Share

Mari Berpisah, Aku Menyerah
Mari Berpisah, Aku Menyerah
Penulis: Putri Cahaya

1. Aku Lelah

Plak!

“Dasar wanita pembunuh! Untuk apa kau di sini?!”

Baru saja Naina tiba di acara pemakaman sang putra, ibu mertuanya sudah menghampiri dan menamparnya.

Tak siap, Naina pun tersungkur di tanah. 

Hal ini membuat para tamu menatap penasaran akan pertengkaran mertua dan menantu itu.

Naina menatap ibu dari suaminya itu dengan pandangan penuh luka. Air mata yang tadinya sudah mengering kembali lolos disertai rasa nyeri menghantam dada.

“Tidak, Ma. Aku tidak mungkin membunuh putraku sendiri.” Naina menggeleng keras.

Wanita itu telah berjuang membawa putranya ke dunia. Mana mungkin, ia melakukannya?

Naina hendak meraih tangan sang mertua–mencoba menjelaskan.

Sayangnya, ia justru didorong menjauh.

Bugh!

“Tidak mungkin?! Dokter bilang Altair meninggal karena ada racun dalam tubuhnya yang berasal dari makanan!” teriak sang mertua, “hanya kamu yang menyentuh makanan cucuku. Apa kamu mau menuduh orang lain?”

Naina semakin terisak. Tubuhnya bergetar hebat mendengar perkataan menyakitkan dari ibu mertuanya.

“Lihat semuanya! Wanita sialan ini sudah membunuh cucu saya! Disaksikan semua yang ada di sini, saya berjanji akan menjebloskannya ke penjara.” 

Seakan belum cukup, Bu Anita berteriak kencang, sehingga orang-orang yang hadir di pemakaman itu, menatap jijik Naina.

Beberapa bahkan mulai mengambil ponsel mereka untuk merekamnya.

Naina dipermalukan habis-habisan.

Seorang ibu membunuh anaknya? Dia pasti wanita gila!

Kira-kira begitulah yang Naina tangkap dari gesture mereka.

Naina menggenggam kuat kedua tangannya yang berkeringat di pangkuan–mencoba menenangkan diri.

Hanya saja…. kala Naina mengalihkan pandangannya, ia menyadari Dhaffin berdiri di sudut ruangan.

Entah apa yang dipikirkan suaminya itu, Naina tak tahu.

Namun, ia berharap sang suami membelanya.

Meski pernikahan mereka tidak diharapkan.

Meski Altair pun awalnya hadir karena kecelakaan satu malam setelah menikah…..

Meski mantan tunangan yang harusnya dinikahi pria itu, telah kembali ke negara ini.

Sayangnya, harapan Naina justru pupus kala Dhafin pun menjauh dan memberikan tatapan dingin padanya.

Drrt!

Dering ponsel membuat Naina tersadar dari lamunannya. 

Diusapnya butiran bening yang tak sengaja jatuh kala mengingat suaminya yang tampak ikut menuduh dirinya di hari itu. 

Rasa perih yang tak terkira kembali menyayat hatinya. Sungguh, tiada yang lebih menyakitkan selain tidak mendapatkan kepercayaan dari suaminya.

Suami yang ia cintai… suami ia sayangi dengan setulus hati lebih memihak pada keluarganya dan memilih menjauhinya.

“Naina…”

Wanita cantik itu mendongak lantas tersenyum tipis menyambut kedatangan sahabatnya. Saking lamanya melamun sampai-sampai ia mengabaikan panggilan telepon dari Zelda, sang sahabat.

“Maaf, ya, aku baru datang. Lagi rame pelanggan soalnya, jadinya aku ikut turun tangan.” Zelda mengambil tempat duduk di hadapan Naina. 

“Nggak papa, aku juga baru sampai kok.”

“Loh bukannya kamu udah otw dari tadi?” tanya Zelda tampak terheran-heran.

“Iya, aku lebih dulu membagikan makanan hasil masakanku ke orang-orang di pinggir jalan sama Pak Yanto.”

Naina pun menceritakan kejadian tadi pagi dimana makanan yang ia masak susah payah dari subuh sama sekali tak disentuh oleh keluarga Dhafin.

Mereka terprovokasi dengan perkataan Freya yang menuduhnya memasukkan racun dalam makanan itu. 

Sakit hati? 

Tentu saja. Sudah tak terhitung seberapa banyak luka yang mereka torehkan kepadanya semenjak menikah dengan Dhafin.

“Emang benar-benar nggak ada akhlak itu keluarganya si Dhafin. Omongan mak lampir dipercaya.” Zelda berdecak kesal setelah mendengar cerita dari Naina.

“Ya, begitulah. Melawan pun percuma, nggak ada lagi yang mempercayaiku.” Naina menghela napas berat.

“Aku lelah banget, Zel. Aku nggak sanggup lagi menanggung semuanya sendirian. Rasanya aku ingin menyerah dan menyusul Altair.” Suara Naina bergetar disertai mata berkaca-kaca.

“Hei, jangan ngomong gitu, Nai. Kamu nggak sendirian. Ada aku yang siap membantumu kapanpun kamu butuh.” Zelda menggenggam tangan Naina menguatkan.

Naina tersenyum tulus bercampur haru. Ia sangat bersyukur masih mempunyai Zelda, sahabat yang senantiasa menemaninya di saat semua orang menjauh.

“Oh ya, mengenai ucapanmu semalam, apa kamu yakin Dhafin mau menceraikanmu?”

Naina mengangguk yakin. “Setelah semua yang terjadi, Mas Dhafin nggak mungkin nggak mau karena sekarang udah nggak ada lagi yang mengikat kami.”

Ia menatap sendu minuman pesanannya yang masih utuh. “Aku sama Mas Dhafin udah sangat jauh. Nggak ada obrolan di antara kami layaknya suami-istri.”

“Jangankan ngobrol, menatapku saja dia tampak nggak sudi. Sikapnya juga semakin dingin tak tersentuh.”

“Nai....” Zelda semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Naina.

“Sekarang Freya udah kembali. Pasti Mas Dhafin pengen cepat-cepat berpisah apalagi setelah fitnah keji itu mengarah padaku.”

Naina menggigit bibir bawahnya menahan sesak dalam dada. Ia memejamkan mata sejenak sembari menarik napas dalam-dalam.

“Orang tuanya juga terus mendesaknya agar segera menceraikanku. Nggak menutup kemungkinan Mas Dhafin bakal menuruti perintah mereka,” lanjutnya.

“Lalu bagaimana dengan kehamilanmu? Apa kamu belum memberitahu Dhafin?”

Naina menggeleng pelan. “Belum tentu Mas Dhafin mau menerimanya.”

“Aku kira dengan kamu hamil, hubunganmu sama Dhafin bakal ada kemajuan.”

“Aku kira juga gitu, Zel. Tapi nyatanya? Masa lalu tetap menjadi pemenangnya.”

Naina tersenyum miris. Teringat waktu Dhafin kembali menyentuhnya dalam keadaan sadar. Ia berharap hubungannya dengan sang suami akan membaik. 

Ditambah lagi setelah mengetahui dirinya mengandung. Ia sangat bahagia dan tidak sabar memberitahu Dhafin. 

Namun sayang, kebahagiaannya langsung runtuh seketika saat melihat Dhafin bermesraan dengan Freya.

Naina merasa seperti wanita penghibur yang didatangi hanya ketika dibutuhkan saja. 

Sebegitu tidak berharganya kah ia di mata Dhafin?

Naina juga sadar, dirinya hanya anak seorang pembantu yang bekerja di keluarga Freya.

Tapi… apakah ia tidak pantas dicintai?

“Kalau misalkan Dhafin nggak mau menceraikanmu bagaimana?”

Pertanyaan dari Zelda membuat Naina sedikit tersentak. Ia terdiam beberapa detik seraya menatap lekat sahabatnya. 

“Aku yang akan menggugat cerai.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status