Langit di luar gedung pengadilan gelap, menggambarkan situasi hati yang tengah memanas di antara Alex dan Dhuha. Baru saja mereka resmi berpisah, tanda tangan perceraian selesai, tetapi bukan berarti permusuhan di antara keduanya ikut berakhir.Saat melangkah keluar dari ruang sidang, Alex mendadak berhenti. Pandangannya tajam menusuk ke arah Dhuha, seolah semua amarahnya yang terpendam hendak diluapkan saat itu juga. “Ini semua salahmu,” ucap Alex, suaranya berat dengan nada tuduhan.Dhuha mengangkat sebelah alis. Ia mencoba bersikap tenang, meskipun dadanya bergemuruh. “Sudah cukup, Alex. Kita sudah menyelesaikannya di dalam. Jangan perpanjang masalah ini.”Namun, Alex bukan tipe yang mudah mendengar. Dengan langkah cepat, ia mendekati Dhuha, lalu tanpa aba-aba, tinjunya melayang ke udara. Dhuha jatuh tersungkur, tetapi pria itu cepat berdiri kembali. Saat Alex sekali lagi mencoba melayangkan tinjunya, Dhuha menghindar dengan lincah, langkahnya mundur ke belakang.“Alex, hentikan!”
"Aini, Alhamdulillah akhirnya kamu sadar?" suara Dhuha terdengar gemetar, memecah keheningan di ruangan rumah sakit yang serba putih itu. Matanya menatap lekat wajah Aini yang perlahan membuka mata. Perasaan lega bercampur bersalah membanjiri hatinya.Aini mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana dia berada. Seluruh tubuhnya terasa lemah, terutama di bagian sudut bibir kirinya yang masih terasa perih. "Dhuha?" gumamnya lirih, suaranya terdengar serak. Aini meringis seperti tengah menahan sakit. "Iya, ini aku," jawab Dhuha, mendekatkan kursi yang dia duduki ke sisi ranjang. Tangannya berusaha menggenggam tangan Aini, tapi ragu-ragu. "Aku… aku minta maaf, Aini. Aku nggak bisa menjaga kamu. Aku nggak pernah bermaksud bikin kamu terluka. Ini semua salahku."Aini tersenyum lemah, meskipun matanya masih tampak lelah. "Jangan ngomong begitu, Dhuha. Aku yang seharusnya minta maaf. Aku ikut udah banyak bikin kamu susah." Dia menundukkan kepala, mengingat bagaimana dia mencoba
Telepon genggam Aini kembali berdering dan kali ini tak kunjung berhenti. Alex menghentikan gerakan mencium Aini dengan membabi-buta. "Sialan!" Alex mengumpat kesal. Tok! Tok! Suara pintu apartemen digedor dengan keras. Wajah Alex berubah tegang. Dia melepaskan cengkeramannya pada Aini, lalu melangkah mundur."Aini, aku tahu kamu di dalam. Kalau kamu nggak buka, aku dobrak pintunya!" seru Hakim lagi.Bugh! Disaat Alex lengah, Aini berhasil mendorong suaminya itu hingga jatuh duduk. Lalu Aini mengumpulkan keberanian untuk berlari ke pintu dan membukanya. Begitu pintu terbuka, Hakim langsung masuk dan melihat Alex yang berdiri di tengah ruangan dengan wajah marah. Melihat pakaian Aini kocar-kacir, Hakim langsung mengambil taplak meja berbahan kain, lalu ia berikan pada Aini sambil memalingkan wajahnya. "Kamu lagi?!" Hakim mendengus, berjalan mendekati Alex. "Nggak cukup kemarin kamu bikin masalah?""Ini bukan urusanmu, Hakim," balas Alex dengan nada dingin."Tapi ini urusan sepupu
Ruang televisi yang tadinya dipenuhi suara tawa dari film komedi romantis kini senyap, hanya menyisakan desahan napas tertahan dari dua insan yang saling berpandangan. Dhuha masih duduk di sofa, matanya membulat, sementara Aini berdiri terburu-buru. Wajahnya memerah hingga ke telinga. Ia tidak menunggu lama untuk berlari masuk ke kamarnya, meninggalkan Dhuha yang masih membeku di tempat. Detak jantungnya masih tak beraturan. Di kamar, Aini menjatuhkan dirinya ke ranjang. Jantungnya berdetak terlalu cepat, tangannya gemetar saat menyentuh bibirnya sendiri. "Apa yang aku lakukan?!" bisiknya. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, berharap rasa malu itu bisa mereda. Tapi semakin ia mengingat kejadian tadi, semakin panas wajahnya."Kenapa aku nekat cium Dhuha? Ya ampun, malunya!"Ia telah mencium Dhuha. Bukan kecupan iseng, melainkan ciuman yang terasa nyata, penuh emosi. Dan yang membuatnya semakin sulit menerima adalah kenyataan bahwa ia yang memulai. Ia yang duduk di pangkuan Dhuha,
"Jika kamu mau bicara, bicara padaku, bukan dengan Aini. Jika tidak, sebaiknya kamu pergi! Ini unitku dan aku bisa mengusirmu kapan saja!" Alex menahan diri agar tidak emosi di depan Dhuha. Ia tahu jika ia melawan maka ia akan diusir dari apartemen. Apalagi dua security yang menemani Dhuha sudah siap sedia untuk menyeretnya. Bisa dilihat dari tatapan dua pria bertubuh tinggi besar itu. "Jika mau, kita bicara di kafe di bawah. Sebagai lelaki, bagaimana?" tawar Dhuha. Alex tidak menyahut, tapi pria itu pun pergi masuk ke dalam lift. Dhuha mengikuti dari belakang. Kini keduanya sudah duduk di kafe yang berada di lantai satu apartemen. "Lo udah sarapan? Mau pesan makan?" Alex tak menjawab. “Dhuha,” suara Alex terdengar serak, berusaha menahan gejolak di dadanya. Mereka berdua duduk di beranda rumah Dhuha, malam yang sunyi hanya ditemani suara alunan khas musik kafe pagi hari. “Aku ingin kamu jawab jujur satu hal.”Dhuha menatap Alex, ekspresinya datar namun matanya tajam. “Tanya saja,
“Luna, kamu sebaiknya pergi dari sini,” ujar Anton dengan nada tegas, meski suaranya terdengar lelah. Ia berdiri di ruang tamu, menatap Luna yang sedang menyapu lantai dengan gerakan santai, seolah-olah dia adalah pemilik sah rumah itu. Dan memang saat ini statusnya masih istri Anton, tentu saja tak ada masalah dengan kegiatannya membereskan rumah. “Aku tidak akan pergi, Mas,” jawab Luna tanpa menoleh, tetap melanjutkan pekerjaannya. “Aku istrimu, dan sampai pengadilan memutuskan sebaliknya, aku akan tetap di sini.”Tumben sekali panggil, Mas! Apa dia kesambet? Batin Anton. “Kita sedang dalam proses perceraian,” balas Anton, suaranya meninggi. “Kamu tahu itu. Apa yang kamu harapkan dengan tinggal di sini? Rumah tangga ini gak ada harapan. Sejak awal rumah tangga ini berdiri tanpa cinta."Luna berhenti menyapu. Dia menatap Anton dengan mata yang tenang, seolah kata-kata pria itu tidak ada artinya. “Aku tidak di sini untuk cinta, Mas. Aku di sini untuk Aris. Untuk rumah ini. Dan untuk
“Mas, Luna masih di sana?” suara Amel terdengar di ujung telepon, nadanya penuh kehati-hatian namun sarat kecurigaan.Anton menghela napas panjang sebelum menjawab, “Iya, Sayang. Luna masih di sini. Tapi, percayalah, dia cuma di sini sampai urusan perceraian kami selesai.”“Tapi kenapa dia harus tinggal di rumahmu? Bukankah itu bisa diselesaikan tanpa harus tinggal bersama?” suara Amel sedikit bergetar. “Aku ini cemburu, Mas. Aku nggak bisa bohong soal itu. Aku takut kalau kalian berdua jadi rujuk. Apalagi, aku harus di Surabaya sampai tiga hari. Ck, ingin banget aku buru-buru pulang, tapi gak bisa. Acara nikahan sodaraku rumit."“Amel, dengarkan aku.” Anton menekankan suaranya, mencoba meyakinkan Amel. “Aku dan Luna sudah selesai. Tidak ada lagi apa-apa di antara kami selain tanggung jawab sebagai orang tua untuk Aris. Dia hanya di sini demi anak kami. Aku mohon, percayalah padaku. Kamu masih gak percaya sama aku?"Namun, jawaban itu tidak sepenuhnya membuat hati Amel tenang. Ia ter
"Pak, saya bisa jelaskan ini. Ini semua salah paham. Saya gak kenal wanita ini dan.... ""Kalau gak kenal, kenapa bisa ada di sini? Kamar mandi masjid pula. Kamu gak punya duit buat sewa hotel apa?! Gak kenal tapi udah pelorotin celana!""Benar, bikin maksiat di rumah Allah. Udahlah, kita arak aja lelaki ini! Buka bajunya! Kalau perlu arak sampai kantor polisi!" Seru yang lain saling sahut menyahut. Semua orang sudah mengelilingiku. Mereka semua marah dan bersiap menghajarku karena kepergok berada di kamar mandi masjid bersama wanita yang aku pun gak tahu siapa. Bisa mati konyol aku jika terus memaksa membela diri. Masyarakat yang tengah gaduh tak mungkin aku lawan seorang diri saja. Di dalam kamar mandi, emangnya orang biasanya ngapain? Kalau udah buka celana tandanya emang kebelet. Gak mungkin aku buka warung di kamar mandi, apa lagi buka endors. Ampun, benar-benar warga di sini! "Heh, malah bengong! Cepet!""Oke, oke, saya akan nikahi wanita ini!" Aku merasa tidak punya pilihan
“Mas, Luna masih di sana?” suara Amel terdengar di ujung telepon, nadanya penuh kehati-hatian namun sarat kecurigaan.Anton menghela napas panjang sebelum menjawab, “Iya, Sayang. Luna masih di sini. Tapi, percayalah, dia cuma di sini sampai urusan perceraian kami selesai.”“Tapi kenapa dia harus tinggal di rumahmu? Bukankah itu bisa diselesaikan tanpa harus tinggal bersama?” suara Amel sedikit bergetar. “Aku ini cemburu, Mas. Aku nggak bisa bohong soal itu. Aku takut kalau kalian berdua jadi rujuk. Apalagi, aku harus di Surabaya sampai tiga hari. Ck, ingin banget aku buru-buru pulang, tapi gak bisa. Acara nikahan sodaraku rumit."“Amel, dengarkan aku.” Anton menekankan suaranya, mencoba meyakinkan Amel. “Aku dan Luna sudah selesai. Tidak ada lagi apa-apa di antara kami selain tanggung jawab sebagai orang tua untuk Aris. Dia hanya di sini demi anak kami. Aku mohon, percayalah padaku. Kamu masih gak percaya sama aku?"Namun, jawaban itu tidak sepenuhnya membuat hati Amel tenang. Ia ter
“Luna, kamu sebaiknya pergi dari sini,” ujar Anton dengan nada tegas, meski suaranya terdengar lelah. Ia berdiri di ruang tamu, menatap Luna yang sedang menyapu lantai dengan gerakan santai, seolah-olah dia adalah pemilik sah rumah itu. Dan memang saat ini statusnya masih istri Anton, tentu saja tak ada masalah dengan kegiatannya membereskan rumah. “Aku tidak akan pergi, Mas,” jawab Luna tanpa menoleh, tetap melanjutkan pekerjaannya. “Aku istrimu, dan sampai pengadilan memutuskan sebaliknya, aku akan tetap di sini.”Tumben sekali panggil, Mas! Apa dia kesambet? Batin Anton. “Kita sedang dalam proses perceraian,” balas Anton, suaranya meninggi. “Kamu tahu itu. Apa yang kamu harapkan dengan tinggal di sini? Rumah tangga ini gak ada harapan. Sejak awal rumah tangga ini berdiri tanpa cinta."Luna berhenti menyapu. Dia menatap Anton dengan mata yang tenang, seolah kata-kata pria itu tidak ada artinya. “Aku tidak di sini untuk cinta, Mas. Aku di sini untuk Aris. Untuk rumah ini. Dan untuk
"Jika kamu mau bicara, bicara padaku, bukan dengan Aini. Jika tidak, sebaiknya kamu pergi! Ini unitku dan aku bisa mengusirmu kapan saja!" Alex menahan diri agar tidak emosi di depan Dhuha. Ia tahu jika ia melawan maka ia akan diusir dari apartemen. Apalagi dua security yang menemani Dhuha sudah siap sedia untuk menyeretnya. Bisa dilihat dari tatapan dua pria bertubuh tinggi besar itu. "Jika mau, kita bicara di kafe di bawah. Sebagai lelaki, bagaimana?" tawar Dhuha. Alex tidak menyahut, tapi pria itu pun pergi masuk ke dalam lift. Dhuha mengikuti dari belakang. Kini keduanya sudah duduk di kafe yang berada di lantai satu apartemen. "Lo udah sarapan? Mau pesan makan?" Alex tak menjawab. “Dhuha,” suara Alex terdengar serak, berusaha menahan gejolak di dadanya. Mereka berdua duduk di beranda rumah Dhuha, malam yang sunyi hanya ditemani suara alunan khas musik kafe pagi hari. “Aku ingin kamu jawab jujur satu hal.”Dhuha menatap Alex, ekspresinya datar namun matanya tajam. “Tanya saja,
Ruang televisi yang tadinya dipenuhi suara tawa dari film komedi romantis kini senyap, hanya menyisakan desahan napas tertahan dari dua insan yang saling berpandangan. Dhuha masih duduk di sofa, matanya membulat, sementara Aini berdiri terburu-buru. Wajahnya memerah hingga ke telinga. Ia tidak menunggu lama untuk berlari masuk ke kamarnya, meninggalkan Dhuha yang masih membeku di tempat. Detak jantungnya masih tak beraturan. Di kamar, Aini menjatuhkan dirinya ke ranjang. Jantungnya berdetak terlalu cepat, tangannya gemetar saat menyentuh bibirnya sendiri. "Apa yang aku lakukan?!" bisiknya. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, berharap rasa malu itu bisa mereda. Tapi semakin ia mengingat kejadian tadi, semakin panas wajahnya."Kenapa aku nekat cium Dhuha? Ya ampun, malunya!"Ia telah mencium Dhuha. Bukan kecupan iseng, melainkan ciuman yang terasa nyata, penuh emosi. Dan yang membuatnya semakin sulit menerima adalah kenyataan bahwa ia yang memulai. Ia yang duduk di pangkuan Dhuha,
Telepon genggam Aini kembali berdering dan kali ini tak kunjung berhenti. Alex menghentikan gerakan mencium Aini dengan membabi-buta. "Sialan!" Alex mengumpat kesal. Tok! Tok! Suara pintu apartemen digedor dengan keras. Wajah Alex berubah tegang. Dia melepaskan cengkeramannya pada Aini, lalu melangkah mundur."Aini, aku tahu kamu di dalam. Kalau kamu nggak buka, aku dobrak pintunya!" seru Hakim lagi.Bugh! Disaat Alex lengah, Aini berhasil mendorong suaminya itu hingga jatuh duduk. Lalu Aini mengumpulkan keberanian untuk berlari ke pintu dan membukanya. Begitu pintu terbuka, Hakim langsung masuk dan melihat Alex yang berdiri di tengah ruangan dengan wajah marah. Melihat pakaian Aini kocar-kacir, Hakim langsung mengambil taplak meja berbahan kain, lalu ia berikan pada Aini sambil memalingkan wajahnya. "Kamu lagi?!" Hakim mendengus, berjalan mendekati Alex. "Nggak cukup kemarin kamu bikin masalah?""Ini bukan urusanmu, Hakim," balas Alex dengan nada dingin."Tapi ini urusan sepupu
"Aini, Alhamdulillah akhirnya kamu sadar?" suara Dhuha terdengar gemetar, memecah keheningan di ruangan rumah sakit yang serba putih itu. Matanya menatap lekat wajah Aini yang perlahan membuka mata. Perasaan lega bercampur bersalah membanjiri hatinya.Aini mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana dia berada. Seluruh tubuhnya terasa lemah, terutama di bagian sudut bibir kirinya yang masih terasa perih. "Dhuha?" gumamnya lirih, suaranya terdengar serak. Aini meringis seperti tengah menahan sakit. "Iya, ini aku," jawab Dhuha, mendekatkan kursi yang dia duduki ke sisi ranjang. Tangannya berusaha menggenggam tangan Aini, tapi ragu-ragu. "Aku… aku minta maaf, Aini. Aku nggak bisa menjaga kamu. Aku nggak pernah bermaksud bikin kamu terluka. Ini semua salahku."Aini tersenyum lemah, meskipun matanya masih tampak lelah. "Jangan ngomong begitu, Dhuha. Aku yang seharusnya minta maaf. Aku ikut udah banyak bikin kamu susah." Dia menundukkan kepala, mengingat bagaimana dia mencoba
Langit di luar gedung pengadilan gelap, menggambarkan situasi hati yang tengah memanas di antara Alex dan Dhuha. Baru saja mereka resmi berpisah, tanda tangan perceraian selesai, tetapi bukan berarti permusuhan di antara keduanya ikut berakhir.Saat melangkah keluar dari ruang sidang, Alex mendadak berhenti. Pandangannya tajam menusuk ke arah Dhuha, seolah semua amarahnya yang terpendam hendak diluapkan saat itu juga. “Ini semua salahmu,” ucap Alex, suaranya berat dengan nada tuduhan.Dhuha mengangkat sebelah alis. Ia mencoba bersikap tenang, meskipun dadanya bergemuruh. “Sudah cukup, Alex. Kita sudah menyelesaikannya di dalam. Jangan perpanjang masalah ini.”Namun, Alex bukan tipe yang mudah mendengar. Dengan langkah cepat, ia mendekati Dhuha, lalu tanpa aba-aba, tinjunya melayang ke udara. Dhuha jatuh tersungkur, tetapi pria itu cepat berdiri kembali. Saat Alex sekali lagi mencoba melayangkan tinjunya, Dhuha menghindar dengan lincah, langkahnya mundur ke belakang.“Alex, hentikan!”
Langit senja menyelimuti kota Bandung dengan rona keemasan, tetapi suasana di rumah Bu Asma jauh dari keindahan itu. Sepi dan senyap. Tidak ada siapa-siapa ada di rumahnya, hanya ia dan seorang pembantu saja. Alex putra sulungnya tinggal di rumah miliknya sendiri, lalu Jerry masih sibuk kerja di Jakarta. Belum ada niatan menikah katanya. Oleh karena itu, Bu Asma sering kali main, bahkan menginap di rumah Alex agar ia tidak kesepian. Ketukan di pintu pagar terdengar terburu-buru. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaykumussalam." Wanita itu menaruh telepon genggamnya di atas meja. "Siapa, ya?" gumam Bu Asma sambil melangkah menuju pintu. Ketika pintu terbuka, ia mendapati Suci berdiri di ambang, wajahnya basah oleh air mata."Suci? Kamu kenapa, Nak?" tanya Bu Asma dengan nada penuh kkekhawatiran"Bik, Bik, tolong buka pagarnya, Bik!" Teriakan bu Asma mengundang sosok wanita muda keluar dari pintu samping dengan langkah tergopoh."Buka pagarnya cepat!""Oh, baik, Bu."Suci tak sanggup menjawa
Dhuha menatap Aini yang duduk di hadapannya, menikmati hidangan sarapan sekaligus makan siang di restoran apartemen. Restoran itu sepi, hanya ada mereka berdua di salah satu sudut ruangan. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar di belakang Aini, memantulkan keindahan wajahnya yang selalu memikat hati Dhuha. Hampir pagi mereka pulang dari Ancol, maka dari itu keduanya bangun kesiangan. “Aini,” panggil Dhuha pelan, memecah keheningan di antara mereka.Aini mengangkat wajahnya, menatap Dhuha dengan senyum tipis. “Ada apa, Dhuha?”Dhuha meletakkan sendok dan garpunya, lalu menatap Aini dengan serius. “Aku rasa, untuk hari ini, kamu tidak perlu ikut ke rumah sakit menjenguk Mamaku. Mama mungkin belum siap melihatmu di sana. Kamu tahu sendiri, mama masih belum berubah. Aku gak mau kamu malah sakit hati karena ucapan mamaku."Aini terdiam, merasa sedikit tersinggung meski ia tahu Dhuha hanya berusaha melindunginya. “Aku hanya ingin membantu. Aku tidak ingin membuat keadaan semakin rum