“Suci, apa kamu baik-baik saja?” suara Alex memecah keheningan di kamar perawatan VIP rumah sakit.Suci menoleh perlahan, matanya yang sembab karena lelah dan emosi menatap Alex tanpa banyak ekspresi. “Alhamdulillah Bapak sepertinya masih peduli pda saya. Oh, mungkin karena saya mengandung anak Bapak?” tanyanya pelan, tapi nadanya dingin.Alex menghela napas. Ia tahu Suci berhak marah, bahkan lebih dari itu. Ia terlalu sering membentaknya, meninggalkannya, bahkan membuatnya merasa tak berharga. Tapi saat ini, ada satu kenyataan yang tak bisa ia abaikan: Suci sedang mengandung anaknya.“Aku... aku hanya ingin tahu keadaanmu dan anak dalam perut kamu,” kata Alex dengan suara rendah.“Saya baik-baik saja. Mudah-mudahan janin ini pun sehat sampai nanti dilahirkan,” jawab Suci singkat. Ia lalu memalingkan wajah, menatap ke jendela lagi.Alex terdiam, mencari kata-kata yang tepat untuk meredakan ketegangan ini, tetapi semuanya terasa salah. Ia mendekat, duduk di kursi dekat ranjang Suci. “S
"Ambil saja kembaliannya, Pak." "Wah, makasih Neng. Maaf, mau cerai ya?" Luna hanya tersenyum saat pengemudi ojek online itu bertanya. Lalu ia segera berjalan hendak pintu gerbang kantor pengadilan agama itu. Hujan rintik-rintik turun perlahan, menciptakan simfoni halus di atas payung-payung dan daun-daun yang basah. Di depan gedung pengadilan agama, Luna berdiri dengan tubuh gemetar. Bukan karena dingin, melainkan karena pikirannya yang penuh keraguan. Bukankah ini yang ia inginkan, berpisah dari Anton. Tapi kenapa semakin lama ia jauh dari pria yang masih menjadi suaminya itu, maka semakin hampa juga rasanya ia menjalani hidup. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki gedung. Suara langkah kaki dan bisik-bisik pelan para pengunjung bercampur menjadi latar belakang yang membingungkan. Di salah satu deretan kursi, Anton duduk dengan tenang, mengenakan kemeja biru tua yang membuat kulit coklatnya tampak semakin bersinar. Rambutnya rapi, sedikit lebih panjang dari yang biasa Luna li
Pagi itu, Luna berdiri di depan rumah sederhana yang pernah ia tinggali bersama Anton dan Aris. Hatinya dipenuhi keberanian yang ia sendiri tak tahu berasal dari mana. Ia mengetuk pintu, menggenggam tas kecil di tangannya, seolah kunjungannya kali ini adalah hal biasa.Amel membuka pintu dengan alis terangkat. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang jelas. “Luna?” tanyanya, suaranya terdengar ragu. “Ada apa pagi-pagi ke sini?”Luna tersenyum tipis, meski ada ketegangan di wajahnya. “Aku ke sini karena ingin mengantar Aris sekolah hari ini.”Amel terdiam sejenak, memandang Luna dari ujung kepala hingga kaki. “Kamu yakin? Aris biasanya diantar Anton, kamu tahu itu, kan?” Amel menoleh ke bekalang. Sebelum Luna bisa menjawab, Anton muncul dari balik pintu, mengenakan kaos hitam polos dan celana jeans. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sama dengan Amel: terkejut. “Luna? Kenapa kamu di sini?” kening pria itu mengerut dalam. “Aku ingin mengantar Aris sekolah,” ulang Luna dengan suara yang
"Jadi, Luna benar-benar kembali ke rumah Anton?" "Ya, begitulah."Suara Hakim terdengar berat, penuh dengan kekecewaan. Ia menatap wajah Dhuha yang sedang menyeduh kopi di dapur kecil apartemennya."Kok bisa?""Gue dengar langsung dari Amel tadi pagi," jawab Dhuha, menyerahkan cangkir kopi kepada sepupunya itu. "Lo tahu, gue nggak habis pikir. Apa yang ada di pikiran Luna? Anton itu jelas-jelas sedang dekat dengan Amel. Dan sekarang Luna kembali? Ini seperti menghidupkan bara api di tumpukan jerami."Hakim menghela napas panjang. "Gue jadi bingung sama status adek gue. Bagaimana juga Amel itu masih ting ting, Dhu. Sarjana lagi, S2, tapi perasaannya malah jatuh pada duda yang statusnya masih belum jelas juga.""Tepat sekali." Dhuha mengangguk sambil duduk di sofa. "Dan itulah masalahnya. Status itu penting, Hakim. Kalau hubungan mereka tidak sah di mata agama maupun negara, siapa yang akan menanggung akibatnya? Masalah seperti ini bukan cuma merugikan diri sendiri, tapi juga orang-ora
Aini duduk termenung di tepi tempat tidur, tatapannya kosong, tetapi hatinya penuh dengan luka yang membara. Kata-kata Suci tadi terus terngiang di benaknya: "Alex lebih sering bersamaku dan kami bergairah." Namun, itu belum seberapa dibandingkan fakta yang baru saja ia ketahui—Suci sedang hamil muda."Dia hamil," bisik Aini, suara kecilnya pecah dalam keheningan kamar. Air matanya mengalir deras. Selama ini, Alex selalu melarangnya hamil, dengan alasan mereka harus fokus mengurus Izzam dan Intan, anak-anak dari Diana dan suaminya terdahulu. Alex bahkan memaksanya terus mengonsumsi pil KB, seolah-olah ia hanya berfungsi sebagai istri tanpa hak untuk menjadi seorang ibu lagi. Padahal, maka mertuanya sering sekali mencecarnya kapan hamil anak Alex. Namun, jika ia harus KB, kenapa jalang itu tidak? Hati Aini semakin panas. Wanita itu bukan hanya hadir sebagai madu, tetapi kini membawa sesuatu yang selama ini tidak diizinkan Aini miliki lagi—kehamilan. Aini merasa diperlakukan tidak adil
Jam dinding di ruang tamu rumah Alex menunjukkan pukul tujuh malam. Ketukan di pintu pagar terdengar tiga kali, disusul suara lembut dari luar."Alex, ini Ibu," ujar suara itu, penuh kehangatan.Suci yang sedang duduk di ruang tamu segera bangkit dan membuka pintu. Di depan pintu berdiri Bu Sukma, mertuanya dengan tas belanja di tangan. Wajahnya tampak sedikit lelah, tetapi senyumnya tetap ramah."Mama?" Suci bergegas membukakan pintu pagar. Wanita itu memang tengah menunggu suaminya pulang kerja, sehingga memilih duduk di ruang tamu, tanpa menutup pintu rumah dengan rapat. "Ada apa, Ma, malam-malam begini datang?" tanya Suci sedikit terkejut."Ada sesuatu yang ingin Mama buat. Mana Alex?" tanyanya sambil melangkah masuk."Belum pulang, Ma. Biasa sampai rumah jam sembilan malam." Bu Sukma mengangguk. "Mama bawa apa? Sepertinya baunya sedap." Suci tak sabar melihat bawaan sang Mertua. Hatinya berbunga-bunga karena bahagia punya mertua baik dan perhatian, padahal ia hanya istri kedua
Izzam menatap Suci dengan raut penasaran yang bercampur kesedihan. Anak laki-laki itu menggeser kursinya mendekat ke meja makan, sambil memiringkan kepala."Tante Suci," panggilnya pelan, "tadi aku dengar Tante sama Nenek ngomongin Ibu Aini. Ibu tadi datang, ya? Kapan?"Suci terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia menatap wajah polos Izzam yang penuh harapan, kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab."Iya, Nak. Ibu Aini tadi siang sempat pulang sebentar, tapi Ibu harus pergi lagi," jawabnya hati-hati.Mata Izzam yang berbinar perlahan meredup. "Kenapa Ibu nggak bilang ke aku kalau mau pergi lagi? Aku kan kangen sama Ibu. Harusnya ibu tunggu aku dan Intan pulang sekolah. Kenapa malah langsung pergi?"Suci merasa dadanya sesak mendengar ucapan Izzam. Ia ingin menjelaskan lebih banyak, tetapi bagaimana caranya berbicara kepada anak kelas dua SD tentang konflik rumah tangga yang rumit ini?"Ibu pasti sibuk, Nak. Tapi Ibu pasti juga kangen sama kamu dan Intan. Percayalah, ya," uja
Dhuha memandang jalan tol yang terbentang panjang di depannya. Hujan rintik-rintik membasahi kaca depan mobil, menciptakan pola abstrak yang segera tersapu oleh wiper. Di sebelahnya, Aini duduk dengan tangan memegang perut. Wajahnya pucat pasi."Berhenti dulu, Dhuha," suara Aini terdengar lemah namun tegas. "Aku nggak tahan lagi."Tanpa ragu, Dhuha segera membelokkan mobil ke rest area terdekat. Ia tahu kondisi Aini semakin memburuk sejak tadi siang. Masuk angin, kata Aini. Tapi Dhuha paham, ini lebih dari itu. Mungkin efek perjalanan panjang yang membuat tubuh wanita itu kelelahan.Selain itu, Aini sedang stres dengan masalah rumah tangganya, yang tentu saja memperngaruhi kondisi badan, sehingga mudah capek. Dhuha pun memarkirkan mobilnya dekat dengan deretan kantin foodcourt. "Kamu gak papa, Ai? Kalau gak enak badan, kita balik lagi ke Bandung ya?" Aini menggelengkan kepala. "Aku gak papa, Dhuha, cuma mual banget. Sebentar."Aini bergegas keluar dari mobil, berjalan dengan langkah
Anton menelan ludah. Ia menunduk, seakan sibuk menuang teh untuk ibunya dan Bude Lasmi. Ia harus hati-hati menjawab pertanyaan ini. Ibunya tidak bodoh, dan semakin ia menghindar, semakin ibunya akan curiga.“Ada sedikit salah paham, Bu,” katanya akhirnya.Ibunya meletakkan cangkir tehnya dengan hati-hati, lalu menatap Anton lekat-lekat. “Salah paham soal apa?”Anton menghela napas. “Amel merasa aku masih terlalu peduli sama Luna.”Bude Lasmi ikut menyimak dengan mata menyipit. “Memangnya kamu masih peduli?”Anton tersenyum hambar. “Bu, Bude, Luna sedang hamil. Anak yang dikandungnya itu anakku.”Ibunya melotot tidak percaya. "Kamu barusan ngomong apa? Luna hamil anak kamu, kok bisa? kapan? Kamu kena---""Bu, tenang dulu." Anton panik. Ia mengusap pundak ibunya perlahan. Tentu saja wanita yang melahirkannya itu syok bukan main mendengar kabar tidak masuk akal ini. "Bagaimana ceritanya Luna bisa hamil? Kamu menghianati istri kamu? Jadi setelah menikah kamu selingkuh? Astaghfirullah!"
Suasana ruang makan mendadak hening setelah Amel mengucapkan niatnya untuk bercerai. Hakim menatapnya dengan rahang mengeras, sementara Viona memijit pelipisnya, berusaha mencerna apa yang baru saja ia dengar.“Amel, jangan gegabah,” ujar Hakim setelah beberapa detik yang terasa begitu lama.“Gegabah?” Amel tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di sana. “Mas, aku sudah bertahan cukup lama. Aku sudah mencoba jadi istri yang baik, mencoba menerima Aris, dan menerima masa lalu Anton. Tapi ternyata aku hanya bodoh. Aku pikir, menikah dengan duda yang sudah pernah gagal dalam pernikahan akan membuatnya lebih menghargai istri barunya. Nyatanya, dia masih berputar di masa lalu.”Viona menarik napas panjang. “Amel, Mama tahu kamu sakit hati. Tapi perceraian bukan keputusan yang bisa diambil dalam satu malam.”Amel menatap ibunya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Lalu, Mama mau aku apa? Berpura-pura tidak tahu kalau suamiku masih mengkhawatirkan wanita lain? Kalau dia lebih memikirkan
"Kenapa datang tanpa bilang-bilang dulu, Nak?"Suara Viona terdengar lembut, tetapi penuh selidik. Wanita berusia lima puluh tahun itu menatap putrinya yang sedang duduk di ruang keluarga dengan wajah lesu. Amel tidak menjawab. Ia hanya memainkan ujung lengan piyama yang ia kenakan, enggan menatap mata ibunya.Viona mendesah. Ia meletakkan secangkir teh di atas meja kecil di depan Amel, lalu duduk di sebelahnya. Rumahnya saat ini sedang sibuk. Para pekerja sibuk hilir mudik, menata dekorasi, menyusun kursi, dan mengurus persiapan resepsi Hakim yang akan digelar minggu ini. Tapi, di tengah semua itu, ia justru mendapati Amel pulang tanpa kabar, memilih menginap di rumah orang tuanya daripada tinggal di rumah yang seharusnya ia tempati bersama suaminya, Anton."Ada masalah dengan Anton lagi ya? Urusan Luna?" tanya Viona lagi.Amel masih diam. Ia tahu ibunya tidak akan berhenti bertanya sampai ia memberikan jawaban. Namun, ia tidak ingin membahas ini. Tidak saat ini, tidak di tengah kesi
Setelah percakapan itu, Aini merasa hatinya sedikit lebih tenang. Dukungan Dhuha membuatnya yakin bahwa mereka bisa melewati ini bersama. Namun, ia tahu bahwa menghadapi Maria tidak akan mudah. Ibu mertuanya itu keras kepala dan selalu menganggap dirinya benar.Keesokan harinya, Aini memutuskan untuk berbicara dengan Dhuha mengenai keputusannya berhenti bekerja. Saat sarapan, ia mengajukan pembicaraan itu dengan lembut.“Mas, aku ingin mengajukan surat pengunduran diri hari ini,” ucapnya sambil menyendok bubur ayam ke mangkuknya.Dhuha yang sedang mengaduk teh, menatapnya dengan kening berkerut. “Hari ini juga?”Aini mengangguk. “Aku ingin fokus pada program hamil. Lagipula, pekerjaan di kantor cukup menguras pikiranku.”Dhuha menggenggam tangan Aini di atas meja. “Kamu yakin? Kalau kamu butuh waktu, tidak perlu terburu-buru. Lagian, aku termasuk salah satu atasan di sana." Aini tersenyum. Ia duduk di pangkuan suami sambil mengalungkan tangan di leher suaminya. "Meskipun kamu pemilik
Aini tengah duduk di ruang keluarga, menikmati teh hangat buatan Bibik sambil membaca sebuah majalah kesehatan. Matahari sore mulai meredup, menyisakan semburat jingga di langit yang terlihat dari jendela besar ruang tamu. Dhuha sedang joging di taman kompleks, dan suasana rumah terasa sepi, hanya ada dirinya dan Bibik yang sibuk merapikan ruang makan. Langkah Maria terdengar mendekat. Wanita paruh baya itu duduk di kursi di seberang Aini dengan ekspresi yang sulit diterka. Sudah dua malam wanita itu menginap di rumah sang Putra, tapi tidak terlalu banyak bicara pada menantunya itu. “Aini, Mama mau tanya sesuatu.”Aini menutup majalahnya dan menatap ibu mertuanya dengan senyum sopan. “Iya, Ma, silakan.”Maria menarik napas, lalu menatap Aini dengan serius. “Sudah hampir empat bulan kalian menikah, tapi kok belum ada tanda-tanda hamil juga?”Pertanyaan itu bukan sesuatu yang tidak Aini duga. Ia sudah sering mendengar celetukan semacam itu dari orang-orang di sekitarnya, terutama dari
Anton masih berdiri di depan rumah, memandangi debu yang beterbangan setelah mobil Amel melaju kencang meninggalkan halaman. Dadanya terasa sesak. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupnya sekarang.Ia ingin memastikan Luna dan bayi mereka baik-baik saja, tapi di sisi lain, Amel adalah istrinya sekarang. Ia tidak ingin pernikahannya hancur, tetapi juga tidak bisa berpura-pura bahwa Luna dan bayi yang dikandungnya bukan bagian dari hidupnya.Anton kembali masuk ke dalam rumah dengan langkah berat. Aris masih tertidur di kamarnya. Sisa kopi di meja mulai mendingin, sama seperti hatinya yang kini terasa membeku. Ia menghela napas panjang, lalu mengambil ponselnya dan kembali menghubungi Aini.Kali ini, Aini tidak langsung mengangkat, tetapi setelah beberapa kali nada sambung, suara wanita itu akhirnya terdengar di seberang."Apa lagi, Anton?" suara Aini terdengar lelah."Aini, aku hanya ingin tahu satu hal," kata Anton, mencoba menahan
Anton masih berdiri di depan pintu unit apartemen Luna yang kosong. Perasaannya campur aduk antara khawatir, bingung, dan sedikit kesal. Sudah satu bulan lebih ia tak bisa menghubungi Luna, dan sekarang ia baru tahu bahwa mantan istrinya itu benar-benar pergi entah ke mana.Anton menarik napas panjang. Ada kemungkinan Luna memang sengaja menghindarinya. Tapi, jika itu alasannya, kenapa ia juga memutus komunikasi dengan Aris?Aris bukan sekadar anak yang bisa dilupakan begitu saja. Ia tahu Luna sangat mencintai putra mereka.Anton mencoba menghubungi nomor Luna lagi. Masih sama—tidak tersambung.Ia mengetik pesan singkat:"Luna, aku tahu kamu pindah. Aku butuh bicara. Tolong kabari aku. Aris mencarimu."Tapi dalam hati, Anton ragu pesan itu akan mendapat balasan.Di dalam mobil, Anton masih memikirkan kemungkinan lain. Mungkin ada seseorang yang tahu ke mana Luna pergi.Ia mengetik pesan kepada Dhuha. Feelingnya mengatakan bisa saja Dhuha memiliki informasi di mana Luna berada."Dhuha,
Pagi itu seharusnya berjalan seperti biasa—sarapan bersama, mengantar Aris ke sekolah, dan Anton berangkat kerja. Namun, suasana rumah justru dipenuhi suara tangisan keras dari anak berusia lima tahun itu."Aku mau ke rumah Ibu!" Aris merengek sambil menarik ujung kausnya. Matanya yang sembab menunjukkan betapa kerasnya ia menangis sejak bangun tidur.Amel memijat keningnya, mencoba bersabar menghadapi rengekan anak sambungnya. Ia sudah berusaha menjadi ibu yang baik bagi Aris, tetapi setiap kali anak itu menyebut nama Luna, ada rasa kesal yang menggelitik perasaannya."Aris, Nak, kamu harus sekolah dulu. Setelah itu, kita lihat nanti," ujar Amel, berusaha menenangkan."Tidak! Aku mau ke rumah Ibu sekarang!" Aris berteriak.Amel menghembuskan napas panjang. "Aris, sudah cukup. Bunda tidak suka kalau kamu berteriak seperti itu. Sekarang bersiaplah untuk sekolah."Aris menggeleng keras. "Aku nggak mau sekolah! Aku mau ke rumah Ibu! Aku udah lama gak ketemu ibu, Bunda. Waktu itu ibu saki
"Aini! Mama!" Dhuha refleks menangkap tubuh ibunya yang hampir jatuh ke lantai. Wajah Maria pucat, napasnya tersengal.Aini yang juga panik langsung berjongkok di samping suaminya. "Mas, kita harus bawa Mama ke rumah sakit!"Dhuha mengangguk cepat. Tanpa membuang waktu, ia mengangkat tubuh ibunya ke dalam gendongan. Aini berlari lebih dulu untuk menekan tombol lift.Saat pintu lift terbuka, mereka masuk dengan tergesa. Dhuha terus memegangi tubuh Maria yang lemas dalam dekapannya, sementara Aini mencoba menenangkan dirinya sendiri. Meski ia kesal dengan Maria, tapi bagaimanapun wanita itu adalah ibu mertuanya.Begitu sampai di basement, Dhuha langsung membawa Maria ke kursi belakang mobil. Aini dengan cepat masuk ke kursi pengemudi dan menyalakan mesin."Aku yang nyetir, Mas. Kamu fokus ke Mama," ucap Aini cepat."Sayang, kamu gak papa?" Aini mengangguk cepat. Dhuha tak membantah. Ia terus mengecek denyut nadi dan suhu tubuh Maria. "Ma, bertahan, ya," bisiknya.Maria hanya mengerang