Plak!
“Dasar wanita pembunuh! Untuk apa kau di sini?!”
Baru saja Naina tiba di acara pemakaman sang putra, ibu mertuanya sudah menghampiri dan menamparnya.
Tak siap, Naina pun tersungkur di tanah.
Hal ini membuat para tamu menatap penasaran akan pertengkaran mertua dan menantu itu.
Naina menatap ibu dari suaminya itu dengan pandangan penuh luka. Air mata yang tadinya sudah mengering kembali lolos disertai rasa nyeri menghantam dada.
“Tidak, Ma. Aku tidak mungkin membunuh putraku sendiri.” Naina menggeleng keras.
Wanita itu telah berjuang membawa putranya ke dunia. Mana mungkin, ia melakukannya?
Naina hendak meraih tangan sang mertua–mencoba menjelaskan.
Sayangnya, ia justru didorong menjauh.
Bugh!
“Tidak mungkin?! Dokter bilang Altair meninggal karena ada racun dalam tubuhnya yang berasal dari makanan!” teriak sang mertua, “hanya kamu yang menyentuh makanan cucuku. Apa kamu mau menuduh orang lain?”
Naina semakin terisak. Tubuhnya bergetar hebat mendengar perkataan menyakitkan dari ibu mertuanya.
“Lihat semuanya! Wanita sialan ini sudah membunuh cucu saya! Disaksikan semua yang ada di sini, saya berjanji akan menjebloskannya ke penjara.”
Seakan belum cukup, Bu Anita berteriak kencang, sehingga orang-orang yang hadir di pemakaman itu, menatap jijik Naina.
Beberapa bahkan mulai mengambil ponsel mereka untuk merekamnya.
Naina dipermalukan habis-habisan.
Seorang ibu membunuh anaknya? Dia pasti wanita gila!
Kira-kira begitulah yang Naina tangkap dari gesture mereka.
Naina menggenggam kuat kedua tangannya yang berkeringat di pangkuan–mencoba menenangkan diri.
Hanya saja…. kala Naina mengalihkan pandangannya, ia menyadari Dhaffin berdiri di sudut ruangan.
Entah apa yang dipikirkan suaminya itu, Naina tak tahu.
Namun, ia berharap sang suami membelanya.
Meski pernikahan mereka tidak diharapkan.
Meski Altair pun awalnya hadir karena kecelakaan satu malam setelah menikah…..
Meski mantan tunangan yang harusnya dinikahi pria itu, telah kembali ke negara ini.
Sayangnya, harapan Naina justru pupus kala Dhafin pun menjauh dan memberikan tatapan dingin padanya.
Drrt!
Dering ponsel membuat Naina tersadar dari lamunannya.
Diusapnya butiran bening yang tak sengaja jatuh kala mengingat suaminya yang tampak ikut menuduh dirinya di hari itu.
Rasa perih yang tak terkira kembali menyayat hatinya. Sungguh, tiada yang lebih menyakitkan selain tidak mendapatkan kepercayaan dari suaminya.
Suami yang ia cintai… suami ia sayangi dengan setulus hati lebih memihak pada keluarganya dan memilih menjauhinya.
“Naina…”
Wanita cantik itu mendongak lantas tersenyum tipis menyambut kedatangan sahabatnya. Saking lamanya melamun sampai-sampai ia mengabaikan panggilan telepon dari Zelda, sang sahabat.
“Maaf, ya, aku baru datang. Lagi rame pelanggan soalnya, jadinya aku ikut turun tangan.” Zelda mengambil tempat duduk di hadapan Naina.
“Nggak papa, aku juga baru sampai kok.”
“Loh bukannya kamu udah otw dari tadi?” tanya Zelda tampak terheran-heran.
“Iya, aku lebih dulu membagikan makanan hasil masakanku ke orang-orang di pinggir jalan sama Pak Yanto.”
Naina pun menceritakan kejadian tadi pagi dimana makanan yang ia masak susah payah dari subuh sama sekali tak disentuh oleh keluarga Dhafin.
Mereka terprovokasi dengan perkataan Freya yang menuduhnya memasukkan racun dalam makanan itu.
Sakit hati?
Tentu saja. Sudah tak terhitung seberapa banyak luka yang mereka torehkan kepadanya semenjak menikah dengan Dhafin.
“Emang benar-benar nggak ada akhlak itu keluarganya si Dhafin. Omongan mak lampir dipercaya.” Zelda berdecak kesal setelah mendengar cerita dari Naina.
“Ya, begitulah. Melawan pun percuma, nggak ada lagi yang mempercayaiku.” Naina menghela napas berat.
“Aku lelah banget, Zel. Aku nggak sanggup lagi menanggung semuanya sendirian. Rasanya aku ingin menyerah dan menyusul Altair.” Suara Naina bergetar disertai mata berkaca-kaca.
“Hei, jangan ngomong gitu, Nai. Kamu nggak sendirian. Ada aku yang siap membantumu kapanpun kamu butuh.” Zelda menggenggam tangan Naina menguatkan.
Naina tersenyum tulus bercampur haru. Ia sangat bersyukur masih mempunyai Zelda, sahabat yang senantiasa menemaninya di saat semua orang menjauh.
“Oh ya, mengenai ucapanmu semalam, apa kamu yakin Dhafin mau menceraikanmu?”
Naina mengangguk yakin. “Setelah semua yang terjadi, Mas Dhafin nggak mungkin nggak mau karena sekarang udah nggak ada lagi yang mengikat kami.”
Ia menatap sendu minuman pesanannya yang masih utuh. “Aku sama Mas Dhafin udah sangat jauh. Nggak ada obrolan di antara kami layaknya suami-istri.”
“Jangankan ngobrol, menatapku saja dia tampak nggak sudi. Sikapnya juga semakin dingin tak tersentuh.”
“Nai....” Zelda semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Naina.
“Sekarang Freya udah kembali. Pasti Mas Dhafin pengen cepat-cepat berpisah apalagi setelah fitnah keji itu mengarah padaku.”
Naina menggigit bibir bawahnya menahan sesak dalam dada. Ia memejamkan mata sejenak sembari menarik napas dalam-dalam.
“Orang tuanya juga terus mendesaknya agar segera menceraikanku. Nggak menutup kemungkinan Mas Dhafin bakal menuruti perintah mereka,” lanjutnya.
“Lalu bagaimana dengan kehamilanmu? Apa kamu belum memberitahu Dhafin?”
Naina menggeleng pelan. “Belum tentu Mas Dhafin mau menerimanya.”
“Aku kira dengan kamu hamil, hubunganmu sama Dhafin bakal ada kemajuan.”
“Aku kira juga gitu, Zel. Tapi nyatanya? Masa lalu tetap menjadi pemenangnya.”
Naina tersenyum miris. Teringat waktu Dhafin kembali menyentuhnya dalam keadaan sadar. Ia berharap hubungannya dengan sang suami akan membaik.
Ditambah lagi setelah mengetahui dirinya mengandung. Ia sangat bahagia dan tidak sabar memberitahu Dhafin.
Namun sayang, kebahagiaannya langsung runtuh seketika saat melihat Dhafin bermesraan dengan Freya.
Naina merasa seperti wanita penghibur yang didatangi hanya ketika dibutuhkan saja.
Sebegitu tidak berharganya kah ia di mata Dhafin?
Naina juga sadar, dirinya hanya anak seorang pembantu yang bekerja di keluarga Freya.
Tapi… apakah ia tidak pantas dicintai?
“Kalau misalkan Dhafin nggak mau menceraikanmu bagaimana?”
Pertanyaan dari Zelda membuat Naina sedikit tersentak. Ia terdiam beberapa detik seraya menatap lekat sahabatnya.
“Aku yang akan menggugat cerai.”
“Aku yang akan menggugat cerai.”“Kamu serius?” Terkejut, Zelda tampak tidak menyangka Naina akan menjawab seperti itu.“Jangan mengambil keputusan saat kamu sedang kacau, Nai. Meski aku berharap kalian berpisah, tapi jangan sampai kamu menyesal nantinya. Dan lagi, pikirkan juga tentang calon anakmu.”Naina kembali menghela napas panjang. “Aku udah mempertimbangkan baik-baik keputusan ini dengan segala resikonya termasuk masalah anak.”“Aku akan merawat dan membesarkannya sendirian. Menjadi single mom bukan pilihan yang buruk daripada bertahan di keluarga toxic itu,” paparnya.Zelda tersenyum. “Inilah yang kutunggu-tunggu darimu, Nai. Kamu mampu mengambil keputusan tegas. Aku akan membantumu lepas dari mereka.”Ia memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih condong ke arah Naina. “Tapi sebelum itu, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah merubah sikap.”“Jangan terlalu patuh yang membuat dirimu ditindas terus. Buktikan kalau kamu nggak selemah yang mereka kira.” Naina menyimak denga
“Mas, aku ingin kita pisah.” Sekuat tenaga, Naina mengatakan kalimat yang ditahannya beberapa minggu ini.Namun, Dhafin hanya menatap Naina datar. “Jangan kekanakan, Naina. Lebih baik, istirahat saja,” balasnya dingin.Jantung Naina mencelos. Netranya berkaca-kaca membalas tatapan Dhafin. Kekanak-kanakan?Jadi, seperti itu penilaian Dhafin terhadapnya. Apa Dhafin tak melihat perjuangannya selama empat tahun ini?Naina telah melakukan segala hal agar kehadirannya dianggap oleh Dhafin. Ia berusaha semaksimal mungkin menjadi istri yang baik dan penurut.Wanita itu rela resign dari tempat kerja lalu mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk suami. Bahkan ketika dijadikan pembantu gratisan oleh ibu mertuanya, ia tetap patuh. Selain karena kewajiban, Naina ingin meluluhkan hati suami dan keluarganya. Namun, ternyata ketulusannya sama sekali tak terlihat. Semuanya sia-sia.Naina berdehem pelan. “Mas, aku udah mendengar pembicaraan kalian tadi.”Kali ini, Dhafin menghentikan gerakannya yang
[Tidak ada ibu yang akan menyakiti anaknya. Kalau ada, dia bukan manusia, tapi binatang!]Deg!Sejenak, detak jantung Naina terasa berhenti. Tubuhnya lemas hingga membuatnya langsung luruh ke lantai. Badannya gemetar hebat.Tanpa dosa, Freya juga men-tag akunnya untuk memperlihatkan kepada semua orang bahwa dialah pelakunya.Beberapa saat terunggah, postingan itu langsung diserang komentar netizen.[Wanita gila! Yang tega meracuni anaknya sendiri sampai meninggal. Dia tak layak menjadi ibu. Pembunuh!!!]Naina merasakan ada pukulan kuat yang menghantam dadanya ketika membaca komentar kakak iparnya di bagian paling teratas.Belum lagi berbagai komentar jahat di bawahnya membuat ia semakin diliputi rasa kecewa.[Binatang aja masih punya rasa sayang untuk anaknya. Ini sih bukan binatang lagi, tapi iblis!][Iblis berkedok manusia][Dasar pembunuh!][Wanita seperti itu nggak pantas hidup. Lebih baik mati!][Anj lo! Lo tuh yg seharusnya mati! Bukan anak lo yg nggak salah apa-apa][Pembunuh!!
“Aku nggak bodoh sampai-sampai nggak bisa membedakan mana yang vitamin, mana yang bukan! Yang kucampurkan itu memang benar-benar vitamin, bukan racun seperti yang mereka tuduhkan!” Napasnya terdengar memburu dengan dada naik-turun. Ia mengepalkan tangannya kuat menahan emosi.“Nggak usah mengelak! Bukti udah jelas kalau kamu pelakunya.”“Bukti itu palsu. Ada yang sengaja merekam saat aku lagi memasukkan vitamin ke dalam makanan Altair. Kamu bisa tanya sama Bi Lastri sebagai saksi.” Menurunkan ego, Naina tak menyerah meyakinkan Dhafin. Tangannya terulur untuk menggenggam lengan sang suami. “Percayalah, Mas, bukan aku pelakunya.”Dhafin melepaskan tangannya kasar membuat Naina sangat terkejut lalu menatap kedua bola mata suaminya. Manik cokelat itu menyorot tajam dan dingin.“Cukup, Naina! Berhenti membela diri. Semua udah terbukti bahwa kau yang membunuh putraku!”Naina mematung. Setetes air jatuh dari pelupuk matanya. “Sedikitpun aku nggak pernah menyakiti Altair apalagi sampai memb
Ia sangat terkejut mendengar ucapan Freya. Kepalanya menggeleng tidak percaya. Tidak! Naina tidak mungkin salah memasukkan vitamin. Ia sangat mengenali bentuk dan isinya. Ia juga ingat betul hari dimana video diambil.Waktu itu Naina sedang membuatkan sarapan untuk Altair yang mengalami GTM. Dibantu oleh Bi Lastri, kepala pelayan, ia juga sedang memasak sarapan untuk semua orang.Setelah makanan Altair jadi, dirinya menambahkan vitamin sesuai anjuran dokter. Sebelumnya, ia sudah memastikan bahwa yang dipegangnya benar-benar vitamin. Mulai dari bentuk, isi, hingga takarannya.“Teliti banget, Non. Bukannya sama aja, ya?” Bi Lastri pun sampai terheran-heran melihat tingkahnya.Naina tertawa kecil. “Harus dong, Bi, biar nggak salah memasukkan.”Ia kemudian mengkreasikan makanan itu dengan membuat bentuk lucu. Altair sangat menyukai makanan yang menarik di matanya.Entah bagaimana video itu diambil padahal Naina tidak merasa direkam. Mungkin ia yang tidak menyadari saking asyiknya berse
[Zelda, malam ini aku memutuskan pergi dari rumah neraka itu. Aku udah nggak kuat berada disana]Harap-harap cemas, Naina mengirimkan pesan untuk sahabatnya itu. Sayangnya, hanya centang dua dan belum dibaca. Mungkin Zelda sedang menikmati waktu bersama keluarganya?Naina jadi sungkan meminta bantuan. Meski sebelumnya Zelda sudah menawarkan, tetap saja dirinya tidak ingin merepotkan Zelda terus.Kini, Naina berjalan kaki tak tentu arah. Cukup jauh dari kompleks perumahan mertuanya.Sudah memesan ojol juga bahkan sampai tiga kali, tetapi semuanya ditolak dengan alasan sudah larut malam.Tidak mungkin ia pulang ke kampung halaman karena rumahnya sudah dijual untuk modal ke kota ini.Kembali ke rumah Freya yang selama ini menjadi tempat tinggalnya sebelum menikah pun bukan pilihan bagus. Itu sama saja dengan masuk ke kandang musuh.Wanita cantik itu kembali memesan ojol dengan tujuan menuju terminal, berharap kali ini orderannya diterima. Lelah berjalan, ia memutuskan istirahat di sebuah
Di sisi lain....“Sayang, pertunangan kita akan diadakan dua hari setelah empat puluh harinya Altair. Gimana menurutmu? Apa kamu setuju?”Dhaffin, yang belum tahu kaburnya Naina, hanya mengangguk pelan tanpa menoleh. Matanya tetap fokus melihat jalanan di depan. Sekarang ini, ia sedang dalam perjalanan mengantar Freya pulang.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Freya hati-hati sambil menatap Dhafin di sampingnya.“Kenapa?” Dhafin melirik sekilas.Freya menunduk, memainkan jarinya di pangkuan. “Aku merasa nggak enak. Kamu sama Naina kan baru aja kehilangan Altair. Kalian masih dalam suasana duka,” ucapnya berpura-pura simpati.“Maumu gimana? Diundur?”“Nggak nggak, bukan gitu.” Freya buru-buru menggeleng. “Ini kan udah menjadi kesepakatan bersama. Jadi, yaudah ikuti aja rencana mereka.”Dhafin hanya berdehem tanpa menanggapi lebih banyak. Dalam hati, ia juga merasakan hal yang sama. Duka masih sangat kental menyelimuti, apalagi Naina yang merasa paling kehilangan.Namun, kembali lagi. Semuanya
Dhafin tiba di rumah sekitar pukul sebelas malam. Suasana rumah sudah sangat sepi. Bahkan lampu ruang utama sudah dimatikan.Ia pun langsung melangkah menuju kamarnya dan tidak melihat keberadaan Naina.Mungkin tidur di kamar Altair karena semenjak putranya tiada Naina lebih sering tidur di sana.Pria bertubuh tinggi dan tegap itu mengambil piyama tidur yang sudah disiapkan sang istri lantas mengganti pakaiannya.Ia merebahkan tubuh yang terasa lelah di ranjang usai mengirim pesan pada Freya untuk mengabarkan bahwa dirinya sudah sampai rumah. Matanya terpejam dan tak lama memasuki alam mimpi.Keesokan paginya, Dhafin bangun sedikit telat. Biasanya Naina yang membangunkannya untuk menunaikan sholat Subuh. Namun, kali ini ia belum melihat batang hidung istrinya.“Naina, siapkan bajuku,” perintah Dhafin yang masih mengira Naina berada di kamar Altair. Tangannya sibuk memasukkan berkas ke dalam tas lebih.Tidak ada sahutan membuatnya mengernyit heran. Kamar ini dengan kamar anaknya saling
Sungguh, Lora benar-benar tidak menyangka bila sandalnya juga ikutan rusak. Padahal sebelum tampil tadi, kondisi sandal itu masih sangat bagus tanpa ada tanda-tanda akan rusak. Mustahil sandalnya tiba-tiba bisa rusak tanpa sebab kalau bukan ada orang yang sengaja merusaknya.Eh, tunggu! Lora kembali melihat dan meneliti kedua barangnya yang telah rusak itu. Heels yang ia beli ini terkenal dengan keawetannya apalagi hanya dipakai satu kali sebelum ini.Bila dilihat dengan seksama, patahan bagian hak pada heels itu tampak rapi seperti sengaja dipatahkan.Tak berbeda jauh dengan sandalnya yang juga terlihat rapi di bagian putusnya strap sandal seolah-olah sehabis terpotong. Itu berarti dua sandal ini sengaja dirusak bukan rusak dengan sendirinya.Lora menjadi sangat yakin bila semua ini merupakan kerjaan seseorang. Orang itu sengaja merusak dua barangnya bermaksud untuk menjatuhkan dirinya. Pertanyaannya, siapakah orang yang tega melakukan itu?Sejak tadi sebelum Lora pakai, heels-ny
Mira mengangguk paham lantas pamit untuk kembali ke tempatnya. Tak lama, panitia meminta para model untuk segera bersiap karena sebentar lagi giliran mereka yang akan tampil. “Kalau gitu aku balik ke tempatku dulu, ya. Semoga sukses,” pamit Zelda seraya menepuk bahu Lora sejenak kemudian berlalu dari sana.Lora kembali dilanda gugup. Tangannya mulai berkeringat dingin. Jantungnya pun berdentum tak karuan. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan, begitu terus hingga dirinya merasa sedikit tenang.Selain itu, dirinya juga mengingat kembali blocking serta pose saat di runaway nanti untuk mengurangi kegugupannya.Satu persatu model yang mewakili Butik LaCia mulai tampil. Lora pun diarahkan oleh panitia mendekat ke runaway. Saat berjalan, ia merasakan ada tidak beres dengan sepatu heels-nya. Bagian hak sepatu itu terasa goyah seakan ingin copot.Tentu saja, ia agak panik sekaligus takut, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena sebentar lagi dirinya akan tampi
Acara fashion show week telah dimulai dan sudah berlangsung selama tiga puluh menit. Satu persatu peserta model dari desainer lain mulai tampil.Dua puluh lima menit sebelum tampil, Zelda bersama Sinta dan timnya kembali datang ke bagian final stage untuk membenahi detail baju dan juga riasan para modelnya. Busana karya Zelda ini memiliki model yang simpel dan elegan. Tidak ribet saat mengenakannya dan bisa dipakai sendiri tanpa bantuan desainer sehingga lebih cepat selesai dalam bersiap.“Hai, Lora,” sapa Zelda mendekati Lora yang hanya bergeming di tempatnya seraya meremas tangan. “Deg-degan, ya?”Lora tersenyum yang terkesan dipaksakan lalu mengangguk pelan. “Aku nervous banget, Zelda.”“Wajar kalau nervous. Ini kan pengalaman pertamamu.” Zelda menata dan membenahi gamis yang dipakai Lora. Tak lupa kerudungnya juga ikut dirapikan.“Makanya itu, aku takut gagal dan malah mengecewakanmu.” Lora menoleh sedikit ke belakang di mana Zelda sedang membenahi bagian belakang gamisnya.Zelda
Pukul empat sore, Lora dan Mira berada di mobil sedang dalam perjalanan pulang. Kali ini, Mira yang menyetir menggantikan Lora yang katanya sedang malas dan capek.“Pertanyaanku tadi belum dijawab loh, Mbak,” kata Lora yang duduk di kursi samping kemudi.Mira melirik Lora sekilas. “Pertanyaan yang mana?” tanyanya balik meski sudah menebak.“Kenapa tadi Mbak merampas botol minumanku? Datangnya tiba-tiba lagi, bikin aku kaget banget, tau. Minimal di-briefing dulu,” jawab Lora dengan bibir mengerucut sebal.Mira fokus pada jalanan yang padat merayap. “Tadi sebelum kamu datang dan duduk, aku melihat Freya memasukkan sesuatu ke dalam minumanmu.”“What?!” Lora membalalakkan mata terkejut. Ia bahkan sampai mengubah posisinya menjadi serong menghadap Mira. “Serius, Mbak?”Mira menggangguk yakin. “Aku punya buktinya, sempat kurekam tadi. Ambil aja HP-ku di tas buat melihatnya.”Lora mengangguk lalu mengulurkan tangannya ke jok belakang untuk meraih tas milik Mira di sana. Ia segara mengambil p
Lora mengangkat kedua bahunya. “Nggak tuh. Aku nggak memakai make-up tebal.”Wanita cantik itu menekuk lengan membentuk siku dengan punggung tangan menghadap Freya lalu menyingkap sedikit lengan bajunya hingga memperlihatkan kulitnya yang putih mulus.“Ini kulitku asli tanpa tertutup make-up,” ucapnya sambil menggosok pelan kulit di tangan yang tidak meninggalkan bekas. Ia berlanjut menunjuk wajahnya sendiri. “Kalau yang wajah kan emang wajib di make-up.”Freya menggelengkan kepalanya berkali-kali berusaha menyangkal. Ia bisa melihat sendiri kulit Lora yang sehat tanpa cacat sedikitpun. “Nggak mungkin! Bagaimana bisa? Padahal jelas-jelas kemarin kamu minum air dari botol itu,” katanya tidak terima.“Iyalah, aku minum, orang aku haus,” balas Lora dengan tenang dan terkesan santai usai menarik lengan baju untuk menutupi auratnya.“Memangnya kenapa kalau aku minum dari botol itu?” Ia mengangkat sebelah alisnya. Sedetik kemudian, Lora membulatkan matanya seraya menutup mulutnya terkeju
Hari H Fashion Show telah tiba. Semua peserta model yang ikut serta dalam fashion week kali ini telah berkumpul di belakang panggung atau lebih tepatnya di ruang khusus model. Mereka semua sudah terlihat sangat cantik dengan make-up dan mengenakan gaun yang hendak diperagakan nanti. Kini, mereka sedang berkumpul bersama dengan desainer masing-masing untuk melakukan pengarahan sekaligus membantu memperbaiki beberapa detail baju yang dikenakan oleh para modelnya.Freya tersenyum dalam hati saat dirinya tidak menemukan keberadaan Lora di sini. Pasti sekarang wanita itu sedang meratapi nasibnya yang tidak bisa hadir karena seluruh tubuhnya penuh ruam dan bentol-bentol kemerahan.Penyakit itu baru bisa disembuhkan tiga sampai empat hari ke depan dan tentu saja meninggalkan akan bekas yang cukup lama penyembuhannya. Jika benar-benar ingin sembuh total paling tidak satu bulan lamanya.“Di mana Lora?” tanya Zelda sambil menatap para model busananya. Sejak tadi ia belum menemukan batang hid
Acara gladi bersih dimulai pukul sepuluh pagi. Lora pergi ke restoran ketiga lebih dulu karena ada beberapa hal yang perlu diurus sekalian mengecek laporan keuangan. Ia bekerja dengan sangat fokus sampai-sampai hampir terlupa kalau dirinya harus pergi ke gedung tempat fashion show diadakan. Untung saja, ada Mira yang mengingatkannya.“Kamu langsung pergi ke lokasi aja, Mbak, biar aku yang handle pekerjaan di sini. Lagian tinggal sedikit kok,” ucap Mira.Lora memasukkan ponsel dan beberapa barangnya ke dalam tas selempang. “Nggak papa kutinggal?” tanyanya merasa tidak enak.Mira menggeleng seraya tersenyum menenangkan. “Nggak papa, nanti aku akan menyusul. Bisalah pakai ojol atau taksi online ke sananya.”Lora mencangklongkan tasnya di pundak kanan dengan buru-buru. “Yaudah aku pergi dulu, ya, Mbak.”“Hati-hati, Mbak Lora. Jangan ngebut!” balas Mira setengah berteriak karena Lora sudah berjalan menjauh.Tiba di lokasi, Lora langsung menuju ke bagian belakang panggung tepatnya di ruang
Berbeda dengan Dhafin yang sudah berhasil meluluhkan si kembar, Lora disibukkan dengan persiapan fashion show yang tinggal menghitung hari. Ditambah lagi ia harus mengurus restoran. Meski sudah ada kepala restoran di masing-masing cabang yang senantiasa membantunya, tetapi ia tidak bisa lepas tanggung jawab begitu saja.Ini sudah menjadi konsekuensi ketika dirinya memilih menerima kembali tawaran Zelda menjadi model produk baju muslimah di butik LaCia apalagi sekarang ini dirinya sudah memutuskan untuk publish wajah.Lora pergi ke restoran di waktu pagi untuk memantau kemudian siangnya ke butik Zelda bersama Mira yang selalu setia mendampingi. Semakin hari ia semakin sibuk bahkan tak jarang dirinya pulang telat.Masalah anak-anaknya, Lora tidak terlalu khawatir karena sudah ada Dhafin yang ikut membantu menjaga mereka. Ia mempercayakan si kembar kepada Dhafin sekaligus memberikan waktu kepada mereka untuk saling dekat satu sama lain. Dirinya juga sengaja tidak ikut saat mereka ada a
Hari demi hari telah terlewati. Dhafin menepati ucapannya sendiri, yakni datang ke kediaman Lora setiap hari sepulang dari kantor. Tak peduli dengan jarak tempuh yang cukup jauh, ia bahkan rela harus bolak-balik demi bisa menemui anak-anaknya. Lora juga pada akhirnya memenuhi permintaan ayah kandungnya si kembar yang melarang Grissham datang ke rumah.Beruntung Grissham sendiri mengerti dengan posisi Dhafin yang ingin dekat dengan si kembar tanpa ada peranan orang lain selain ibu dan pengasuhnya.Setiap hari, Dhafin selalu mengajak si kembar bermain sambil belajar seperti arahan baby sitter. Bukan hanya di rumah saja, ia juga kadang kala mengajak mereka jalan-jalan di luar yang tentu saja atas seizin Lora.Pria itu ingin mempunyai momen indah bersama kedua anak kembarnya untuk menggantikan waktunya yang telah hilang selama ini.Tanpa terasa hampir satu bulan lamanya Dhafin melakukan pendekatan dengan si kembar. Usaha yang dilakukannya tidak mengkhianati hasil.Si kembar lama-kelamaa