Izzam menatap Suci dengan raut penasaran yang bercampur kesedihan. Anak laki-laki itu menggeser kursinya mendekat ke meja makan, sambil memiringkan kepala."Tante Suci," panggilnya pelan, "tadi aku dengar Tante sama Nenek ngomongin Ibu Aini. Ibu tadi datang, ya? Kapan?"Suci terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia menatap wajah polos Izzam yang penuh harapan, kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab."Iya, Nak. Ibu Aini tadi siang sempat pulang sebentar, tapi Ibu harus pergi lagi," jawabnya hati-hati.Mata Izzam yang berbinar perlahan meredup. "Kenapa Ibu nggak bilang ke aku kalau mau pergi lagi? Aku kan kangen sama Ibu. Harusnya ibu tunggu aku dan Intan pulang sekolah. Kenapa malah langsung pergi?"Suci merasa dadanya sesak mendengar ucapan Izzam. Ia ingin menjelaskan lebih banyak, tetapi bagaimana caranya berbicara kepada anak kelas dua SD tentang konflik rumah tangga yang rumit ini?"Ibu pasti sibuk, Nak. Tapi Ibu pasti juga kangen sama kamu dan Intan. Percayalah, ya," uja
Dhuha memandang jalan tol yang terbentang panjang di depannya. Hujan rintik-rintik membasahi kaca depan mobil, menciptakan pola abstrak yang segera tersapu oleh wiper. Di sebelahnya, Aini duduk dengan tangan memegang perut. Wajahnya pucat pasi."Berhenti dulu, Dhuha," suara Aini terdengar lemah namun tegas. "Aku nggak tahan lagi."Tanpa ragu, Dhuha segera membelokkan mobil ke rest area terdekat. Ia tahu kondisi Aini semakin memburuk sejak tadi siang. Masuk angin, kata Aini. Tapi Dhuha paham, ini lebih dari itu. Mungkin efek perjalanan panjang yang membuat tubuh wanita itu kelelahan.Selain itu, Aini sedang stres dengan masalah rumah tangganya, yang tentu saja memperngaruhi kondisi badan, sehingga mudah capek. Dhuha pun memarkirkan mobilnya dekat dengan deretan kantin foodcourt. "Kamu gak papa, Ai? Kalau gak enak badan, kita balik lagi ke Bandung ya?" Aini menggelengkan kepala. "Aku gak papa, Dhuha, cuma mual banget. Sebentar."Aini bergegas keluar dari mobil, berjalan dengan langkah
Pagi di Jakarta selalu riuh dengan suara klakson, langkah tergesa, dan hiruk pikuk yang seolah tidak pernah tidur. Dhuha terbangun lebih awal dari biasanya. Pikiran tentang percakapan singkatnya dengan Monic semalam terus terngiang. Wanita itu tampak berbeda, lebih dewasa, tapi pertanyaannya masih menyisakan kebimbangan dalam hati Dhuha.Setelah mandi dan bersiap, Dhuha melirik ke arah kamar Aini. Pintu tertutup rapat. Ia tidak ingin membangunkan Aini, terlebih karena kondisi wanita itu belum sepenuhnya pulih. Dhuha memutuskan pergi ke rumah sakit sendiri pagi ini.Sebelum keluar dari apartemen, pria itu memastikan kompor sudah ia matikan. Membuat chicken soup yang resepnya ia lihat di youtu-be. Ia sengaja menyiapkan untuk Aini agar Aini tak perlu berdiri di depan kompor untuk memasak sarapan. Chicken soupnya harus dihabiskan ya, CantikSendDi ruang rawat Maria, suasana terasa lebih hidup dibandingkan semalam. Seorang perawat tengah memeriksa tekanan darah Maria, sementara ibu Dhuha
Dhuha membuka pintu apartemen dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memegang tas belanja yang berisi makanan ringan dan minuman. Langkah-langkah mereka bergema di lorong yang sepi, membawa keheningan yang sempat menyelimuti mereka sejak keluar dari rumah sakit. Dhuha benar-benar tidak enak hati dengan Aini. Sampai-sampai, ingin membuka percakapan pun ia bingung mau mulai dari mana. “Masuklah,” ucap Dhuha, mempersilakan Aini. Wanita itu melangkah masuk, mengedarkan pandangan ke apartemen berkamar dua yang sederhana namun terasa hangat.“Maaf soal tadi,” kata Dhuha tiba-tiba, memecah kesunyian saat ia meletakkan tas belanja di atas meja dapur. “Mama memang selalu... begitulah. Mamaku sangat keras kepala." Aini tersenyum. "Sama seperti anaknya. Lebih tepatnya, anaknya sama persis dengan mamanya." Dhuha kali ini ikut tersenyum. Ia membuka salah satu minuman kaleng untuk panas dalam, lalu ia teguk cepat. "Sepertinya hatiku lebih lembut dari mama," balas Dhuha Aini menghela napas
"Aduh, Mbok! Izzam butuh penggaris bentuk segitiga sama buku kotak-kotak. Besok katanya mau dipakai tugas sekolah," ucap Izzam dengan wajah memelas, berdiri di depan dapur sambil menggoyang-goyangkan kakinya.Mbok Darmi yang sedang membersihkan ikan untuk makan siang menoleh ke arah bocah delapan tahun itu. Wajahnya penuh rasa iba. "Waduh, kenapa baru bilang sekarang, Nduk? Mbok harus cepet-cepet ke warung, nih?"Izzam mengangguk cepat. "Iya, Mbok! Kata Bu Guru, nggak boleh telat. Penting banget soalnya. Nanti keburu sore, malah toko alat tulisnya tutup."Mbok Darmi mengusap tangan basahnya ke celemek sebelum meraih dompet kecil di atas meja. "Ya sudah, Mbok pergi sekarang, ya. Tapi kamu jangan main sembarangan, lho! Jangan bikin Mbok repot. Jangan ke dapur, Mbok belum selesai masak!""Siap, Mbok!" jawab Izzam sambil mengacungkan jempolnya. Namun, begitu Mbok Darmi pergi, wajahnya berubah serius. Bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil penuh rencana.Izzam melangkah pelan ke kama
Izzam membuka jendela kamarnya, membiarkan angin pagi menyapa wajahnya yang penuh senyum licik. Rencana kedua telah disusun dengan matang. Setelah berhasil mengacaukan sore kemarin, kali ini dia ingin menguji kesabaran Suci di pagi hari. Baru satu kali dan anak kecil itu berencana membuat kacau setiap hari. “Aku harus bikin tante yang bikin ibu sedih, keluar dari rumah ini,” gumam Izzam sambil melirik pintu kamar mandi.Tepat saat Suci lewat di depan kamarnya dengan handuk kecil yang ditaruh di pundak, Izzam memanggilnya.“Tante Suci! Tolong, dong, air shower di kamar mandiku macet. Aku nggak bisa mandi.”Suci berhenti, menatap Izzam dengan alis terangkat. “Macet? Kok bisa? Padahal kemarin baik-baik saja.”Izzam mengangkat bahu, memasang wajah polos. “Aku juga nggak tahu, Tante. Tapi aku nggak bisa mandi kalau nggak pakai shower.”Dengan menghela napas panjang, Suci berjalan ke kamar mandi Izzam. “Ya sudah, sini Tante cek.” Wanita itu sama sekali tidak menaruh rasa curiga sedikitpun.
Alex berdiri di sudut kamar rumah sakit, memegang ponsel di tangannya. Matanya tampak lelah, pikirannya penuh dengan kekhawatiran, rasa bersalah, dan berbagai rencana yang belum tersusun dengan baik. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya memutuskan untuk menelepon seseorang yang selalu menjadi tempatnya mencari nasihat.“Halo, Ma,” ucap Alex dengan suara pelan.“Halo, Alex? Tumben pagi-pagi telpon, kenapa, Nak? Ada apa?” Suara Bu Asma terdengar tegas di seberang telepon.Alex terdiam sejenak, mencoba merangkai kata. “Ma, tolong datang ke rumah sakit sekarang.”Di seberang sana, Bu Asma terdengar terkejut. “Rumah sakit? Kenapa? Apa yang terjadi? Suci atau anak-anak?"Alex mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. “Nanti aku jelaskan kalau Mama sudah sampai. Tapi tolong cepat.”“Alex, kalau ada yang parah, lebih baik kamu jelaskan sekarang,” desak Bu Asma.“Mama, tolong percaya sama aku. Aku nggak bisa bicara panjang sekarang.”Dengan suara mendesah panjang, Bu Asma akhirnya se
Alex berdiri di lobi hotelnya di Jakarta, menatap layar ponsel dengan wajah tegang. Beberapa menit lalu, ia menerima telepon dari orang suruhannya, seseorang yang ia bayar untuk mencari tahu keberadaan Aini. Informasi yang ia terima membuat hatinya bergolak.“Tuan, saya menemukan Aini. Dia sedang tinggal di sebuah apartemen di Jakarta bersama Dhuha,” kata suara Joe di seberang telepon.“Dhuha?” Alex mengernyit, nama itu terdengar familier.“Iya, Dhuha. Orang yang dulu pernah menjadi teman Anda,” lanjut pria itu.Alex terdiam sejenak. Ia sudah bisa menebak sebelumnya, bahwa Aini memang tengah bersama Dhuha, tetapi ia tidak menyangka jika mereka tinggal satu apartemen kembali. Apa hubungan perselingkuhan itu sudah begitu berat? Batin Alex berkecamuk. Marah, kesal, kecewa, semua menjadi satu dalam kepalanya saat ini. “Lalu, ada kabar apa lagi?” tanya Alex, mencoba menenangkan gejolak emosinya.“Yang saya dengar, ibunya Dhuha sedang dirawat di rumah sakit. Sepertinya kondisi beliau cukup
Suci berdiri mematung di depan tangga, menatap punggung Alex yang memeluk kedua anaknya. Izzam masih menggenggam erat tangan ayahnya, sementara Intan berlari kecil dari dapur untuk bergabung. Mereka tampak seperti sebuah keluarga yang hangat—tanpa dirinya."Papa..." Intan memanggil dengan suara manja sambil mengulurkan tangan kecilnya, meminta digendong. Alex merendah dan meraih tubuh mungil itu, membawanya ke pelukan. Bibirnya tersenyum tipis, meski kelelahan jelas terlukis di wajahnya."Maafkan kalau Papa sering lembur ya." "Iya, Pa, gak papa. Di rumah ada bibik sama tante."Suci mengalihkan pandangannya. Dadanya bergemuruh, marah bercampur sedih. Kata-kata Alex tadi masih menggema di benaknya. Tamu? Aku hanya tamu di rumah ini? Padahal aku yang menjaga anak-anak ini, aku yang memastikan semuanya berjalan seperti semestinya.Ia menggeretakkan gigi. Matanya basah, tapi ia menahan diri untuk tidak menangis di depan Alex. Ia menegakkan bahu, mencoba mempertahankan sisa-sisa martabat y
Langit Bandung sore itu kelabu, seperti hati yang sedang muram. Hujan turun rintik-rintik, membasahi dedaunan dan jalanan yang masih ramai kendaraan. Udara dingin merayap masuk ke dalam rumah mewah di kawasan Dago, tempat Suci duduk bersandar santai di sofa ruang keluarga. Suara televisi menyala pelan, menayangkan program komedi, tapi perhatiannya setengah saja tertuju ke layar. Di sebelahnya, dua anak kecil, Izzam dan Intan, duduk diam, menikmati cemilan sambil sesekali melirik televisi.Izzam, delapan tahun, mengenakan kaos biru dengan celana pendek. Wajahnya serius, mungkin karena ia tahu bahwa satu gerakan yang salah bisa memancing amarah Suci. Adiknya, Intan, hanya terpaku pada mainan di tangannya, tak banyak bicara.Ini pemandangan yang berbeda dari biasanya. Dua anak itu dulu kerap membuat rumah berantakan—berlarian ke sana kemari, bertengkar, atau berteriak memanggil papa mereka, Alex. Tapi, setelah ancaman serius dari Suci beberapa minggu lalu, semuanya berubah. "Kalau kalia
Dhuha berdiri di balkon apartemennya, pandangannya menembus pemandangan kota Bandung yang mulai dihiasi lampu-lampu malam. Angin dingin berembus lembut, membawa aroma hujan yang tersisa sejak sore tadi. Tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya. Melainkan bayangan seorang perempuan, dengan senyum lembut yang selalu berhasil membuat hatinya berdebar. Aini.Wanita yang dulunya ia tak sudi menyentuhnya, tapi sekarang, dia bisa mati jika berjauhan dengannya. Ada sebuah kalimat petuah bertuliskan, membencilah sewajarnya, karena suatu saat kalian bisa jadi sangat mencintainya. Kini ia tidak tahu kapan tepatnya jatuh cinta lagi kepada mantan istrinya itu. Mungkin sejak pertama kali Aini datang kembali ke kehidupannya, meminta bantuan untuk menyelesaikan perceraian dengan Alex. Atau mungkin sejak mereka mulai berbagi ruang lagi di apartemen ini, saat Dhuha melihat sisi rapuh Aini yang selama ini jarang ia perhatikan. Namun, situasi mereka jauh dari kata sederhana. Aini masih terikat dalam per
Pagi-pagi sekali, bik Emi sudah sampai di apartemen Dhuha dengan membawa bahan masakan. Semalam Dhuha mengirimkan pesan pada wanita itu agar bisa datang lebih pagi dan membawa bahan masakan. Wanita itu sudah sibuk di dapur, sambil terus melihat ke arah ruang tengah, dimana bosnya sedang tidur pulas. Mendengar suara sedikit berisik di dapur, Dhuha terbangun. "Oh, udah datang, Bik," sapanya. "Sudah, Pak. Bapak tidur di luar? Lagi ada tamu ya?" Dhuha mengangguk "Iya, ada mama dan saudara saya. Makanya kamu semalam saya suruh datang cepat untuk masak. Biar Aini gak usah masak.""Baik, Pak, saya masak kwetiau kuah seafood, nasi goreng, dan ada jus buah. Apa itu cukup, Pak?""Cukup, Bik. Lanjutkan saja pekerjaan kamu." Dhuha berjalan masuk ke kamar mandi yang berada di luar. Ia tidak mau menganggu tidur mamanya dan juga Monic. Suara gemericik air dari wastafel dan aroma tumisan bawang putih memenuhi dapur apartemen Dhuha. Bik Emi sibuk mengaduk wajan sambil memotong sayuran di sampingn
Tok! Tok! Anton menoleh ke arah pintu kamar yang diketuk dua kali. Siapa lagi kalau bukan Luna. Pria itu menekan layar ponselnya untuk melihat jam. Sudah jam dua belas malam. Di luar hujan dan saat ini baru saja mati lampu. "Anton." Pria itu menghela napas. "Kenapa?""Maaf, apa kamu punya lilin lagi? Lilin di kamar udah mau habis." Anton melirik lilin yang ada di lantai kamar yang juga tinggal kurang lebih lima senti saja. Pria itu akhirnya membuka pintu kamar. "Di dapur gak ada?" Luna menggelengkan kepala. "Ya sudah, tunggu sebentar." Anton berjalan ke dapur, sedangkan Luna masuk ke kamar yang dulu pernah ia tiduri selama empat tahun lamanya. Kamarnya masih sama, ranjangnya juga. Ia bisa melihat keadaan kamar itu dari temaram cahaya lilin. Lalu ia melihat ke arah dinding yang biasanya ada foto pernikahannya, tetapi kini sudah tidak ada. Foto pernikahan di mana posenya seperti singa yang hendak menerkam mangsa. Beda dengan Anton yang tersenyum. "Ngapain kamu di sini?" tanya Anto
"Jadi, lo berangkat malam ini ke Surabaya?" Dhuha mengaduk latte-nya dengan malas, matanya mengamati Hakim yang tampak sibuk memeriksa pesan di ponselnya. Kedua sepupu itu ketemu di sebuah kafe dekat dengan kantor Hakim. "Iya, gue udah pesen tiket tadi pagi," jawab Hakim tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. "Resepsi pernikahannya Kinanti kan besok pagi. Gue nggak mungkin datang telat. Mama, papa, sama Amel udah di sana dari jumat karena menyaksikan aksi nikah. Lo beneran gak datang?" "Kayaknya bakal rame, ya. Semua keluarga ngumpul," Dhuha menyesap minumannya."Iya, kalau lagi ada momen nikahan, emang selalu kumpul kan. Mami Maria juga gak datang kayaknya karena masih belum pulih ya?" tanya Hakim. Dhuha pun mengangguk. Ia yang melarang mamanya terbang ke Surabaya karena kondisi kesehatan. "Gue udah transfer langsung ke Kinanti. Dari gue sama mama. Mungkin kalau mama udah enakan, baru ke sana." Hakim pun mengangguk mafhum. "By the way, gimana kabar Amel? Udah lama gue n
“Amel, kamu yakin nggak mau mencoba mengenal Levi lebih jauh?” suara Viona terdengar lembut, tapi tetap mendesak.Amel menatap ibunya dengan alis bertaut. Ia baru saja turun ke ruang makan untuk sarapan, tapi Viona sudah memulai lagi topik yang sama. “Ma, aku sudah bilang, aku masih sama Anton. Aku nggak tertarik untuk mengenal siapa pun lagi. Mama tahu kan, aku perempuan yang jarang sekali pacaran dan baru kali ini aku senang sama lelaki dewasa yang bertanggung jawab."Viona menghela napas panjang, menahan diri agar tidak meledak. Fahri yang duduk di sebelahnya ikut menimpali. “Amel, kami hanya ingin yang terbaik buat kamu. Anton itu... ya, kamu tahu sendiri, dia punya banyak masalah. Dia duda dengan satu anak. Kami nggak yakin dia bisa membuatmu bahagia. Apalagi dia duda bercerai, bukan ditinggal meninggal istrinya. Mama dan papa harap, kamu mau memikirkan perkenalan dengan Levi. Just friends, girl!"“Papa, Mama, aku tahu kalian nggak setuju sama hubungan kami,” jawab Amel, suaranya
“Mas, Luna masih di sana?” suara Amel terdengar di ujung telepon, nadanya penuh kehati-hatian namun sarat kecurigaan.Anton menghela napas panjang sebelum menjawab, “Iya, Sayang. Luna masih di sini. Tapi, percayalah, dia cuma di sini sampai urusan perceraian kami selesai.”“Tapi kenapa dia harus tinggal di rumahmu? Bukankah itu bisa diselesaikan tanpa harus tinggal bersama?” suara Amel sedikit bergetar. “Aku ini cemburu, Mas. Aku nggak bisa bohong soal itu. Aku takut kalau kalian berdua jadi rujuk. Apalagi, aku harus di Surabaya sampai tiga hari. Ck, ingin banget aku buru-buru pulang, tapi gak bisa. Acara nikahan sodaraku rumit."“Amel, dengarkan aku.” Anton menekankan suaranya, mencoba meyakinkan Amel. “Aku dan Luna sudah selesai. Tidak ada lagi apa-apa di antara kami selain tanggung jawab sebagai orang tua untuk Aris. Dia hanya di sini demi anak kami. Aku mohon, percayalah padaku. Kamu masih gak percaya sama aku?"Namun, jawaban itu tidak sepenuhnya membuat hati Amel tenang. Ia ter
“Luna, kamu sebaiknya pergi dari sini,” ujar Anton dengan nada tegas, meski suaranya terdengar lelah. Ia berdiri di ruang tamu, menatap Luna yang sedang menyapu lantai dengan gerakan santai, seolah-olah dia adalah pemilik sah rumah itu. Dan memang saat ini statusnya masih istri Anton, tentu saja tak ada masalah dengan kegiatannya membereskan rumah. “Aku tidak akan pergi, Mas,” jawab Luna tanpa menoleh, tetap melanjutkan pekerjaannya. “Aku istrimu, dan sampai pengadilan memutuskan sebaliknya, aku akan tetap di sini.”Tumben sekali panggil, Mas! Apa dia kesambet? Batin Anton. “Kita sedang dalam proses perceraian,” balas Anton, suaranya meninggi. “Kamu tahu itu. Apa yang kamu harapkan dengan tinggal di sini? Rumah tangga ini gak ada harapan. Sejak awal rumah tangga ini berdiri tanpa cinta."Luna berhenti menyapu. Dia menatap Anton dengan mata yang tenang, seolah kata-kata pria itu tidak ada artinya. “Aku tidak di sini untuk cinta, Mas. Aku di sini untuk Aris. Untuk rumah ini. Dan untuk