Share

Mari Berpisah, Aku Menyerah
Mari Berpisah, Aku Menyerah
Author: Putri Cahaya

1. Aku Lelah

Author: Putri Cahaya
last update Last Updated: 2024-07-22 21:36:08

Plak!

“Dasar wanita pembunuh! Untuk apa kau di sini?!”

Baru saja Naina tiba di acara pemakaman sang putra, ibu mertuanya sudah menghampiri dan menamparnya.

Tak siap, Naina pun tersungkur di tanah. 

Hal ini membuat para tamu menatap penasaran akan pertengkaran mertua dan menantu itu.

Naina menatap ibu dari suaminya itu dengan pandangan penuh luka. Air mata yang tadinya sudah mengering kembali lolos disertai rasa nyeri menghantam dada.

“Tidak, Ma. Aku tidak mungkin membunuh putraku sendiri.” Naina menggeleng keras.

Wanita itu telah berjuang membawa putranya ke dunia. Mana mungkin, ia melakukannya?

Naina hendak meraih tangan sang mertua–mencoba menjelaskan.

Sayangnya, ia justru didorong menjauh.

Bugh!

“Tidak mungkin?! Dokter bilang Altair meninggal karena ada racun dalam tubuhnya yang berasal dari makanan!” teriak sang mertua, “hanya kamu yang menyentuh makanan cucuku. Apa kamu mau menuduh orang lain?”

Naina semakin terisak. Tubuhnya bergetar hebat mendengar perkataan menyakitkan dari ibu mertuanya.

“Lihat semuanya! Wanita sialan ini sudah membunuh cucu saya! Disaksikan semua yang ada di sini, saya berjanji akan menjebloskannya ke penjara.” 

Seakan belum cukup, Bu Anita berteriak kencang, sehingga orang-orang yang hadir di pemakaman itu, menatap jijik Naina.

Beberapa bahkan mulai mengambil ponsel mereka untuk merekamnya.

Naina dipermalukan habis-habisan.

Seorang ibu membunuh anaknya? Dia pasti wanita gila!

Kira-kira begitulah yang Naina tangkap dari gesture mereka.

Naina menggenggam kuat kedua tangannya yang berkeringat di pangkuan–mencoba menenangkan diri.

Hanya saja…. kala Naina mengalihkan pandangannya, ia menyadari Dhaffin berdiri di sudut ruangan.

Entah apa yang dipikirkan suaminya itu, Naina tak tahu.

Namun, ia berharap sang suami membelanya.

Meski pernikahan mereka tidak diharapkan.

Meski Altair pun awalnya hadir karena kecelakaan satu malam setelah menikah…..

Meski mantan tunangan yang harusnya dinikahi pria itu, telah kembali ke negara ini.

Sayangnya, harapan Naina justru pupus kala Dhafin pun menjauh dan memberikan tatapan dingin padanya.

Drrt!

Dering ponsel membuat Naina tersadar dari lamunannya. 

Diusapnya butiran bening yang tak sengaja jatuh kala mengingat suaminya yang tampak ikut menuduh dirinya di hari itu. 

Rasa perih yang tak terkira kembali menyayat hatinya. Sungguh, tiada yang lebih menyakitkan selain tidak mendapatkan kepercayaan dari suaminya.

Suami yang ia cintai… suami ia sayangi dengan setulus hati lebih memihak pada keluarganya dan memilih menjauhinya.

“Naina…”

Wanita cantik itu mendongak lantas tersenyum tipis menyambut kedatangan sahabatnya. Saking lamanya melamun sampai-sampai ia mengabaikan panggilan telepon dari Zelda, sang sahabat.

“Maaf, ya, aku baru datang. Lagi rame pelanggan soalnya, jadinya aku ikut turun tangan.” Zelda mengambil tempat duduk di hadapan Naina. 

“Nggak papa, aku juga baru sampai kok.”

“Loh bukannya kamu udah otw dari tadi?” tanya Zelda tampak terheran-heran.

“Iya, aku lebih dulu membagikan makanan hasil masakanku ke orang-orang di pinggir jalan sama Pak Yanto.”

Naina pun menceritakan kejadian tadi pagi dimana makanan yang ia masak susah payah dari subuh sama sekali tak disentuh oleh keluarga Dhafin.

Mereka terprovokasi dengan perkataan Freya yang menuduhnya memasukkan racun dalam makanan itu. 

Sakit hati? 

Tentu saja. Sudah tak terhitung seberapa banyak luka yang mereka torehkan kepadanya semenjak menikah dengan Dhafin.

“Emang benar-benar nggak ada akhlak itu keluarganya si Dhafin. Omongan mak lampir dipercaya.” Zelda berdecak kesal setelah mendengar cerita dari Naina.

“Ya, begitulah. Melawan pun percuma, nggak ada lagi yang mempercayaiku.” Naina menghela napas berat.

“Aku lelah banget, Zel. Aku nggak sanggup lagi menanggung semuanya sendirian. Rasanya aku ingin menyerah dan menyusul Altair.” Suara Naina bergetar disertai mata berkaca-kaca.

“Hei, jangan ngomong gitu, Nai. Kamu nggak sendirian. Ada aku yang siap membantumu kapanpun kamu butuh.” Zelda menggenggam tangan Naina menguatkan.

Naina tersenyum tulus bercampur haru. Ia sangat bersyukur masih mempunyai Zelda, sahabat yang senantiasa menemaninya di saat semua orang menjauh.

“Oh ya, mengenai ucapanmu semalam, apa kamu yakin Dhafin mau menceraikanmu?”

Naina mengangguk yakin. “Setelah semua yang terjadi, Mas Dhafin nggak mungkin nggak mau karena sekarang udah nggak ada lagi yang mengikat kami.”

Ia menatap sendu minuman pesanannya yang masih utuh. “Aku sama Mas Dhafin udah sangat jauh. Nggak ada obrolan di antara kami layaknya suami-istri.”

“Jangankan ngobrol, menatapku saja dia tampak nggak sudi. Sikapnya juga semakin dingin tak tersentuh.”

“Nai....” Zelda semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Naina.

“Sekarang Freya udah kembali. Pasti Mas Dhafin pengen cepat-cepat berpisah apalagi setelah fitnah keji itu mengarah padaku.”

Naina menggigit bibir bawahnya menahan sesak dalam dada. Ia memejamkan mata sejenak sembari menarik napas dalam-dalam.

“Orang tuanya juga terus mendesaknya agar segera menceraikanku. Nggak menutup kemungkinan Mas Dhafin bakal menuruti perintah mereka,” lanjutnya.

“Lalu bagaimana dengan kehamilanmu? Apa kamu belum memberitahu Dhafin?”

Naina menggeleng pelan. “Belum tentu Mas Dhafin mau menerimanya.”

“Aku kira dengan kamu hamil, hubunganmu sama Dhafin bakal ada kemajuan.”

“Aku kira juga gitu, Zel. Tapi nyatanya? Masa lalu tetap menjadi pemenangnya.”

Naina tersenyum miris. Teringat waktu Dhafin kembali menyentuhnya dalam keadaan sadar. Ia berharap hubungannya dengan sang suami akan membaik. 

Ditambah lagi setelah mengetahui dirinya mengandung. Ia sangat bahagia dan tidak sabar memberitahu Dhafin. 

Namun sayang, kebahagiaannya langsung runtuh seketika saat melihat Dhafin bermesraan dengan Freya.

Naina merasa seperti wanita penghibur yang didatangi hanya ketika dibutuhkan saja. 

Sebegitu tidak berharganya kah ia di mata Dhafin?

Naina juga sadar, dirinya hanya anak seorang pembantu yang bekerja di keluarga Freya.

Tapi… apakah ia tidak pantas dicintai?

“Kalau misalkan Dhafin nggak mau menceraikanmu bagaimana?”

Pertanyaan dari Zelda membuat Naina sedikit tersentak. Ia terdiam beberapa detik seraya menatap lekat sahabatnya. 

“Aku yang akan menggugat cerai.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
makanya klu menikah jgn cinta sendirian kayak orang g waras. udah tau laki g cinta tapi msh aja menye2 kayak orang bodoh.
goodnovel comment avatar
Dinda Mardhotillah
ceritanya baguss
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Mampir baca cerita nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   2. Rencana Pertunangan

    “Aku yang akan menggugat cerai.”“Kamu serius?” Terkejut, Zelda tampak tidak menyangka Naina akan menjawab seperti itu.“Jangan mengambil keputusan saat kamu sedang kacau, Nai. Meski aku berharap kalian berpisah, tapi jangan sampai kamu menyesal nantinya. Dan lagi, pikirkan juga tentang calon anakmu.”Naina kembali menghela napas panjang. “Aku udah mempertimbangkan baik-baik keputusan ini dengan segala resikonya termasuk masalah anak.”“Aku akan merawat dan membesarkannya sendirian. Menjadi single mom bukan pilihan yang buruk daripada bertahan di keluarga toxic itu,” paparnya.Zelda tersenyum. “Inilah yang kutunggu-tunggu darimu, Nai. Kamu mampu mengambil keputusan tegas. Aku akan membantumu lepas dari mereka.”Ia memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih condong ke arah Naina. “Tapi sebelum itu, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah merubah sikap.”“Jangan terlalu patuh yang membuat dirimu ditindas terus. Buktikan kalau kamu nggak selemah yang mereka kira.” Naina menyimak denga

    Last Updated : 2024-07-22
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   3. Mari Berpisah

    “Mas, aku ingin kita pisah.” Sekuat tenaga, Naina mengatakan kalimat yang ditahannya beberapa minggu ini.Namun, Dhafin hanya menatap Naina datar. “Jangan kekanakan, Naina. Lebih baik, istirahat saja,” balasnya dingin.Jantung Naina mencelos. Netranya berkaca-kaca membalas tatapan Dhafin. Kekanak-kanakan?Jadi, seperti itu penilaian Dhafin terhadapnya. Apa Dhafin tak melihat perjuangannya selama empat tahun ini?Naina telah melakukan segala hal agar kehadirannya dianggap oleh Dhafin. Ia berusaha semaksimal mungkin menjadi istri yang baik dan penurut.Wanita itu rela resign dari tempat kerja lalu mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk suami. Bahkan ketika dijadikan pembantu gratisan oleh ibu mertuanya, ia tetap patuh. Selain karena kewajiban, Naina ingin meluluhkan hati suami dan keluarganya. Namun, ternyata ketulusannya sama sekali tak terlihat. Semuanya sia-sia.Naina berdehem pelan. “Mas, aku udah mendengar pembicaraan kalian tadi.”Kali ini, Dhafin menghentikan gerakannya yang

    Last Updated : 2024-07-22
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   4. Berita Viral

    [Tidak ada ibu yang akan menyakiti anaknya. Kalau ada, dia bukan manusia, tapi binatang!]Deg!Sejenak, detak jantung Naina terasa berhenti. Tubuhnya lemas hingga membuatnya langsung luruh ke lantai. Badannya gemetar hebat.Tanpa dosa, Freya juga men-tag akunnya untuk memperlihatkan kepada semua orang bahwa dialah pelakunya.Beberapa saat terunggah, postingan itu langsung diserang komentar netizen.[Wanita gila! Yang tega meracuni anaknya sendiri sampai meninggal. Dia tak layak menjadi ibu. Pembunuh!!!]Naina merasakan ada pukulan kuat yang menghantam dadanya ketika membaca komentar kakak iparnya di bagian paling teratas.Belum lagi berbagai komentar jahat di bawahnya membuat ia semakin diliputi rasa kecewa.[Binatang aja masih punya rasa sayang untuk anaknya. Ini sih bukan binatang lagi, tapi iblis!][Iblis berkedok manusia][Dasar pembunuh!][Wanita seperti itu nggak pantas hidup. Lebih baik mati!][Anj lo! Lo tuh yg seharusnya mati! Bukan anak lo yg nggak salah apa-apa][Pembunuh!!

    Last Updated : 2024-07-22
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   5. Kepercayaan yang Lenyap

    “Aku nggak bodoh sampai-sampai nggak bisa membedakan mana yang vitamin, mana yang bukan! Yang kucampurkan itu memang benar-benar vitamin, bukan racun seperti yang mereka tuduhkan!” Napasnya terdengar memburu dengan dada naik-turun. Ia mengepalkan tangannya kuat menahan emosi.“Nggak usah mengelak! Bukti udah jelas kalau kamu pelakunya.”“Bukti itu palsu. Ada yang sengaja merekam saat aku lagi memasukkan vitamin ke dalam makanan Altair. Kamu bisa tanya sama Bi Lastri sebagai saksi.” Menurunkan ego, Naina tak menyerah meyakinkan Dhafin. Tangannya terulur untuk menggenggam lengan sang suami. “Percayalah, Mas, bukan aku pelakunya.”Dhafin melepaskan tangannya kasar membuat Naina sangat terkejut lalu menatap kedua bola mata suaminya. Manik cokelat itu menyorot tajam dan dingin.“Cukup, Naina! Berhenti membela diri. Semua udah terbukti bahwa kau yang membunuh putraku!”Naina mematung. Setetes air jatuh dari pelupuk matanya. “Sedikitpun aku nggak pernah menyakiti Altair apalagi sampai memb

    Last Updated : 2024-07-22
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   6. Selamat Tinggal, Suamiku

    Ia sangat terkejut mendengar ucapan Freya. Kepalanya menggeleng tidak percaya. Tidak! Naina tidak mungkin salah memasukkan vitamin. Ia sangat mengenali bentuk dan isinya. Ia juga ingat betul hari dimana video diambil.Waktu itu Naina sedang membuatkan sarapan untuk Altair yang mengalami GTM. Dibantu oleh Bi Lastri, kepala pelayan, ia juga sedang memasak sarapan untuk semua orang.Setelah makanan Altair jadi, dirinya menambahkan vitamin sesuai anjuran dokter. Sebelumnya, ia sudah memastikan bahwa yang dipegangnya benar-benar vitamin. Mulai dari bentuk, isi, hingga takarannya.“Teliti banget, Non. Bukannya sama aja, ya?” Bi Lastri pun sampai terheran-heran melihat tingkahnya.Naina tertawa kecil. “Harus dong, Bi, biar nggak salah memasukkan.”Ia kemudian mengkreasikan makanan itu dengan membuat bentuk lucu. Altair sangat menyukai makanan yang menarik di matanya.Entah bagaimana video itu diambil padahal Naina tidak merasa direkam. Mungkin ia yang tidak menyadari saking asyiknya berse

    Last Updated : 2024-08-19
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   7. Tolong Aku

    [Zelda, malam ini aku memutuskan pergi dari rumah neraka itu. Aku udah nggak kuat berada disana]Harap-harap cemas, Naina mengirimkan pesan untuk sahabatnya itu. Sayangnya, hanya centang dua dan belum dibaca. Mungkin Zelda sedang menikmati waktu bersama keluarganya?Naina jadi sungkan meminta bantuan. Meski sebelumnya Zelda sudah menawarkan, tetap saja dirinya tidak ingin merepotkan Zelda terus.Kini, Naina berjalan kaki tak tentu arah. Cukup jauh dari kompleks perumahan mertuanya.Sudah memesan ojol juga bahkan sampai tiga kali, tetapi semuanya ditolak dengan alasan sudah larut malam.Tidak mungkin ia pulang ke kampung halaman karena rumahnya sudah dijual untuk modal ke kota ini.Kembali ke rumah Freya yang selama ini menjadi tempat tinggalnya sebelum menikah pun bukan pilihan bagus. Itu sama saja dengan masuk ke kandang musuh.Wanita cantik itu kembali memesan ojol dengan tujuan menuju terminal, berharap kali ini orderannya diterima. Lelah berjalan, ia memutuskan istirahat di sebuah

    Last Updated : 2024-08-19
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   8. Sandiwara Freya

    Di sisi lain....“Sayang, pertunangan kita akan diadakan dua hari setelah empat puluh harinya Altair. Gimana menurutmu? Apa kamu setuju?”Dhaffin, yang belum tahu kaburnya Naina, hanya mengangguk pelan tanpa menoleh. Matanya tetap fokus melihat jalanan di depan. Sekarang ini, ia sedang dalam perjalanan mengantar Freya pulang.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Freya hati-hati sambil menatap Dhafin di sampingnya.“Kenapa?” Dhafin melirik sekilas.Freya menunduk, memainkan jarinya di pangkuan. “Aku merasa nggak enak. Kamu sama Naina kan baru aja kehilangan Altair. Kalian masih dalam suasana duka,” ucapnya berpura-pura simpati.“Maumu gimana? Diundur?”“Nggak nggak, bukan gitu.” Freya buru-buru menggeleng. “Ini kan udah menjadi kesepakatan bersama. Jadi, yaudah ikuti aja rencana mereka.”Dhafin hanya berdehem tanpa menanggapi lebih banyak. Dalam hati, ia juga merasakan hal yang sama. Duka masih sangat kental menyelimuti, apalagi Naina yang merasa paling kehilangan.Namun, kembali lagi. Semuanya

    Last Updated : 2024-08-20
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   9. Dua Garis Merah

    Dhafin tiba di rumah sekitar pukul sebelas malam. Suasana rumah sudah sangat sepi. Bahkan lampu ruang utama sudah dimatikan.Ia pun langsung melangkah menuju kamarnya dan tidak melihat keberadaan Naina.Mungkin tidur di kamar Altair karena semenjak putranya tiada Naina lebih sering tidur di sana.Pria bertubuh tinggi dan tegap itu mengambil piyama tidur yang sudah disiapkan sang istri lantas mengganti pakaiannya.Ia merebahkan tubuh yang terasa lelah di ranjang usai mengirim pesan pada Freya untuk mengabarkan bahwa dirinya sudah sampai rumah. Matanya terpejam dan tak lama memasuki alam mimpi.Keesokan paginya, Dhafin bangun sedikit telat. Biasanya Naina yang membangunkannya untuk menunaikan sholat Subuh. Namun, kali ini ia belum melihat batang hidung istrinya.“Naina, siapkan bajuku,” perintah Dhafin yang masih mengira Naina berada di kamar Altair. Tangannya sibuk memasukkan berkas ke dalam tas lebih.Tidak ada sahutan membuatnya mengernyit heran. Kamar ini dengan kamar anaknya saling

    Last Updated : 2024-08-21

Latest chapter

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   301. Jangan Terlena

    Grissham mengangkat kepala perlahan. Tatapannya bertemu dengan Lora, masih dengan wajah yang sedikit mengerut, seperti anak kecil yang baru saja mengakui kesalahan tapi tetap ingin dimengerti.Katakanlah ia kekanak-kanakan. Hanya karena cemburu, dirinya memilih mendiamkan Lora selama tiga hari.Namun... apakah salah jika ia merasa seperti itu? Lora miliknya walaupun belum sepenuhnya. Ia pun punya hak untuk cemburu.Selama ini, Grissham menahan. Selalu berusaha mengalah. Ia memang mengizinkan Lora tetap berhubungan baik dengan mantan suaminya demi anak-anak. Namun, bukan berarti ia tak terluka. Ada bagian dari hatinya yang terasa diabaikan setiap kali melihat Lora tersenyum bersama pria itu.Lora tampak terlalu menikmati kebersamaan mereka seakan lupa bahwa ada hati yang harus dijaga.Karena itulah Grissham memilih bersikap seperti itu, membiarkan jarak terbentang agar Lora menyadari sendiri. Dan nyatanya, wanita itu datang. Tiga hari cukup untuk membuat Lora bertanya-tanya dan akhir

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   300. Cemburunya Grissham

    Ruangan luas nan mewah itu terdiam bisu, seolah ikut menahan napas. Hembusan lembut dari pendingin ruangan menyusup ke sela-sela, membuat udara di dalamnya terasa membeku. Detik demi detik terdengar jelas dari dentingan jarum jam di dinding, mengisi keheningan yang seakan menanti sang pemilik ruangan untuk angkat bicara. Lora duduk diam. Matanya tak berkedip, menatap Grissham lekat-lekat. Tatapan itu menyimpan rasa penasaran yang terus menggelembung di dalam dada. Jemarinya saling menggenggam, mengguratkan kegelisahan yang coba ia redam lewat kehangatan dari dirinya sendiri. Grissham menghembuskan napas panjang. Matanya tak menoleh, tetap terpaku ke satu titik di hadapan, seolah dinding polos itu lebih pantas ia tatap daripada wanita yang duduk di sampingnya. Kedua tangannya bertumpu di lutut, jari-jarinya mengepal lalu mengendur, seirama dengan napas yang berat. “Aku sedang banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan dalam waktu dekat ini,” ucapnya datar, seperti seda

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   299. Berubah

    Beberapa hari berlalu tanpa terasa. Kini, hanya tersisa dua bulan lagi menuju hari pernikahan Lora dan Grissham.Segala persiapan nyaris rampung, dibantu penuh oleh keluarga besar yang turut antusias menyambut hari bahagia mereka.Gedung hotel megah milik keluarga Kusuma telah dipastikan dan dijadwalkan menjadi tempat berlangsungnya momen sakral itu.Gaun pengantin berpotongan anggun tergantung rapi di balik tirai kaca LaCia Boutique, menanti hari di mana Lora akan mengenakannya. Seragam keluarga pun telah selesai dijahit, lengkap dalam berbagai ukuran. MUA ternama yang menjadi incaran para pengantin sudah dibooking sejak beberapa bulan lalu. Jadwalnya dikunci, tak bisa diganggu gugat.Dan yang tak kalah penting, mereka memutuskan untuk mempercayakan seluruh rangkaian acara kepada wedding organizer profesional. Mulai dari acara siraman hingga resepsi, semua diserahkan kepada tangan-tangan berpengalaman.Rapat demi rapat digelar. Lora dan Grissham selalu hadir, duduk berdampingan den

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   298. Keputusan yang Tak Bisa Diganggu Gugat

    Wajah Bu Anita seketika berubah. Ada gurat kecewa yang perlahan menyusup. Sorot matanya tampak meredup, senyum yang tadi sempat mengembang perlahan menghilang. “Kamu udah memikirkan keputusan ini matang-matang, Nak?” tanyanya pelan dengan mata yang menatap lurus. “Udah, Ma,” jawab Lora dengan lirih tapi tegas. “Bahkan sejak awal aku memilih Kak Sham.” Ia menunduk sejenak, menahan tarikan emosi yang bergolak di dadanya. “Sekali lagi, aku minta maaf, Ma.” Keheningan menggantung beberapa saat. Lora menanti, menebak-nebak reaksi yang akan keluar. Raut datar di wajah Bu Anita membuat pikirannya mulai liar, mencari-cari makna dari setiap helaan napas wanita itu. Ia tahu betul watak ibunya Dhafin. Kini, muncul satu pertanyaan. Apakah keputusan ini akan diterima… atau akan menjadi awal dari jarak yang semakin renggang? Lora menunggu tanggapan Bu Anita dengan sedikit cemas. Melihat dari ekspresinya, sudah pasti beliau akan sangat marah, lalu memaksa agar permintaannya dipenuhi.

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   297. Perhatian yang Timpang

    Pertanyaan itu menggantung di udara. Dhafin tak langsung menjawab, dan dari keheningannya itu saja Lora sudah tahu jawabannya.“Aku nggak menyangkal,” akhirnya Dhafin bicara, suaranya tenang tapi berat. “Tapi itu juga bukan alasan utama. Aku beneran kangen anak-anak. Bukan cuma karena kamu, tapi karena aku ayah mereka.” Ia menarik napas lagi, lalu memalingkan wajah, menatap ke arah rumah tempat tawa si kembar kini terdengar samar. “Kejadian kemarin… bikin aku sadar. Aku nggak cuma kehilangan kamu, tapi juga mereka. Rasanya hampa banget.”Dhafin kembali menatap Lora, sorot matanya kali ini serius dan penuh harap. “Aku nggak minta banyak. Aku cuma pengen kamu izinkan aku tetap ada di hidup mereka. Walau kamu udah punya kehidupan sendiri.”Lora terkekeh pelan, suara tawanya lirih namun mengandung makna. Sudut bibirnya terangkat, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar geli.“Aku dari awal udah membebaskanmu bertemu anak-anak. Aku nggak pernah membatasi,” ujarnya

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   296. Permintaan Maaf

    “Papa!”Dua bocah kembar itu melesat turun dari mobil. Kaki-kaki mungil mereka menapak cepat di jalan setapak.Suara langkah kecil berpadu dengan teriakan riang, menciptakan simfoni rindu yang tak terbendung.Mereka langsung menghambur ke dalam pelukan ayahnya yang berdiri di teras dengan tangan terbuka dan mata yang tampak sedikit berembun.Begitu tubuh kecil itu memeluknya, Dhafin menunduk dan mendekap mereka erat seolah tak ingin melepaskan.Tangannya membelai rambut keduanya, mencium pipi mereka satu per satu dengan tawa kecil yang tertahan. Hatinya mencelos, penuh sesak oleh rasa bersalah yang belum juga reda. Terakhir ia melihat wajah mereka adalah di rumah sakit saat menjenguk ibunya.Sejak pertengkaran panas itu, Lora benar-benar menjauh. Dan ia... hanya bisa menyesali semuanya dalam diam.“Papa kangen banget sama kalian.” Suaranya bergetar, tetapi hangat.Ia mendaratkan ciuman bertubi-tubi di wajah mereka, membuat anak-anak itu tertawa geli sambil memegangi pipi mereka. “Kal

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   295. Permintaan untuk Datang Kembali

    Grissham tak langsung menanggapi. Matanya tak lepas dari jalanan yang padat. Tampak di depan sana, mobil-mobil merayap, saling berebut celah di bawah langit sore yang mulai menguning.Lampu sein berdetak pelan, menyatu dengan musik dari radio yang mengalun lembut dari speaker mobil.Beberapa menit kemudian, ia memutar kemudi ke kanan, memasuki jalan menuju kawasan perumahan elit—tempat keluarga Brighton tinggal.Dering ponsel yang sejak tadi bersenandung akhirnya berhenti. Lora menatap layar yang kini berubah gelap, jemarinya masih menggenggam erat perangkat itu.Grissham melirik sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Ia sempat mengira telepon itu tak akan datang lagi karena sang penelepon sudah menyerah. Namun hanya selang beberapa detik, getaran itu kembali menggema di dalam mobil. Nada dering yang sama, nama yang sama—masih bertahan di layar.Grissham menarik napas panjang, menahan jeda sebelum bersuara. “Angkat saja, siapa tahu penting,” ucapnya datar, tetapi lembut.Lora hanya me

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   294. Jejak Tradisi

    Senyum di wajah Zelda perlahan meredup. Masih ada lengkungan manis di bibirnya, tetapi tak lagi semeriah tadi. Pandangannya turun, jatuh pada jemarinya yang saling menggenggam di atas pangkuan, seolah mencari pegangan pada dirinya sendiri. Lora yang duduk di sampingnya mencuri pandang, lalu menatap lekat perut sahabatnya yang kini membulat jelas di balik dress selutut berwarna pastel itu. “Pemeriksaan terakhir? Emangnya kenapa?” tanyanya pelan tetapi penuh curiga setelah ada jeda sejenak. Zelda tidak langsung menjawab. Hanya diam, membiarkan hening mengambang beberapa detik. Kemudian, seperti tersadar, ia menarik napas dan kembali memasang senyum cerah hingga terasa agak dipaksakan. “Bukan apa-apa kok. Semuanya aman.” Lora tidak sepenuhnya percaya. Tatapannya menyapu wajah Zelda yang terlihat terlalu tenang untuk seseorang yang barusan tampak ragu. Namun, ia memilih menahan diri. Tangannya terulur untuk menyentuh perut sahabatnya yang terasa hangat dan hidup di bawah telapaknya

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   293. Persiapan Pernikahan

    Berbeda dengan Dhafin yang tenggelam dalam penyesalan tak berujung, Lora berdiri tegak di depan cermin besar di LaCia Boutique milik sahabatnya. Cahaya lembut dari lampu gantung kristal memantulkan siluetnya di permukaan kaca. Kebaya putih dengan detail payet halus melekat sempurna di tubuhnya, mengikuti lekuk tanpa cela.Kainnya jatuh anggun, sementara ekor kebaya menjuntai panjang hingga menyapu lantai dengan gerakan pelan setiap kali ia berpindah posisi. Kerudung segi empat yang menjuntai menutup dada, warnanya senada dengan kebaya, menjadikan tampilannya anggun tanpa harus berlebihan.Lora merapikan kerudungnya perlahan, jemarinya menyusuri kain lembut yang menjuntai menutup dada. Sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya.Bukan karena merasa paling cantik, bukan pula karena penampilan yang nyaris sempurna. Melainkan ada rasa hangat yang menjalari dadanya, sebuah rasa utuh sekaligus layak.Untuk pertama kalinya, ia menjalani proses ini dengan penuh kesadaran dan penghargaan. Ti

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status