"Aduh, Mbok! Izzam butuh penggaris bentuk segitiga sama buku kotak-kotak. Besok katanya mau dipakai tugas sekolah," ucap Izzam dengan wajah memelas, berdiri di depan dapur sambil menggoyang-goyangkan kakinya.Mbok Darmi yang sedang membersihkan ikan untuk makan siang menoleh ke arah bocah delapan tahun itu. Wajahnya penuh rasa iba. "Waduh, kenapa baru bilang sekarang, Nduk? Mbok harus cepet-cepet ke warung, nih?"Izzam mengangguk cepat. "Iya, Mbok! Kata Bu Guru, nggak boleh telat. Penting banget soalnya. Nanti keburu sore, malah toko alat tulisnya tutup."Mbok Darmi mengusap tangan basahnya ke celemek sebelum meraih dompet kecil di atas meja. "Ya sudah, Mbok pergi sekarang, ya. Tapi kamu jangan main sembarangan, lho! Jangan bikin Mbok repot. Jangan ke dapur, Mbok belum selesai masak!""Siap, Mbok!" jawab Izzam sambil mengacungkan jempolnya. Namun, begitu Mbok Darmi pergi, wajahnya berubah serius. Bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil penuh rencana.Izzam melangkah pelan ke kama
Izzam membuka jendela kamarnya, membiarkan angin pagi menyapa wajahnya yang penuh senyum licik. Rencana kedua telah disusun dengan matang. Setelah berhasil mengacaukan sore kemarin, kali ini dia ingin menguji kesabaran Suci di pagi hari. Baru satu kali dan anak kecil itu berencana membuat kacau setiap hari. “Aku harus bikin tante yang bikin ibu sedih, keluar dari rumah ini,” gumam Izzam sambil melirik pintu kamar mandi.Tepat saat Suci lewat di depan kamarnya dengan handuk kecil yang ditaruh di pundak, Izzam memanggilnya.“Tante Suci! Tolong, dong, air shower di kamar mandiku macet. Aku nggak bisa mandi.”Suci berhenti, menatap Izzam dengan alis terangkat. “Macet? Kok bisa? Padahal kemarin baik-baik saja.”Izzam mengangkat bahu, memasang wajah polos. “Aku juga nggak tahu, Tante. Tapi aku nggak bisa mandi kalau nggak pakai shower.”Dengan menghela napas panjang, Suci berjalan ke kamar mandi Izzam. “Ya sudah, sini Tante cek.” Wanita itu sama sekali tidak menaruh rasa curiga sedikitpun.
Alex berdiri di sudut kamar rumah sakit, memegang ponsel di tangannya. Matanya tampak lelah, pikirannya penuh dengan kekhawatiran, rasa bersalah, dan berbagai rencana yang belum tersusun dengan baik. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya memutuskan untuk menelepon seseorang yang selalu menjadi tempatnya mencari nasihat.“Halo, Ma,” ucap Alex dengan suara pelan.“Halo, Alex? Tumben pagi-pagi telpon, kenapa, Nak? Ada apa?” Suara Bu Asma terdengar tegas di seberang telepon.Alex terdiam sejenak, mencoba merangkai kata. “Ma, tolong datang ke rumah sakit sekarang.”Di seberang sana, Bu Asma terdengar terkejut. “Rumah sakit? Kenapa? Apa yang terjadi? Suci atau anak-anak?"Alex mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. “Nanti aku jelaskan kalau Mama sudah sampai. Tapi tolong cepat.”“Alex, kalau ada yang parah, lebih baik kamu jelaskan sekarang,” desak Bu Asma.“Mama, tolong percaya sama aku. Aku nggak bisa bicara panjang sekarang.”Dengan suara mendesah panjang, Bu Asma akhirnya se
Alex berdiri di lobi hotelnya di Jakarta, menatap layar ponsel dengan wajah tegang. Beberapa menit lalu, ia menerima telepon dari orang suruhannya, seseorang yang ia bayar untuk mencari tahu keberadaan Aini. Informasi yang ia terima membuat hatinya bergolak.“Tuan, saya menemukan Aini. Dia sedang tinggal di sebuah apartemen di Jakarta bersama Dhuha,” kata suara Joe di seberang telepon.“Dhuha?” Alex mengernyit, nama itu terdengar familier.“Iya, Dhuha. Orang yang dulu pernah menjadi teman Anda,” lanjut pria itu.Alex terdiam sejenak. Ia sudah bisa menebak sebelumnya, bahwa Aini memang tengah bersama Dhuha, tetapi ia tidak menyangka jika mereka tinggal satu apartemen kembali. Apa hubungan perselingkuhan itu sudah begitu berat? Batin Alex berkecamuk. Marah, kesal, kecewa, semua menjadi satu dalam kepalanya saat ini. “Lalu, ada kabar apa lagi?” tanya Alex, mencoba menenangkan gejolak emosinya.“Yang saya dengar, ibunya Dhuha sedang dirawat di rumah sakit. Sepertinya kondisi beliau cukup
Dhuha menatap Aini yang duduk di hadapannya, menikmati hidangan sarapan sekaligus makan siang di restoran apartemen. Restoran itu sepi, hanya ada mereka berdua di salah satu sudut ruangan. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar di belakang Aini, memantulkan keindahan wajahnya yang selalu memikat hati Dhuha. Hampir pagi mereka pulang dari Ancol, maka dari itu keduanya bangun kesiangan. “Aini,” panggil Dhuha pelan, memecah keheningan di antara mereka.Aini mengangkat wajahnya, menatap Dhuha dengan senyum tipis. “Ada apa, Dhuha?”Dhuha meletakkan sendok dan garpunya, lalu menatap Aini dengan serius. “Aku rasa, untuk hari ini, kamu tidak perlu ikut ke rumah sakit menjenguk Mamaku. Mama mungkin belum siap melihatmu di sana. Kamu tahu sendiri, mama masih belum berubah. Aku gak mau kamu malah sakit hati karena ucapan mamaku."Aini terdiam, merasa sedikit tersinggung meski ia tahu Dhuha hanya berusaha melindunginya. “Aku hanya ingin membantu. Aku tidak ingin membuat keadaan semakin rum
Langit senja menyelimuti kota Bandung dengan rona keemasan, tetapi suasana di rumah Bu Asma jauh dari keindahan itu. Sepi dan senyap. Tidak ada siapa-siapa ada di rumahnya, hanya ia dan seorang pembantu saja. Alex putra sulungnya tinggal di rumah miliknya sendiri, lalu Jerry masih sibuk kerja di Jakarta. Belum ada niatan menikah katanya. Oleh karena itu, Bu Asma sering kali main, bahkan menginap di rumah Alex agar ia tidak kesepian. Ketukan di pintu pagar terdengar terburu-buru. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaykumussalam." Wanita itu menaruh telepon genggamnya di atas meja. "Siapa, ya?" gumam Bu Asma sambil melangkah menuju pintu. Ketika pintu terbuka, ia mendapati Suci berdiri di ambang, wajahnya basah oleh air mata."Suci? Kamu kenapa, Nak?" tanya Bu Asma dengan nada penuh kkekhawatiran"Bik, Bik, tolong buka pagarnya, Bik!" Teriakan bu Asma mengundang sosok wanita muda keluar dari pintu samping dengan langkah tergopoh."Buka pagarnya cepat!""Oh, baik, Bu."Suci tak sanggup menjawa
Langit di luar gedung pengadilan gelap, menggambarkan situasi hati yang tengah memanas di antara Alex dan Dhuha. Baru saja mereka resmi berpisah, tanda tangan perceraian selesai, tetapi bukan berarti permusuhan di antara keduanya ikut berakhir.Saat melangkah keluar dari ruang sidang, Alex mendadak berhenti. Pandangannya tajam menusuk ke arah Dhuha, seolah semua amarahnya yang terpendam hendak diluapkan saat itu juga. “Ini semua salahmu,” ucap Alex, suaranya berat dengan nada tuduhan.Dhuha mengangkat sebelah alis. Ia mencoba bersikap tenang, meskipun dadanya bergemuruh. “Sudah cukup, Alex. Kita sudah menyelesaikannya di dalam. Jangan perpanjang masalah ini.”Namun, Alex bukan tipe yang mudah mendengar. Dengan langkah cepat, ia mendekati Dhuha, lalu tanpa aba-aba, tinjunya melayang ke udara. Dhuha jatuh tersungkur, tetapi pria itu cepat berdiri kembali. Saat Alex sekali lagi mencoba melayangkan tinjunya, Dhuha menghindar dengan lincah, langkahnya mundur ke belakang.“Alex, hentikan!”
"Aini, Alhamdulillah akhirnya kamu sadar?" suara Dhuha terdengar gemetar, memecah keheningan di ruangan rumah sakit yang serba putih itu. Matanya menatap lekat wajah Aini yang perlahan membuka mata. Perasaan lega bercampur bersalah membanjiri hatinya.Aini mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana dia berada. Seluruh tubuhnya terasa lemah, terutama di bagian sudut bibir kirinya yang masih terasa perih. "Dhuha?" gumamnya lirih, suaranya terdengar serak. Aini meringis seperti tengah menahan sakit. "Iya, ini aku," jawab Dhuha, mendekatkan kursi yang dia duduki ke sisi ranjang. Tangannya berusaha menggenggam tangan Aini, tapi ragu-ragu. "Aku… aku minta maaf, Aini. Aku nggak bisa menjaga kamu. Aku nggak pernah bermaksud bikin kamu terluka. Ini semua salahku."Aini tersenyum lemah, meskipun matanya masih tampak lelah. "Jangan ngomong begitu, Dhuha. Aku yang seharusnya minta maaf. Aku ikut udah banyak bikin kamu susah." Dia menundukkan kepala, mengingat bagaimana dia mencoba
Anton mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia tahu cepat atau lambat, Amel akan tahu tentang kehamilan Luna. Dan ketika itu terjadi, apa yang akan ia katakan? Bagaimana ia bisa meyakinkan Amel bahwa ia tidak pernah berniat menyembunyikan hal ini darinya?Di rumah, sepulang kerja dari kantornya, Amel sibuk mengatur dekorasi ruang tamu. Mereka baru menikah empat puluh hari, dan sebagai istri, Amel berusaha membuat rumah mereka senyaman mungkin. Saat Anton pulang, ia langsung menyadari ada sesuatu yang berbeda dari suaminya. Ekspresi wajahnya tegang, matanya kosong, dan bahunya sedikit membungkuk seakan membawa beban berat."Mas, kamu nggak apa-apa? Kelihatan capek banget," kata Amel sambil menghampiri Anton yang baru saja duduk di sofa."Seriusan kamu bertemu Luna di jalan?" Anton menatap istrinya, ada perasaan bersalah yang menghantam dadanya. Ia ingin jujur, tapi belum siap menghadapi konsekuensinya. "Iya, tadi, makanya Aris d
Anton menatap Luna dengan ekspresi sulit dijelaskan. Wajahnya menegang, sementara tangannya gemetar saat mengambil buku laporan kehamilan yang jatuh di kakinya. Perlahan, ia membaca nama yang tertera di sana: Luna Pramesthi. Jantungnya berdegup kencang."Luna... Kamu hamil?" suaranya serak, hampir seperti bisikan. Aris menatap ayah ibunya dengan tatapan tak paham. Luna terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Ini adalah skenario yang selama ini ia hindari—pertemuan langsung dengan Anton saat ia belum siap memberikan jawaban. Matanya berkaca-kaca, bukan karena takut, tetapi lebih kepada kenyataan yang menohok bahwa rahasia yang ia simpan selama ini terbongkar begitu saja.Aris menatap kedua orang tuanya bergantian dengan kebingungan di wajahnya. "Ibu? Kenapa diam? Apa Ibu sakit?" tanyanya polos.Luna menunduk dan mencoba mengendalikan emosinya. Ia tidak ingin Aris melihatnya dalam keadaan rapuh. Dengan suara pelan, ia menjawab, "Ibu baik-baik saja, Nak. Cuma periksa saja. Minta obat dem
Hakim menghela napas panjang. Keputusan sudah ada di depan mata, dan ia hanya perlu melangkah maju. Tania telah menunjukkan kesiapannya, sementara Salsabila memiliki prioritas lain. Itu sudah cukup bagi Hakim untuk menentukan pilihannya.Pagi itu, ia kembali ke kantor dengan pikiran yang lebih jernih. Di ruangannya, ia menatap daftar agenda yang menumpuk di layar laptop. Salah satu yang paling penting adalah mengatur pernikahannya dengan Tania.Sebelum memulai pekerjaan, ia menghubungi Amel."Halo, Mas Hakim. Gimana? Sudah ada keputusan?" suara Amel terdengar ceria seperti biasa.Hakim mengangguk walaupun tahu Amel tidak bisa melihatnya. "Aku memilih Tania."Hening sejenak sebelum Amel berseru, "Serius? Aku nggak nyangka kamu bakal langsung memutuskan secepat ini, Mas.""Mama minta waktunya tiga minggu, Mel. Dan ini sudah lewat satu minggu. Aku harus cepat." Amel tertawa mendengar suara panik kakaknya. "Pilihan Mas Hakim tepat karena Tania memang siap. Kalau cewek kenalan dari Mbak A
Hakim kembali memijat pelipisnya setelah pertemuannya dengan Salsabila. Dua miliar bukan jumlah yang kecil, tetapi ia tahu bahwa dengan posisi dan kekayaan keluarganya, itu bukan angka yang mustahil. Yang menjadi pertanyaannya sekarang, apakah Tania akan meminta hal yang sama?Ia meraih ponselnya dan menghubungi Amel."Halo, Mas Hakim," suara Amel terdengar ceria seperti biasa."Amel, aku baru saja bertemu dengan Salsabila dan dia setuju, tapi ada syaratnya," kata Hakim."Syarat seperti apa?" tanya Amel penasaran."Dua miliar sebagai kompensasi atas perannya. Dia ingin semuanya berjalan profesional tanpa perasaan terlibat," jawab Hakim jujur.Amel terdiam sesaat sebelum tertawa kecil. "Wah, nggak kaget sih. Salsabila memang tipe wanita yang tahu apa yang dia mau.""Nah, itu yang mau aku tanyakan ke kamu. Apakah menurutmu Tania juga akan meminta kompensasi seperti itu?" Hakim bertanya hati-hati.Amel menghela napas. "Sejujurnya, aku nggak tahu, Mas. Tania orangnya berbeda dari Salsabil
Hakim duduk di kursinya dengan perasaan campur aduk setelah mengirim pesan kepada Amel. Ia memijat pelipisnya, mencoba mencerna semua pilihan yang tiba-tiba datang dalam hidupnya. Tiga minggu bukan waktu yang lama untuk mencari pasangan hidup, meskipun hanya sekadar pernikahan pura-pura.Di satu sisi, ada Salsabila. Wanita yang direkomendasikan oleh Aini dan tampak sangat profesional. Sikapnya tegas dan penuh perhitungan. Hakim bisa melihat bahwa Salsabila bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dimanfaatkan. Jika ia setuju, Hakim yakin mereka bisa menyusun kesepakatan yang jelas dan tidak akan ada drama di kemudian hari. Namun, justru itulah yang sedikit membuatnya khawatir. Wanita seperti Salsabila pasti punya standar tinggi dan bisa jadi ia tidak akan mau menjalani sandiwara ini tanpa syarat yang ketat.Di sisi lain, ada Tania. Wanita yang diperkenalkan oleh Amel. Dari deskripsi Amel, Tania tampak seperti gadis sederhana yang pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Yatim piatu,
Hakim menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Setelah menelepon Dhuha, ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi tetap saja, waktu yang diberikan orang tuanya sangatlah singkat. Ia bukan tipe pria yang terbiasa terburu-buru dalam mengambil keputusan besar, apalagi soal pernikahan. Namun, kali ini ia tidak punya banyak pilihan.Di sisi lain, Dhuha masih mencerna ucapan Hakim barusan. Ini bukan permintaan yang biasa. Mencari calon istri dalam waktu tiga minggu saja sudah sulit, apalagi jika syaratnya adalah pernikahan pura-pura. Ia merebahkan diri di sofa sambil menatap langit-langit. Aini, yang baru saja selesai mandi, keluar dari kamar dan melihat ekspresi suaminya yang sedang berpikir keras."Kenapa bengong begitu?" tanya Aini sambil mengeringkan rambutnya.Dhuha menoleh dan tersenyum kecil. "Barusan Hakim nelepon. Dia butuh istri dalam tiga minggu."Aini mengernyit. "Istri? Maksud Mas, dia mau menikah? Emang Hakim punya ayang? ""Iya. Tapi bukan pernikahan yang sebenarnya. Dia
Hotel Mulia Sahabat sudah beroperasi sejak subuh. Para staf dengan cekatan mempersiapkan segala sesuatu untuk memastikan tamu mendapatkan pelayanan terbaik. Dari lobi yang dipenuhi dengan aroma kopi segar hingga restoran yang mulai menyajikan sarapan prasmanan, semuanya berjalan dengan rapi dan efisien. Hakim duduk di ruang rapat utama, menatap layar presentasi yang menunjukkan proyek ekspansi terbaru hotel mereka di Kota Malang."Baik, untuk grand opening di Malang, saya ingin semua berjalan sesuai jadwal. Pak Irwan, bagaimana progres renovasi gedungnya?" tanya Hakim dengan suara tegas namun tetap tenang."Alhamdulillah, Pak Hakim. Progresnya sudah mencapai 85 persen. Kami hanya tinggal menyelesaikan beberapa bagian interior dan pelatihan staf baru."Hakim mengangguk puas. "Bagus. Saya ingin kita pastikan bahwa pelayanannya tetap setara dengan standar hotel kita di kota lain. Bu Siska, bagaimana dengan marketingnya?""Sudah berjalan sesuai rencana, Pak. Kami sudah melakukan kampanye
Dhuha menatap ibunya dengan perasaan terluka. "Mama, jangan bicara seperti itu. Aku memilih Aini bukan karena sihir atau apapun yang Mama pikirkan. Aku memilihnya karena aku mencintainya. Mama, aku mohon, berhentilah mencurigainya tanpa bukti yang jelas. Aini tulus mencintaiku, Ma. Dulu kami berpisah karena aku yang tidak dewasa. Sekarang aku sudah dewasa dan paham. Aku gak mau sampai pernikahanku gagal lagi.""Kamu tidak pernah tahu kan, kenapa bisa cinta berat sama Aini? Kamu saja jarang solat. Orang yang jarang solat itu, mudah dimasukin jin." Dhuha menggelengkan kepala. Mamanya selalu saja keras kepala dan pasti tidak akan menerima pembelaan darinya. Maria menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tetapi dalam hatinya, ia pun ragu. Foto-foto itu memang tampak mencurigakan, tetapi apakah itu cukup sebagai bukti bahwa Aini tidak layak untuk Dhuha? Apalagi setelah mendengar bahwa foto tersebut adalah foto lama."Mama akan mencari tahu lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, Mama tidak
Setelah membaca pesan itu, Aini merasa hatinya mulai tidak tenang. Meskipun Dhuha sudah meyakinkannya bahwa ia akan selalu melindunginya, tetap saja perasaan gelisah itu tidak bisa hilang begitu saja. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan melanjutkan aktivitasnya, tetapi firasat buruk itu terus menghantuinya.Keesokan harinya, Aini dan Dhuha pergi ke Sentul seperti yang mereka rencanakan. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan hijau pegunungan sedikit mengurangi kegelisahan yang masih tersisa dalam hati Aini. Mereka mengunjungi rumah yang akan segera menjadi milik mereka, sebuah hunian minimalis dengan halaman luas dan suasana yang tenang."Masya Allah, indah sekali," gumam Aini takjub.Dhuha tersenyum melihat ekspresi bahagia istrinya. "Aku ingin kamu bahagia di sini. Aku ingin kita membangun rumah tangga yang penuh ketenangan dan cinta."Aini menggenggam tangan suaminya erat. "Terima kasih, Mas. Aku tidak butuh rumah besar atau barang mewah, yang penting kita selalu bersama." Mesk