, ia sudah memastikan bahwa yang dipegangnya benar-benar vitamin. Mulai dari bentuk, isi, hingga takarannya.“Teliti banget, Non. Bukannya sama aja, ya?” Bi Lastri pun sampai terheran-heran melihat tingkahnya.Naina tertawa kecil. “Harus dong, Bi, biar nggak salah memasukkan.”Ia kemudian mengkreasikan makanan itu dengan membuat bentuk lucu. Altair sangat menyukai makanan yang menarik di matanya.Entah bagaimana video itu diambil padahal Naina tidak merasa direkam. Mungkin ia yang tidak menyadari saking asyiknya berse
[Zelda, malam ini aku memutuskan pergi dari rumah neraka itu. Aku udah nggak kuat berada disana]Harap-harap cemas, Naina mengirimkan pesan untuk sahabatnya itu. Sayangnya, hanya centang dua dan belum dibaca. Mungkin Zelda sedang menikmati waktu bersama keluarganya?Naina jadi sungkan meminta bantuan. Meski sebelumnya Zelda sudah menawarkan, tetap saja dirinya tidak ingin merepotkan Zelda terus.Kini, Naina berjalan kaki tak tentu arah. Cukup jauh dari kompleks perumahan mertuanya.Sudah memesan ojol juga bahkan sampai tiga kali, tetapi semuanya ditolak dengan alasan sudah larut malam.Tidak mungkin ia pulang ke kampung halaman karena rumahnya sudah dijual untuk modal ke kota ini.Kembali ke rumah Freya yang selama ini menjadi tempat tinggalnya sebelum menikah pun bukan pilihan bagus. Itu sama saja dengan masuk ke kandang musuh.Wanita cantik itu kembali memesan ojol dengan tujuan menuju terminal, berharap kali ini orderannya diterima. Lelah berjalan, ia memutuskan istirahat di sebuah
Di sisi lain....“Sayang, pertunangan kita akan diadakan dua hari setelah empat puluh harinya Altair. Gimana menurutmu? Apa kamu setuju?”Dhaffin, yang belum tahu kaburnya Naina, hanya mengangguk pelan tanpa menoleh. Matanya tetap fokus melihat jalanan di depan. Sekarang ini, ia sedang dalam perjalanan mengantar Freya pulang.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Freya hati-hati sambil menatap Dhafin di sampingnya.“Kenapa?” Dhafin melirik sekilas.Freya menunduk, memainkan jarinya di pangkuan. “Aku merasa nggak enak. Kamu sama Naina kan baru aja kehilangan Altair. Kalian masih dalam suasana duka,” ucapnya berpura-pura simpati.“Maumu gimana? Diundur?”“Nggak nggak, bukan gitu.” Freya buru-buru menggeleng. “Ini kan udah menjadi kesepakatan bersama. Jadi, yaudah ikuti aja rencana mereka.”Dhafin hanya berdehem tanpa menanggapi lebih banyak. Dalam hati, ia juga merasakan hal yang sama. Duka masih sangat kental menyelimuti, apalagi Naina yang merasa paling kehilangan.Namun, kembali lagi. Semuanya
Dhafin tiba di rumah sekitar pukul sebelas malam. Suasana rumah sudah sangat sepi. Bahkan lampu ruang utama sudah dimatikan.Ia pun langsung melangkah menuju kamarnya dan tidak melihat keberadaan Naina.Mungkin tidur di kamar Altair karena semenjak putranya tiada Naina lebih sering tidur di sana.Pria bertubuh tinggi dan tegap itu mengambil piyama tidur yang sudah disiapkan sang istri lantas mengganti pakaiannya.Ia merebahkan tubuh yang terasa lelah di ranjang usai mengirim pesan pada Freya untuk mengabarkan bahwa dirinya sudah sampai rumah. Matanya terpejam dan tak lama memasuki alam mimpi.Keesokan paginya, Dhafin bangun sedikit telat. Biasanya Naina yang membangunkannya untuk menunaikan sholat Subuh. Namun, kali ini ia belum melihat batang hidung istrinya.“Naina, siapkan bajuku,” perintah Dhafin yang masih mengira Naina berada di kamar Altair. Tangannya sibuk memasukkan berkas ke dalam tas lebih.Tidak ada sahutan membuatnya mengernyit heran. Kamar ini dengan kamar anaknya saling
Dhafin terduduk di pinggiran ranjang masih mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Ia senantiasa menatap tespack itu lekat-lekat. Naina hamil. Naina sedang mengandung anaknya. Akan tetapi, kenapa tidak memberitahunya? Kini, Naina pergi entah kemana dengan membawa serta benih di rahimnya. Ia benar-benar tidak menyangka istrinya itu berani berbuat nekat. Setelah semalam minta cerai, kemudian malah kabur. Naina pikir, dirinya akan terbebas begitu saja? Tentu tidak! Dhafin berjanji, akan membawa Naina kembali ke rumah ini bagaimanapun caranya. Naina harus berada dalam genggamannya. Tiba-tiba, Dhafin teringat dengan seorang perempuan yang selama ini menjadi sahabat istrinya. Mungkinkah Naina berada di tempat sahabatnya itu? Sepertinya iya. Siapa lagi orang yang akan dituju Naina kalau bukan sahabatnya? Naina tidak memiliki siapapun di dunia ini. Wanita itu hidup sebatang kara tanpa orang tua dan menumpang hidup di rumah Freya sebelum berakhir menikah dengannya.