Share

7. Pindah Rumah

Aku seperti bermimpi bisa bicara lagi dengan Luna. Sudah lama sekali tidak pernah WA apalagi telepon. Hanya sesekali saja aku mengomentari jika ia update status di akun media sosial instagramnya. Itu pun bisa dihitung dengan jari berapa kali dia posting. Terlihat ia sangat sibuk dan aktif sehari-harinya dan setahuku, ia tidak pernah posting foto lelaki yang sedang dekatnya. Jika pun ada foto lelaki, aku rasa itu temannya karena fotonya beramai-ramai.

"Dhuha, kamu mau bengong sampai kapan?" teguran dari mamaku membuatku tersentak.

"Eh, nggak bengong, Ma. Cuma lagi mikirin mungkin akan ajak Aini pindah ke rumah Dhuha," jawabku salah tingkah. Mama membuang wajahnya dan terlihat jengah dengan kehadiran Aini dan juga dua anaknya.

"Lekas kalian makan, lalu bawa saja mereka ke rumah kamu. Maaf, Mama masih merasa kalian bukan seperti pasangan lainnya. Ini terlalu aneh! Seperti tidak ada wanita lain saja di luaran sana. Kenapa harus.... "

"Ma, ada anak-anak!" Potongku cepat. Aini sudah menunduk takut.

"Anak orang, bukan anak kamu! Mama tuh minta cucu dari kamu, bukan malah, aish.... Mama jadi gak selera makan!" Mama langsung beranjak dari kursinya menuju kamar.

"Harap maklum, Mbak. Semua di rumah ini pasti kaget," kataku berbisik. Aku gak mau percakapanku didengar oleh bik Nar.

"Jangan sakit hati ya, Mbak kan dibayar nanti sama aku!" Ia mengangguk paham.

"Maaf ya, Mas, gara-gara saya orang tua Mas jadi kesal."

"Gak papa, kesalnya juga paling sebentar. Ayo, habiskan makannya. Nanti aku antar ke rumah aku dulu aja, baru setelah itu ke kantor."

"Enak, Yah!" Seru Izzam. Aku tersenyum.

"Makan yang banyak! Intan gak makan, Mbak?"

"Makan, ini sambil saya suapi."

"Makan aja yang banyak ya." Aini mengangguk patuh. Selesai makan semua, aku pun bersiap untuk mengantar Aini dan anak-anak pulang ke rumahku. Rumah yang aku siapkan untuk istri tercinta. Tak apa untuk sementara ditinggali oleh Aini dan anak-anaknya terlebih dahulu. Anggap saja sedang beramal untuk janda dan yatim.

"Ma, Aini mau pamit!" Seruku dari depan pintu kamar mama yang tertutup rapat.

"Pergi saja, gak usah pamit!" Jawaban ketus mama kembali membuat wajah mbak Aini tak nyaman.

"Ma, Dhuha berangkat ya. Malam nanti langsung mampir ke rumah sakit!" Seruku sebelum meninggalkan kamar mama. Tidak ada sahutan dari dalam. Biarlah, mama paling ngambek sebentar.

"Gak papa, mama emang gitu. Santai aja!"

"Iya, Mas, lagian saya bukan mantu beneran he he he.... "

"Iya,  itu dia. Jangan khawatir."

"Ayo, kita naik mobil. Kita pulang ke rumah!"

"Rumah siapa, Yah? Bawah fayover?" tanya Izzam dengan wajah polosnya.

"Bukan, rumah Ayah!" Tak ada getar di benak ini dengan panggilan itu karena memang ini hanya sebuah kesepakatan yang sama-sama menguntungkan dan yang paling penting, aku gak dijodohkan dengan Monic. Apalagi aku memang sebenarnya suka anak kecil, sehingga tak masalah bagiku jika anak mbak Aini memanggilku ayah. Sekalian totalitas dramanya.

"Jauh ya, Mas?" tanya Aini.

"Lumayan."

"Nanti biar saya yang kerjakan semua, Mas. Kerjaan rumah."

"Oh gitu, gak papa?" tanyaku.

"Gak papa. Saya merasa sangat bersyukur bisa berada di sini sekarang karena kebaikan Mas Dhuha. Anak-anak juga bisa melihat dunia di atas flyover." Aku tersenyum sambil mengangguk.

Empat puluh lima menit berkendara, akhirnya aku tiba di rumah yang biasanya hanya aku kunjungi dua minggu sekali. Itu pun hanya untuk nonton dan menginap satu malam. Terkadang sendiri, terkadang juga bersama Hakim.

"Ini rumahku, Mbak. Ayo, masuk!" Sejak tadi aku memperhatikan bayi Intan menatap ke arahku.

"Sini, biar aku gendong Intan."

"Eh, jangan, Mas, khawatirnya nanti keompolan."

"Oh, iya, belum beli pampers ya. Nanti saya pesankan online saja. Ayo, silakan masuk." Aku mempersilakan ibu dan dua anak itu masuk ke dalam rumahku yang bisa dibilang cukup besar. Rumah di area komplek menengah keatas.

Luas tanah enam ratus meter dengan bangunan dua ratus. Masih banyak lahan kosong yang belum sempat aku jadikan apapun, hanya hamparan rumput gajah saja. Kolam ikan koi pun belum aku isi karena aku tidak tinggal di sini.

"Rumah siapa ini, Bu?" tanya Izzam pada Aini.

"Rumah Ayah Dhuha."

"Kita tinggal di sini. Izzam, adek Intan, dan ibu. Udah gak tinggal di bawah flyover lagi." Aku mengusap kepala Izzam.

"Wah, makasih Ayah. Rumah Ayah bagus. Ayah baru Izzam ternyata baik." Aku menoleh pada Aini.

"Memang yang sebelumnya, Mbak? Almarhum ayahnya anak-anak gak baik?" tanyaku sedikit penasaran.

"Orang biasa saja. Kalau orang baik, kami bertiga gak mungkin tinggal di bawah flyover."

"Iya juga, sih! Oh, iya, ini kamar Mbak Aini dan anak-anak. Saya kamarnya persis di depan kamr Mbak Aini. Kalau ada mama nginap atau anggota keluarga lainnya, kita baru tidur sekamar. Gimana?"

"Baik, Mas."

"Saya ke kantor. Makan siangnya nanti pesan online saja karena belum ada bahan dapur. Oh, iya, satu lagi, jangan masuk ke kamar saya tanpa ijin saya!"

"Baik, Mas, paham!" Aku pun bergegas kembali menuju mobil. Sebenarnya ini sudah sangat terlambat, tetapi daripada Mbak Aini lama di rumah mama, bisa-bisa ketahuan yang sebenarnya terjadi.

Begitu tiba di kantor, aku langsung masuk ke dalam lift khusus yang memang disediakan untuk petinggi perusahaan. Maulana; direktur produksi sudah berkali-kali menghubungiku, tetapi tidak aku angkat.

"Mas Dhuha!" Aku menoleh seseorang memanggil namaku.

"Hai! Apa kabar?" wanita itu setengah berlari menghampiriku dengan wajah semringahnya. Luna!

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status