"Dhuha, bangun! Opa kamu datang tuh!"
"Ya ampun, Ma, Du baru aja tidur. Masa udah harus bangun lagi. Du ada meeting siang, jadi.... " "Bangun, Opa perlu bicara!" Aku pun langsung melompat begitu mendengar suara ayah dari pihak papaku yang aku panggil opa. Mata ini langsung segar, apalagi Opa Fauzi sudah duduk di depanku. "Maria, bawakan Papa pisang rebus di bawah." "Baik, Pa." Mama pun keluar dari kamar. Tinggal aku berdua opa saja. Tumben sekali opaku masih jam tujuh pagi sudah ada di rumahku. "Kamu ada masalah apa sama Monic?" aku mengernyit. "Oh, Monic, terlalu lebay, Pa. Jajannya banyak. Baru sekali jalan, udah minta dibelikan emas. Memangnya saya juragan?" "Baru sekali, coba lagi. Siapa tahu dia berubah." Opaku masih berusaha membujuk. "Kesan pertama itu sangat membekas, Pa. Baru satu kali ketemu udah kapok." "Tapi Opa udah janji mau jodohkan kamu dengan Monic. Begini, perusahaan akan bisa berkembang jika kamu menikahi Monic. Papa Monic dan almarhum papa kamu udah menjodohkan kamu dengan Monic, bahkan sejak kamu SD. Sebelum papa kamu meninggal, papa kamu berpesan.... " "Pa, Dhuha udah nikah." "Hah, apa?!" Opa Fauzi berdiri dengan wajah terkejutnya. Suaranya menggelegar hingga membuat nyali ini sedikit ciut. "Dhuha udah nikah, Pa. Jadi, jangan jodohkan Dhuha dengan Monic!" "Ada apa ini, Pa? Dhuha, kamu bicara apa dengan opa? Pa, Papa!" Opa memegang dadanya dan jatuh duduk di kursi. Aku dan mama panik, hingga melarikan opa ke rumah sakit. Opa mendapatkan pertolongan pertama. Adik papaku, termasuk Hakim pun ikut menyusul ke rumah sakit. Papaku tiga bersaudara dan beliau anak pertama. Namun, dua tahun lalu papa meninggal karena serangan jantung. Anak kedua adalah Om Reno, papa dari Hakim, lalu Tante Nola, adik bungsu papa yang semua anaknya sekolah di luar negeri. "Apa yang terjadi, Mbak?" tanya tante Nola pada mamaku. "Gak tahu, No. Orang tadi waktu ke rumah, papa baik-baik aja. Terus papa bicara pada ini nih, cucu sulung yang hobi banget pulang malam bukan karena kerja, tapi nongkrong! Tiba-tiba papa pingsan." "Ya ampun, Dhu, kamu bilang apa sama opa? Tanggung jawab loh, Dhu. Kamu tuh cucu lelaki pertama dari anak lelaki pertama, kenapa sih, sering banget bikin masalah?" tante Nola mendelik padaku. "Kalian kenapa berisik? Udah tahu orang lagi sakit!" Kami semua menoleh saat mendengar suara opa. "Pa, Papa udah enakan?" tanya mamaku. "Dhuha, kamu udah nikah? Kamu gak bohong kan? Kamu jangan bohong sama Opa!" "Apa, Dhuha udah nikah? Nggak mungkin, Pa. Ini anak pasti ngarang!" Mama melotot ke arahku. Mama bahkan mengguncang bahu ini dan terus menatapku meminta penjelasan. "Udah nikah, Mami. Semalam." Hakim bersuara dari arah pintu kamar. "Kamu udah nikah sama siapa, Dhuha? Marisa? Monic, Prilly?" tanya mamaku setelah syoknya reda. Aku dikelilingi oleh saudara, ada delapan orang berkumpul di ruangan perawatan VVIP tempat opa masih terbaring lemas. "Kamu nikah semalam sama siapa, Dhuha? Kamu jangan bikin Mama ikut kena serangan jantung." "Ma, Dhuha emang udah nikah, namanya... mm.. itu Aini." "Aini? Apa pekerjaan orang tuanya? Apa Mama atau opa kamu kenal? Apa nama perusahaannya?" aku menggaruk rambut yang tidak gatal. Apa yang harus aku jawab? Gak mungkin aku bilang dia janda dan gelandangan. Mungkin kalau hanya janda saja, tapi anak pemilik perusahaan, opa dan mama akan terima saja. Bukan gelandangan. "Dhuha, keluarga wanita itu siapa? Apa sesama... " "Orang biasa, Opa. Orang sederhana aja." "Oh, begitu, baik, Opa akan anggap serius ucapan kamu ini, jika kamu bisa bawa istri kamu ke sini. Jika tidak, Opa akan anggap ucapan kamu omong kosong dan kamu akan tetap Opa nikahkan dengan Monic!" "Iya nanti Dhuha kenalkan ke Mama dan Opa. Biar Opa sehat dulu ya." "Sekarang aja. Opa dan semua saudara kamu yang ada di sini menunggu kamu. Bawa sekarang ke sini! Jemput dia di kantornya atau di kampusnya jika dia masih mahasiswa." Hakim yang berdiri di sudut ruangan sejak tadi menahan tawa. "Dhuha, masih bengong aja! Cepet susulin istri kamu!""Lu kenapa gak belain gue tadi?" tanyaku kesal pada Hakim yang sejak kami keluar dari kamar perawatan opa, terus saja tertawa cekikan. "Gue gak mau kena omel opa. Mana berani gue ikut campur." Aku menghela napas kesal mendengar alasannya. "Gue aja berasa kayak mimpi kalau lu udah nikah beneran." "Itu bukan nikah beneran namanya. Buset, gue gak tahu kayak apa nanti opa, mama, dan yang lainnya kalau tahu wanita itu gelandangan dan janda! Anaknya dua pula. Duh, nasibku.... " Hakim menyalakan mesin mobil. "Pikirkan nanti saja yang penting sekarang, kita jemput dulu istri lu ha ha ha.... " aku meninju lengan Hakim yang sudah siap memutar stir. Sepanjang jalan, aku gak tahu mau bicara apa karena aku pun bingung. Alasan apa nanti yang aku ucapkan pada mama, opa, dan yang lainnya. Keluargaku adalah keluarga terpandang. Bahkan opa sudah menyiapkan simpanan warisan yang bisa digunakan sampai anak dan cucu tujuh turunan. Asalkan, semua anak cucunya bisa mengelola usaha dengan baik. "Bil
"Ibu, bajunya bagus sekali. Ibu jadi cantik dan wangi. Hhuumm.... " Anak lelaki kecil itu terus memeluk ibunya dengan erat sambil tersenyum begitu lama. Nampak sekali ia bahagia dan terpesona dengan bentukan ibunya yang baru. Kuakui dengan berganti pakaian dan menumpang sholat di masjid, wajahnya tidak sekucel seperti awal. "Izzam, ikut Om beli mainan yuk! Ibu mau bicara dulu sama Ayah Dhuha." Hakim yang sudah aku beritahu apa tugasnya, langsung bergerak cepat. "Iya, Om." "Adik Izzam siapa namanya, Mbak?" tanyaku. "Intan, Mas.""Umur?" "Setahun setengah." Aku memandangi wajah kecilnya yang tengah terlelap beralaskan kain gendongan. "Mbak mulung, Anak-anak ditinggal berdua saja?" ia mengangguk. "Kasihan kalau dibawa dua-dua. Tapi memang saya mulung gak jauh-jauh, Mas. Saya dua kali pulang kalau pergi mulung dari jam tujuh pagi sampai jam dua belas." Aku mengangguk paham. "Ayahnya anak-anak ke mana?" "Udah gak ada.""Meninggal?" ia mengangguk. "Usia kamu berapa?" tanyaku lagi.
Benar seperti tebakanku bahwa mamaku terdiam sepanjang jalan pulang ke rumah. Wajahnya nampak tidak senang dengan kenyataan bahwa aku menikahi janda anak dua. Aku pun bingung mau mengatakan apa karena ini semua serba tiba-tiba dan aku belum menyiapkan plan A ataupun plan B. "Tante mau mampir ke mana, biar Hakim anter," kata Hakim mencaurkan suasana. "Pulang saja. Tante mau bicara sama sepupu kamu ini!" Jawab mama ketus. Aku menelan ludah. Aku perhatikan Aini pun sama. Ia tertunduk malu sambil memilih ujung bajunya. "Masih lama gak sih, mobil kamu bau banget ini, Dhu. Apa nggak dicuci?" tanya mamaku sebal. "Dikit lagi Tante. Sabar ya. Iya, ini Dhuha belum sempat cuci mobil semalam, cucian mobilnya udah keburu tutup." "Ck, ya sudah, cepat, cepat!" Lima belas menit berlalu dan kami pun tiba di rumahku. Lebih tepatnya rumah mamaku. Untung saja Izzam dan adiknya masih tidur sampai aku dan Hakim membawa keduanya masuk ke kamarku yang ada di lantai dua. "Kamu di sini dulu, Aini. Jangan
"Buka baju, Mas?" tanyanya dengan wajah polos. Aku terbahak sambil mengibaskan tangan. "Bukan, mana mungkin kita tidur seperti suami istri. Mbak, ini tuh seperti pernikahan kontrak. Imbalannya anak-anak dapat tempat tinggal nyaman, bukan di sini. Saya ada rumah sendiri. Mbak punya suami yang menafkahi. Punya mertua dan keluarga. Saya akan kasih uang juga, meski gak banyak, tapi saya akan tetap tanggung jawab. Gimana?""Baik, Mas. Terima kasih banyak atas kebaikannya. Saya gak tahu bagaimana membalas kebaikan Mas dan juga keluarga Mas.""Kamu cukup lakukan apa yang aku perintahkan. Oke! Oh, iya, satu lagi, kamu gak boleh ikut campur urusan pribadi aku. Paham kan maksudnya?""Baik, Mas." Aku mengangguk sambil tersenyum. Anggap saja aku tengah beramal dengan janda miskin dan juga anak yatim. Pasti Tuhan akan balas kebaikanku dengan kebaikan pula. Aku mematikan lampu kamar, kemudian ikut terlelap. Aini dan dua anaknya masih tetap tidur di bawah. Aku tidak mau merayu meminta mereka pinda
Aku seperti bermimpi bisa bicara lagi dengan Luna. Sudah lama sekali tidak pernah WA apalagi telepon. Hanya sesekali saja aku mengomentari jika ia update status di akun media sosial instagramnya. Itu pun bisa dihitung dengan jari berapa kali dia posting. Terlihat ia sangat sibuk dan aktif sehari-harinya dan setahuku, ia tidak pernah posting foto lelaki yang sedang dekatnya. Jika pun ada foto lelaki, aku rasa itu temannya karena fotonya beramai-ramai. "Dhuha, kamu mau bengong sampai kapan?" teguran dari mamaku membuatku tersentak. "Eh, nggak bengong, Ma. Cuma lagi mikirin mungkin akan ajak Aini pindah ke rumah Dhuha," jawabku salah tingkah. Mama membuang wajahnya dan terlihat jengah dengan kehadiran Aini dan juga dua anaknya. "Lekas kalian makan, lalu bawa saja mereka ke rumah kamu. Maaf, Mama masih merasa kalian bukan seperti pasangan lainnya. Ini terlalu aneh! Seperti tidak ada wanita lain saja di luaran sana. Kenapa harus.... ""Ma, ada anak-anak!" Potongku cepat. Aini sudah menu
"Kamu gak papa, Mas? Kayaknya gak senang ketemu aku?" tanya Luna dengan wajah cemberut. "Gak papa. Aku cuma kaget aja kamu tiba-tiba ada di kantorku. Dari mana kamu tahu? Oh, iya, aku buru-buru banget, ada meeting dan aku udah telat satu jam. Kamu tunggu di sini saja kalau gak bosan. Atau kamu bisa main ke mana dulu, nanti baru balik lagi sore. Aku beneran repot banget hari ini. Oke, Luna!" aku langsung berjalan cepat meninggalkan Luna yang tak sempat menjawab ucapanku. Jujur aku kaget dan senang, hanya saja timing-nya tidak pas. Aku benar-benar ditunggu untuk briefing. Jika aku terlambat lebih parah dari kemarin, bisa-bisa Om Aldo malah melaporkanku pada opa. Meeting baru selesai malam hari. Aku mendapatkan pesan WA Luna yang mengisyaratkan bahwa wanita itu sedikit kecewa karena aku abaikan. Tentu saja aku langsung membalas pesan itu dengan mengatakan bahwa besok malam, aku yang akan mengunjunginya. "Balik, Pak," sapa Erwin ; staf keuangan perusahaan yang kebetulan satu lift deng
"Maaf, Mas, saya sudah lancang menggunakan alat masaknya. S-soalnya saya beneran mau ngebantu bikin sarapan. Ini---" aku begitu senang melihat ada nasi goreng di atas meja, lengkap dengan telur mata sapi. Semalam aku memesan belanjaan dapur secara online dan aku memesan telur juga. "Wah, gak papa, Mbak. Bagus malah. Pantesan wangi banget aromanya sampai kamarku." "Syukurlah." Aku menarik kursi makan, sedangkan Mbak Aini menuangkan teh ke dalam gelasku. "Pagi ini kita belanja pakaian anak-anak, setelah kita dari rumah sakit. Opa ingin ketemu Mbak lagi." Wanita itu terdiam sejenak. "Saya agak khawatir. Takut kalau... ""Jangan khawatir, lebih galak aku daripada opa. Seperti yang pernah aku ajarkan, jangan bicara apapun saat ditanya, biar aku yang jawab nanti." "Baik, Mas, saya paham!""Anak-anak mana?" tanyaku saat tak melihat Intan maupun Izzam. Suaranya pun tidak kedengeran. "Masih tidur, Mas." "Oh, ya sudah, jangan dibangunkan. Kita sarapan saja dulu." Ia mengangguk, lalu meng
Anak-anak terlihat happy, terutama Izzam. Kalau Intan karena masih terlalu kecil, sehingga belum keliatan antusiasnya. Hanya saja, bayi kecil sebelas bulan itu terus tersenyum sambil tepuk tangan. Jelas sekali kalau mereka belum pernah diajak ngemall. "Seriusan gak pernah masuk mall?" tanyaku pada Aini. Wanita itu menggeleng. "Pernah dulu sekali. Udah lupa juga dan mall nya gak sebesar ini," jawab Aini yang langkahnya masih tertinggal di belakangku. Wanita itu pasti tidak percaya diri karena penampilannya. Meski sudah memakai baju yang sempat tempo hari kami beli, ia tetap tidak percaya diri berjalan santai di dalam mall yang isinya kaum menengah ke atas. "Oh, gitu, pantesan Izzam keliatan senang dan agak norak he he he.... ""Jangankan ke mall, Mas, bisa mendapatkan botol plastik bekas, wadah air mineral gelas bekas untuk ditukar dengan yang saja rasanya udah bersyukur. Paling gak anak-anak gak sampe kelaparan." Aku mengangguk penuh simpati. Hidup yang dijalani mbak Aini pasti sa