"Buka baju, Mas?" tanyanya dengan wajah polos. Aku terbahak sambil mengibaskan tangan.
"Bukan, mana mungkin kita tidur seperti suami istri. Mbak, ini tuh seperti pernikahan kontrak. Imbalannya anak-anak dapat tempat tinggal nyaman, bukan di sini. Saya ada rumah sendiri. Mbak punya suami yang menafkahi. Punya mertua dan keluarga. Saya akan kasih uang juga, meski gak banyak, tapi saya akan tetap tanggung jawab. Gimana?" "Baik, Mas. Terima kasih banyak atas kebaikannya. Saya gak tahu bagaimana membalas kebaikan Mas dan juga keluarga Mas." "Kamu cukup lakukan apa yang aku perintahkan. Oke! Oh, iya, satu lagi, kamu gak boleh ikut campur urusan pribadi aku. Paham kan maksudnya?" "Baik, Mas." Aku mengangguk sambil tersenyum. Anggap saja aku tengah beramal dengan janda miskin dan juga anak yatim. Pasti Tuhan akan balas kebaikanku dengan kebaikan pula. Aku mematikan lampu kamar, kemudian ikut terlelap. Aini dan dua anaknya masih tetap tidur di bawah. Aku tidak mau merayu meminta mereka pindah ke kasur. Biarlah besok aku ajak pindah ke rumahku saja. "Mas, Mas, maaf." Aku merasa sentuhan di pundakku. Mata ini sangat berat untuk dibuka, tapi samar-samar aku melihat wanita di sampingku. "Eh, ada apa?" aku langsung duduk begitu ingat aku sudah menikah dan di kamarku ada istri dan anak sambungku. "Mas, maaf, saya mau mandi dan solat subuh. Ini sudah subuh. Tapi saya gak ada pakaian lain. Mukena juga gak ada." Aku menggosok mata, kemudian berjalan keluar kamar. Tujuanku adalah kamar bibi. Suara keran air di dapur menghantar langkahku ke sana. "Bik, punya mukena dua lagi. Sama saya pinjam pakaian dalam dan daster Bibik, tapi yang masih bagus. Ada gak?" tanyaku masih dengan suara serak. "Eh, Mas Dhuha. Boleh, Mas. Tunggu saya ambilkan." Aku menunggu sejenak, lalu bibik sudah kembali dengan satu set pakaian dan juga satu set mukena lengkap dengan sajadah. "Pinjam dulu ya, Bik. Buat istri saya." "Eh, i-istri? Oh, i-iya, Mas." Aku tersenyum saat wajah bik Nar begitu kagetnya. Bik Nar ART mama yang sudah bekerja sejak aku baru masuk kuliah. Beliau sudah senior dan begitu sabar juga cekatan mengurus rumah mama yang sangat besar ini. "Maaf lama, ini mukena dan pakaiannya." "Baik, Mas, makasih ya." Aini menerima barang-barang yang aku berikan. Sajadah sudah ia bentangkan, lalu di atasnya ia taruh mukena. Kemudian ia beranjak ke kamar mandi untuk mengganti baju. Aku pun kembali melanjutkan tidur karena masih mengantuk. Tidak tahu berapa lama aku terlelap, aku pun terbangun karena mendengar suara celotehan anak-anak. "Sstt... jangan berisik, Izzam. Ayah Dhuha lagi tidur!" "Izzam mau keluar, Bu. Itu lihat, di luar ada kolam renang. Ini apa sih, Bu?" "Ini rumah om, eh... ini rumah ibunya ayah Dhuha. Rumah nenek. Jadi gak boleh sembarangan keluar kalau gak ijin sama ayah Dhuha." "Oh, rumah nenek. Ini rumahnya besar dan bagus, Bu. Ada kolam renangnya. Nanti Izzam mau ajak Eko berenang di situ ya, Bu." Aku akhirnya duduk bersandar di kepala ranjang, setelah mendengar percakapan ibu dan anak itu. "Pagi, Izzam." Keduanya menoleh ke arahku. "Pagi, Ayah!" Izzam berlari dan langsung berdiri di dekatku. "Ayah, boleh Izzam berenang di bawah?" "Nggak, kalau berenang itu di kolam renang. Bukan di bawah," jawabku sambil menahan tawa. Izzam yang tadi sudah mau menangis, akhirnya tertawa juga. "Iya, maksudnya berenang di kolam renang rumah nenek." "Boleh kalau udah sarapan. Tunggu, Ayah mandi dulu." Aku pun bergegas ke kamar mandi. Hari ini aku gak bisa ijin karena Ada rapat dengan vendor. Padahal aku belum yakin dengan meninggalkan Aini dan dua anaknya di rumah mama bertiga saja. Aku khawatir mama curiga dan banyak tanya pada Aini. Jujur, aku belum siap mengatakan yang sebenarnya karena aku takut, mama pula yang malah terkena serangan jantung. "Kenapa?" tanyaku saat melihat Aini diam-diam memperhatikan gerak-gerikku memakai kemeja kerja. "Nggak papa. Mas mau kerja ya? Terus saya dan anak-anak di sini saja?" "Iya, aku ada urusan di kantor yang gak bisa ditinggal. Kamu di sini saja. Aku udah minta Hakim ke sini temenin anak-anak main. Ah, iya, satu lagi. Jangan pernah ceritakan kebenarannya pada mama saya, paham!" Aini mengangguk setuju. "Ayah mau kerja ya?" kali ini Izzam menghampiriku. Intan pun tengah merengek dengan mengulurkan tangannya padaku. "Iya, kerja dulu ya. Izzam di sini saja sama ibu dan adek. Oh, iya, Mbak. Intan berapa bulan?" "Sebelas, Mas." "Oh, belum setahun ya." Aku tersenyum pada bayi itu. Meski ia minta gendong, aku tidak menggubris karena gak mungkin aku gendong bayi dalam keadaan sudah memakai kemeja kerja. Bisa lecek lagi kemejaku. "Ayo, kita sarapan dulu." Aku menggandeng tangan Izzam, hendak berjalan keluar kamar. Kring! Kring! "Tunggu! Aku angkat telepon dulu!" Nomor asing yang menghubungi. Sebenarnya nomor ini sejak kemarin sudah menghubungiku dua kali, tapi aku abaikan. Mungkin penting sih! "Halo, siapa nih?" "Halo, Mas Dhuha." "Iya, saya Dhuha. Mbak siapa ya?" "Ish, tega banget, masa lupa sama aku,sih! Aku Luna, Mas. Hayo, sekarang wajib ingat siapa Luna. Luna udah di Jakarta, Mas. Baru sampai kemarin. Mas masih marah karena kejadian beberapa tahun lalu ya. Maafin Luna kalau udah mengabaikan perasaan Mas Dhuha. Sekarang Luna sadar, kalau Luna itu masih sayang banget sama Mas Dhuha. Kita balikan, mau kan?"Aku seperti bermimpi bisa bicara lagi dengan Luna. Sudah lama sekali tidak pernah WA apalagi telepon. Hanya sesekali saja aku mengomentari jika ia update status di akun media sosial instagramnya. Itu pun bisa dihitung dengan jari berapa kali dia posting. Terlihat ia sangat sibuk dan aktif sehari-harinya dan setahuku, ia tidak pernah posting foto lelaki yang sedang dekatnya. Jika pun ada foto lelaki, aku rasa itu temannya karena fotonya beramai-ramai. "Dhuha, kamu mau bengong sampai kapan?" teguran dari mamaku membuatku tersentak. "Eh, nggak bengong, Ma. Cuma lagi mikirin mungkin akan ajak Aini pindah ke rumah Dhuha," jawabku salah tingkah. Mama membuang wajahnya dan terlihat jengah dengan kehadiran Aini dan juga dua anaknya. "Lekas kalian makan, lalu bawa saja mereka ke rumah kamu. Maaf, Mama masih merasa kalian bukan seperti pasangan lainnya. Ini terlalu aneh! Seperti tidak ada wanita lain saja di luaran sana. Kenapa harus.... ""Ma, ada anak-anak!" Potongku cepat. Aini sudah menu
"Kamu gak papa, Mas? Kayaknya gak senang ketemu aku?" tanya Luna dengan wajah cemberut. "Gak papa. Aku cuma kaget aja kamu tiba-tiba ada di kantorku. Dari mana kamu tahu? Oh, iya, aku buru-buru banget, ada meeting dan aku udah telat satu jam. Kamu tunggu di sini saja kalau gak bosan. Atau kamu bisa main ke mana dulu, nanti baru balik lagi sore. Aku beneran repot banget hari ini. Oke, Luna!" aku langsung berjalan cepat meninggalkan Luna yang tak sempat menjawab ucapanku. Jujur aku kaget dan senang, hanya saja timing-nya tidak pas. Aku benar-benar ditunggu untuk briefing. Jika aku terlambat lebih parah dari kemarin, bisa-bisa Om Aldo malah melaporkanku pada opa. Meeting baru selesai malam hari. Aku mendapatkan pesan WA Luna yang mengisyaratkan bahwa wanita itu sedikit kecewa karena aku abaikan. Tentu saja aku langsung membalas pesan itu dengan mengatakan bahwa besok malam, aku yang akan mengunjunginya. "Balik, Pak," sapa Erwin ; staf keuangan perusahaan yang kebetulan satu lift deng
"Maaf, Mas, saya sudah lancang menggunakan alat masaknya. S-soalnya saya beneran mau ngebantu bikin sarapan. Ini---" aku begitu senang melihat ada nasi goreng di atas meja, lengkap dengan telur mata sapi. Semalam aku memesan belanjaan dapur secara online dan aku memesan telur juga. "Wah, gak papa, Mbak. Bagus malah. Pantesan wangi banget aromanya sampai kamarku." "Syukurlah." Aku menarik kursi makan, sedangkan Mbak Aini menuangkan teh ke dalam gelasku. "Pagi ini kita belanja pakaian anak-anak, setelah kita dari rumah sakit. Opa ingin ketemu Mbak lagi." Wanita itu terdiam sejenak. "Saya agak khawatir. Takut kalau... ""Jangan khawatir, lebih galak aku daripada opa. Seperti yang pernah aku ajarkan, jangan bicara apapun saat ditanya, biar aku yang jawab nanti." "Baik, Mas, saya paham!""Anak-anak mana?" tanyaku saat tak melihat Intan maupun Izzam. Suaranya pun tidak kedengeran. "Masih tidur, Mas." "Oh, ya sudah, jangan dibangunkan. Kita sarapan saja dulu." Ia mengangguk, lalu meng
Anak-anak terlihat happy, terutama Izzam. Kalau Intan karena masih terlalu kecil, sehingga belum keliatan antusiasnya. Hanya saja, bayi kecil sebelas bulan itu terus tersenyum sambil tepuk tangan. Jelas sekali kalau mereka belum pernah diajak ngemall. "Seriusan gak pernah masuk mall?" tanyaku pada Aini. Wanita itu menggeleng. "Pernah dulu sekali. Udah lupa juga dan mall nya gak sebesar ini," jawab Aini yang langkahnya masih tertinggal di belakangku. Wanita itu pasti tidak percaya diri karena penampilannya. Meski sudah memakai baju yang sempat tempo hari kami beli, ia tetap tidak percaya diri berjalan santai di dalam mall yang isinya kaum menengah ke atas. "Oh, gitu, pantesan Izzam keliatan senang dan agak norak he he he.... ""Jangankan ke mall, Mas, bisa mendapatkan botol plastik bekas, wadah air mineral gelas bekas untuk ditukar dengan yang saja rasanya udah bersyukur. Paling gak anak-anak gak sampe kelaparan." Aku mengangguk penuh simpati. Hidup yang dijalani mbak Aini pasti sa
Aku tiba di rumah jam sebelas malam. Terlalu asik bercakap-cakap dengan orang tua Luna, membuatku lupa waktu. Sudah lama memang kami tak bertemu. Terakhir saat aku dan papanya tidak sengaja bertemu di acara pernikahan salah satu guru SMA kami. Tumben, lampu depan masih menyala, tapi rumah sepi. Aku membuka pintu dengan mudah karena tidak terkunci. "Assalamu'alaikum, Mbak Aini," panggilku. Namun, tak ada sahutan. Aku mengunci pintu kembali, kemudian memadamkan lampu ruang tamu. Aku terkejut saat melewati ruang makan dan melihat mbak Aini tengah tertidur. Ada aneka makanan terhidang di atas meja. Ya, ampun, aku lupa! Lupa kalau tadi pagi, aku minta mbak Aini untuk memasak. "Mbak, bangun!" Panggilku sambil menyentuh pundaknya dengan jari telunjuk. Wanita itu tersentak. "Eh, ya, ampun, saya ketiduran. Maaf, Mas. Mau makan ya, saya ---""Mbak, saya udah makan tadi. Maaf saya gak ngabarin Mbak Aini." Aku menahan tangan wanita itu saat hendak beranjak dari kursinya. "Oh, udah makan. Te
PoV Aini"Tadi malam ada apa, Ai? Kamu pulang diantar siapa?" tanya bu Santi; ibu dari Eko. Tetangga yang sama-sama memulung barang bekas plastik. "Oh, itu, mm... orang itu gak sengaja menyerempet saya di jalan, Bu, tapi tanggung jawab. Makanya saya diantar sampai atas. Oh, iya, Bu. Ini saya bayar utang beli beras kemarin." Aku menyerahkan uang seratus ribu dari dalam saku dasterku yang sudah lusuh. "Masih licin banget lembaran merahnya. Apa ini dari lelaki semalam?" tanya bu Santi penasaran. Aku pun mengangguk. Memang dari mas Dhuha. Mahar yang dia berikan untukku. "Uang ganti rugi?" aku tersenyum. Bu Santi benar-benar penasaran. "Ya sudah, saya terima. Tapi kamu gak papa, gak luka'kan?""Nggak, Bu, udah saya kasih minyak. Nanti juga sembuh. Saya mau keliling dulu. Mumpung Intan masih tidur.""Ya sudah sana jalan. Biar saya yang temenin Intan sama Izzam! Makannya udah kamu siapin kan?" aku mengangguk. Sudah masak semur telur dan tahu tadi dengan bumbu seadanya dan peralatan dapur
"Jadi nama kamu Aini?" tanya seorang wanita yang dipanggil mama oleh mas Dhuha. Itu berarti ini ibu mertuaku. Tatapannya tak bersahabat. Jelas saja, anaknya yang tampan dan kaya menikahi janda anak dua. "Iya, Bu. Eh, Ma," jawabku terbata. "Siapa suruh kamu panggil Saya mama? Saya belum menerima kamu jadi menantu di rumah ini!" Aku menelan ludah. Tenang Aini, kata suamimu, kamu hanya perlu jawab seperlunya saja. "Baik, Bu." "Suami kamu ke mana? Meninggal atau kabur?" "Suami saya.... ""Ibu, Intan nangis!" Seru Izzam dari dalam kamar. "Bu, maaf, saya ke kamar dulu." Aku pun bergegas berlari masuk ke kamar. Untunglah Intan menangis dengan suara kencang, sehingga alasannya tepat sekali aku untuk meninggalkan sejenak ibu mertuaku. Aku terkejut saat beliau tiba di rumah karena mas Dhuha tidak pesan apapun perihal kedatangan ibunya. Bisa jadi memang beliau ingin tiba-tiba saja berkunjung untuk mencari informasi tentangku dan anak-anakku."Ibu, itu nenek kan?" tanya Izzam yang duduk di
Sore hari, setelah semua tamu pulang, akhirnya aku bisa bermain bersama Izzam dan Intan. Kami main di halaman belakang. Ada bola kecil yang sudah kotor tergeletak begitu saja di dekat pot bunga. Bola itu aku cuci bersih, kemudian aku mainkan bersama Izzam. Intan anteng duduk di atas karpet sambil mengunyah biskuit. "Ibu, udah, ah, mainnya. Mau makan kolak yang dibuat Ibu," ujar Izzam dengan napas yang terengah-engah. "Boleh, cuci tangan dulu dan ganti baju ya. Setelah itu baru makan kolak. Ibu ambilkan juga untuk adek." Izzam masuk ke dalam rumah untuk menunaikan perintahku. Lanjut aku pun mencuci tangan sampai bersih, lalu menyiapkan kolak pisang dua mangkuk untuk Izzam dan Intan. "Enak sekali." Izzam mengangkat ibu jarinya. "Makasih Ibu," katanya lagi. "Sama-sama." Aku menyuapi Intan makan kolak pisang. Tet! Suara bel berbunyi. "Ibu lihat dulu tamunya. Mungkin ayah Dhuha pulang." Aku menaruh Intan di atas karpet, lalu bergegas membuka pintu rumah. Rupanya ada mas Hakim, sep