Share

Malam Pertama dengan Janda Anak 2
Malam Pertama dengan Janda Anak 2
Penulis: Diganti Mawaddah

1. Satu Kamar Mandi

"Pak, saya bisa jelaskan ini. Ini semua salah paham. Saya gak kenal wanita ini dan.... "

"Kalau gak kenal, kenapa bisa ada di sini? Kamar mandi masjid pula. Kamu gak punya duit buat sewa hotel apa?! Gak kenal tapi udah pelorotin celana!"

"Benar, bikin maksiat di rumah Allah. Udahlah, kita arak aja lelaki ini! Buka bajunya! Kalau perlu arak sampai kantor polisi!" Seru yang lain saling sahut menyahut.

Semua orang sudah mengelilingiku. Mereka semua marah dan bersiap menghajarku karena kepergok berada di kamar mandi masjid bersama wanita yang aku pun gak tahu siapa. Bisa mati konyol aku jika terus memaksa membela diri. Masyarakat yang tengah gaduh tak mungkin aku lawan seorang diri saja.

Di dalam kamar mandi, emangnya orang biasanya ngapain? Kalau udah buka celana tandanya emang kebelet. Gak mungkin aku buka warung di kamar mandi, apa lagi buka endors. Ampun, benar-benar warga di sini!

"Heh, malah bengong! Cepet!"

"Oke, oke, saya akan nikahi wanita ini!" Aku merasa tidak punya pilihan lain. Otakku yang biasanya bisa diajak berpikir logis, kali ini benar-benar buntu.

"Mbak mau gak mau harus nikah sama lelaki ini, paham!"

"I-iya, t-tapi saya udah gak punya orang tua, s-saya.... "

"Wali hakim saja. Ayo, jangan ditunda lama-lama, keburu banyak warga nanti malah main hakim sendiri!" Seru seorang bapak yang sibuk menaikkan sarungnya yang melorot.

Aku dan wanita yang tidak aku kenal itu akhirnya dibawa masuk ke dalam masjid. Ia terus menunduk dengan tubuh yang aku perhatikan gemetaran. Wajahnya pun tidak bisa aku lihat jelas karena tatapan kami tak pernah bertemu. Aku mengirimkan pesan pada Hakim, sahabatku, aku mengatakan bahwa saat ini aku sedang dalam masalah besar.

"Nama kamu siapa?"

"Dhuha Fajar Pratama, Pak." Aku menelan ludah. Bisa-bisa mama dan keluarga besarku kena serangan jantung jika tahu aku kena sial seperti ini.

"Ayo, Mas Dhuha. Silakan ijab qabulnya bisa dimulai sekarang. Lihat warga makin banyak ini!" Aku menoleh ke belakang dan begitu kagetnya aku, karena puluhan orang, baik lelaki dan perempuan. Bapak-bapak, ibu-ibu, remaja, bahkan anak kecil  menontonku dari halaman masjid. Bahkan ada yang sudah baw pentungan, golok, dan juga kayu besar. Membuat nyaliku semakin ciut saja.

"Nama Mbak siapa?" tanyaku sekilas meliriknya yang masih dalam keadaan menunduk.

"Aini binti Hamdan." Aku mengangguk.

Saya terima nikah dan kawinnya Aini binti Hamdan dengan mas kawin uang tunai satu juta rupiah, dibayar tunai!

Aku jadi suami? Aku harap segera bangun dari mimpi ini. Namun, begitu aku lihat mobil Hakim di depan masjid, maka dipastikan aku benar-benar tidak sedang bermimpi.

Sahabatku yang masih ada hubungan sepupu denganku itu terheran-heran melihatku. Ia menghampiriku yang tengah terduduk di tangga masjid.

"Apa yang terjadi, Du? Lo nikah? Dikawinin? Mana perempuannya?" tanya Hakim menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Itu!" Aku menunjuk wanita itu dengan daguku. Ia masih menunduk sambil memilin ujung bajunya yang sepertinya lusuh.

"Serius? Itu? Lo yakin?" suara Hakim tak percaya. Aku mengangguk pasrah.

"Du, itu malah kayak gelandangan. Gila aja! Benar-benar orang di.... "

Sssttt!!! Aku menutup mulut Hakim agar tidak kebablasan menghardik.

"Udah terlanjur! Ayo, kita pulang!" Aku pun bangun dari duduk dan berjalan menuju motor gede yang tengah parkir manis di halaman masjid. Jika saja tidak kebelet buang air, maka aku juga tidak mau mampir ke masjid, tetapi malah semua jadi salah sangka dan yang terjadi adalah aku ternyata sudah punya istri.

"Hei, Aini, lo mau ikut gak? Apa mau mojok aja di situ?" tanyaku gemas karena sejak tadi, ia tidak bicara apapun. Ia bangun dengan cepat, lalu menyusul langkahku.

"Rumah lo di mana?"

"Di simpang dekat flyover depan, Mas."

"Oke, gue anter lo pulang."

"Mas, t-tapi kita udah nikah. S-saya udah jadi istri Mas Dhuha. Berarti saya.... " aku tertawa. Menertawakan perempuan kucel dan bau ini karena ia begitu percaya diri dengan apa yang barusan ia ucapkan.

"Lo kira, kita nikah beneran? Ya ampun, Mbak. Masih untung gue gak tampar lu karena bikin gue kena masalah gini. Udah, jangan bacot! Ayo, gue anter pulang!"

"Naik motor lu, ya? Bau banget. Gue gak mau mobil gue ternoda bini gelandangan lu!" bisik Hakim setengah bergidik.

"Iya, dia naik motor sama gue. Ayo, jalan!" Wanita itu pun duduk menyamping di boncengan belakang. Benar-benar aromanya membuatku ingin muntah, padahal aku sudah pakai masker.

"Mas, ini uangnya saya pakai untuk beli makanan boleh ya, mampir ke toko roti dulu atau tukang nasi, saya.... "

"Ah, lama! Gue anter lu pulang. Setelah itu urusan lo mau beli makan atau mau koprol!" Aku melaju dengan kecepatan tinggi menuju tempat tinggal yang ia sebutkan.

"Di ujung itu, Mas." Ia menunjuk bawah jembatan dengan jari telunjuknya.

"Mau ngapain lu disitu?"

"Di bawahnya rumah saya."

"Oh, gitu." Aku melambatkan laju motor sampai akhirnya berhenti di depan titik yang dituju wanita itu.

"Terima kasih, Mas. Ini uang maharnya sangat manfaat untuk.... "

"Ibu.... " aku terkejut mendengar suara anak kecil berseru dari arah bawah. Aku ikut menoleh meskipun tidak terlalu jelas.

"Lo udah nikah? Udah punya anak?" ia mengangguk gugup. Aku ternganga dibuatnya. Apalagi, bukan hanya satu anak, tetapi dua anak kecil muncul bersamaan dari lorong gelap. Anak kecil yang menggendong adik kecilnya.

"S-saya janda, Mas. Anak saya dua." Aku makin terkejut dibuatnya.

"Ibu, dapat makanan gak hari ini? Izzam sama adek udah lapar."

"I-ibu belum dapat makanan, Sayang. Tapi Om baik ini kasih Ibu uang. Kita beli makan sekarang ya." Bukan hanya aku, Hakim pun terdiam.

"Mas, terima kasih sudah mau kasih saya uang. Maafkan tadi sudah hampir membuat kita celaka. Mari, s-saya permisi."

Bersambung

Mohon dukungan teman-teman untuk cerbung baru saya. Terima kasih

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cut Zanah
awal mula yg menarik... ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status