Langit malam yang pekat menyelimuti suasana di luar rumah sakit, sementara lampu-lampu neon menyala terang, menerangi lorong-lorong yang sepi namun terasa penuh beban. Rumah sakit itu sendiri, dengan aroma khas antiseptik yang memenuhi udara, menjadi saksi bisu dari berbagai kisah hidup—kelahiran, kesembuhan, kehilangan, dan harapan.Alex berjalan tergesa-gesa menuju kamar perawatan VIP. Langkah kakinya terdengar berat, mencerminkan hatinya yang penuh kebimbangan. Saat tiba di depan pintu kamar Suci, ia terdiam sejenak, menarik napas panjang sebelum membuka pintu.Di dalam, suasana hangat namun penuh ketegangan. Suci terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat namun tetap menampilkan keanggunan yang tak pudar. Di sebelahnya, Bu Asma duduk dengan senyum lebar yang tak dapat ia sembunyikan. Begitu melihat Alex, wajah Bu Asma berbinar."Alex, akhirnya kamu datang juga," ujar Bu Asma dengan nada penuh antusias. Ia segera berdiri dan menghampiri putranya. "Dokter baru saja pergi. Mereka bi
“Suci, apa kamu baik-baik saja?” suara Alex memecah keheningan di kamar perawatan VIP rumah sakit.Suci menoleh perlahan, matanya yang sembab karena lelah dan emosi menatap Alex tanpa banyak ekspresi. “Alhamdulillah Bapak sepertinya masih peduli pda saya. Oh, mungkin karena saya mengandung anak Bapak?” tanyanya pelan, tapi nadanya dingin.Alex menghela napas. Ia tahu Suci berhak marah, bahkan lebih dari itu. Ia terlalu sering membentaknya, meninggalkannya, bahkan membuatnya merasa tak berharga. Tapi saat ini, ada satu kenyataan yang tak bisa ia abaikan: Suci sedang mengandung anaknya.“Aku... aku hanya ingin tahu keadaanmu dan anak dalam perut kamu,” kata Alex dengan suara rendah.“Saya baik-baik saja. Mudah-mudahan janin ini pun sehat sampai nanti dilahirkan,” jawab Suci singkat. Ia lalu memalingkan wajah, menatap ke jendela lagi.Alex terdiam, mencari kata-kata yang tepat untuk meredakan ketegangan ini, tetapi semuanya terasa salah. Ia mendekat, duduk di kursi dekat ranjang Suci. “S
"Ambil saja kembaliannya, Pak." "Wah, makasih Neng. Maaf, mau cerai ya?" Luna hanya tersenyum saat pengemudi ojek online itu bertanya. Lalu ia segera berjalan hendak pintu gerbang kantor pengadilan agama itu. Hujan rintik-rintik turun perlahan, menciptakan simfoni halus di atas payung-payung dan daun-daun yang basah. Di depan gedung pengadilan agama, Luna berdiri dengan tubuh gemetar. Bukan karena dingin, melainkan karena pikirannya yang penuh keraguan. Bukankah ini yang ia inginkan, berpisah dari Anton. Tapi kenapa semakin lama ia jauh dari pria yang masih menjadi suaminya itu, maka semakin hampa juga rasanya ia menjalani hidup. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki gedung. Suara langkah kaki dan bisik-bisik pelan para pengunjung bercampur menjadi latar belakang yang membingungkan. Di salah satu deretan kursi, Anton duduk dengan tenang, mengenakan kemeja biru tua yang membuat kulit coklatnya tampak semakin bersinar. Rambutnya rapi, sedikit lebih panjang dari yang biasa Luna li
Pagi itu, Luna berdiri di depan rumah sederhana yang pernah ia tinggali bersama Anton dan Aris. Hatinya dipenuhi keberanian yang ia sendiri tak tahu berasal dari mana. Ia mengetuk pintu, menggenggam tas kecil di tangannya, seolah kunjungannya kali ini adalah hal biasa.Amel membuka pintu dengan alis terangkat. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang jelas. “Luna?” tanyanya, suaranya terdengar ragu. “Ada apa pagi-pagi ke sini?”Luna tersenyum tipis, meski ada ketegangan di wajahnya. “Aku ke sini karena ingin mengantar Aris sekolah hari ini.”Amel terdiam sejenak, memandang Luna dari ujung kepala hingga kaki. “Kamu yakin? Aris biasanya diantar Anton, kamu tahu itu, kan?” Amel menoleh ke bekalang. Sebelum Luna bisa menjawab, Anton muncul dari balik pintu, mengenakan kaos hitam polos dan celana jeans. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sama dengan Amel: terkejut. “Luna? Kenapa kamu di sini?” kening pria itu mengerut dalam. “Aku ingin mengantar Aris sekolah,” ulang Luna dengan suara yang
"Jadi, Luna benar-benar kembali ke rumah Anton?" "Ya, begitulah."Suara Hakim terdengar berat, penuh dengan kekecewaan. Ia menatap wajah Dhuha yang sedang menyeduh kopi di dapur kecil apartemennya."Kok bisa?""Gue dengar langsung dari Amel tadi pagi," jawab Dhuha, menyerahkan cangkir kopi kepada sepupunya itu. "Lo tahu, gue nggak habis pikir. Apa yang ada di pikiran Luna? Anton itu jelas-jelas sedang dekat dengan Amel. Dan sekarang Luna kembali? Ini seperti menghidupkan bara api di tumpukan jerami."Hakim menghela napas panjang. "Gue jadi bingung sama status adek gue. Bagaimana juga Amel itu masih ting ting, Dhu. Sarjana lagi, S2, tapi perasaannya malah jatuh pada duda yang statusnya masih belum jelas juga.""Tepat sekali." Dhuha mengangguk sambil duduk di sofa. "Dan itulah masalahnya. Status itu penting, Hakim. Kalau hubungan mereka tidak sah di mata agama maupun negara, siapa yang akan menanggung akibatnya? Masalah seperti ini bukan cuma merugikan diri sendiri, tapi juga orang-ora
Aini duduk termenung di tepi tempat tidur, tatapannya kosong, tetapi hatinya penuh dengan luka yang membara. Kata-kata Suci tadi terus terngiang di benaknya: "Alex lebih sering bersamaku dan kami bergairah." Namun, itu belum seberapa dibandingkan fakta yang baru saja ia ketahui—Suci sedang hamil muda."Dia hamil," bisik Aini, suara kecilnya pecah dalam keheningan kamar. Air matanya mengalir deras. Selama ini, Alex selalu melarangnya hamil, dengan alasan mereka harus fokus mengurus Izzam dan Intan, anak-anak dari Diana dan suaminya terdahulu. Alex bahkan memaksanya terus mengonsumsi pil KB, seolah-olah ia hanya berfungsi sebagai istri tanpa hak untuk menjadi seorang ibu lagi. Padahal, maka mertuanya sering sekali mencecarnya kapan hamil anak Alex. Namun, jika ia harus KB, kenapa jalang itu tidak? Hati Aini semakin panas. Wanita itu bukan hanya hadir sebagai madu, tetapi kini membawa sesuatu yang selama ini tidak diizinkan Aini miliki lagi—kehamilan. Aini merasa diperlakukan tidak adil
Jam dinding di ruang tamu rumah Alex menunjukkan pukul tujuh malam. Ketukan di pintu pagar terdengar tiga kali, disusul suara lembut dari luar."Alex, ini Ibu," ujar suara itu, penuh kehangatan.Suci yang sedang duduk di ruang tamu segera bangkit dan membuka pintu. Di depan pintu berdiri Bu Sukma, mertuanya dengan tas belanja di tangan. Wajahnya tampak sedikit lelah, tetapi senyumnya tetap ramah."Mama?" Suci bergegas membukakan pintu pagar. Wanita itu memang tengah menunggu suaminya pulang kerja, sehingga memilih duduk di ruang tamu, tanpa menutup pintu rumah dengan rapat. "Ada apa, Ma, malam-malam begini datang?" tanya Suci sedikit terkejut."Ada sesuatu yang ingin Mama buat. Mana Alex?" tanyanya sambil melangkah masuk."Belum pulang, Ma. Biasa sampai rumah jam sembilan malam." Bu Sukma mengangguk. "Mama bawa apa? Sepertinya baunya sedap." Suci tak sabar melihat bawaan sang Mertua. Hatinya berbunga-bunga karena bahagia punya mertua baik dan perhatian, padahal ia hanya istri kedua
Izzam menatap Suci dengan raut penasaran yang bercampur kesedihan. Anak laki-laki itu menggeser kursinya mendekat ke meja makan, sambil memiringkan kepala."Tante Suci," panggilnya pelan, "tadi aku dengar Tante sama Nenek ngomongin Ibu Aini. Ibu tadi datang, ya? Kapan?"Suci terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia menatap wajah polos Izzam yang penuh harapan, kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab."Iya, Nak. Ibu Aini tadi siang sempat pulang sebentar, tapi Ibu harus pergi lagi," jawabnya hati-hati.Mata Izzam yang berbinar perlahan meredup. "Kenapa Ibu nggak bilang ke aku kalau mau pergi lagi? Aku kan kangen sama Ibu. Harusnya ibu tunggu aku dan Intan pulang sekolah. Kenapa malah langsung pergi?"Suci merasa dadanya sesak mendengar ucapan Izzam. Ia ingin menjelaskan lebih banyak, tetapi bagaimana caranya berbicara kepada anak kelas dua SD tentang konflik rumah tangga yang rumit ini?"Ibu pasti sibuk, Nak. Tapi Ibu pasti juga kangen sama kamu dan Intan. Percayalah, ya," uja
Anton mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia tahu cepat atau lambat, Amel akan tahu tentang kehamilan Luna. Dan ketika itu terjadi, apa yang akan ia katakan? Bagaimana ia bisa meyakinkan Amel bahwa ia tidak pernah berniat menyembunyikan hal ini darinya?Di rumah, sepulang kerja dari kantornya, Amel sibuk mengatur dekorasi ruang tamu. Mereka baru menikah empat puluh hari, dan sebagai istri, Amel berusaha membuat rumah mereka senyaman mungkin. Saat Anton pulang, ia langsung menyadari ada sesuatu yang berbeda dari suaminya. Ekspresi wajahnya tegang, matanya kosong, dan bahunya sedikit membungkuk seakan membawa beban berat."Mas, kamu nggak apa-apa? Kelihatan capek banget," kata Amel sambil menghampiri Anton yang baru saja duduk di sofa."Seriusan kamu bertemu Luna di jalan?" Anton menatap istrinya, ada perasaan bersalah yang menghantam dadanya. Ia ingin jujur, tapi belum siap menghadapi konsekuensinya. "Iya, tadi, makanya Aris d
Anton menatap Luna dengan ekspresi sulit dijelaskan. Wajahnya menegang, sementara tangannya gemetar saat mengambil buku laporan kehamilan yang jatuh di kakinya. Perlahan, ia membaca nama yang tertera di sana: Luna Pramesthi. Jantungnya berdegup kencang."Luna... Kamu hamil?" suaranya serak, hampir seperti bisikan. Aris menatap ayah ibunya dengan tatapan tak paham. Luna terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Ini adalah skenario yang selama ini ia hindari—pertemuan langsung dengan Anton saat ia belum siap memberikan jawaban. Matanya berkaca-kaca, bukan karena takut, tetapi lebih kepada kenyataan yang menohok bahwa rahasia yang ia simpan selama ini terbongkar begitu saja.Aris menatap kedua orang tuanya bergantian dengan kebingungan di wajahnya. "Ibu? Kenapa diam? Apa Ibu sakit?" tanyanya polos.Luna menunduk dan mencoba mengendalikan emosinya. Ia tidak ingin Aris melihatnya dalam keadaan rapuh. Dengan suara pelan, ia menjawab, "Ibu baik-baik saja, Nak. Cuma periksa saja. Minta obat dem
Hakim menghela napas panjang. Keputusan sudah ada di depan mata, dan ia hanya perlu melangkah maju. Tania telah menunjukkan kesiapannya, sementara Salsabila memiliki prioritas lain. Itu sudah cukup bagi Hakim untuk menentukan pilihannya.Pagi itu, ia kembali ke kantor dengan pikiran yang lebih jernih. Di ruangannya, ia menatap daftar agenda yang menumpuk di layar laptop. Salah satu yang paling penting adalah mengatur pernikahannya dengan Tania.Sebelum memulai pekerjaan, ia menghubungi Amel."Halo, Mas Hakim. Gimana? Sudah ada keputusan?" suara Amel terdengar ceria seperti biasa.Hakim mengangguk walaupun tahu Amel tidak bisa melihatnya. "Aku memilih Tania."Hening sejenak sebelum Amel berseru, "Serius? Aku nggak nyangka kamu bakal langsung memutuskan secepat ini, Mas.""Mama minta waktunya tiga minggu, Mel. Dan ini sudah lewat satu minggu. Aku harus cepat." Amel tertawa mendengar suara panik kakaknya. "Pilihan Mas Hakim tepat karena Tania memang siap. Kalau cewek kenalan dari Mbak A
Hakim kembali memijat pelipisnya setelah pertemuannya dengan Salsabila. Dua miliar bukan jumlah yang kecil, tetapi ia tahu bahwa dengan posisi dan kekayaan keluarganya, itu bukan angka yang mustahil. Yang menjadi pertanyaannya sekarang, apakah Tania akan meminta hal yang sama?Ia meraih ponselnya dan menghubungi Amel."Halo, Mas Hakim," suara Amel terdengar ceria seperti biasa."Amel, aku baru saja bertemu dengan Salsabila dan dia setuju, tapi ada syaratnya," kata Hakim."Syarat seperti apa?" tanya Amel penasaran."Dua miliar sebagai kompensasi atas perannya. Dia ingin semuanya berjalan profesional tanpa perasaan terlibat," jawab Hakim jujur.Amel terdiam sesaat sebelum tertawa kecil. "Wah, nggak kaget sih. Salsabila memang tipe wanita yang tahu apa yang dia mau.""Nah, itu yang mau aku tanyakan ke kamu. Apakah menurutmu Tania juga akan meminta kompensasi seperti itu?" Hakim bertanya hati-hati.Amel menghela napas. "Sejujurnya, aku nggak tahu, Mas. Tania orangnya berbeda dari Salsabil
Hakim duduk di kursinya dengan perasaan campur aduk setelah mengirim pesan kepada Amel. Ia memijat pelipisnya, mencoba mencerna semua pilihan yang tiba-tiba datang dalam hidupnya. Tiga minggu bukan waktu yang lama untuk mencari pasangan hidup, meskipun hanya sekadar pernikahan pura-pura.Di satu sisi, ada Salsabila. Wanita yang direkomendasikan oleh Aini dan tampak sangat profesional. Sikapnya tegas dan penuh perhitungan. Hakim bisa melihat bahwa Salsabila bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dimanfaatkan. Jika ia setuju, Hakim yakin mereka bisa menyusun kesepakatan yang jelas dan tidak akan ada drama di kemudian hari. Namun, justru itulah yang sedikit membuatnya khawatir. Wanita seperti Salsabila pasti punya standar tinggi dan bisa jadi ia tidak akan mau menjalani sandiwara ini tanpa syarat yang ketat.Di sisi lain, ada Tania. Wanita yang diperkenalkan oleh Amel. Dari deskripsi Amel, Tania tampak seperti gadis sederhana yang pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Yatim piatu,
Hakim menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Setelah menelepon Dhuha, ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi tetap saja, waktu yang diberikan orang tuanya sangatlah singkat. Ia bukan tipe pria yang terbiasa terburu-buru dalam mengambil keputusan besar, apalagi soal pernikahan. Namun, kali ini ia tidak punya banyak pilihan.Di sisi lain, Dhuha masih mencerna ucapan Hakim barusan. Ini bukan permintaan yang biasa. Mencari calon istri dalam waktu tiga minggu saja sudah sulit, apalagi jika syaratnya adalah pernikahan pura-pura. Ia merebahkan diri di sofa sambil menatap langit-langit. Aini, yang baru saja selesai mandi, keluar dari kamar dan melihat ekspresi suaminya yang sedang berpikir keras."Kenapa bengong begitu?" tanya Aini sambil mengeringkan rambutnya.Dhuha menoleh dan tersenyum kecil. "Barusan Hakim nelepon. Dia butuh istri dalam tiga minggu."Aini mengernyit. "Istri? Maksud Mas, dia mau menikah? Emang Hakim punya ayang? ""Iya. Tapi bukan pernikahan yang sebenarnya. Dia
Hotel Mulia Sahabat sudah beroperasi sejak subuh. Para staf dengan cekatan mempersiapkan segala sesuatu untuk memastikan tamu mendapatkan pelayanan terbaik. Dari lobi yang dipenuhi dengan aroma kopi segar hingga restoran yang mulai menyajikan sarapan prasmanan, semuanya berjalan dengan rapi dan efisien. Hakim duduk di ruang rapat utama, menatap layar presentasi yang menunjukkan proyek ekspansi terbaru hotel mereka di Kota Malang."Baik, untuk grand opening di Malang, saya ingin semua berjalan sesuai jadwal. Pak Irwan, bagaimana progres renovasi gedungnya?" tanya Hakim dengan suara tegas namun tetap tenang."Alhamdulillah, Pak Hakim. Progresnya sudah mencapai 85 persen. Kami hanya tinggal menyelesaikan beberapa bagian interior dan pelatihan staf baru."Hakim mengangguk puas. "Bagus. Saya ingin kita pastikan bahwa pelayanannya tetap setara dengan standar hotel kita di kota lain. Bu Siska, bagaimana dengan marketingnya?""Sudah berjalan sesuai rencana, Pak. Kami sudah melakukan kampanye
Dhuha menatap ibunya dengan perasaan terluka. "Mama, jangan bicara seperti itu. Aku memilih Aini bukan karena sihir atau apapun yang Mama pikirkan. Aku memilihnya karena aku mencintainya. Mama, aku mohon, berhentilah mencurigainya tanpa bukti yang jelas. Aini tulus mencintaiku, Ma. Dulu kami berpisah karena aku yang tidak dewasa. Sekarang aku sudah dewasa dan paham. Aku gak mau sampai pernikahanku gagal lagi.""Kamu tidak pernah tahu kan, kenapa bisa cinta berat sama Aini? Kamu saja jarang solat. Orang yang jarang solat itu, mudah dimasukin jin." Dhuha menggelengkan kepala. Mamanya selalu saja keras kepala dan pasti tidak akan menerima pembelaan darinya. Maria menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tetapi dalam hatinya, ia pun ragu. Foto-foto itu memang tampak mencurigakan, tetapi apakah itu cukup sebagai bukti bahwa Aini tidak layak untuk Dhuha? Apalagi setelah mendengar bahwa foto tersebut adalah foto lama."Mama akan mencari tahu lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, Mama tidak
Setelah membaca pesan itu, Aini merasa hatinya mulai tidak tenang. Meskipun Dhuha sudah meyakinkannya bahwa ia akan selalu melindunginya, tetap saja perasaan gelisah itu tidak bisa hilang begitu saja. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan melanjutkan aktivitasnya, tetapi firasat buruk itu terus menghantuinya.Keesokan harinya, Aini dan Dhuha pergi ke Sentul seperti yang mereka rencanakan. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan hijau pegunungan sedikit mengurangi kegelisahan yang masih tersisa dalam hati Aini. Mereka mengunjungi rumah yang akan segera menjadi milik mereka, sebuah hunian minimalis dengan halaman luas dan suasana yang tenang."Masya Allah, indah sekali," gumam Aini takjub.Dhuha tersenyum melihat ekspresi bahagia istrinya. "Aku ingin kamu bahagia di sini. Aku ingin kita membangun rumah tangga yang penuh ketenangan dan cinta."Aini menggenggam tangan suaminya erat. "Terima kasih, Mas. Aku tidak butuh rumah besar atau barang mewah, yang penting kita selalu bersama." Mesk