Home / Pernikahan / Mari Berpisah, Aku Menyerah / 2. Rencana Pertunangan

Share

2. Rencana Pertunangan

“Aku yang akan menggugat cerai.”

“Kamu serius?” Terkejut, Zelda tampak tidak menyangka Naina akan menjawab seperti itu.

“Jangan mengambil keputusan saat kamu sedang kacau, Nai. Meski aku berharap kalian berpisah, tapi jangan sampai kamu menyesal nantinya. Dan lagi, pikirkan juga tentang calon anakmu.”

Naina kembali menghela napas panjang. “Aku udah mempertimbangkan baik-baik keputusan ini dengan segala resikonya termasuk masalah anak.”

“Aku akan merawat dan membesarkannya sendirian. Menjadi single mom bukan pilihan yang buruk daripada bertahan di keluarga toxic itu,” paparnya.

Zelda tersenyum. “Inilah yang kutunggu-tunggu darimu, Nai. Kamu mampu mengambil keputusan tegas. Aku akan membantumu lepas dari mereka.”

Ia memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih condong ke arah Naina. “Tapi sebelum itu, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah merubah sikap.”

“Jangan terlalu patuh yang membuat dirimu ditindas terus. Buktikan kalau kamu nggak selemah yang mereka kira.” 

Naina menyimak dengan serius semua saran dari Zelda. Ia juga menceritakan dirinya yang melakukan sedikit perlawanan akhir-akhir ini.

“Bagus, pertahankan itu. Melawan bukan berarti durhaka. Kamu harus berani membela dirimu sendiri agar tidak semakin terinjak.”

Naina mengangguk mantap. Dalam hati, ia bertekad tidak akan lagi membiarkan dirinya direndahkan. Sudah cukup.

Setelah sepakat sekaligus menghabiskan waktu bersama sahabatnya, Naina pun pulang ke rumah. 

Sudah pukul 19.00, tapi ruang tamu dan ruang makan tampak sepi.

Hanya ada pembantu dan juga pegawai di rumah. Padahal, Naina ingin menemui Dhaffin yang akhir-akhir ini sulit ditemui. 

Lesu, ia menuju kamarnya, tetapi ia tersentak kala mendengar percakapan dari arah kolam renang.

“Mama nggak sabar pengen cepat-cepat menjadikan Freya menantu keluarga ini.” Suara antusias mertua Naina terdengar keras–berbeda jauh setiap wanita itu menyebutkan nama Naina.

“Bagaimana kalau kita melaksanakan pertunangan setelah acara 40 hari Altair?”

Semua orang di sana terdengar tertawa membuat Naina menahan air mata.

Keadaan masih berduka atas meninggalnya Altair. Tapi, mereka semua berencana melangsungkan pertunangan?

Tak bisakah mereka menunggu dulu?

“Tapi, apa itu tidak terlalu cepat, Ma? Kita kan baru saja berduka atas meninggalnya Altair. Apa pantas kita mengadakan pesta pertunangan secepat itu?” 

Tiba-tiba suara Freya terdengar, sedih. 

“Freya juga tidak enak dengan Naina yang baru saja kehilangan anaknya.”

Naina tersenyum miring. Tangannya mengepal kuat menahan geram. Begitu pandai Freya bersandiwara di hadapan mereka.

Perempuan itu bahkan tersenyum mengejeknya beberapa hari lalu dan tak menunjukkan simpati. Sekarang, justru berpura-pura?

Licik! 

Freya menyembunyikan kebusukannya dibalik topeng berhati malaikat seperti yang semua orang lihat.

Ingin rasanya Naina berteriak, Freya tidak sebaik itu! Namun, ia tidak mempunyai bukti yang membuatnya tidak bisa berkutik.

“Halah, biarin aja wanita itu. Emangnya dia doang yang sedih? Kita semua bahkan jauh lebih sedih.” Ibu mertua Naina membalas dengan nada sangat ketus, lalu bertanya pada sang putra. 

“Bagaimana menurutmu, Dhafin? Apa kamu setuju?” 

Kali ini, Naina gemetar. Ia menunggu dengan cemas jawaban dari Dhafin.

Meski sudah bisa menebak, tetapi masih ada harapan kecil kalau Dhafin akan menolaknya.

Setidaknya, bersimpati pada Naina atau menunggu keduanya bercerai….

“Terserah kalian aja. Kalian atur semuanya.”

Deg!

Jawaban yang dilontarkan Dhafin membuat harapan Naina pupus seketika. Ia memegang dadanya yang berdenyut sakit. Hatinya terasa dicabik-cabik.

Keputusannya untuk bercerai ternyata sudah benar.

Ia tidak akan mampu bersaing dengan Freya. Sudah pasti Freya-lah pemenangnya.

Naina menarik napas dalam-dalam guna menetralkan perasaannya sebelum melangkah memasuki kamarnya.

Ia memantapkan hati untuk melakukan perpisahan meski sebelumnya tak pernah ia sangka harus mengalami perceraian.

Rumah tangga yang dibina selama empat tahun ini harus berakhir dengan perpisahan. Kehadirannya ternyata tak mampu meluluhkan hati Dhafin.

Sementara itu, di ruang tamu, mereka masih bersenda gurau, tanpa sadar telah menyakiti hati seseorang.

“Dhafin, mama yakin kamu akan bahagia sama Freya nanti! Lihat kelakuan istrimu, Dhafin. Dibiarkan malah semakin ngelunjak. Lebih baik kamu cepat-cepat menceraikannya dan nikah sama Freya.”

Dhafin tidak menyahut.

Diam-diam, dia memikirkan Naina yang terasa semakin menjauh.

Ia juga dengar laporan perubahan sikap Naina yang mulai melawan.

Padahal biasanya patuh, bahkan rela ketika dijadikan layaknya pembantu di rumah ini.

Belum bisa dipastikan pula apakah benar Naina yang meracuni Altair atau bukan. Rasanya tidak mungkin Naina melakukan hal itu.

Naina sangat menyayangi putranya. Tak terlihat adanya baby blues, depresi, atau segala macam yang berkaitan dengan hal tersebut.

Atau…. Mungkinkah dirinya yang tidak tahu?

Dhafin menghela napas kasar lalu akhirnya memilih pamit ke kamar.

Hanya saja, begitu masuk, pria itu menemukan Naina sudah menatapnya dalam.

“Mas, aku ingin kita pisah.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status