"Ambil saja kembaliannya, Pak." "Wah, makasih Neng. Maaf, mau cerai ya?" Luna hanya tersenyum saat pengemudi ojek online itu bertanya. Lalu ia segera berjalan hendak pintu gerbang kantor pengadilan agama itu. Hujan rintik-rintik turun perlahan, menciptakan simfoni halus di atas payung-payung dan daun-daun yang basah. Di depan gedung pengadilan agama, Luna berdiri dengan tubuh gemetar. Bukan karena dingin, melainkan karena pikirannya yang penuh keraguan. Bukankah ini yang ia inginkan, berpisah dari Anton. Tapi kenapa semakin lama ia jauh dari pria yang masih menjadi suaminya itu, maka semakin hampa juga rasanya ia menjalani hidup. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki gedung. Suara langkah kaki dan bisik-bisik pelan para pengunjung bercampur menjadi latar belakang yang membingungkan. Di salah satu deretan kursi, Anton duduk dengan tenang, mengenakan kemeja biru tua yang membuat kulit coklatnya tampak semakin bersinar. Rambutnya rapi, sedikit lebih panjang dari yang biasa Luna li
Pagi itu, Luna berdiri di depan rumah sederhana yang pernah ia tinggali bersama Anton dan Aris. Hatinya dipenuhi keberanian yang ia sendiri tak tahu berasal dari mana. Ia mengetuk pintu, menggenggam tas kecil di tangannya, seolah kunjungannya kali ini adalah hal biasa.Amel membuka pintu dengan alis terangkat. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang jelas. “Luna?” tanyanya, suaranya terdengar ragu. “Ada apa pagi-pagi ke sini?”Luna tersenyum tipis, meski ada ketegangan di wajahnya. “Aku ke sini karena ingin mengantar Aris sekolah hari ini.”Amel terdiam sejenak, memandang Luna dari ujung kepala hingga kaki. “Kamu yakin? Aris biasanya diantar Anton, kamu tahu itu, kan?” Amel menoleh ke bekalang. Sebelum Luna bisa menjawab, Anton muncul dari balik pintu, mengenakan kaos hitam polos dan celana jeans. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sama dengan Amel: terkejut. “Luna? Kenapa kamu di sini?” kening pria itu mengerut dalam. “Aku ingin mengantar Aris sekolah,” ulang Luna dengan suara yang
"Jadi, Luna benar-benar kembali ke rumah Anton?" "Ya, begitulah."Suara Hakim terdengar berat, penuh dengan kekecewaan. Ia menatap wajah Dhuha yang sedang menyeduh kopi di dapur kecil apartemennya."Kok bisa?""Gue dengar langsung dari Amel tadi pagi," jawab Dhuha, menyerahkan cangkir kopi kepada sepupunya itu. "Lo tahu, gue nggak habis pikir. Apa yang ada di pikiran Luna? Anton itu jelas-jelas sedang dekat dengan Amel. Dan sekarang Luna kembali? Ini seperti menghidupkan bara api di tumpukan jerami."Hakim menghela napas panjang. "Gue jadi bingung sama status adek gue. Bagaimana juga Amel itu masih ting ting, Dhu. Sarjana lagi, S2, tapi perasaannya malah jatuh pada duda yang statusnya masih belum jelas juga.""Tepat sekali." Dhuha mengangguk sambil duduk di sofa. "Dan itulah masalahnya. Status itu penting, Hakim. Kalau hubungan mereka tidak sah di mata agama maupun negara, siapa yang akan menanggung akibatnya? Masalah seperti ini bukan cuma merugikan diri sendiri, tapi juga orang-ora
Aini duduk termenung di tepi tempat tidur, tatapannya kosong, tetapi hatinya penuh dengan luka yang membara. Kata-kata Suci tadi terus terngiang di benaknya: "Alex lebih sering bersamaku dan kami bergairah." Namun, itu belum seberapa dibandingkan fakta yang baru saja ia ketahui—Suci sedang hamil muda."Dia hamil," bisik Aini, suara kecilnya pecah dalam keheningan kamar. Air matanya mengalir deras. Selama ini, Alex selalu melarangnya hamil, dengan alasan mereka harus fokus mengurus Izzam dan Intan, anak-anak dari Diana dan suaminya terdahulu. Alex bahkan memaksanya terus mengonsumsi pil KB, seolah-olah ia hanya berfungsi sebagai istri tanpa hak untuk menjadi seorang ibu lagi. Padahal, maka mertuanya sering sekali mencecarnya kapan hamil anak Alex. Namun, jika ia harus KB, kenapa jalang itu tidak? Hati Aini semakin panas. Wanita itu bukan hanya hadir sebagai madu, tetapi kini membawa sesuatu yang selama ini tidak diizinkan Aini miliki lagi—kehamilan. Aini merasa diperlakukan tidak adil
Jam dinding di ruang tamu rumah Alex menunjukkan pukul tujuh malam. Ketukan di pintu pagar terdengar tiga kali, disusul suara lembut dari luar."Alex, ini Ibu," ujar suara itu, penuh kehangatan.Suci yang sedang duduk di ruang tamu segera bangkit dan membuka pintu. Di depan pintu berdiri Bu Sukma, mertuanya dengan tas belanja di tangan. Wajahnya tampak sedikit lelah, tetapi senyumnya tetap ramah."Mama?" Suci bergegas membukakan pintu pagar. Wanita itu memang tengah menunggu suaminya pulang kerja, sehingga memilih duduk di ruang tamu, tanpa menutup pintu rumah dengan rapat. "Ada apa, Ma, malam-malam begini datang?" tanya Suci sedikit terkejut."Ada sesuatu yang ingin Mama buat. Mana Alex?" tanyanya sambil melangkah masuk."Belum pulang, Ma. Biasa sampai rumah jam sembilan malam." Bu Sukma mengangguk. "Mama bawa apa? Sepertinya baunya sedap." Suci tak sabar melihat bawaan sang Mertua. Hatinya berbunga-bunga karena bahagia punya mertua baik dan perhatian, padahal ia hanya istri kedua
Izzam menatap Suci dengan raut penasaran yang bercampur kesedihan. Anak laki-laki itu menggeser kursinya mendekat ke meja makan, sambil memiringkan kepala."Tante Suci," panggilnya pelan, "tadi aku dengar Tante sama Nenek ngomongin Ibu Aini. Ibu tadi datang, ya? Kapan?"Suci terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia menatap wajah polos Izzam yang penuh harapan, kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab."Iya, Nak. Ibu Aini tadi siang sempat pulang sebentar, tapi Ibu harus pergi lagi," jawabnya hati-hati.Mata Izzam yang berbinar perlahan meredup. "Kenapa Ibu nggak bilang ke aku kalau mau pergi lagi? Aku kan kangen sama Ibu. Harusnya ibu tunggu aku dan Intan pulang sekolah. Kenapa malah langsung pergi?"Suci merasa dadanya sesak mendengar ucapan Izzam. Ia ingin menjelaskan lebih banyak, tetapi bagaimana caranya berbicara kepada anak kelas dua SD tentang konflik rumah tangga yang rumit ini?"Ibu pasti sibuk, Nak. Tapi Ibu pasti juga kangen sama kamu dan Intan. Percayalah, ya," uja
Dhuha memandang jalan tol yang terbentang panjang di depannya. Hujan rintik-rintik membasahi kaca depan mobil, menciptakan pola abstrak yang segera tersapu oleh wiper. Di sebelahnya, Aini duduk dengan tangan memegang perut. Wajahnya pucat pasi."Berhenti dulu, Dhuha," suara Aini terdengar lemah namun tegas. "Aku nggak tahan lagi."Tanpa ragu, Dhuha segera membelokkan mobil ke rest area terdekat. Ia tahu kondisi Aini semakin memburuk sejak tadi siang. Masuk angin, kata Aini. Tapi Dhuha paham, ini lebih dari itu. Mungkin efek perjalanan panjang yang membuat tubuh wanita itu kelelahan.Selain itu, Aini sedang stres dengan masalah rumah tangganya, yang tentu saja memperngaruhi kondisi badan, sehingga mudah capek. Dhuha pun memarkirkan mobilnya dekat dengan deretan kantin foodcourt. "Kamu gak papa, Ai? Kalau gak enak badan, kita balik lagi ke Bandung ya?" Aini menggelengkan kepala. "Aku gak papa, Dhuha, cuma mual banget. Sebentar."Aini bergegas keluar dari mobil, berjalan dengan langkah
Pagi di Jakarta selalu riuh dengan suara klakson, langkah tergesa, dan hiruk pikuk yang seolah tidak pernah tidur. Dhuha terbangun lebih awal dari biasanya. Pikiran tentang percakapan singkatnya dengan Monic semalam terus terngiang. Wanita itu tampak berbeda, lebih dewasa, tapi pertanyaannya masih menyisakan kebimbangan dalam hati Dhuha.Setelah mandi dan bersiap, Dhuha melirik ke arah kamar Aini. Pintu tertutup rapat. Ia tidak ingin membangunkan Aini, terlebih karena kondisi wanita itu belum sepenuhnya pulih. Dhuha memutuskan pergi ke rumah sakit sendiri pagi ini.Sebelum keluar dari apartemen, pria itu memastikan kompor sudah ia matikan. Membuat chicken soup yang resepnya ia lihat di youtu-be. Ia sengaja menyiapkan untuk Aini agar Aini tak perlu berdiri di depan kompor untuk memasak sarapan. Chicken soupnya harus dihabiskan ya, CantikSendDi ruang rawat Maria, suasana terasa lebih hidup dibandingkan semalam. Seorang perawat tengah memeriksa tekanan darah Maria, sementara ibu Dhuha
Suci berdiri mematung di depan tangga, menatap punggung Alex yang memeluk kedua anaknya. Izzam masih menggenggam erat tangan ayahnya, sementara Intan berlari kecil dari dapur untuk bergabung. Mereka tampak seperti sebuah keluarga yang hangat—tanpa dirinya."Papa..." Intan memanggil dengan suara manja sambil mengulurkan tangan kecilnya, meminta digendong. Alex merendah dan meraih tubuh mungil itu, membawanya ke pelukan. Bibirnya tersenyum tipis, meski kelelahan jelas terlukis di wajahnya."Maafkan kalau Papa sering lembur ya." "Iya, Pa, gak papa. Di rumah ada bibik sama tante."Suci mengalihkan pandangannya. Dadanya bergemuruh, marah bercampur sedih. Kata-kata Alex tadi masih menggema di benaknya. Tamu? Aku hanya tamu di rumah ini? Padahal aku yang menjaga anak-anak ini, aku yang memastikan semuanya berjalan seperti semestinya.Ia menggeretakkan gigi. Matanya basah, tapi ia menahan diri untuk tidak menangis di depan Alex. Ia menegakkan bahu, mencoba mempertahankan sisa-sisa martabat y
Langit Bandung sore itu kelabu, seperti hati yang sedang muram. Hujan turun rintik-rintik, membasahi dedaunan dan jalanan yang masih ramai kendaraan. Udara dingin merayap masuk ke dalam rumah mewah di kawasan Dago, tempat Suci duduk bersandar santai di sofa ruang keluarga. Suara televisi menyala pelan, menayangkan program komedi, tapi perhatiannya setengah saja tertuju ke layar. Di sebelahnya, dua anak kecil, Izzam dan Intan, duduk diam, menikmati cemilan sambil sesekali melirik televisi.Izzam, delapan tahun, mengenakan kaos biru dengan celana pendek. Wajahnya serius, mungkin karena ia tahu bahwa satu gerakan yang salah bisa memancing amarah Suci. Adiknya, Intan, hanya terpaku pada mainan di tangannya, tak banyak bicara.Ini pemandangan yang berbeda dari biasanya. Dua anak itu dulu kerap membuat rumah berantakan—berlarian ke sana kemari, bertengkar, atau berteriak memanggil papa mereka, Alex. Tapi, setelah ancaman serius dari Suci beberapa minggu lalu, semuanya berubah. "Kalau kalia
Dhuha berdiri di balkon apartemennya, pandangannya menembus pemandangan kota Bandung yang mulai dihiasi lampu-lampu malam. Angin dingin berembus lembut, membawa aroma hujan yang tersisa sejak sore tadi. Tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya. Melainkan bayangan seorang perempuan, dengan senyum lembut yang selalu berhasil membuat hatinya berdebar. Aini.Wanita yang dulunya ia tak sudi menyentuhnya, tapi sekarang, dia bisa mati jika berjauhan dengannya. Ada sebuah kalimat petuah bertuliskan, membencilah sewajarnya, karena suatu saat kalian bisa jadi sangat mencintainya. Kini ia tidak tahu kapan tepatnya jatuh cinta lagi kepada mantan istrinya itu. Mungkin sejak pertama kali Aini datang kembali ke kehidupannya, meminta bantuan untuk menyelesaikan perceraian dengan Alex. Atau mungkin sejak mereka mulai berbagi ruang lagi di apartemen ini, saat Dhuha melihat sisi rapuh Aini yang selama ini jarang ia perhatikan. Namun, situasi mereka jauh dari kata sederhana. Aini masih terikat dalam per
Pagi-pagi sekali, bik Emi sudah sampai di apartemen Dhuha dengan membawa bahan masakan. Semalam Dhuha mengirimkan pesan pada wanita itu agar bisa datang lebih pagi dan membawa bahan masakan. Wanita itu sudah sibuk di dapur, sambil terus melihat ke arah ruang tengah, dimana bosnya sedang tidur pulas. Mendengar suara sedikit berisik di dapur, Dhuha terbangun. "Oh, udah datang, Bik," sapanya. "Sudah, Pak. Bapak tidur di luar? Lagi ada tamu ya?" Dhuha mengangguk "Iya, ada mama dan saudara saya. Makanya kamu semalam saya suruh datang cepat untuk masak. Biar Aini gak usah masak.""Baik, Pak, saya masak kwetiau kuah seafood, nasi goreng, dan ada jus buah. Apa itu cukup, Pak?""Cukup, Bik. Lanjutkan saja pekerjaan kamu." Dhuha berjalan masuk ke kamar mandi yang berada di luar. Ia tidak mau menganggu tidur mamanya dan juga Monic. Suara gemericik air dari wastafel dan aroma tumisan bawang putih memenuhi dapur apartemen Dhuha. Bik Emi sibuk mengaduk wajan sambil memotong sayuran di sampingn
Tok! Tok! Anton menoleh ke arah pintu kamar yang diketuk dua kali. Siapa lagi kalau bukan Luna. Pria itu menekan layar ponselnya untuk melihat jam. Sudah jam dua belas malam. Di luar hujan dan saat ini baru saja mati lampu. "Anton." Pria itu menghela napas. "Kenapa?""Maaf, apa kamu punya lilin lagi? Lilin di kamar udah mau habis." Anton melirik lilin yang ada di lantai kamar yang juga tinggal kurang lebih lima senti saja. Pria itu akhirnya membuka pintu kamar. "Di dapur gak ada?" Luna menggelengkan kepala. "Ya sudah, tunggu sebentar." Anton berjalan ke dapur, sedangkan Luna masuk ke kamar yang dulu pernah ia tiduri selama empat tahun lamanya. Kamarnya masih sama, ranjangnya juga. Ia bisa melihat keadaan kamar itu dari temaram cahaya lilin. Lalu ia melihat ke arah dinding yang biasanya ada foto pernikahannya, tetapi kini sudah tidak ada. Foto pernikahan di mana posenya seperti singa yang hendak menerkam mangsa. Beda dengan Anton yang tersenyum. "Ngapain kamu di sini?" tanya Anto
"Jadi, lo berangkat malam ini ke Surabaya?" Dhuha mengaduk latte-nya dengan malas, matanya mengamati Hakim yang tampak sibuk memeriksa pesan di ponselnya. Kedua sepupu itu ketemu di sebuah kafe dekat dengan kantor Hakim. "Iya, gue udah pesen tiket tadi pagi," jawab Hakim tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. "Resepsi pernikahannya Kinanti kan besok pagi. Gue nggak mungkin datang telat. Mama, papa, sama Amel udah di sana dari jumat karena menyaksikan aksi nikah. Lo beneran gak datang?" "Kayaknya bakal rame, ya. Semua keluarga ngumpul," Dhuha menyesap minumannya."Iya, kalau lagi ada momen nikahan, emang selalu kumpul kan. Mami Maria juga gak datang kayaknya karena masih belum pulih ya?" tanya Hakim. Dhuha pun mengangguk. Ia yang melarang mamanya terbang ke Surabaya karena kondisi kesehatan. "Gue udah transfer langsung ke Kinanti. Dari gue sama mama. Mungkin kalau mama udah enakan, baru ke sana." Hakim pun mengangguk mafhum. "By the way, gimana kabar Amel? Udah lama gue n
“Amel, kamu yakin nggak mau mencoba mengenal Levi lebih jauh?” suara Viona terdengar lembut, tapi tetap mendesak.Amel menatap ibunya dengan alis bertaut. Ia baru saja turun ke ruang makan untuk sarapan, tapi Viona sudah memulai lagi topik yang sama. “Ma, aku sudah bilang, aku masih sama Anton. Aku nggak tertarik untuk mengenal siapa pun lagi. Mama tahu kan, aku perempuan yang jarang sekali pacaran dan baru kali ini aku senang sama lelaki dewasa yang bertanggung jawab."Viona menghela napas panjang, menahan diri agar tidak meledak. Fahri yang duduk di sebelahnya ikut menimpali. “Amel, kami hanya ingin yang terbaik buat kamu. Anton itu... ya, kamu tahu sendiri, dia punya banyak masalah. Dia duda dengan satu anak. Kami nggak yakin dia bisa membuatmu bahagia. Apalagi dia duda bercerai, bukan ditinggal meninggal istrinya. Mama dan papa harap, kamu mau memikirkan perkenalan dengan Levi. Just friends, girl!"“Papa, Mama, aku tahu kalian nggak setuju sama hubungan kami,” jawab Amel, suaranya
“Mas, Luna masih di sana?” suara Amel terdengar di ujung telepon, nadanya penuh kehati-hatian namun sarat kecurigaan.Anton menghela napas panjang sebelum menjawab, “Iya, Sayang. Luna masih di sini. Tapi, percayalah, dia cuma di sini sampai urusan perceraian kami selesai.”“Tapi kenapa dia harus tinggal di rumahmu? Bukankah itu bisa diselesaikan tanpa harus tinggal bersama?” suara Amel sedikit bergetar. “Aku ini cemburu, Mas. Aku nggak bisa bohong soal itu. Aku takut kalau kalian berdua jadi rujuk. Apalagi, aku harus di Surabaya sampai tiga hari. Ck, ingin banget aku buru-buru pulang, tapi gak bisa. Acara nikahan sodaraku rumit."“Amel, dengarkan aku.” Anton menekankan suaranya, mencoba meyakinkan Amel. “Aku dan Luna sudah selesai. Tidak ada lagi apa-apa di antara kami selain tanggung jawab sebagai orang tua untuk Aris. Dia hanya di sini demi anak kami. Aku mohon, percayalah padaku. Kamu masih gak percaya sama aku?"Namun, jawaban itu tidak sepenuhnya membuat hati Amel tenang. Ia ter
“Luna, kamu sebaiknya pergi dari sini,” ujar Anton dengan nada tegas, meski suaranya terdengar lelah. Ia berdiri di ruang tamu, menatap Luna yang sedang menyapu lantai dengan gerakan santai, seolah-olah dia adalah pemilik sah rumah itu. Dan memang saat ini statusnya masih istri Anton, tentu saja tak ada masalah dengan kegiatannya membereskan rumah. “Aku tidak akan pergi, Mas,” jawab Luna tanpa menoleh, tetap melanjutkan pekerjaannya. “Aku istrimu, dan sampai pengadilan memutuskan sebaliknya, aku akan tetap di sini.”Tumben sekali panggil, Mas! Apa dia kesambet? Batin Anton. “Kita sedang dalam proses perceraian,” balas Anton, suaranya meninggi. “Kamu tahu itu. Apa yang kamu harapkan dengan tinggal di sini? Rumah tangga ini gak ada harapan. Sejak awal rumah tangga ini berdiri tanpa cinta."Luna berhenti menyapu. Dia menatap Anton dengan mata yang tenang, seolah kata-kata pria itu tidak ada artinya. “Aku tidak di sini untuk cinta, Mas. Aku di sini untuk Aris. Untuk rumah ini. Dan untuk