Aini duduk termenung di tepi tempat tidur, tatapannya kosong, tetapi hatinya penuh dengan luka yang membara. Kata-kata Suci tadi terus terngiang di benaknya: "Alex lebih sering bersamaku dan kami bergairah." Namun, itu belum seberapa dibandingkan fakta yang baru saja ia ketahui—Suci sedang hamil muda."Dia hamil," bisik Aini, suara kecilnya pecah dalam keheningan kamar. Air matanya mengalir deras. Selama ini, Alex selalu melarangnya hamil, dengan alasan mereka harus fokus mengurus Izzam dan Intan, anak-anak dari Diana dan suaminya terdahulu. Alex bahkan memaksanya terus mengonsumsi pil KB, seolah-olah ia hanya berfungsi sebagai istri tanpa hak untuk menjadi seorang ibu lagi. Padahal, maka mertuanya sering sekali mencecarnya kapan hamil anak Alex. Namun, jika ia harus KB, kenapa jalang itu tidak? Hati Aini semakin panas. Wanita itu bukan hanya hadir sebagai madu, tetapi kini membawa sesuatu yang selama ini tidak diizinkan Aini miliki lagi—kehamilan. Aini merasa diperlakukan tidak adil
Jam dinding di ruang tamu rumah Alex menunjukkan pukul tujuh malam. Ketukan di pintu pagar terdengar tiga kali, disusul suara lembut dari luar."Alex, ini Ibu," ujar suara itu, penuh kehangatan.Suci yang sedang duduk di ruang tamu segera bangkit dan membuka pintu. Di depan pintu berdiri Bu Sukma, mertuanya dengan tas belanja di tangan. Wajahnya tampak sedikit lelah, tetapi senyumnya tetap ramah."Mama?" Suci bergegas membukakan pintu pagar. Wanita itu memang tengah menunggu suaminya pulang kerja, sehingga memilih duduk di ruang tamu, tanpa menutup pintu rumah dengan rapat. "Ada apa, Ma, malam-malam begini datang?" tanya Suci sedikit terkejut."Ada sesuatu yang ingin Mama buat. Mana Alex?" tanyanya sambil melangkah masuk."Belum pulang, Ma. Biasa sampai rumah jam sembilan malam." Bu Sukma mengangguk. "Mama bawa apa? Sepertinya baunya sedap." Suci tak sabar melihat bawaan sang Mertua. Hatinya berbunga-bunga karena bahagia punya mertua baik dan perhatian, padahal ia hanya istri kedua
Izzam menatap Suci dengan raut penasaran yang bercampur kesedihan. Anak laki-laki itu menggeser kursinya mendekat ke meja makan, sambil memiringkan kepala."Tante Suci," panggilnya pelan, "tadi aku dengar Tante sama Nenek ngomongin Ibu Aini. Ibu tadi datang, ya? Kapan?"Suci terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia menatap wajah polos Izzam yang penuh harapan, kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab."Iya, Nak. Ibu Aini tadi siang sempat pulang sebentar, tapi Ibu harus pergi lagi," jawabnya hati-hati.Mata Izzam yang berbinar perlahan meredup. "Kenapa Ibu nggak bilang ke aku kalau mau pergi lagi? Aku kan kangen sama Ibu. Harusnya ibu tunggu aku dan Intan pulang sekolah. Kenapa malah langsung pergi?"Suci merasa dadanya sesak mendengar ucapan Izzam. Ia ingin menjelaskan lebih banyak, tetapi bagaimana caranya berbicara kepada anak kelas dua SD tentang konflik rumah tangga yang rumit ini?"Ibu pasti sibuk, Nak. Tapi Ibu pasti juga kangen sama kamu dan Intan. Percayalah, ya," uja
Dhuha memandang jalan tol yang terbentang panjang di depannya. Hujan rintik-rintik membasahi kaca depan mobil, menciptakan pola abstrak yang segera tersapu oleh wiper. Di sebelahnya, Aini duduk dengan tangan memegang perut. Wajahnya pucat pasi."Berhenti dulu, Dhuha," suara Aini terdengar lemah namun tegas. "Aku nggak tahan lagi."Tanpa ragu, Dhuha segera membelokkan mobil ke rest area terdekat. Ia tahu kondisi Aini semakin memburuk sejak tadi siang. Masuk angin, kata Aini. Tapi Dhuha paham, ini lebih dari itu. Mungkin efek perjalanan panjang yang membuat tubuh wanita itu kelelahan.Selain itu, Aini sedang stres dengan masalah rumah tangganya, yang tentu saja memperngaruhi kondisi badan, sehingga mudah capek. Dhuha pun memarkirkan mobilnya dekat dengan deretan kantin foodcourt. "Kamu gak papa, Ai? Kalau gak enak badan, kita balik lagi ke Bandung ya?" Aini menggelengkan kepala. "Aku gak papa, Dhuha, cuma mual banget. Sebentar."Aini bergegas keluar dari mobil, berjalan dengan langkah
Pagi di Jakarta selalu riuh dengan suara klakson, langkah tergesa, dan hiruk pikuk yang seolah tidak pernah tidur. Dhuha terbangun lebih awal dari biasanya. Pikiran tentang percakapan singkatnya dengan Monic semalam terus terngiang. Wanita itu tampak berbeda, lebih dewasa, tapi pertanyaannya masih menyisakan kebimbangan dalam hati Dhuha.Setelah mandi dan bersiap, Dhuha melirik ke arah kamar Aini. Pintu tertutup rapat. Ia tidak ingin membangunkan Aini, terlebih karena kondisi wanita itu belum sepenuhnya pulih. Dhuha memutuskan pergi ke rumah sakit sendiri pagi ini.Sebelum keluar dari apartemen, pria itu memastikan kompor sudah ia matikan. Membuat chicken soup yang resepnya ia lihat di youtu-be. Ia sengaja menyiapkan untuk Aini agar Aini tak perlu berdiri di depan kompor untuk memasak sarapan. Chicken soupnya harus dihabiskan ya, CantikSendDi ruang rawat Maria, suasana terasa lebih hidup dibandingkan semalam. Seorang perawat tengah memeriksa tekanan darah Maria, sementara ibu Dhuha
Dhuha membuka pintu apartemen dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memegang tas belanja yang berisi makanan ringan dan minuman. Langkah-langkah mereka bergema di lorong yang sepi, membawa keheningan yang sempat menyelimuti mereka sejak keluar dari rumah sakit. Dhuha benar-benar tidak enak hati dengan Aini. Sampai-sampai, ingin membuka percakapan pun ia bingung mau mulai dari mana. “Masuklah,” ucap Dhuha, mempersilakan Aini. Wanita itu melangkah masuk, mengedarkan pandangan ke apartemen berkamar dua yang sederhana namun terasa hangat.“Maaf soal tadi,” kata Dhuha tiba-tiba, memecah kesunyian saat ia meletakkan tas belanja di atas meja dapur. “Mama memang selalu... begitulah. Mamaku sangat keras kepala." Aini tersenyum. "Sama seperti anaknya. Lebih tepatnya, anaknya sama persis dengan mamanya." Dhuha kali ini ikut tersenyum. Ia membuka salah satu minuman kaleng untuk panas dalam, lalu ia teguk cepat. "Sepertinya hatiku lebih lembut dari mama," balas Dhuha Aini menghela napas
"Aduh, Mbok! Izzam butuh penggaris bentuk segitiga sama buku kotak-kotak. Besok katanya mau dipakai tugas sekolah," ucap Izzam dengan wajah memelas, berdiri di depan dapur sambil menggoyang-goyangkan kakinya.Mbok Darmi yang sedang membersihkan ikan untuk makan siang menoleh ke arah bocah delapan tahun itu. Wajahnya penuh rasa iba. "Waduh, kenapa baru bilang sekarang, Nduk? Mbok harus cepet-cepet ke warung, nih?"Izzam mengangguk cepat. "Iya, Mbok! Kata Bu Guru, nggak boleh telat. Penting banget soalnya. Nanti keburu sore, malah toko alat tulisnya tutup."Mbok Darmi mengusap tangan basahnya ke celemek sebelum meraih dompet kecil di atas meja. "Ya sudah, Mbok pergi sekarang, ya. Tapi kamu jangan main sembarangan, lho! Jangan bikin Mbok repot. Jangan ke dapur, Mbok belum selesai masak!""Siap, Mbok!" jawab Izzam sambil mengacungkan jempolnya. Namun, begitu Mbok Darmi pergi, wajahnya berubah serius. Bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil penuh rencana.Izzam melangkah pelan ke kama
Izzam membuka jendela kamarnya, membiarkan angin pagi menyapa wajahnya yang penuh senyum licik. Rencana kedua telah disusun dengan matang. Setelah berhasil mengacaukan sore kemarin, kali ini dia ingin menguji kesabaran Suci di pagi hari. Baru satu kali dan anak kecil itu berencana membuat kacau setiap hari. “Aku harus bikin tante yang bikin ibu sedih, keluar dari rumah ini,” gumam Izzam sambil melirik pintu kamar mandi.Tepat saat Suci lewat di depan kamarnya dengan handuk kecil yang ditaruh di pundak, Izzam memanggilnya.“Tante Suci! Tolong, dong, air shower di kamar mandiku macet. Aku nggak bisa mandi.”Suci berhenti, menatap Izzam dengan alis terangkat. “Macet? Kok bisa? Padahal kemarin baik-baik saja.”Izzam mengangkat bahu, memasang wajah polos. “Aku juga nggak tahu, Tante. Tapi aku nggak bisa mandi kalau nggak pakai shower.”Dengan menghela napas panjang, Suci berjalan ke kamar mandi Izzam. “Ya sudah, sini Tante cek.” Wanita itu sama sekali tidak menaruh rasa curiga sedikitpun.
Pagi itu, suasana meja makan terasa lebih hangat dari biasanya. Rio sedang sibuk membantu Aini menyiapkan makanan, sementara Erwin duduk sambil membaca koran. Diana, yang biasanya terlambat bangun, pagi ini datang lebih awal dan langsung duduk di sebelah suaminya. Aini yang sibuk di dapur membawa hidangan terakhir, memastikan semua sudah tersedia untuk mereka."Mas Erwin, mau tambah kopi?" tanya Diana dengan suara manis.Erwin menggeleng sambil tersenyum. "Tidak, terima kasih. Perutku terlalu penuh nanti. Mas Rio mungkin mau?" Erwin menatap Rio. "Aku tidak bisa minum kopi terlalu pagi," jawab Rio. Rio melirik Diana, yang tampak lebih ceria dari biasanya. Ia hanya menggeleng pelan, tak ingin terlibat lebih jauh dalam urusan rumah tangga adiknya. Aini, yang berdiri tak jauh dari meja makan, memperhatikan kehangatan itu dengan hati yang berat.Beberapa tahun lalu, ia pernah berhayal bahwa suatu hari ia akan mendapatkan keluarga utuh layaknya orang lain. Bercerita, tertawa, berdiskusi
Hari-hari berlalu, dan ketegangan di panti asuhan semakin terasa. Diana semakin sering menunjukkan sikap tidak peduli terhadap anak-anak panti. Ia juga semakin terang-terangan memperhatikan Rio, meskipun pria itu selalu menjaga jarak. Diana terlihat cari perhatian saat di depan Rio. Ia akan bersikap manis pada anak-anak jika Rio ada di sana, tapi ketika Rio tidak ada, Diana kembali acuh. Aini menyaksikan semua itu dengan perasaan campur aduk. Di tengah kehidupannya yang sudah penuh tekanan, ia tetap berusaha menjalani hari-harinya di dapur dan merawat anak-anak dengan sepenuh hati. Meski kehadiran Rio membawa sedikit ketenangan, ia tahu bahwa situasinya tidak akan bertahan lama tanpa adanya perubahan besar."Besok saya sudah mulai bekerja, Ai," kata Rio saat menghampiri Aini yang tengah menyiram tanaman. "Oh, ya, Mas, Alhamdulillah. Kerjaan Mas yang lama bagaimana? Apa maksudnya Mas kembali kerja di luar negeri gitu?" Rio menggeleng. "Di sini, mungkin naik motor sekitar empat pulu
Ganteng, tinggi, putih, baik, murah senyum, siapa yang gak suka melihat pemandangan pria seperti itu? Diana berdiri di balkon lantai dua, memandang ke halaman panti tempat Rio sedang bermain bola dengan anak-anak. Ia tidak bisa memungkiri, ada sesuatu pada pria itu yang menarik perhatiannya. Wajah tampannya, sikap tegasnya, dan bagaimana ia memperhatikan anak-anak membuat Diana semakin sulit mengalihkan pikirannya.Berbeda sekali dengan suaminya yang memang cukup ramah pada anak-anak panti, tapi gesturnya tidak seluwes Rio. “Aku tidak mengerti kenapa dia selalu mempermasalahkanku,” gumam Diana sambil memandangi Rio yang tertawa bersama anak-anak.Meskipun Rio sering menegurnya karena ketidakpeduliannya terhadap panti, Diana tidak pernah benar-benar merasa terganggu. Sebaliknya, ia justru menikmati setiap interaksi mereka, bahkan yang penuh ketegangan sekalipun.Kenapa sampai sekarang, pria itu belum menikah? Sepertinya wanita manapun yang ia tunjuk jadi istri, pasti akan langsung se
Keesokan paginya, Rio memutuskan untuk mulai menyelidiki laporan keuangan panti yang baru dikirim oleh Diana. Ia tahu bahwa masalah terbesar yang disampaikan ibunya adalah mengenai kebutuhan anak-anak panti yang tidak terpenuhi. Hal ini hanya bisa dijelaskan jika ia menemukan sesuatu yang tidak beres dalam pengelolaan dana panti yang semuanya diatur oleh Diana. Rio langsung menuju ruang kantor yang biasa digunakan oleh Diana. Ia menemukan meja yang penuh dengan tumpukan kertas, dokumen, dan beberapa map yang terlihat acak-acakan. Saat membuka laci, ia menemukan sebuah buku besar yang tampaknya menjadi catatan keuangan utama panti.Ia membawa buku itu ke ruang tamu dan mulai memeriksa halaman demi halaman. Di situ, tercatat pemasukan dari donatur tetap, sumbangan insidental, serta beberapa pengeluaran utama seperti makanan, pakaian, dan biaya operasional. Namun, semakin lama ia membaca, semakin banyak hal yang mencurigakan.Rio memusatkan perhatiannya pada kolom pengeluaran. Di sana
Pagi itu, suasana di panti yatim piatu milik Nara sedikit lebih riuh dari biasanya. Anak-anak berlarian ke halaman, saling bersahutan dengan suara ceria. Mereka jarang terlihat seantusias ini. Sebuah mobil hitam baru saja berhenti di depan gerbang panti, dan seorang pria bertubuh tinggi, berkulit cerah, serta berpenampilan rapi keluar dari kendaraan itu.Pria itu adalah kakak sulung Erwin yang telah menetap di luar negeri selama beberapa tahun terakhir. Meskipun jarang pulang, Rio selalu mengirimkan kabar dan sumbangan untuk membantu panti. Namun kali ini, ia datang karena ingin melihat kondisi ibunya. “Om Rio!” teriak salah satu anak kecil sambil berlari ke arahnya.Rio tersenyum hangat, menunduk untuk mengangkat bocah itu ke pelukannya. “Hei, Nia, kamu makin besar ya!” ucapnya dengan tawa ringan."Udah, dong, Om Rio juga udah besar." Rio tertawa. "Bukan sudah besar, Nia, tapi sudah tua." Rio pum tertawa. Anak-anak yang lain mengikuti gerakan Nia yang mencium punggung tangan Rio.
Tiga tahun kemudian…Aini berdiri di dapur, mengaduk panci besar berisi bubur yang ia siapkan untuk makan siang anak-anak panti. Asap mengepul, memenuhi ruangan kecil itu dengan aroma sederhana. Meski lelah, ia tetap memastikan makanan itu matang sempurna. Namun, hatinya terasa berat. Ia tahu bubur itu tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anak.Tiga tahun yang lalu, ia masih disibukkan dengan agenda kursus anak-anak panti dan juga berhubungan dengan donatur, meskipun ia bukan orang sekolahan. Namun, kini ia hanya bisa berdiri di depan kompor dan mesin cuci. “Aini, jangan terlalu banyak pakai susu,” suara Diana terdengar dari ambang pintu. Perempuan itu berdiri dengan tangan terlipat, matanya mengawasi setiap gerakan Aini.Aini menoleh, mencoba menahan perasaan kesal yang muncul. “Kalau susu tidak cukup, anak-anak akan semakin kekurangan gizi. Anak-anak terlihat kurus, Kak. Sudah ada donatur yang berkomentar."“Jangan berlagak tahu segalanya,” Diana memotong tajam. “Aku
Diana duduk di sofa ruang keluarga, menatap Erwin dengan mata penuh amarah. Tangannya yang kurus mengepal erat di atas meja, napasnya pendek-pendek."Berapa lama lagi aku harus bersabar, Mas?" tanyanya dingin. "Kamu bilang pernikahan ini hanya formalitas, tapi lihat apa yang terjadi. Dia masih di sini, menjalani hidup seperti istrimu yang sah. Ibumu juga sangat membelanya." Diana melipat kedua tangannya di dada. Erwin mendesah panjang, menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Sayang, aku sudah bilang, ini tidak semudah itu. Sabar sedikit lagi ya.""Tidak semudah itu?" Diana mencemooh, matanya menyala. "Kalau memang hanya formalitas, kenapa kamu tidak bisa mengusirnya? Apa kamu lupa? Dia hanya istri kedua yang bahkan tidak pantas ada di sini!"Erwin memijat pelipisnya, mencoba menahan kesabarannya yang mulai terkikis. "Diana, aku tidak bisa begitu saja menyuruhnya pergi. Kamu tahu bagaimana ibu memandang Aini. Dia menganggap Aini seperti anak sendiri. Kalau aku tiba-tiba menceraikannya atau
"Kak Diana! Apa yang terjadi?!" Aini segera berlutut, mencoba membantu Diana duduk. Wanita itu msih terus memegang perutnya. Aini pun ikut gemetar dan takut. Keringat tiba-tiba membanjiri kening dan lehernya. Diana tidak menjawab. Ia hanya menangis, mengerang, dan mencengkeram tangan Aini dengan kuat. "Tolong... perutku sakit... darah...!"Tanpa berpikir panjang, Aini memanggil Pak Zainal penjaga panti untuk membantu mengangkat Diana ke mobil. Dengan tangan gemetar, Pak Zainal menyetir secepat mungkin menuju rumah sakit terdekat. Dalam perjalanan, Diana terus merintih kesakitan, suaranya memecah keheningan malam."Aku tidak mau kehilangan dia!" isak Diana, matanya berlinang air mata."Sabar, Kak. Kita hampir sampai," jawab Aini, meski hatinya berdegup kencang. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi, namun rasa paniknya tak bisa ia kendalikan."Kalian terlalu lama, aku takut... Aarg!""I-iya, Mbak, sedikit lagi sampai. Maaf, ini tumben macet sekali," tambah pak Zainal. Sesampainya di ru
Hari-hari di Panti Asuhan Cahaya Kasih menjadi jauh lebih sunyi bagi Aini. Setelah percakapan terakhir dengan Erwin, ia terpaksa menerima kenyataan pahit: ia tetap menjadi istri Erwin, namun harus berbagi peran dengan Diana, wanita yang begitu jelas tak menginginkannya ada.Keputusan itu bukan pilihan yang Aini buat dengan hati ringan, melainkan pengorbanan demi menghormati Nara, sosok yang sudah ia anggap seperti ibu sendiri.Namun, hidup sebagai istri kedua sama sekali tidak mudah. Erwin semakin jarang bicara dengannya, dan jika pun mereka berbicara, nada suara pria itu dingin dan sering kali terdengar seperti perintah. Diana, di sisi lain, dengan terang-terangan memandang Aini sebagai ancaman.Suatu pagi, Aini sedang sibuk menyusun berkas administrasi yayasan di ruang kerja kecil di lantai dua. Diana tiba-tiba masuk tanpa mengetuk, membawa tumpukan pakaian di tangannya."Aini!" panggil Diana dengan nada tinggi.Aini menoleh cepat, berdiri dari kursinya. "Ada apa, Kak Diana?""Pakai