Aku seperti bermimpi bisa bicara lagi dengan Luna. Sudah lama sekali tidak pernah WA apalagi telepon. Hanya sesekali saja aku mengomentari jika ia update status di akun media sosial instagramnya. Itu pun bisa dihitung dengan jari berapa kali dia posting. Terlihat ia sangat sibuk dan aktif sehari-harinya dan setahuku, ia tidak pernah posting foto lelaki yang sedang dekatnya. Jika pun ada foto lelaki, aku rasa itu temannya karena fotonya beramai-ramai.
"Dhuha, kamu mau bengong sampai kapan?" teguran dari mamaku membuatku tersentak. "Eh, nggak bengong, Ma. Cuma lagi mikirin mungkin akan ajak Aini pindah ke rumah Dhuha," jawabku salah tingkah. Mama membuang wajahnya dan terlihat jengah dengan kehadiran Aini dan juga dua anaknya. "Lekas kalian makan, lalu bawa saja mereka ke rumah kamu. Maaf, Mama masih merasa kalian bukan seperti pasangan lainnya. Ini terlalu aneh! Seperti tidak ada wanita lain saja di luaran sana. Kenapa harus.... " "Ma, ada anak-anak!" Potongku cepat. Aini sudah menunduk takut. "Anak orang, bukan anak kamu! Mama tuh minta cucu dari kamu, bukan malah, aish.... Mama jadi gak selera makan!" Mama langsung beranjak dari kursinya menuju kamar. "Harap maklum, Mbak. Semua di rumah ini pasti kaget," kataku berbisik. Aku gak mau percakapanku didengar oleh bik Nar. "Jangan sakit hati ya, Mbak kan dibayar nanti sama aku!" Ia mengangguk paham. "Maaf ya, Mas, gara-gara saya orang tua Mas jadi kesal." "Gak papa, kesalnya juga paling sebentar. Ayo, habiskan makannya. Nanti aku antar ke rumah aku dulu aja, baru setelah itu ke kantor." "Enak, Yah!" Seru Izzam. Aku tersenyum. "Makan yang banyak! Intan gak makan, Mbak?" "Makan, ini sambil saya suapi." "Makan aja yang banyak ya." Aini mengangguk patuh. Selesai makan semua, aku pun bersiap untuk mengantar Aini dan anak-anak pulang ke rumahku. Rumah yang aku siapkan untuk istri tercinta. Tak apa untuk sementara ditinggali oleh Aini dan anak-anaknya terlebih dahulu. Anggap saja sedang beramal untuk janda dan yatim. "Ma, Aini mau pamit!" Seruku dari depan pintu kamar mama yang tertutup rapat. "Pergi saja, gak usah pamit!" Jawaban ketus mama kembali membuat wajah mbak Aini tak nyaman. "Ma, Dhuha berangkat ya. Malam nanti langsung mampir ke rumah sakit!" Seruku sebelum meninggalkan kamar mama. Tidak ada sahutan dari dalam. Biarlah, mama paling ngambek sebentar. "Gak papa, mama emang gitu. Santai aja!" "Iya, Mas, lagian saya bukan mantu beneran he he he.... " "Iya, itu dia. Jangan khawatir." "Ayo, kita naik mobil. Kita pulang ke rumah!" "Rumah siapa, Yah? Bawah fayover?" tanya Izzam dengan wajah polosnya. "Bukan, rumah Ayah!" Tak ada getar di benak ini dengan panggilan itu karena memang ini hanya sebuah kesepakatan yang sama-sama menguntungkan dan yang paling penting, aku gak dijodohkan dengan Monic. Apalagi aku memang sebenarnya suka anak kecil, sehingga tak masalah bagiku jika anak mbak Aini memanggilku ayah. Sekalian totalitas dramanya. "Jauh ya, Mas?" tanya Aini. "Lumayan." "Nanti biar saya yang kerjakan semua, Mas. Kerjaan rumah." "Oh gitu, gak papa?" tanyaku. "Gak papa. Saya merasa sangat bersyukur bisa berada di sini sekarang karena kebaikan Mas Dhuha. Anak-anak juga bisa melihat dunia di atas flyover." Aku tersenyum sambil mengangguk. Empat puluh lima menit berkendara, akhirnya aku tiba di rumah yang biasanya hanya aku kunjungi dua minggu sekali. Itu pun hanya untuk nonton dan menginap satu malam. Terkadang sendiri, terkadang juga bersama Hakim. "Ini rumahku, Mbak. Ayo, masuk!" Sejak tadi aku memperhatikan bayi Intan menatap ke arahku. "Sini, biar aku gendong Intan." "Eh, jangan, Mas, khawatirnya nanti keompolan." "Oh, iya, belum beli pampers ya. Nanti saya pesankan online saja. Ayo, silakan masuk." Aku mempersilakan ibu dan dua anak itu masuk ke dalam rumahku yang bisa dibilang cukup besar. Rumah di area komplek menengah keatas. Luas tanah enam ratus meter dengan bangunan dua ratus. Masih banyak lahan kosong yang belum sempat aku jadikan apapun, hanya hamparan rumput gajah saja. Kolam ikan koi pun belum aku isi karena aku tidak tinggal di sini. "Rumah siapa ini, Bu?" tanya Izzam pada Aini. "Rumah Ayah Dhuha." "Kita tinggal di sini. Izzam, adek Intan, dan ibu. Udah gak tinggal di bawah flyover lagi." Aku mengusap kepala Izzam. "Wah, makasih Ayah. Rumah Ayah bagus. Ayah baru Izzam ternyata baik." Aku menoleh pada Aini. "Memang yang sebelumnya, Mbak? Almarhum ayahnya anak-anak gak baik?" tanyaku sedikit penasaran. "Orang biasa saja. Kalau orang baik, kami bertiga gak mungkin tinggal di bawah flyover." "Iya juga, sih! Oh, iya, ini kamar Mbak Aini dan anak-anak. Saya kamarnya persis di depan kamr Mbak Aini. Kalau ada mama nginap atau anggota keluarga lainnya, kita baru tidur sekamar. Gimana?" "Baik, Mas." "Saya ke kantor. Makan siangnya nanti pesan online saja karena belum ada bahan dapur. Oh, iya, satu lagi, jangan masuk ke kamar saya tanpa ijin saya!" "Baik, Mas, paham!" Aku pun bergegas kembali menuju mobil. Sebenarnya ini sudah sangat terlambat, tetapi daripada Mbak Aini lama di rumah mama, bisa-bisa ketahuan yang sebenarnya terjadi. Begitu tiba di kantor, aku langsung masuk ke dalam lift khusus yang memang disediakan untuk petinggi perusahaan. Maulana; direktur produksi sudah berkali-kali menghubungiku, tetapi tidak aku angkat. "Mas Dhuha!" Aku menoleh seseorang memanggil namaku. "Hai! Apa kabar?" wanita itu setengah berlari menghampiriku dengan wajah semringahnya. Luna! Bersambung"Kamu gak papa, Mas? Kayaknya gak senang ketemu aku?" tanya Luna dengan wajah cemberut. "Gak papa. Aku cuma kaget aja kamu tiba-tiba ada di kantorku. Dari mana kamu tahu? Oh, iya, aku buru-buru banget, ada meeting dan aku udah telat satu jam. Kamu tunggu di sini saja kalau gak bosan. Atau kamu bisa main ke mana dulu, nanti baru balik lagi sore. Aku beneran repot banget hari ini. Oke, Luna!" aku langsung berjalan cepat meninggalkan Luna yang tak sempat menjawab ucapanku. Jujur aku kaget dan senang, hanya saja timing-nya tidak pas. Aku benar-benar ditunggu untuk briefing. Jika aku terlambat lebih parah dari kemarin, bisa-bisa Om Aldo malah melaporkanku pada opa. Meeting baru selesai malam hari. Aku mendapatkan pesan WA Luna yang mengisyaratkan bahwa wanita itu sedikit kecewa karena aku abaikan. Tentu saja aku langsung membalas pesan itu dengan mengatakan bahwa besok malam, aku yang akan mengunjunginya. "Balik, Pak," sapa Erwin ; staf keuangan perusahaan yang kebetulan satu lift deng
"Maaf, Mas, saya sudah lancang menggunakan alat masaknya. S-soalnya saya beneran mau ngebantu bikin sarapan. Ini---" aku begitu senang melihat ada nasi goreng di atas meja, lengkap dengan telur mata sapi. Semalam aku memesan belanjaan dapur secara online dan aku memesan telur juga. "Wah, gak papa, Mbak. Bagus malah. Pantesan wangi banget aromanya sampai kamarku." "Syukurlah." Aku menarik kursi makan, sedangkan Mbak Aini menuangkan teh ke dalam gelasku. "Pagi ini kita belanja pakaian anak-anak, setelah kita dari rumah sakit. Opa ingin ketemu Mbak lagi." Wanita itu terdiam sejenak. "Saya agak khawatir. Takut kalau... ""Jangan khawatir, lebih galak aku daripada opa. Seperti yang pernah aku ajarkan, jangan bicara apapun saat ditanya, biar aku yang jawab nanti." "Baik, Mas, saya paham!""Anak-anak mana?" tanyaku saat tak melihat Intan maupun Izzam. Suaranya pun tidak kedengeran. "Masih tidur, Mas." "Oh, ya sudah, jangan dibangunkan. Kita sarapan saja dulu." Ia mengangguk, lalu meng
Anak-anak terlihat happy, terutama Izzam. Kalau Intan karena masih terlalu kecil, sehingga belum keliatan antusiasnya. Hanya saja, bayi kecil sebelas bulan itu terus tersenyum sambil tepuk tangan. Jelas sekali kalau mereka belum pernah diajak ngemall. "Seriusan gak pernah masuk mall?" tanyaku pada Aini. Wanita itu menggeleng. "Pernah dulu sekali. Udah lupa juga dan mall nya gak sebesar ini," jawab Aini yang langkahnya masih tertinggal di belakangku. Wanita itu pasti tidak percaya diri karena penampilannya. Meski sudah memakai baju yang sempat tempo hari kami beli, ia tetap tidak percaya diri berjalan santai di dalam mall yang isinya kaum menengah ke atas. "Oh, gitu, pantesan Izzam keliatan senang dan agak norak he he he.... ""Jangankan ke mall, Mas, bisa mendapatkan botol plastik bekas, wadah air mineral gelas bekas untuk ditukar dengan yang saja rasanya udah bersyukur. Paling gak anak-anak gak sampe kelaparan." Aku mengangguk penuh simpati. Hidup yang dijalani mbak Aini pasti sa
Aku tiba di rumah jam sebelas malam. Terlalu asik bercakap-cakap dengan orang tua Luna, membuatku lupa waktu. Sudah lama memang kami tak bertemu. Terakhir saat aku dan papanya tidak sengaja bertemu di acara pernikahan salah satu guru SMA kami. Tumben, lampu depan masih menyala, tapi rumah sepi. Aku membuka pintu dengan mudah karena tidak terkunci. "Assalamu'alaikum, Mbak Aini," panggilku. Namun, tak ada sahutan. Aku mengunci pintu kembali, kemudian memadamkan lampu ruang tamu. Aku terkejut saat melewati ruang makan dan melihat mbak Aini tengah tertidur. Ada aneka makanan terhidang di atas meja. Ya, ampun, aku lupa! Lupa kalau tadi pagi, aku minta mbak Aini untuk memasak. "Mbak, bangun!" Panggilku sambil menyentuh pundaknya dengan jari telunjuk. Wanita itu tersentak. "Eh, ya, ampun, saya ketiduran. Maaf, Mas. Mau makan ya, saya ---""Mbak, saya udah makan tadi. Maaf saya gak ngabarin Mbak Aini." Aku menahan tangan wanita itu saat hendak beranjak dari kursinya. "Oh, udah makan. Te
PoV Aini"Tadi malam ada apa, Ai? Kamu pulang diantar siapa?" tanya bu Santi; ibu dari Eko. Tetangga yang sama-sama memulung barang bekas plastik. "Oh, itu, mm... orang itu gak sengaja menyerempet saya di jalan, Bu, tapi tanggung jawab. Makanya saya diantar sampai atas. Oh, iya, Bu. Ini saya bayar utang beli beras kemarin." Aku menyerahkan uang seratus ribu dari dalam saku dasterku yang sudah lusuh. "Masih licin banget lembaran merahnya. Apa ini dari lelaki semalam?" tanya bu Santi penasaran. Aku pun mengangguk. Memang dari mas Dhuha. Mahar yang dia berikan untukku. "Uang ganti rugi?" aku tersenyum. Bu Santi benar-benar penasaran. "Ya sudah, saya terima. Tapi kamu gak papa, gak luka'kan?""Nggak, Bu, udah saya kasih minyak. Nanti juga sembuh. Saya mau keliling dulu. Mumpung Intan masih tidur.""Ya sudah sana jalan. Biar saya yang temenin Intan sama Izzam! Makannya udah kamu siapin kan?" aku mengangguk. Sudah masak semur telur dan tahu tadi dengan bumbu seadanya dan peralatan dapur
"Jadi nama kamu Aini?" tanya seorang wanita yang dipanggil mama oleh mas Dhuha. Itu berarti ini ibu mertuaku. Tatapannya tak bersahabat. Jelas saja, anaknya yang tampan dan kaya menikahi janda anak dua. "Iya, Bu. Eh, Ma," jawabku terbata. "Siapa suruh kamu panggil Saya mama? Saya belum menerima kamu jadi menantu di rumah ini!" Aku menelan ludah. Tenang Aini, kata suamimu, kamu hanya perlu jawab seperlunya saja. "Baik, Bu." "Suami kamu ke mana? Meninggal atau kabur?" "Suami saya.... ""Ibu, Intan nangis!" Seru Izzam dari dalam kamar. "Bu, maaf, saya ke kamar dulu." Aku pun bergegas berlari masuk ke kamar. Untunglah Intan menangis dengan suara kencang, sehingga alasannya tepat sekali aku untuk meninggalkan sejenak ibu mertuaku. Aku terkejut saat beliau tiba di rumah karena mas Dhuha tidak pesan apapun perihal kedatangan ibunya. Bisa jadi memang beliau ingin tiba-tiba saja berkunjung untuk mencari informasi tentangku dan anak-anakku."Ibu, itu nenek kan?" tanya Izzam yang duduk di
Sore hari, setelah semua tamu pulang, akhirnya aku bisa bermain bersama Izzam dan Intan. Kami main di halaman belakang. Ada bola kecil yang sudah kotor tergeletak begitu saja di dekat pot bunga. Bola itu aku cuci bersih, kemudian aku mainkan bersama Izzam. Intan anteng duduk di atas karpet sambil mengunyah biskuit. "Ibu, udah, ah, mainnya. Mau makan kolak yang dibuat Ibu," ujar Izzam dengan napas yang terengah-engah. "Boleh, cuci tangan dulu dan ganti baju ya. Setelah itu baru makan kolak. Ibu ambilkan juga untuk adek." Izzam masuk ke dalam rumah untuk menunaikan perintahku. Lanjut aku pun mencuci tangan sampai bersih, lalu menyiapkan kolak pisang dua mangkuk untuk Izzam dan Intan. "Enak sekali." Izzam mengangkat ibu jarinya. "Makasih Ibu," katanya lagi. "Sama-sama." Aku menyuapi Intan makan kolak pisang. Tet! Suara bel berbunyi. "Ibu lihat dulu tamunya. Mungkin ayah Dhuha pulang." Aku menaruh Intan di atas karpet, lalu bergegas membuka pintu rumah. Rupanya ada mas Hakim, sep
Pov Dhuha"Opa mana?" tanyaku pada mama dengan setengah berbisik. "Lagi di depan, sama anak sambung kamu." Mamaku menyahut tanpa semangat. Aku tahu, mama begitu kecewa dengan keputusanku. "Ma, maafin, Dhuha ya," kataku sambil merangkul pundak mama. "Gak mudah!" Mama menepis tangan ini. "Mama yakin ada yang gak beres antara kamu dan perempuan itu. Gak mungkin kamu tiba-tiba udah nikah dengan wanita di bawah standar kamu dan keluarga kita. Dhuha, dia janda, kamu CEO, pemilik perusahaan. Anak satu-satu dan cucu laki-laki pertama Fauzi Wiratama. Dia udah ada anak, kamu bujangan. Kamu kira Mama gak gila mikirin kamu dan wanita itu?!""Ma... suaranya!" Mama benar-benar berteriak. Aku yakin sekali Aini dengar, tapi mau bagaimana lagi. Untunglah aku bisa mengkondisikan Aini untuk tidak perlu memedulikan ucapan mama karena memang kami menikah karena kesepakatan. Jika kami menikah atas dasar cinta dan mama bersikap seperti ini, aku yakin Aini pasti sedih sekali. "Ma, eh, Bu... Mas, makan s