Share

6. Kesepakatan Kontrak Pernikahan

"Buka baju, Mas?" tanyanya dengan wajah polos. Aku terbahak sambil mengibaskan tangan.

"Bukan, mana mungkin kita tidur seperti suami istri. Mbak, ini tuh seperti pernikahan kontrak. Imbalannya anak-anak dapat tempat tinggal nyaman, bukan di sini. Saya ada rumah sendiri. Mbak punya suami yang menafkahi. Punya mertua dan keluarga. Saya akan kasih uang juga, meski gak banyak, tapi saya akan tetap tanggung jawab. Gimana?"

"Baik, Mas. Terima kasih banyak atas kebaikannya. Saya gak tahu bagaimana membalas kebaikan Mas dan juga keluarga Mas."

"Kamu cukup lakukan apa yang aku perintahkan. Oke! Oh, iya, satu lagi, kamu gak boleh ikut campur urusan pribadi aku. Paham kan maksudnya?"

"Baik, Mas." Aku mengangguk sambil tersenyum. Anggap saja aku tengah beramal dengan janda miskin dan juga anak yatim. Pasti Tuhan akan balas kebaikanku dengan kebaikan pula.

Aku mematikan lampu kamar, kemudian ikut terlelap. Aini dan dua anaknya masih tetap tidur di bawah. Aku tidak mau merayu meminta mereka pindah ke kasur. Biarlah besok aku ajak pindah ke rumahku saja.

"Mas, Mas, maaf." Aku merasa sentuhan di pundakku. Mata ini sangat berat untuk dibuka, tapi samar-samar aku melihat wanita di sampingku.

"Eh, ada apa?" aku langsung duduk begitu ingat aku sudah menikah dan di kamarku ada istri dan anak sambungku.

"Mas, maaf, saya mau mandi dan solat subuh. Ini sudah subuh. Tapi saya gak ada pakaian lain. Mukena juga gak ada." Aku menggosok mata, kemudian berjalan keluar kamar. Tujuanku adalah kamar bibi. Suara keran air di dapur menghantar langkahku ke sana.

"Bik, punya mukena dua lagi. Sama saya pinjam pakaian dalam dan daster Bibik, tapi yang masih bagus. Ada gak?" tanyaku masih dengan suara serak.

"Eh, Mas Dhuha. Boleh, Mas. Tunggu saya ambilkan." Aku menunggu sejenak, lalu bibik sudah kembali dengan satu set pakaian dan juga satu set mukena lengkap dengan sajadah.

"Pinjam dulu ya, Bik. Buat istri saya."

"Eh, i-istri? Oh, i-iya, Mas." Aku tersenyum saat wajah bik Nar begitu kagetnya. Bik Nar ART mama yang sudah bekerja sejak aku baru masuk kuliah. Beliau sudah senior dan begitu sabar juga cekatan mengurus rumah mama yang sangat besar ini.

"Maaf lama, ini mukena dan pakaiannya."

"Baik, Mas, makasih ya." Aini menerima barang-barang yang aku berikan. Sajadah sudah ia bentangkan, lalu di atasnya ia taruh mukena. Kemudian ia beranjak ke kamar mandi untuk mengganti baju. Aku pun kembali melanjutkan tidur karena masih mengantuk.

Tidak tahu berapa lama aku terlelap, aku pun terbangun karena mendengar suara celotehan anak-anak.

"Sstt... jangan berisik, Izzam. Ayah Dhuha lagi tidur!"

"Izzam mau keluar, Bu. Itu lihat, di luar ada kolam renang. Ini apa sih, Bu?"

"Ini rumah om, eh... ini rumah ibunya ayah Dhuha. Rumah nenek. Jadi gak boleh sembarangan keluar kalau gak ijin sama ayah Dhuha."

"Oh, rumah nenek. Ini rumahnya besar dan bagus, Bu. Ada kolam renangnya. Nanti Izzam mau ajak Eko berenang di situ ya, Bu." Aku akhirnya duduk bersandar di kepala ranjang, setelah mendengar percakapan ibu dan anak itu.

"Pagi, Izzam." Keduanya menoleh ke arahku.

"Pagi, Ayah!" Izzam berlari dan langsung berdiri di dekatku.

"Ayah, boleh Izzam berenang di bawah?"

"Nggak, kalau berenang itu di kolam renang. Bukan di bawah," jawabku sambil menahan tawa. Izzam yang tadi sudah mau menangis, akhirnya tertawa juga.

"Iya, maksudnya berenang di kolam renang rumah nenek."

"Boleh kalau udah sarapan. Tunggu, Ayah mandi dulu." Aku pun bergegas ke kamar mandi.

Hari ini aku gak bisa ijin karena Ada rapat dengan vendor. Padahal aku belum yakin dengan meninggalkan Aini dan dua anaknya di rumah mama bertiga saja. Aku khawatir mama curiga dan banyak tanya pada Aini. Jujur, aku belum siap mengatakan yang sebenarnya karena aku takut, mama pula yang malah terkena serangan jantung.

"Kenapa?" tanyaku saat melihat Aini diam-diam memperhatikan gerak-gerikku memakai kemeja kerja.

"Nggak papa. Mas mau kerja ya? Terus saya dan anak-anak di sini saja?"

"Iya, aku ada urusan di kantor yang gak bisa ditinggal. Kamu di sini saja. Aku udah minta Hakim ke sini temenin anak-anak main. Ah, iya, satu lagi. Jangan pernah ceritakan kebenarannya pada mama saya, paham!" Aini mengangguk setuju.

"Ayah mau kerja ya?" kali ini Izzam menghampiriku. Intan pun tengah merengek dengan mengulurkan tangannya padaku.

"Iya, kerja dulu ya. Izzam di sini saja sama ibu dan adek. Oh, iya, Mbak. Intan berapa bulan?"

"Sebelas, Mas."

"Oh, belum setahun ya." Aku tersenyum pada bayi itu. Meski ia minta gendong, aku tidak menggubris karena gak mungkin aku gendong bayi dalam keadaan sudah memakai kemeja kerja. Bisa lecek lagi kemejaku.

"Ayo, kita sarapan dulu." Aku menggandeng tangan Izzam, hendak berjalan keluar kamar.

Kring! Kring!

"Tunggu! Aku angkat telepon dulu!" Nomor asing yang menghubungi. Sebenarnya nomor ini sejak kemarin sudah menghubungiku dua kali, tapi aku abaikan. Mungkin penting sih!

"Halo, siapa nih?"

"Halo, Mas Dhuha."

"Iya, saya Dhuha. Mbak siapa ya?"

"Ish, tega banget, masa lupa sama aku,sih! Aku Luna, Mas. Hayo, sekarang wajib ingat siapa Luna. Luna udah di Jakarta, Mas. Baru sampai kemarin. Mas masih marah karena kejadian beberapa tahun lalu ya. Maafin Luna kalau udah mengabaikan perasaan Mas Dhuha. Sekarang Luna sadar, kalau Luna itu masih sayang banget sama Mas Dhuha. Kita balikan, mau kan?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Cut Zanah
mulai masuk biang kerok, si bumbu penyedap .........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status